dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Penghayat Kaharingan, Mereka yang Teguh dengan Warisan Leluhur
Penghayat Kaharingan, Mereka yang Teguh dengan Warisan Leluhur

Bagi penghayat Kaharingan, khususnya Dayak Siang, Moho Tara adalah Tuhan. Seperti kelompok penghayat kepercayaan di sejumlah daerah, nasib para penghayat Kaharingan di Kalimantan kadang masih terabaikan.

OlehDIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

1 Juni 202105:33 WIB·5 menit baca



KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Salah satu pemuka adat Kaharingan melaksanakan ritual adat hinting pali di Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Jumat (7/5/2021).

Junedi Suprianto (25) sering dicerca dengan olok-olokan orang udik  dan dijauhi oleh teman-teman kelasnya. Bahkan, ia sampai menghadapi masalah serius yang membuatnya depresi, terutama ketika ditinggal kekasih beberapa saat sebelum menikah. Semua itu terjadi karena ia teguh menjadi penghayat Kaharingan.

Junedi berasal dari Desa Tumbang Saan, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, sebuah desa kecil di ujung utara Kalteng. Jaraknya dari Kota Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalteng, mencapai 435 kilometer. Perlu  waktu lebih kurang 10-12 jam untuk sampai ke lokasi tersebut melalui jalur darat.

Dalam setiap kegiatan diskusi formal ataupun informal, Junedi selalu bangga mengenalkan dirinya sebagai anak suku Dayak Siang. Tapi, mulutnya serasa kaku ketika ditanya soal agama.

”Dulu saat di sekolah, kami yang Kaharingan suka bertanya-tanya, kami punya agama, tapi, kok, gak ada yang ngajarin kami,” katanya saat ditemui di Palangkaraya, Sabtu (29/5/2021).

Mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, Junedi mempelajari banyak agama, tergantung kelas mana yang ia pilih. Jika bertemu guru Islam, ia belajar Islam, jika sekolah hanya menyediakan guru Kristen, mau tak mau ia ikut.

Tapi, yang paling parah saat ujian, kami diberikan soal agama Hindu. Saya tutup mata aja ngerjainnya, terserahlah gurunya mau kasih nilai berapa. (Junedi Suprianto)

”Tapi, yang paling parah saat ujian, kami diberikan soal agama Hindu. Saya tutup mata aja ngerjainnya, terserahlah gurunya mau kasih nilai berapa,” ingat Junedi.

Pengalaman itu belum seberapa dibanding sahabat-sahabat satu kampung yang mulai menjauhinya. Ia dinilai sebagai anak kampungan, bahkan ada yang takut karena menganggap Junedi punya ilmu atau kehidupan yang mistis.

”Sebutan-sebutan itu membuat teman-teman saya menjauh. Mereka yang dulunya Kaharingan akhirnya pindah agama supaya bisa bergaul dengan yang lain,” ungkap Junedi.

Junedi sempat punya pikiran untuk pindah agama. Namun, ia kesulitan menemukan agama yang mencerminkan dirinya. Ia sempat depresi karena itu.



Puncak depresi

Puncak depresinya ketika ia masuk dunia kuliah. Ia berkenalan dengan seorang gadis yang memiliki keyakinan berbeda. Awal berpacaran, si gadis tak punya masalah dengan latar belakang Junedi. Bahkan, ia mau ikut saat Junedi membawa dia ke kampung hingga ikut keluarga Junedi beribadah di rumah dan Balai Basarah, tempat penghayat Kaharingan beribadah.

Tak terasa hubungan pun berlanjut serius. Petaka bermula ketika orangtua si gadis mati-matian menolak rencana pernikahan mereka. Klise, kedua orangtua menginginkan anaknya menikah dengan pasangan yang keyakinannya sama.

Junedi teguh, si gadis menyerah. Keduanya pun berpisah. Sayangnya, si gadis memilih berpisah dan menerima pinangan jejaka lainnya tanpa mengabari Junedi. Pusing tujuh keliling Junedi dibuat.

Dua tahun ia tak kuasa menahan sakit hati. Ia sempat bertanya, apakah ini karena keyakinan yag ia anut.

”Pada akhirnya saya tetap tak mau pindah agama. Ini agama saya, Moho Tara Tuhan saya. Kalau saya mau pindah agama, menikah tak bisa jadi alasan,” ungkapnya.

Bagi penghayat Kaharingan, khususnya Dayak Siang, Moho Tara adalah Tuhan. Sama seperti Dayak Ngaju yang mengenalnya dengan sebutan Ranying Hatala Langit yang artinya sama, Tuhan Yang Maha Esa. Mereka memiliki kitab suci yang bernama Kitab Panaturan.

Di Kalteng, sejak awal tahun 1980, pemerintah mengintegrasikan Kaharingan dengan Hindu agar bisa diakui menjadi agama. Hindu-Kaharingan pun terbentuk. Lambat laun, upaya ini mengundang begitu banyak kontroversi. Walakin, mereka tetap berada di jalannya masing-masing.

Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Tengah tidak memiliki data jumlah penganut Kaharingan di Kalteng. Data yang dimiliki adalah penganut agama Hindu, termasuk Hindu-Kaharingan. Jumlah umatnya mencapai 23.404 orang dengan jumlah rohaniwan mencapai 728 orang, dan memiliki 698 rumah ibadah termasuk Balai Basarah.

Kepala Bidang Bimbingan Masyarakat Hindu di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Tengah Sisto Hartati menjelaskan, selama ini masyarakat Hindu, Hindu-Kaharingan, tak memiliki masalah intoleransi ataupun diskriminasi. Adanya integrasi antara Hindu dan Kaharingan membuat hak-hak mereka terpenuhi, termasuk pendidikan agama Hindu.

”Keinginan untuk integrasi itu datang dari tokoh adat yang memperjuangkan Kaharingan menjadi agama sejak tahun 1970-an, lalu muncul ide untuk integrasi. Hindu dipilih karena menjadi yang paling dekat dengan Kaharingan,” kata Sisto.

Menurut Sisto, dalam ajaran Kaharingan banyak ritual atau doa yang serupa dengan Hindu. Mulai dari ritual tujuh bulanan anak masih dalam kandungan, hingga kematian. Itu menjadi salah salah satu alasan integrasi.

Menurut data Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan YME dan Masyarakat Adat Ditjen Kebudayaan Kemendikbud Ristek), pada tahun 2016 ada 182 organisasi penghayat kepercayaan di tingkat pusat dan 937 organisasi aliran kepercayaan di tingkat cabang.

Jumlah penghayat kepercayaan di Indonesia diperkirakan 12 juta orang. Diklaim, sebanyak 60 persennya pada usia sekolah yang membutuhkan pendidikan agama sesuai keyakinan dan kepercayaannya.

Antropolog Dayak di Kalimantan Tengah, Marko Mahin, mengungkapkan, orang Dayak terbuka dengan semua agama. Karena itu, seharusnya keyakinan mereka yang beririsan dengan adat tak bertentangan dengan agama karena saat ini agama juga memiliki visi inkulturasi dalam menjalankan kehidupan beragamanya.

Dengan banyaknya panghayat Kaharingan muda, menurut Marko, ada regenerasi pengetahuan adat dan budaya yang berjalan di sana. Meskipun demikian, mereka memiliki banyak ancaman, salah satunya adalah pendidikan formal.

”Sekolah adat harusnya bisa menjadi solusi untuk masalah atau ancaman yang dihadapi masyarakat adat saat ini. Selagi upaya untuk mengakui dan melindungi berjalan, pendidikan adat juga perlu berjalan,” kata Marko.

Hal serupa juga disampaikan Roedi Haryo dari Nomaden Institute Cross Culture Studies Kalimantan Timur. Menurut dia, pendidikan formal harus mengubah kurikulumnya menjadi sangat kontekstual dengan lingkungannya sehingga apa yang menjadi warisan leluhur, termasuk keyakinan, tidak musnah begitu saja.

Menjadi penghayat bagi Jo juga jutaan penghayat dari seluruh Indonesia tak hanya soal keyakinan beragama, tetapi juga identitas. Kepercayaan ataupun agama memiliki akar yang sama dalam ajarannya, kasih sayang. Selebihnya, kepercayaan juga merupakan identitas dan jati diri.

https://www.kompas.id/baca/dikbud/20...risan-leluhur/

Sudah saatnya agama asli kita diakui resmi
Diubah oleh dewaagni 01-06-2021 08:06
sheema.israel
nomorelies
nomorelies dan sheema.israel memberi reputasi
2
788
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.9KThread40.8KAnggota
Tampilkan semua post
Chikashi.MasudaAvatar border
Chikashi.Masuda
#4
Penghayat2 kek gini biasanya orang susah hidup didaerah terpencil
0
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.