dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Para Penghayat Kepercayaan Indonesia Masih Terpinggirkan
Para Penghayat Kepercayaan Masih Terpinggirkan

Pengakuan negara terhadap para penghayat kepercayaan dinilai belum optimal. Sebagian penghayat kepercayaan masih terkendala untuk mengakses layanan publik seperti Warga Negara Indonesia pada umumnya.

OlehTIM KOMPAS

31 Mei 202105:00 WIB·4 menit baca



KOMPAS/IRMA TAMBUNAN

Setelah menanti lama, baru pada 2021 ini Orang Rimba di Jambi dicatatkan data kependudukannya secara masif oleh negara. Pencatatan administratif itu menandai pengakuan negara atas kepercayaan non agama pada komunitas pedalaman tersebut. Mengkebul (70) menunggu pembagian bantuan sosial tunai dari negara, di wilayah Terab, Kabupaten Batanghari, Jambi, Sabtu 22/5/2021).

JAKARTA, KOMPAS-Pada 2017, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dengan ini, penghayat dapat mencantumkan kepercayaannya di Kartu Tanda Penduduk elektronik dan mengosongkan kolom agama. Ini terangkum pada putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016.

Sebagian dari mereka berhasil mencantumkan kepercayaannya di KTP elektronik. Namun, sebagian lainnya kesulitan karena petugas di lapangan belum memahami putusan MK itu.

“Sebagian besar sudah mengganti identitas kepercayaan, tapi belum seluruhnya. Sosialisasi putusan MK belum menyentuh semua kelurahan atau kota/kabupaten. Kami masih dapat laporan bahwa ada daerah yang belum paham peraturan itu,” ucap Dian Jennie Cahyawati, Ketua Puan Hayati Pusat,  organisasi perempuan penghayat kepercayaan,  Minggu  (30/5/2021).

Penghayat kepercayaan seharusnya bisa langsung mengurus KTP di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat. Namun, menurut Dian, ada  yang masih  dimintai surat rekomendasi RT, RW, kelurahan, hingga kecamatan.

Menurut Ketua Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) Pusat Naen Soeryono, masih ada aparat pemerintah di daerah yang belum paham hak penghayat kepercayaan sebagai Warga Negara Indonesia.“Ada yang tidak mau tahu dan menganggap agama hanya ada enam. Kadang-kadang diskriminasi muncul dari subjektivitas. Masih ada ‘ketidaksenangan’ terhadap penghayat kepercayaan meski sudah ada putusan MK,” ucapnya, Sabtu.

Pimpinan kelompok Orang Rimba di wilayah Terab, Kabupaten Batanghari, Jambi, Tumenggung Ngelembo,  mengatakan, baru tahun 2021 ini sebagian besar  Orang Rimba dicatatkan data kependudukannya oleh negara.  Mereka menanti puluhan tahun untuk diakui status kependudukannya, termasuk pengakuan bahwa mereka  menganut aliran kepercayaan mereka sendiri,  bedewo.

Beragam hambatan menyebabkan pencatatan data kependudukan molor bertahun-tahun. Salah satunya, keengganan petugas memberi pelayanan hingga persoalan mengisi data agama.

“Kami tidak akan mau dipaksa masuk agama karena memang kami bedewo,” ujar  Ngelembo. Bedewo adalah keyakinan turun-temurun menyembah roh-roh yang diyakini sebagai dewa, baik pada pohon besar, binatang, maupun pada arwah nenek moyang.

Antropolog Orang Rimba, Robert Aritonang, menyebutkan betapa beratnya mendorong negara untuk memberi pelayanan bagi komunitas Orang Rimba. Orang Rimba selama ini kerap terlewat dari berbagai layanan negara. Di bidang pendidikan, para orangtua tak dapat mendaftarkan anak-anaknya bersekolah karena  mereka tak punya dokumen akta lahir yang menjadi syarat pendaftaran anak masuk sekolah.

Begitu pula di bidang kesehatan, mereka tidak bisa mengurus BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).  Di bidang politik, Orang Rimba tak punya hak memilih, apalagi dipilih. Di bidang sosial, kerap tak terjangkau program bantuan pemerintah.

Di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, praktik diskriminasi terhadap penghayat Sunda Wiwitan juga  belum usai. Selain status kependudukan dan catatan sipil yang belum diakui sepenuhnya oleh negara, masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan juga kesulitan mengekspresikan kepercayaannya.

“Kami meyakini diskriminasi belum berakhir,” ucap Dewi Kanti, girang pangaping (pendamping) masyarakat Akur Sunda Wiwitan.

Kasus terbaru yang sedang mereka hadapi adalah keputusan Pemkab Kuningan yang tidak mengakui permohonan komunitas Sunda Wiwitan sebagai masyarakat hukum adat (MHA). Penolakan itu berdasarkan surat Bupati Kuningan Nomor 189/3436/DPMD pada 29 Desember 2020. Alasannya, Sunda Wiwitan dianggap tidak memenuhi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 terkait pengakuan MHA, yakni sejarah, wilayah adat, hukum adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, serta kelembagaan/sistem pemerintahan adat.

Padahal,  berbagai dokumen terkait MHA sudah diserahkan kepada Pemkab. Penolakan itu  mengancam tanah adat yang merupakan sumber pangan masyarakat dan rakyat akan kesulitan mempertahankan tanah adat karena tidak memiliki kedudukan hukum saat ada sengketa tanah.



Hak Penganut Agama Leluhur - Perempuan perwakilan penyintas penganut agama kepercayaan leluhur menyampaikan doa bersama di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (3/8). Pada acara tersebut diserahkan hasil pemantauan kekerasan dan diskriminasi, kondisi pemenuhan HAM dan Hak-Hak Konstitusional bagi perempuan penganut agama kepercayaan leluhur dan pelaksana ritual adat, dengan harapan agar para penganut agama leluhur dapat menikmati haknya untuk berdaulat dalam keyakinan dan bebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi berbasis agama.

Belum optimal

Tokoh Sedulur Sikep di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Gunretno, mengatakan, sebenarnya komunitasnya tidak ada kendala terkait  administrasi kependudukan, seperti KTP. Namun, pelayanan cepat seperti yang selama ini digembar-gemborkan, juga tak pandang bulu, belum benar-benar dirasakan.

"Saya sendiri tidak kesulitan, karena mungkin (pemberi layanan) menganggap saya tokoh. Tapi, untuk yang tak punya kekuatan dan akses, masih belum terlayani dengan baik," kata Gunretno.

Menurut Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan, putusan MK menunjukkan pengakuan negara terhadap penghayat kepercayaan. Itu sekaligus jaminan pemerintah agar penghayat kepercayaan bisa mengakses haknya sebagai warga negara.

Meski demikian, pengakuan ini  dinilai belum optimal karena urusan penghayat kepercayaan  masih sekedar ditangani  Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.“Secara kelembagaan, seharusnya ini kewenangan Kementerian Agama. Ada kesan bahwa rekognisi dari negara masih setengah hati,” ucap Halili.

Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kemendikbud Ristek, Syamsul Hadi menyampaikan, pemerintah telah  menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 27 Tahun 2016 Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan. Tahun  ini, jumlah pendidik kepercayaan di sekolah dan  sanggar sebanyak  145 orang.

Sementara itu, menurut Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakhrulloh, sekarang penghayat kepercayaan juga sudah mendapatkan layanan penerbitan dokumen kependudukan, mulai dari pencatatan biodata dan penerbitan Nomor Induk Kependudukan, kartu keluarga, KTP elektronik, dan pencatatan perkimpoian."Silakan para penghayat juga aktif ke Dinas Dukcapil untuk urus dokumennya. Bila ada kendala akses, kami yang akan jemput bola,” kata Zudan.(SKA/DIT/ELN/ITA/IKI/PDS/IDO/DIA)

https://www.kompas.id/baca/dikbud/20...terpinggirkan/

Miris, agama asli pribumi seperti kejawen disingkirkan sedangkan agama impor dari padang pasir malah diagungkan
Diubah oleh dewaagni 01-06-2021 03:32
0
780
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.8KThread40.8KAnggota
Tampilkan semua post
hhendryzAvatar border
hhendryz
#4
minoritas bersyukur aja nyawanya belum dicabut dengan kepala dipenggal sama agama damai emoticon-Mad
secer
dewaagni
dewaagni dan secer memberi reputasi
0
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.