- Beranda
- Stories from the Heart
LIMA BELAS MENIT
...
TS
gitartua24
LIMA BELAS MENIT


PROLOG
"Masa SMA adalah masa-masa yang paling ga bisa dilupakan." menurut sebagian orang. Atau paling engga gue anggepnya begitu. Di masa-masa itu gue belajar banyak tentang kehidupan mulai dari persahabatan, bandel-bandel ala remaja, cita-cita, masa depan, sampai menemukan pacar pertama dan terakhir?. Drama? mungkin. pake banget? bisa jadi.
Masa Sma bagi gue adalah tempat dimana gue membentuk jati diri. Terkadang gue bantuin temen yang lagi kena masalah dengan petuah-petuah sok bijak anak umur tujuh belas tahun. Gak jarang juga gue ngerasa labil sama sikap gue sendiri. mau gimana lagi, namanya juga anak muda. Kadang gue suka ketawa-ketawa sendiri dan mengamini betapa bodohnya gue saat itu.
Gue SMA di jaman yang namnya hp B*ackberry lagi booming-boomingnya. Di jaman itu juga yang namanya joget sapel-sapelan lagi hits. Mungkin kalo lo inget pernah masuk atau bahkan bikin squd sendiri terus launching jaket sambil jalan-jalan di mall mungkin lo bakal malu sendiri saat ada temen lo yang ngungkit-ngungkit masa itu. Gue sendiri paling kesel kalo adan orang petantang-petenteng dengan bangganya bilang kalu dia anggota salah satu squad sapel terkenal di ibu kota dan sekitarnya. Secara saat itu gue lebih suka nonton acara metal di Rossi Fatmawati. Playlist lagi gue juga ga jauh-jauh dari aliran metal, punk, hardcore. Mungkin itu yang ngebuat gue ga terlalu suka lagu EDM atau rap yang mumble. Atau bahkan lagu RnB yang sering ada di top 100 Joox dan Spotify. Yaaa meskipun gue sekarang lebih kompromi dengan dengerin lagu apa aja yang gue suka, ga mandang genre.
Oiya, nama gue Atreya xxxxx. Biasa dipanggil Treya, dengan tinggi 182 cm dan berat 75 kg (naik turun tergantung musim). Ganteng dan menawan? relatif. Nama gue mungkin aneh ntuk orang Indonesia. Tapi gue suka dengan nama ini. karena pada dasarnya gue emang gasuka segala sesuatu yang banyak orang lain suka. Gue anak kedua dari dua bersaudara. Gue lahir dan besar di Jakarta, lebih tepatnya Jakarta selatan. Ga tau kenapa ada pride lebih aja Jakarta selatan dibanding bagian Jakarta lainnya, meskipun gue tinggal di Bintaro, hehe. Bokap gue kerja di suatu kantor yang ngurusin seluruh bank yang ada di Indonesia. Meski kerja kantoran tapi bokap gue suka banget yang namanya musik. mungkin darah itu menurun ke gue. Nyokap gue seorang ibu rumah tangga yang ngerangkap jadi pebisnis kecil-kecilah dimana orderan paling ramenya dateng pas bulan puasa. mulai dari makanan kering sampe baju-baju. Kakak gue cewek beda empat tahun. Waktu gue masuk SMA berarti doi baru masuk kuliah. Kakak gue ini orangnya cantik pake banget gan. kembang sekolah gitu dah. Gue bahkan sampe empet kalo ada temen cowoknya yang sok-sok baikin gue.
Lo percaya dengan dunia pararel? Dunia dimana ada diri kita yang lain ngelakuin sesuatu yang beda sama apa yang kita lakuin sekarang. Misalnya lo ada di dua pilihan, dan lo milih pilihan pertama. Untuk beberapa lama setelah lo ngejalanan pilihan lo mungkin lo bakal mukir ""Gue lagi ngapain yaa sekarang kalo milih pilihan yang kedua. mungkin gue lebih bahagi. Atau mungkin lebih sedih." Hal itulah yang ngebuat gue bikin cerita ini.
Ditahun itu gue baru masuk salah satu SMA di Jakarta selatan. Disaat itu juga cerita gue dimulai
INDEX
Part 1 - MOS day
Part 2 - Perkenalan
Part 3 - Peraturan Sekolah
Part 4 - Balik Bareng
Part 5 - Masih MOS Day
part 6 - Terakhir MOS Day
Part 7 - Hujan
Part 8 - Pertemuan
Part 9 - Debat Penting Ga Penting
Part 10 - Atas Nama solidaritas
Part 11 - Rutinitas
Part 12 - Om Galih & Jombang
Part 13 - Gara Gara Cukur Rambut
Part 14 - Rossi Bukan Pembalap
Part 15 - Bertemu Masa Lalu
Part 16 - Menghibur Hati
Part 17 - Ga Makan Ga Minum
Part 18 - SOTR
Part 19 - Tubirmania
Part 20 - Bukber
Part 21 - Masih Bukber
Part 22 - Wakil Ketua Kelas & Wacana
Part 23 - Latihan
Part 24 - The Rock Show
Part 25 - After Show
Part 26 - Anak Kuliahan
Part 27 - Malam Minggu Hacep
Part 28 - Aneh
Part 29 - Kejutan
Part 30 - Dibawah Sinar Warna Warni
Part 31 - Perasaan
Part 32 - Sela & Ramon
Part 33 - HUT
Part 34 - Masuk Angin
part 35 - Kunjungan
Part 36 - Wacana Rico
Part 37 - Atletik
Part 38 - Pengganggu
Part 39 - Nasib jadi Adek
Part 40 - Boys Talk
Part 41 - Taurus
Part 42 - Klise
Part 43 - Eksistensi
Part 44 - Utas VS Aud
Part 45 - Naik Kelas
Part 46 - XI IPA 1
Part 47 - Yang Baru
Part 48 - Lo Pacaran Sama Putri?
Part 49 - Sok Dewasa
Part 50 - Masih Sok Dewasa
Part 51 - Salah Langkah
Part 52 - Penyesalan
Part 53 - Bubur
Part 54 - Bikin Drama
Part 55 - Latihan Drama
Part 56 - Pertunjukan Drama
Part 57 - Coba-Coba
Part 58 - Greet
Part 59 - Sparing
Part 60 - Sedikit Lebih Mengenal
Part 61 - Hal Tidak Terduga
Part 62 - Hal Tidak Terduga Lainnya
Part 63 - Ngedate
Part 64 - Berita Dari Kawan
Part 65 : Second Chance
Part 66 - Maaf Antiklimaks
Part 67 - Bikin Film
Part 68 - Sudden Date
Part 69 - Masih Sudden Date (Lanjut Gak?)
Part 70 - Kok Jadi Gini
Part 71 - Sedikit Penjelasan
Part 72 - Sehari Bersama Manda
Part 73 - Masak Bersama Manda
Part 74 - Malam Bersama Manda
Part 75 - Otw Puncak
Part 76 - Villa & Kebun Teh
Part 77 - Malam Di Puncak
Part 78 - Hari Kedua & Obrolan Malam
Part 79 - Malam Tahun Baru
Part 80 - Shifting
Part 81 - Unclick
Part 82 - Gak Tau Mau Kasih Judul Apa
Part 83 - 17
Part 84 - Hari Yang Aneh
Part 85 - Pertanda Apa
Part 86 - Ups
Part 87 - Menjelang Perpisahan
Part 88 - Cerita Di Bandung
Part 89 - Obrolan Pagi Hari & Pulang
Part 90 - Awal Baru
Part 91 - Agit
Part 92 - Tentang Sahabat
Part 93 - Keberuntungan Atau Kesialan
Part 94 - Memulai Kembali
Part 95 - Belum Ingin Berakhir
Part 96 - Makan Malam
Part 97 - Rutinitas Lama
Part 98 - Sekedar Teman
Part 99 - Bukan Siapa-Siapa
Part 100 - Seperti Dulu
Part 101 - Kue Kering
Part 102 - Perusak Suasana
Part 103 - Cerita Di Warung Pecel
Part 104 - Konfrontasi
Part 105 - Tragedi Puisi
Part 106 - Gak Sengaja Jadian
Part 107 - Day 1
Part 108 - Mengerti
Part 109 - Sisi Lain
Part 110 - Cemburu
Part 111- Cemburu Lagi
Part 112 - Cerita Akhir Tahun
Part 113 - Ketemu Lagi
Part 114 - Malam Panjang
Part 115 - Malam Masih Panjang
Part 116 - Malam Berakhir
Part 117 - Mereka Bertemu
Part 118 - rekonsiliasi
Part 119 - Bicara Masa Depan
Part 120 - Langkah
Part 121 - UN
Part 122 - Pilox & Spidol
Part 123 - Menjelang Prom
Part 124 - Malam Perpisahan
Part 125 - Sebuah Akhir Untuk Awal Baru (TAMAT)
Epilog - Untuk Perempuan Yang Sempat Singgah Di Hati
Terima Kasih, Maaf, & Pengumuman
Special Part : Gadis Manis & Bocah Laki-Laki Di Kursi Depan
MULUSTRASI
Diubah oleh gitartua24 25-04-2022 01:17
JabLai cOY dan 122 lainnya memberi reputasi
119
197.8K
1K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
gitartua24
#757
Part 103 - Cerita Di Warung Pecel
Gue sama sekali gak berpikir kalau kejadian kaya tadi bener-bener bisa terjadi, maksudnya situasi dimana gue akan membela cewek yang gue suka di hadapan orang yang ‘mengganggu’ dia, dan orang yang ‘gangguin’ dia adalah mantan pacarnya. Gue kira kejadian kaya gitu cuman berlaku di film-film romansa remaja aja.
Dan gue sama sekali gak berekspektasi kalau efek yang dihasilkan bakal ngebuat suasana jadi secanggung ini. Bahkan ketika kita hampir sampe di perempatan PIM belum ada percakapan yang terjadi di antara kita. Gue emang ga berharap ada perbincangan apa-apa sih, cuman gue jadi merasa bersalah aja ga bisa berbuat apa-apa.
“Tre, lo langsung mau balik?” Tanya Putri waktu motor gue baru aja berhenti gara-gara lampu merah.
“Mau ke rumah Bobby dulu sih nanti, emang kenapa Put?”
“Oohh engga, gapapa.”
Oke, sekarang gue udah terjebak ke dalam sebuah jawaban gapapa yang dilontarkan oleh seorang perempuan, yang udah pasti kalau jawab gapapa pasti ada apa-apa, dan artinya gue harus melakukan sesuatu, dan artinya lagi kalau gue ga melakukan sesuatu gue akan dianggap sebagai seorang laki-laki yang tidak peka.
“Emang lo mau kemana dulu Put?”
“Ga tau juga sih, masih jam segini.” Emang sih masih jam setengah sepuluhan, mau ngemall juga mallnya belom buka. Tapi otak gue ga berhenti buat berpikir.
“Pecel cak tris yuk Put.”
“Dimana?”
“Cipete.”
“Puter lagi dong.”
“Yaaa gapapa.”
“Emang udah buka?”
“Udah, buka dari pagi tempatnya.”
“Yauda.”
Akhirnya dari perempatan PIM gue muter balik lagi menuju Cipete. Untungnya hari belom terlalu siang, jadi masih sedikit kerasa udara pagi. Sinar mataharinya juga ga menyengat banget. Kalo kata orang tua sinar matahari pagi bagus buat kulit, mangkanya banyak anak balita yang diajak keluar rumah pagi-pagi. Ga penting juga sih infonya, wkwkwk.
Selama di perjalanan ke Cipete ga terlalu banyak percakapan yang terjadi, mungkin lebih tepatnya emang ga ada. Harusnya ini menjadi hal biasa setiap kali gue boncengin Putri, ga harus ada perbincangan juga, tapi gara-gara kejadian pas di sekolah barusan gue pengen buru-buru nyampe ke tempat tujuan, paling engga biar langsung ngobrol.
Sampai di cak tris gue langsung markirin motor dan masuk ke dalam. Kalau diliat dari luar, ini warung emang kaya rada males jualan gitu, etalasenya sepi. Paling ready yaaa pecel ayam doang, tapi rasanya enak. Dulu sih, ga tau sekarang.
Gue langsung memesan dua porsi pecel ayam, yang satu dada buat gue dan yang satu paha buat Putri, serta dua es teh manis. Putri udah duluan mencari meja kosong yang ga terlalu sulit didapatkan karena warungnya juga baru buka, setelah itu gue menarik kursi dan duduk di depannya.
“Kenapa sih Puuut?” Tanya gue langsung dengan nada selembut mungkin, supaya Putri bisa curhat dengan leluasa.
Kalau ada daftar cowok yang kurang romantis mungkin gue masuk ke dalam salah satu daftarnya, dengerin curhat cewek di warung pecel ayam. Tapi gue hanya mencoba untuk menjadi diri gue sendiri. Enggak enggak, aslinya mah gue lagi laper dan bm pecel ayam ini, wkwkwk.
“Biasa, si Andra.” Jawab Putri dengan nada bete.
“Emang kenapa dia?”
Putri mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, sepertinya masih ada sesuatu yang menahannya buat bicara, dan gue ga tau apa yang menahannya. “Gue udah bilang kita jadi temen aja, tapi dia ga mau denger dan ganggu banget jadinya.”
“Masih suka kali dia sama lo.” Kata gue asal nyeplos. Bener-bener ga bisa baca suasana. Putri ga membalas omongan gue, dan masih mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. “Terus lo maunya gimana Put?” Tanya gue berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Yaaa kaya biasa aja, ngobrol yaa ngbrol, namanya pernah sekelas. Tapi dia maksa buat jalan terus.”
“Lo coba tolak pelan-pelan.”
“Udah Tre, tapi alesan gue nolak yaaa gitu-gitu aja. Gue ga punya alesan yang spesifik buat nolak ajakan dia.”
Seketika gue jadi terdiam mendengar perkataan Putri. ‘Ga punya alasan spesifik,’ yang berarti cepat atau lambat Putri bisa aja nerima ajakan jalan si mantan, entah karena terpaksa atau stok alesannya udah abis. Tapi alesan yang spesifik itu kaya gimana, ‘gue udah punya pacar’ adalah alasan yang paling logis sih, sementara Putri ga bisa ngomong kaya gitu sekarang.
Apa ini waktu yang pas buat nembak Putri? Yaaa gue emang suka sama dia, tapi gue rasa sekarang bukan saat yang pas, apalagi Putri yang masih rada emosi gara-gara kejadian tadi. Kalau gue suruh Putri bilang pura-pura punya pacar yaitu gue, yaaa sekalian aja pacaran langsung, dari pada drama pura-pura pacaran.
Ditengah-tengah kecanggungan antara gue dan Putri, akhirnya makanan yang kita pesen pun dateng. Gue langsung mengambil dua piring dan dua gelas tersebut, kemudian langsung memakannya.
“Eh Put, emangnya lo putus sama Andra kenapa?” Akhirnya, pertanyaan yang selama ini gue pengen tanyakan keluar juga. Mumpung lagi bahas mantannya sekalian aja gue tanyain.
“Makin lama dia makin posesif, apa-apa ga boleh, gue juga jadi risih.”
“Oooo” Jawab gue hanya ber oh ria.
“Lagian salah gue juga sih terlalu maksain perasaan.”
“Hah? Maksudnya?”
“Yaaa gue sebenernya juga ga terlalu suka sama dia, apalagi sama sifatnya. Cuman yaa namanya sekelas, gue jadi ga enak. Belom lagi omongan temen-temen kelas.”
“Tapi lama juga yaaa sampe enam bulan.”
“Gue juga ga tau, kirain cuman bertahan seminggu.”
“Buset, parah juga lo Put, hahaha. Berarti lo ngejalaninnya juga agak kepaksa dong.”
“Yaaa gitu deh.” Jawab Putri, gue harap itu jawaban yang sebenarnya. “Eh, ngomong-ngomong kepaksa, dia juga kadang sering ngajak nongkrong gue sama temen-temen-temennya.”
“Temen-temennya? Maksud lo?”
“Iya, temen-temennya.”
Seketika tawa gue meledak mendengar pernyataan Putri. Gue tau ini ga seharusnya gue lakukan, tapi gue bener-bener ga bisa nahan ketawa. Ngebayanginnya aja udah ngebuat pengen ketawa. Sumpah, kalau gue cuman sekedar temen dan ga punya perasaan apa-apa pasti Putri udah gue cak-cakin abis, wkwkwk.
“Iiiihhhhh, tuh kan, lo mah malah ketawa. Orang lagi cerita.”
“Hahahaha, sorry sorry Put, gue ga bisa ngebayangin lo nongkrong sama anak-anak sapel, hahaha.”
“Auh ah, bete gue.” Kata Putri ngambek, tapi itu malah ngebuat gue makin cekikikan. “Treya! Udah dong ketawanya, ah nyesel deh gue cerita sama lo.”
“Hahaha iya Put iya, sorry sorry, hihihi.”
Akhirnya kita lanjutin makan dengan keadaan Putri yang masih ngambek, dan gue yang masih mencoba menahan ketawa. Ga lama kemudian makanan gue udah abis, tapi makanan Putri masih ada sisa setengah, dan dia udah keliatan kaya udah males-malesan makannya.
“Kenyang Put?” Tanya gue, Putri cuman menjawabnya dengan mengangguk. “Gue abisin sini.”
“Nih abisin.” Akhirnya gue makan nasi sama ayamnya Putri, untung sambelnya masih sisa banyak. “Ga kepedesan apa lo Tre makan sambel segitu, gue aja kepedesan.” Emang Porsi ayam sama sambel sisa makanannya Putri agak ga berimbang.
“Gimana dong, doyan.”
“Nanti kapan-kapan gue bikinin yang pedes banget, sampe lo mencret.” Kata Putri dengan nada kesel.
“Jahat banget lo Put.” Jawab gue merajuk dan sambil memelas, dan itu cukup untuk membuat Putri ketawa. Untung lah, suasana hati dia udah mendingan, meskipun harus dengan ngatain gue.
Selesai makan kita berdua langsung beres-beres dan cuci tangan. Untung Putri bawa hand sanitizer, soalnya gue rada gedek sama warung pecel yang ga nyediain sabun, atau kobokan yang ga ada jeruk nipis, bau amisnya awet. Untung gue makan sama Putri, jadi dia pasti bawa, kalau sama temen kelasan gue jangan harap ada yang bawa, soalnya belom sempet betak, wkwkwk.
“Abis ini mau kemana lagi? Lo Langsung mau balik?” Tanya gue waktu kita ada di sebelah motor.
“Ga tau, mau balik cepet juga males.” Gue ga tau Putri beneran males balik, atau kalau gue kegeeran bisa beranggapan kalau dia masih mau menghabiskan waktu dengan gue.
“Main ke rumah Bobby aja yuk, mau ga? lagi rame anak kelasan gue.” Ini alesan yang aneh sih buat ngajak seorang cewek main, apa lagi ke tongkrongan cowok. Tapi ngedenger Putri yang diajak mantannya ke tongkrongan dia gue jadi ngiri.
“Ga enak gue.”
“Anak-anak sekolah kita juga si.”
“Yauda.”
Di perjalanan kita cukup ngobrol banyak, khususnya tentang kelanjutan masa SMA nanti, masih berandai-andai sih, tapi ngayal aja dulu, mumpung gratis.
Sampai di rumah Bobby ternyata temen-temen gue lagi pada nongkrong di depan rumah Bobby. Tumben-tumbenan nih pada nongkrong di depan ga di balkon.
“Dah cabut-cabut, ada yang bawa cewek, males gue.” Kata Rico waktu gue baru aja standarin motor.
“Napa sih lo, sekali-sekali.”
Gue tau itu cuman bercandaan, soalnya kalau beneran gue yang ga enak sama Putri. Dan tanpa diduga tanpa disangka-sangka, temen-temen gue yang lain yang ga pernah sekelas sama Putri langsung sok pada akrab dan perhatian sama Putri. Pada sok kenalan lah padahal udah kenal, Sam yang nawarin tempat duduk, Iman yang nawarin minum, Anda yang nawarin rokok. Enggak, yang terakhir bercanda.
Tapi emang para begundal penyamun ini, langsung nganggep gue kaya tukang ojek yang nganterin pelanggan, abis itu ga disapa sama sekali.
“Eh, gue ajak Dinda kali yeee, biar Putri ada temennya, soalnya tadi dia minta dijemput di rumah temennya.”
“Boleh Co boleh.” Sahut Putri antusias.
Kita ngobrol-ngobrol banyak di depan rumah Bobby, yaaa selayaknya orang nongkrong aja, ngobrol, bercanda, cak-cakan, udah menjadi makanan sehari-hari. Tapi saat itu lebih tepatnya temen-temen gue sih yang pada ngajak ngobrol Putri, gue tau bukannya mereka mau pdkt atau cari perhatian, emang pada demen aja godain Putri dan cak-cakin gue. Sementara gue hanya melihatnya sambil sesekali menimpali.
Lagi nongkrong begini sambil ngeliat Rico ngerokok mulut gue jadi asem juga, lebih ga gabut sih cuman jadi pennton doang. Akhirnya gue meminta rokok pada Rico kemudian menyulutnya dengan korek, koreknya minjem juga. Gue tipe perokok keempat yang cuman modal paru-paru, wkwkwk. Rico juga langsung ngasih tanpa bertanya apa-apa.
“Lo ngerokok Tre?” Tanya Putri yang sebelumnya berdiri membelakangi gue.
“Iya, sekali-sekali doang, iseng.” Jawab gue santai.
Tanpa diduga-duga Putri menghampiri gue dan mengambil rokok yang berada di tangan gue, kemudian membuangnya ke tanah lalu menginjaknya. “Gak suka.” Katanya dengan nada marah.
“Iya iya.” Gue hanya bisa menjawab iya dengan memelas. Kalau orang lain yang melakukan hal tersebut mungkin gue udah marah-marah karena ngatur-ngatur gue. Tapi kalau Putri, gue bisa apa-_-, lagian awalnya juga gue bukan perokok sih.
“Tau tuh Put, omelin aja si Treya.”
“Emang Put, udah dibilangin jangan.” Begitulah sahitan dari teman-teman gue sambil menahan tawa, sementara gue cuman bisa melihat mereka sambil merasa dongkol.
Setelah itu Putri kembali ngobrol dengan mereka, dan ga lama Dinda Pun dateng ke rumah Bobby. Kedua cewek ini berkenalan dan malah jadi asik ngobrol berduaan. Gak tau bahas apaan, omongan cewek dah pokoknya. Hari itu kita nongkrong di rumah Bobby sampe menjelang sore sebelum memutuskan buat balik.
Gue sama sekali gak berpikir kalau kejadian kaya tadi bener-bener bisa terjadi, maksudnya situasi dimana gue akan membela cewek yang gue suka di hadapan orang yang ‘mengganggu’ dia, dan orang yang ‘gangguin’ dia adalah mantan pacarnya. Gue kira kejadian kaya gitu cuman berlaku di film-film romansa remaja aja.
Dan gue sama sekali gak berekspektasi kalau efek yang dihasilkan bakal ngebuat suasana jadi secanggung ini. Bahkan ketika kita hampir sampe di perempatan PIM belum ada percakapan yang terjadi di antara kita. Gue emang ga berharap ada perbincangan apa-apa sih, cuman gue jadi merasa bersalah aja ga bisa berbuat apa-apa.
“Tre, lo langsung mau balik?” Tanya Putri waktu motor gue baru aja berhenti gara-gara lampu merah.
“Mau ke rumah Bobby dulu sih nanti, emang kenapa Put?”
“Oohh engga, gapapa.”
Oke, sekarang gue udah terjebak ke dalam sebuah jawaban gapapa yang dilontarkan oleh seorang perempuan, yang udah pasti kalau jawab gapapa pasti ada apa-apa, dan artinya gue harus melakukan sesuatu, dan artinya lagi kalau gue ga melakukan sesuatu gue akan dianggap sebagai seorang laki-laki yang tidak peka.
“Emang lo mau kemana dulu Put?”
“Ga tau juga sih, masih jam segini.” Emang sih masih jam setengah sepuluhan, mau ngemall juga mallnya belom buka. Tapi otak gue ga berhenti buat berpikir.
“Pecel cak tris yuk Put.”
“Dimana?”
“Cipete.”
“Puter lagi dong.”
“Yaaa gapapa.”
“Emang udah buka?”
“Udah, buka dari pagi tempatnya.”
“Yauda.”
Akhirnya dari perempatan PIM gue muter balik lagi menuju Cipete. Untungnya hari belom terlalu siang, jadi masih sedikit kerasa udara pagi. Sinar mataharinya juga ga menyengat banget. Kalo kata orang tua sinar matahari pagi bagus buat kulit, mangkanya banyak anak balita yang diajak keluar rumah pagi-pagi. Ga penting juga sih infonya, wkwkwk.
Selama di perjalanan ke Cipete ga terlalu banyak percakapan yang terjadi, mungkin lebih tepatnya emang ga ada. Harusnya ini menjadi hal biasa setiap kali gue boncengin Putri, ga harus ada perbincangan juga, tapi gara-gara kejadian pas di sekolah barusan gue pengen buru-buru nyampe ke tempat tujuan, paling engga biar langsung ngobrol.
Sampai di cak tris gue langsung markirin motor dan masuk ke dalam. Kalau diliat dari luar, ini warung emang kaya rada males jualan gitu, etalasenya sepi. Paling ready yaaa pecel ayam doang, tapi rasanya enak. Dulu sih, ga tau sekarang.
Gue langsung memesan dua porsi pecel ayam, yang satu dada buat gue dan yang satu paha buat Putri, serta dua es teh manis. Putri udah duluan mencari meja kosong yang ga terlalu sulit didapatkan karena warungnya juga baru buka, setelah itu gue menarik kursi dan duduk di depannya.
“Kenapa sih Puuut?” Tanya gue langsung dengan nada selembut mungkin, supaya Putri bisa curhat dengan leluasa.
Kalau ada daftar cowok yang kurang romantis mungkin gue masuk ke dalam salah satu daftarnya, dengerin curhat cewek di warung pecel ayam. Tapi gue hanya mencoba untuk menjadi diri gue sendiri. Enggak enggak, aslinya mah gue lagi laper dan bm pecel ayam ini, wkwkwk.
“Biasa, si Andra.” Jawab Putri dengan nada bete.
“Emang kenapa dia?”
Putri mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, sepertinya masih ada sesuatu yang menahannya buat bicara, dan gue ga tau apa yang menahannya. “Gue udah bilang kita jadi temen aja, tapi dia ga mau denger dan ganggu banget jadinya.”
“Masih suka kali dia sama lo.” Kata gue asal nyeplos. Bener-bener ga bisa baca suasana. Putri ga membalas omongan gue, dan masih mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. “Terus lo maunya gimana Put?” Tanya gue berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Yaaa kaya biasa aja, ngobrol yaa ngbrol, namanya pernah sekelas. Tapi dia maksa buat jalan terus.”
“Lo coba tolak pelan-pelan.”
“Udah Tre, tapi alesan gue nolak yaaa gitu-gitu aja. Gue ga punya alesan yang spesifik buat nolak ajakan dia.”
Seketika gue jadi terdiam mendengar perkataan Putri. ‘Ga punya alasan spesifik,’ yang berarti cepat atau lambat Putri bisa aja nerima ajakan jalan si mantan, entah karena terpaksa atau stok alesannya udah abis. Tapi alesan yang spesifik itu kaya gimana, ‘gue udah punya pacar’ adalah alasan yang paling logis sih, sementara Putri ga bisa ngomong kaya gitu sekarang.
Apa ini waktu yang pas buat nembak Putri? Yaaa gue emang suka sama dia, tapi gue rasa sekarang bukan saat yang pas, apalagi Putri yang masih rada emosi gara-gara kejadian tadi. Kalau gue suruh Putri bilang pura-pura punya pacar yaitu gue, yaaa sekalian aja pacaran langsung, dari pada drama pura-pura pacaran.
Ditengah-tengah kecanggungan antara gue dan Putri, akhirnya makanan yang kita pesen pun dateng. Gue langsung mengambil dua piring dan dua gelas tersebut, kemudian langsung memakannya.
“Eh Put, emangnya lo putus sama Andra kenapa?” Akhirnya, pertanyaan yang selama ini gue pengen tanyakan keluar juga. Mumpung lagi bahas mantannya sekalian aja gue tanyain.
“Makin lama dia makin posesif, apa-apa ga boleh, gue juga jadi risih.”
“Oooo” Jawab gue hanya ber oh ria.
“Lagian salah gue juga sih terlalu maksain perasaan.”
“Hah? Maksudnya?”
“Yaaa gue sebenernya juga ga terlalu suka sama dia, apalagi sama sifatnya. Cuman yaa namanya sekelas, gue jadi ga enak. Belom lagi omongan temen-temen kelas.”
“Tapi lama juga yaaa sampe enam bulan.”
“Gue juga ga tau, kirain cuman bertahan seminggu.”
“Buset, parah juga lo Put, hahaha. Berarti lo ngejalaninnya juga agak kepaksa dong.”
“Yaaa gitu deh.” Jawab Putri, gue harap itu jawaban yang sebenarnya. “Eh, ngomong-ngomong kepaksa, dia juga kadang sering ngajak nongkrong gue sama temen-temen-temennya.”
“Temen-temennya? Maksud lo?”
“Iya, temen-temennya.”
Seketika tawa gue meledak mendengar pernyataan Putri. Gue tau ini ga seharusnya gue lakukan, tapi gue bener-bener ga bisa nahan ketawa. Ngebayanginnya aja udah ngebuat pengen ketawa. Sumpah, kalau gue cuman sekedar temen dan ga punya perasaan apa-apa pasti Putri udah gue cak-cakin abis, wkwkwk.
“Iiiihhhhh, tuh kan, lo mah malah ketawa. Orang lagi cerita.”
“Hahahaha, sorry sorry Put, gue ga bisa ngebayangin lo nongkrong sama anak-anak sapel, hahaha.”
“Auh ah, bete gue.” Kata Putri ngambek, tapi itu malah ngebuat gue makin cekikikan. “Treya! Udah dong ketawanya, ah nyesel deh gue cerita sama lo.”
“Hahaha iya Put iya, sorry sorry, hihihi.”
Akhirnya kita lanjutin makan dengan keadaan Putri yang masih ngambek, dan gue yang masih mencoba menahan ketawa. Ga lama kemudian makanan gue udah abis, tapi makanan Putri masih ada sisa setengah, dan dia udah keliatan kaya udah males-malesan makannya.
“Kenyang Put?” Tanya gue, Putri cuman menjawabnya dengan mengangguk. “Gue abisin sini.”
“Nih abisin.” Akhirnya gue makan nasi sama ayamnya Putri, untung sambelnya masih sisa banyak. “Ga kepedesan apa lo Tre makan sambel segitu, gue aja kepedesan.” Emang Porsi ayam sama sambel sisa makanannya Putri agak ga berimbang.
“Gimana dong, doyan.”
“Nanti kapan-kapan gue bikinin yang pedes banget, sampe lo mencret.” Kata Putri dengan nada kesel.
“Jahat banget lo Put.” Jawab gue merajuk dan sambil memelas, dan itu cukup untuk membuat Putri ketawa. Untung lah, suasana hati dia udah mendingan, meskipun harus dengan ngatain gue.
Selesai makan kita berdua langsung beres-beres dan cuci tangan. Untung Putri bawa hand sanitizer, soalnya gue rada gedek sama warung pecel yang ga nyediain sabun, atau kobokan yang ga ada jeruk nipis, bau amisnya awet. Untung gue makan sama Putri, jadi dia pasti bawa, kalau sama temen kelasan gue jangan harap ada yang bawa, soalnya belom sempet betak, wkwkwk.
“Abis ini mau kemana lagi? Lo Langsung mau balik?” Tanya gue waktu kita ada di sebelah motor.
“Ga tau, mau balik cepet juga males.” Gue ga tau Putri beneran males balik, atau kalau gue kegeeran bisa beranggapan kalau dia masih mau menghabiskan waktu dengan gue.
“Main ke rumah Bobby aja yuk, mau ga? lagi rame anak kelasan gue.” Ini alesan yang aneh sih buat ngajak seorang cewek main, apa lagi ke tongkrongan cowok. Tapi ngedenger Putri yang diajak mantannya ke tongkrongan dia gue jadi ngiri.
“Ga enak gue.”
“Anak-anak sekolah kita juga si.”
“Yauda.”
Di perjalanan kita cukup ngobrol banyak, khususnya tentang kelanjutan masa SMA nanti, masih berandai-andai sih, tapi ngayal aja dulu, mumpung gratis.
Sampai di rumah Bobby ternyata temen-temen gue lagi pada nongkrong di depan rumah Bobby. Tumben-tumbenan nih pada nongkrong di depan ga di balkon.
“Dah cabut-cabut, ada yang bawa cewek, males gue.” Kata Rico waktu gue baru aja standarin motor.
“Napa sih lo, sekali-sekali.”
Gue tau itu cuman bercandaan, soalnya kalau beneran gue yang ga enak sama Putri. Dan tanpa diduga tanpa disangka-sangka, temen-temen gue yang lain yang ga pernah sekelas sama Putri langsung sok pada akrab dan perhatian sama Putri. Pada sok kenalan lah padahal udah kenal, Sam yang nawarin tempat duduk, Iman yang nawarin minum, Anda yang nawarin rokok. Enggak, yang terakhir bercanda.
Tapi emang para begundal penyamun ini, langsung nganggep gue kaya tukang ojek yang nganterin pelanggan, abis itu ga disapa sama sekali.
“Eh, gue ajak Dinda kali yeee, biar Putri ada temennya, soalnya tadi dia minta dijemput di rumah temennya.”
“Boleh Co boleh.” Sahut Putri antusias.
Kita ngobrol-ngobrol banyak di depan rumah Bobby, yaaa selayaknya orang nongkrong aja, ngobrol, bercanda, cak-cakan, udah menjadi makanan sehari-hari. Tapi saat itu lebih tepatnya temen-temen gue sih yang pada ngajak ngobrol Putri, gue tau bukannya mereka mau pdkt atau cari perhatian, emang pada demen aja godain Putri dan cak-cakin gue. Sementara gue hanya melihatnya sambil sesekali menimpali.
Lagi nongkrong begini sambil ngeliat Rico ngerokok mulut gue jadi asem juga, lebih ga gabut sih cuman jadi pennton doang. Akhirnya gue meminta rokok pada Rico kemudian menyulutnya dengan korek, koreknya minjem juga. Gue tipe perokok keempat yang cuman modal paru-paru, wkwkwk. Rico juga langsung ngasih tanpa bertanya apa-apa.
“Lo ngerokok Tre?” Tanya Putri yang sebelumnya berdiri membelakangi gue.
“Iya, sekali-sekali doang, iseng.” Jawab gue santai.
Tanpa diduga-duga Putri menghampiri gue dan mengambil rokok yang berada di tangan gue, kemudian membuangnya ke tanah lalu menginjaknya. “Gak suka.” Katanya dengan nada marah.
“Iya iya.” Gue hanya bisa menjawab iya dengan memelas. Kalau orang lain yang melakukan hal tersebut mungkin gue udah marah-marah karena ngatur-ngatur gue. Tapi kalau Putri, gue bisa apa-_-, lagian awalnya juga gue bukan perokok sih.
“Tau tuh Put, omelin aja si Treya.”
“Emang Put, udah dibilangin jangan.” Begitulah sahitan dari teman-teman gue sambil menahan tawa, sementara gue cuman bisa melihat mereka sambil merasa dongkol.
Setelah itu Putri kembali ngobrol dengan mereka, dan ga lama Dinda Pun dateng ke rumah Bobby. Kedua cewek ini berkenalan dan malah jadi asik ngobrol berduaan. Gak tau bahas apaan, omongan cewek dah pokoknya. Hari itu kita nongkrong di rumah Bobby sampe menjelang sore sebelum memutuskan buat balik.
efti108 dan 19 lainnya memberi reputasi
20