dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Penghayat Kepercayaan: Sulitnya Kami Menikah secara ”Resmi”
Penghayat Kepercayaan: Sulitnya Kami Menikah secara ”Resmi”

Di tengah berbagai penghargaan yang diterima, masyarakat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, masih mengalami diskriminasi. Salah satunya, pernikahan yang belum diakui oleh negara.

OlehABDULLAH FIKRI ASHRI/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO/SEKAR GANDHAWANGI

31 Mei 202106:00 WIB·4 menit baca



KOMPAS/RINI KUSTIASIH

Penari membawakan Tari Buyung di depan halaman Paseban Tri Panca Tunggal, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Selasa (6/10), dalam puncak acara Seren Taun yang digelar oleh penghayat Sunda Wiwitan. Tarian itu menyimbolkan upaya manusia menyeimbangkan kehidupan, seperti menjaga bokor atau buyung tetap dalam keseimbangan.

Menjelang pernikahannya, Ajat Sudrajat (26) dan Anih Kurniasih (21) malah dirundung kekhawatiran. Ikrar pasangan warga negara Indonesia ini terancam tak  diakui negara. Beragam persoalan pun menghantui mereka.

”Kalau pernikahan belum bisa tercatat di KUA (Kantor Urusan Agama), kami kecewa. Itu, kan, hak warga negara. Kenapa kami, yang minoritas, dipersulit? Padahal, kami melaksanakan kewajiban sebagai warga negara” kata Ajat, Sabtu (29/5/2021).

Ajat dan Anih adalah penghayat Sunda Wiwitan, ajaran spiritual leluhur Sunda. Meskipun sudah ada sebelum NKRI, masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan ini belum sepenuhnya diakui negara.

Itu sebabnya, pernikahan Ajat dan Anih yang direncanakan tahun depan hampir pasti hanya tercatat secara adat. Persis seperti perkimpoian kakaknya dua tahun lalu dan orangtuanya sekitar dua dekade lalu. Tidak ada akta perkimpoian.

Akibatnya, berdampak luas. Misalnya, keduanya bakal kesulitan mengurus kartu keluarga dan akta kelahiran jika punya anak. Kalaupun ada akta, di dalamnya tertulis kalimat seperti ”Anak dari seorang perempuan yang telah diakui oleh seorang laki-laki sebagai ayahnya”.

Tidak jarang pengurusannya seperti bola pingpong, saling lempar dari kantor kecamatan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Kuningan. ”Pertanyaannya, selalu sama. Sunda Wiwitan, teh, apa?” ucap Ajat yang kolom agama di KTP-nya hanya ditandai garis datar.

Stigma pun bermunculan, seperti pernikahan liar karena tidak diakui negara. Tanpa akta perkimpoian, Ajat juga tidak akan menikmati tunjangan keluarga setelah menikah.

Dalam keseharian, masyarakat Akur Sunda Wiwitan hidup harmoni dengan warga Cigugur yang berbeda agama. Dalam satu rumah, kadang ada berbagai keyakinan.

Aneka penghargaan menjadi bukti, seperti Apresiasi Prestasi Pancasila 2019 oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dan Piagam Penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada sesepuh Sunda Wiwitan Pangeran Djatikusumah sebagai pelestari adat. Sayangnya, berbagai pengakuan itu tidak lantas membuat pernikahan Ajat dan Anih, serta penghayat lainnya, tercatat oleh negara.

Padahal, menurut Dewi Kanti, girang pangaping (pendamping) masyarakat Akur Sunda Wiwitan, pernikahan dalam komunitasnya merupakan hal sakral yang sejatinya hanya bisa dipisahkan oleh ajal. Itu sebabnya, banyak tahapan sebelum menikah. Minimal memakan waktu enam bulan, lebih lama dibandingkan dengan bimbingan pra-nikah di KUA.



KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Para basir atau pemuka kepercayaan Kaharingan, yang merupakan agama asli suku Dayak, sedang melakukan balian atau upacara adat memanggil roh para leluhur untuk bergabung dalam upacara syukur juga menolak bala, Kamis (8/8/2019), di Desa Tangkahen, Kabupaten Pulang Pisau. Suku Dayak sangat menghormati alam, hutan, sungai, dan segala isinya. Bagi mereka, setiap benda hidup di hutan dan sungai memiliki gana atau roh.

Terpisah karena agama

Junedi Suprianto (25), pemuda penghayat Kaharingan asal Desa Tumbang Saan,  Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, sempat mengalami depresi saat ditinggal kekasih. Mereka berpisah karena perbedaan agama dan kepercayaan.

Ketika masuk kuliah, Junedi berkenalan dengan seorang gadis yang memiliki keyakinan berbeda. Awal berpacaran, si gadis tak punya masalah dengan latar belakang Junedi. Bahkan, ia mau ikut saat Junedi membawa dia ke kampungnya hingga ikut keluarga beribadah di rumah dan Balai Basarah, tempat penghayat Kaharingan beribadah.

Tak terasa hubungan pun berlanjut serius. Petaka bermula ketika orangtua si gadis mati-matian menolak rencana pernikahan mereka. Klise, kedua orangtua menginginkan anaknya menikah dengan lelaki yang keyakinan yang sama.

Junedi teguh, si gadis menyerah. Keduanya pun berpisah. Sayangnya, si gadis memilih berpisah dengan menerima pinangan jejaka lainnya tanpa mengabari Junedi. Hal ini membuat Junedi pusing tujuh keliling.

Dua tahun ia tak kuasa menahan sakit hati. Ia sempat bertanya, apakah ini karena keyakinan yang ia anut.

”Pada akhirnya saya tetap tak mau pindah agama. Ini agama saya, Moho Tara Tuhan saya. Kalau saya mau pindah agama, menikah tak bisa jadi alasan,” ungkapnya.

Bagi penghayat Kaharingan, khususnya Dayak Siang, Moho Tara adalah Tuhan. Sama seperti Dayak Ngaju yang mengenalnya dengan sebutan Ranying Hatala Langit, yang artinya sama, Tuhan Yang Maha Esa. Mereka memiliki kitab suci yang bernama Kitab Panaturan.

Bertahun-tahun yang lalu, Ketua Puan Hayati Pusat Dian Jennie Cahyawati juga terpaksa menikah secara agama. Sebagai penghayat kepercayaan, itu satu-satunya cara menikah secara legal. Pernikahan berbasis Kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa belum diakui saat itu. ”Hal ini banyak dilakukan penghayat kepercayaan, termasuk saya. Itu sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi pada 2017 (tentang instruksi pencantuman data penganut kepercayaan sebagai bagian dari data kependudukan),” kata Dian.

Sulitnya mencatat pernikahan secara legal hanyalah salah satu persoalan para penghayat kepercayaan. Masih ada deretan memori kelam mereka lainnya, mulai dari pembakaran tempat ibadah, penyegelan, perundungan, hingga penolakan masyarakat. Persoalan intoleransi terhadap kaum minoritas masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia.

https://www.kompas.id/baca/dikbud/20...-secara-resmi/

Miris rasanya, jadi mayoritas aja juga hasil paksaan bukan atas keinginan sendiri
Diubah oleh dewaagni 01-06-2021 03:30
0
662
25
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.8KThread40.8KAnggota
Tampilkan semua post
LordFaries4.0Avatar border
LordFaries4.0
#3
Thread bagus2 malah dirusak sama komen TS nya sendiri. Padahal bisa jadi bahasan menarik setelah TOA
0
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.