- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:

Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 23:12
jundi666 dan 70 lainnya memberi reputasi
71
81.7K
Kutip
622
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#88
gatra 17
Quote:
BERGEGAS seperti diburu waktu Sukmo Aji memasukkan serbuk yang lain ke dalam takir daun pisang yang berisi air itu. Sementara itu, Sukmo Aji telah menuangkan air yangsudah diberinya obat itu ke mulut Miranti. Perlahan-lahan,setitik demi setitik air itu masuk ke dalam kerongkongannya.
“Untunglah tidak terlambat,” berkata Sukmo Aji di dalam hatinya, ”agaknya di kademangan ini ada seorang yang mengerti benar tentang racun. Racun yang lemah ini agaknya tepat sekali dipergunakannya untuk membunuh Miranti yang sedang dalam masa pemulihan tanpa kecurigaan dan tanpa menumbuhkan tanda-tanda yang jelas di tubuhnya.”
Namun tanpa sesadarnya Sukmo Aji menggeram, ”Keterlaluan.”
Sebuah perasaan yang aneh telah melonjak di dalam dada Sukmo Aji. Betapa perasaannya lapang seluas lautan, tetapi usaha yang dilakukan sudah usaha pembunuhan atas seorang perempuan yang lemah. Tengah terbaribg sakit, sehingga darahnya menjadi panas karenanya. Namun pemuda yang sudah menyandang gelar tumenggung anom dari Pajang itu masih berusaha menahan diri. Ia tidak boleh hanyut dalam arus perasaannya, kalau ia tidak mau gagal sama sekali. Sukmo Aji mengerutkan keningnya ketika ia melihat Miranti menggeliat. Kemudian perlahan-lahan membuka matanya dan tiba-tiba saja ia berusaha bangkit.
”Jangan bangkit.”
Miranti tidak dapat menjawab. Tetapi sesuatu telah dimuntahkannya dari mulutnya. Cairan yang berwarna hitam kemerah-merahan.
“ Miranti…”, Demang Pucang Kembar tersentak kaget.
“ Apa yang kau lakukan pada anakku orang Pajang?! “
“Tenanglah,” desis Sukmo Aji.
Miranti memandang seseorang yang duduk di depannya dengan mata yang buram. Seseorang yang belum pernah dilihat sebelumnya. Sukmo Ajimengangguk-anggukkan kepalanya. Pemuda itu sunggingkan senyum tipis di sudut bibirnya.Ia menjadi semakin tenang, ia yakin bahwa Miranti akan dapat disembuhkannya. Lalu gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah ayahnya. Demang Pucang Kembar yang masih duduk dengan tegang dan gelisah. Sementara beberapa pembantu kepercayaannya duduk terpaku seolah tidak berani untuk bernafas. Perlahan Miranti kembali merebahkan dirinya. Lalu terpejam. Tidur.
“Maaf Ki Demang, sepertinya den ayu Miranti sudah minum minuman atau mungkin makan makanan yang keliru,“berkata Sukmo Aji.
“ Racun itu dicampurkan melalui makanan ataupun minuman. Lihatlah masih sedikit tersisa di mangkuk tadi “
”Dari mana Ki Demang mendapatkan makanan itu?”
Tiba-tiba seorang pembantu kademangan masuk menghadap. Dia melapor bahwa dua orang perempuan tua yang berkerja di dapur pada malam di mana Miranti diduga diracun orang telah dipanggil dan kini berada di luar.
“Suruh kedua perempuan itu masuk!” perintah Demang Pucang Kembar.
Dua perempuan, yang satu sudah berusia lanjut dan seorang lagi masih terlihat muda itu kemudian masuk dengan wajah pucat penuh ketakutan.
“Kalian berdua tak perlu takut. Mbok Rongkot dan kau Semi. Katakan terus terang. Setiap hari kalian berdua yang memasak makanan sekaligus menyiapkan untuk Miranti. Adakah kalian melihat suatu keanehan?"
“Kami sama sekali tidak melihat keanehan apa-apa Ki Demang,” jawab dua perempuan itu berbarengan.
“Jangan hanya menjawab saja! Pikir dulu baik-baik Mbok Rongkot! Kamu telah mengabdi disini puluhan tahun. Bahkan sejak mendiang istriku masih ada. Cobalah ingat –ingat apa yang terjadi di dapur waktu itu ” Ki Demang berusaha untuk menahan kesabarannya.
Salah seorang perempuan yang masih muda, yakni sang juru masak yang bernama Semi tampak ketakutan sekali. Suaranya gemetar ketika berkata,Ki Demang beringsut mendekat dan memegang bahu Semi dan berkata, “Tak ada yang akan menghukummu. Kami hanya ingin tahu, apa cuma itu keanehan yang kalian temui malam, pagi atau siang itu?"
“ Maaf Ki Demang, saya baru ingat. Ada keanehan lain...” yang menjawab Mbok Rongkot.
“Bagus! Ceritakan apa itu!” ujar Kertopati pula.
“Malam itu... setelah makanan siap, tiba-tiba Ki Pangestu masuk ke dapur...”
“Saya ingat sekarang!” menyambung Semi. “Ki Pangestu bicara sebentar lalu menyuruh saya pulang karena katanya tugas saya selesai. Saya meninggalkan dapur tapi balik kembali karena selendang saya ketinggalan. Ketika saya masuk ke dalam dapur lagi, saya lihat Ki Pangestu masih di situ. Dia tengah menuangkan sesuatu ke dalam makanan untuk Den Ayu Miranti...”
“Bagaimana tahu kalau itu hidangan untuk Den Ayu Miranti? Bisa saja itu makanan untuk Ki Demang?” tanya Kertopati.
“Karena makanan untuk Ki Demang sudah dibawa oleh Semi terlebih dahulu. Dan Ki Pangestu memang sudah mengatur demikian...”
Bilik itu jadi sunyi senyap. Beberapa pasang mata saling pandang. Sukmo Aji hanya bisa menghela nafas panjang. Kertopati mendekati Demang Pucang Kembar dan berkata, “Ki Demang, ijinkan saya menyusul Pangestu. Saya yakin bahwa Pangestu pelakunya!”
Ki Demang mengangguk. Dari mulutnya meluncur kata-kata, “Memang kita harus segera menangkap Pangestu. Aku ingin mendengar pengakuannya....”
“Saya berangkat sekarang Ki Demang. Yang paling penting keadaan Den Ayu Miranti sudah melewati masa yang berat. Biarlah sementara waktu Sukmo Aji yang akan merawat dan menyiapkan reramuan obat...”
“Ya, kau pergilah Kertopati. Bawa beberapa pemuda kademangan yang memiliki kemampuan olah kanuragan yang mumpuni. Aku sangat yakin Pangestu tidak akan dengan suka rela untuk di bawa kembali pulang ke Pucang Kembar!”
“Untunglah tidak terlambat,” berkata Sukmo Aji di dalam hatinya, ”agaknya di kademangan ini ada seorang yang mengerti benar tentang racun. Racun yang lemah ini agaknya tepat sekali dipergunakannya untuk membunuh Miranti yang sedang dalam masa pemulihan tanpa kecurigaan dan tanpa menumbuhkan tanda-tanda yang jelas di tubuhnya.”
Namun tanpa sesadarnya Sukmo Aji menggeram, ”Keterlaluan.”
Sebuah perasaan yang aneh telah melonjak di dalam dada Sukmo Aji. Betapa perasaannya lapang seluas lautan, tetapi usaha yang dilakukan sudah usaha pembunuhan atas seorang perempuan yang lemah. Tengah terbaribg sakit, sehingga darahnya menjadi panas karenanya. Namun pemuda yang sudah menyandang gelar tumenggung anom dari Pajang itu masih berusaha menahan diri. Ia tidak boleh hanyut dalam arus perasaannya, kalau ia tidak mau gagal sama sekali. Sukmo Aji mengerutkan keningnya ketika ia melihat Miranti menggeliat. Kemudian perlahan-lahan membuka matanya dan tiba-tiba saja ia berusaha bangkit.
”Jangan bangkit.”
Miranti tidak dapat menjawab. Tetapi sesuatu telah dimuntahkannya dari mulutnya. Cairan yang berwarna hitam kemerah-merahan.
“ Miranti…”, Demang Pucang Kembar tersentak kaget.
“ Apa yang kau lakukan pada anakku orang Pajang?! “
“Tenanglah,” desis Sukmo Aji.
Miranti memandang seseorang yang duduk di depannya dengan mata yang buram. Seseorang yang belum pernah dilihat sebelumnya. Sukmo Ajimengangguk-anggukkan kepalanya. Pemuda itu sunggingkan senyum tipis di sudut bibirnya.Ia menjadi semakin tenang, ia yakin bahwa Miranti akan dapat disembuhkannya. Lalu gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah ayahnya. Demang Pucang Kembar yang masih duduk dengan tegang dan gelisah. Sementara beberapa pembantu kepercayaannya duduk terpaku seolah tidak berani untuk bernafas. Perlahan Miranti kembali merebahkan dirinya. Lalu terpejam. Tidur.
“Maaf Ki Demang, sepertinya den ayu Miranti sudah minum minuman atau mungkin makan makanan yang keliru,“berkata Sukmo Aji.
“ Racun itu dicampurkan melalui makanan ataupun minuman. Lihatlah masih sedikit tersisa di mangkuk tadi “
”Dari mana Ki Demang mendapatkan makanan itu?”
Tiba-tiba seorang pembantu kademangan masuk menghadap. Dia melapor bahwa dua orang perempuan tua yang berkerja di dapur pada malam di mana Miranti diduga diracun orang telah dipanggil dan kini berada di luar.
“Suruh kedua perempuan itu masuk!” perintah Demang Pucang Kembar.
Dua perempuan, yang satu sudah berusia lanjut dan seorang lagi masih terlihat muda itu kemudian masuk dengan wajah pucat penuh ketakutan.
“Kalian berdua tak perlu takut. Mbok Rongkot dan kau Semi. Katakan terus terang. Setiap hari kalian berdua yang memasak makanan sekaligus menyiapkan untuk Miranti. Adakah kalian melihat suatu keanehan?"
“Kami sama sekali tidak melihat keanehan apa-apa Ki Demang,” jawab dua perempuan itu berbarengan.
“Jangan hanya menjawab saja! Pikir dulu baik-baik Mbok Rongkot! Kamu telah mengabdi disini puluhan tahun. Bahkan sejak mendiang istriku masih ada. Cobalah ingat –ingat apa yang terjadi di dapur waktu itu ” Ki Demang berusaha untuk menahan kesabarannya.
Salah seorang perempuan yang masih muda, yakni sang juru masak yang bernama Semi tampak ketakutan sekali. Suaranya gemetar ketika berkata,Ki Demang beringsut mendekat dan memegang bahu Semi dan berkata, “Tak ada yang akan menghukummu. Kami hanya ingin tahu, apa cuma itu keanehan yang kalian temui malam, pagi atau siang itu?"
“ Maaf Ki Demang, saya baru ingat. Ada keanehan lain...” yang menjawab Mbok Rongkot.
“Bagus! Ceritakan apa itu!” ujar Kertopati pula.
“Malam itu... setelah makanan siap, tiba-tiba Ki Pangestu masuk ke dapur...”
“Saya ingat sekarang!” menyambung Semi. “Ki Pangestu bicara sebentar lalu menyuruh saya pulang karena katanya tugas saya selesai. Saya meninggalkan dapur tapi balik kembali karena selendang saya ketinggalan. Ketika saya masuk ke dalam dapur lagi, saya lihat Ki Pangestu masih di situ. Dia tengah menuangkan sesuatu ke dalam makanan untuk Den Ayu Miranti...”
“Bagaimana tahu kalau itu hidangan untuk Den Ayu Miranti? Bisa saja itu makanan untuk Ki Demang?” tanya Kertopati.
“Karena makanan untuk Ki Demang sudah dibawa oleh Semi terlebih dahulu. Dan Ki Pangestu memang sudah mengatur demikian...”
Bilik itu jadi sunyi senyap. Beberapa pasang mata saling pandang. Sukmo Aji hanya bisa menghela nafas panjang. Kertopati mendekati Demang Pucang Kembar dan berkata, “Ki Demang, ijinkan saya menyusul Pangestu. Saya yakin bahwa Pangestu pelakunya!”
Ki Demang mengangguk. Dari mulutnya meluncur kata-kata, “Memang kita harus segera menangkap Pangestu. Aku ingin mendengar pengakuannya....”
“Saya berangkat sekarang Ki Demang. Yang paling penting keadaan Den Ayu Miranti sudah melewati masa yang berat. Biarlah sementara waktu Sukmo Aji yang akan merawat dan menyiapkan reramuan obat...”
“Ya, kau pergilah Kertopati. Bawa beberapa pemuda kademangan yang memiliki kemampuan olah kanuragan yang mumpuni. Aku sangat yakin Pangestu tidak akan dengan suka rela untuk di bawa kembali pulang ke Pucang Kembar!”
Quote:
HUJAN TURUN rintik-rintik dan tiupan angin mulai terasa kencang dan dingin menyergap Kertopati dan rombongannya. Sudah lama rombongan itu berguncang –guncang di atas punggung kuda. Beberapa dusun telah terlewati. Setelah sebelumnya mampir di dusun Kleringan tempat Ki Galih Asem berada. Disana hanya ditemui kesibukan penduduk dusun menyiapkan segala ubo rampenya untuk mengurus jenazah Ki Galih Asem beserta istri. Setelah singgah sejenak dan mengucapkan sepatah dua patah rasa bela sungkawa. Rombongan Kertopati segera meninggalkan dusun Kleringan.
Jalan tanah yang mereka lalui menjadi licin. Ternyata kegelapan malam datang lebih cepat dari yang diperkirakan.
“Pacu kuda kalian lebih cepat! Aku sangat yakin Pangestu bersekongkol dengan benggol rampok Kelabang Ijo” teriak Kertopati.
Semua anggota rombongan menggebrak pinggul kuda masing-masing. Sepuluh ekor kuda melesat kencang seperti anak panah mengejar setan! Lima puluh langkah di depan tiba-tiba terjadilah malapetaka yang tidak mereka duga.
Jalan tanah yang mereka tempuh mendadak sontak ambrol begitu kaki-kaki kuda menginjaknya. Sebuah lubang besar menganga. Sepuluh orang berteriak kaget. Sepuluh ekor kuda meringkik keras. Kuda- kuda dan sepuluh orang itu langsung amblas masuk ke dalam lubang, saling tumpang tindih. Di dasar lubang menunggu seratus tonggak bambu runcing! Jerit pekik kesakitan bersatu padu dengan ringkik-ringkik kuda!
Enam orang pemuda Pucang Kembar langsung menemui ajal ditambus bambu runcing pada bagian dada atau perut. Salah seorang melotot menggapai leher yang tertembus tonggak bambu hingga tembus ke tengkuk. Darah menyembur berhamburan. Dua orang pemuda terhempas ke dalam lubang, langsung ditambus enam potongan bambu runcing. Sepuluh ekor kuda melejang-lejang sambil meringkik sementara darah mengucur deras dari bagian tubuh yang tertusuk bambu. Salah seorang pemuda masih untung hanya pahanya yang terserempet ujung bambu runcing. Tubuhnyabersandar di dinding lubang. Tapi luka pahanya mendadak sontak menyebabkan rasa panas di sekujur tubuh. Dia mengerang pendek, berusaha bangkit tapi jatuh lagi karena kaki dan tangannya laksana lumpuh!
Kertopati yang paling untung dari semua rombongan. Tubuhnya selamat karena jatuh di atas kuda yang masuk ke lubang lebih dulu. Binatang itu sendiri setelah menggelepar beberapa kali meregang nyawa mandi darah akibat ditembus enam belas potong bambu runcing. Kertopati berusaha melepaskan kaki kirinya yang terjepit di antara dua tubuh kuda yang sudah mati. Begitu kakinya terlepas, maksudnya segera melompat dari lubang neraka itu. Namun niatnya serta merta dibatalkan katika dia melihat beberapa sosok tubuh berkelebatan di dalam kegelapan. Disusul oleh suara tertawa bergelak.
Kertopati langsung jatuhkan diri kembali, menyelinapkan diri di antara dua tubuh kuda yang berlumuran darah, berpura-pura mati! Tapi diam-diam kedua matanya dibuka sedikit demi sedikit untuk melihat siapa orang-orang itu. Ternyata mereka ada empat orang. Dan keempatnya menutupi wajah masing-masing dengan kain hitam. Hanya bagian mata saja yang tampak!
“Kalau Kelabang Ijo sudah bertindak, tidak akan ada yang lolos dari maut! Ha-ha-ha!” orang yang tadi mengumbar suara tawa berkata.
“ Mereka semua mati sesuai dengan yang dikehendaki! Pekerjaan selesai, kita selangkah lagi akan menguasai Kademangan Pucang Kembar...!”
Lalu orang –orang berkedok kain hitam itu meninggalkan lubang itu. Tubuh mereka segera lenyap di telan kegelapan malam.
Jalan tanah yang mereka lalui menjadi licin. Ternyata kegelapan malam datang lebih cepat dari yang diperkirakan.
“Pacu kuda kalian lebih cepat! Aku sangat yakin Pangestu bersekongkol dengan benggol rampok Kelabang Ijo” teriak Kertopati.
Semua anggota rombongan menggebrak pinggul kuda masing-masing. Sepuluh ekor kuda melesat kencang seperti anak panah mengejar setan! Lima puluh langkah di depan tiba-tiba terjadilah malapetaka yang tidak mereka duga.
Jalan tanah yang mereka tempuh mendadak sontak ambrol begitu kaki-kaki kuda menginjaknya. Sebuah lubang besar menganga. Sepuluh orang berteriak kaget. Sepuluh ekor kuda meringkik keras. Kuda- kuda dan sepuluh orang itu langsung amblas masuk ke dalam lubang, saling tumpang tindih. Di dasar lubang menunggu seratus tonggak bambu runcing! Jerit pekik kesakitan bersatu padu dengan ringkik-ringkik kuda!
Enam orang pemuda Pucang Kembar langsung menemui ajal ditambus bambu runcing pada bagian dada atau perut. Salah seorang melotot menggapai leher yang tertembus tonggak bambu hingga tembus ke tengkuk. Darah menyembur berhamburan. Dua orang pemuda terhempas ke dalam lubang, langsung ditambus enam potongan bambu runcing. Sepuluh ekor kuda melejang-lejang sambil meringkik sementara darah mengucur deras dari bagian tubuh yang tertusuk bambu. Salah seorang pemuda masih untung hanya pahanya yang terserempet ujung bambu runcing. Tubuhnyabersandar di dinding lubang. Tapi luka pahanya mendadak sontak menyebabkan rasa panas di sekujur tubuh. Dia mengerang pendek, berusaha bangkit tapi jatuh lagi karena kaki dan tangannya laksana lumpuh!
Kertopati yang paling untung dari semua rombongan. Tubuhnya selamat karena jatuh di atas kuda yang masuk ke lubang lebih dulu. Binatang itu sendiri setelah menggelepar beberapa kali meregang nyawa mandi darah akibat ditembus enam belas potong bambu runcing. Kertopati berusaha melepaskan kaki kirinya yang terjepit di antara dua tubuh kuda yang sudah mati. Begitu kakinya terlepas, maksudnya segera melompat dari lubang neraka itu. Namun niatnya serta merta dibatalkan katika dia melihat beberapa sosok tubuh berkelebatan di dalam kegelapan. Disusul oleh suara tertawa bergelak.
Kertopati langsung jatuhkan diri kembali, menyelinapkan diri di antara dua tubuh kuda yang berlumuran darah, berpura-pura mati! Tapi diam-diam kedua matanya dibuka sedikit demi sedikit untuk melihat siapa orang-orang itu. Ternyata mereka ada empat orang. Dan keempatnya menutupi wajah masing-masing dengan kain hitam. Hanya bagian mata saja yang tampak!
“Kalau Kelabang Ijo sudah bertindak, tidak akan ada yang lolos dari maut! Ha-ha-ha!” orang yang tadi mengumbar suara tawa berkata.
“ Mereka semua mati sesuai dengan yang dikehendaki! Pekerjaan selesai, kita selangkah lagi akan menguasai Kademangan Pucang Kembar...!”
Lalu orang –orang berkedok kain hitam itu meninggalkan lubang itu. Tubuh mereka segera lenyap di telan kegelapan malam.
Quote:
KERTOPATI memanggul tubuh yang terasa sangat panas itu dan berlari sekencang yang bisa dilakukannya. Orang yang dipanggul tiada hentinya mengerang dan meminta, “Kakang Kertopati, lebih baik kau bunuh aku saat ini juga! Rasa panas yang memanggang dan menyengat pahaku ini tak bisa kutahan lagi...”
“Sembada, sebagai seorang pengawal kademangan yang terpilih dan terlatih kau harus sanggup bertahan! Sebentar lagi kita akan sampai di tujuan!”
“Jika Kakang membunuhku saat ini, kakang akan terlepas dari beban dan bisa sampai di tujuan. Jangan perdulikan diriku. Pentingkan tugas yang ada di pundak kakang!”
Kertopati terharu mendengar ucapan pemuda itu.
“ Tugas yang dibebankan oleh Ki Demang di pundak kita semua telah gagal. Delapan kawan kita terbunuh di dasar lubang itu. Lupakan sejenak tugas itu. Kita harus segera menemukan desa terdekat dan merawat luka –luka mu di sana !” meluncur kata-kata itu dari mulut Kertopati.
Meskipun tenaganya sudah terkuras, tapi semangatnya seperti memberi kekuatan baru untuk terus berlari sambil memanggul tubuh pemuda itu.
Di kejauhan tampak nyala lampu kecil sekali berkedip -kedip di tengah sawah. Ke situlah Kertopati berlari memanggul tubuh pemuda itu. Untung saja daerah itu tidak turun hujan. Kalau tidak, berlari di pematang sawah yang licin tentu akan menyusahkannya. Baru saja Kertopati hendak melangkah. Telinganya yang tajam mendengar derap kaki kuda mendekat.
“ Ada orang datang “ , Kertopati setengah berbisik.
“ Jangan –jangan gerombolan Kalabang Ijo Kakang “
“ Aku rasa bukan Sembada, hanya seekor kuda saja. Tetapi, ada baiknya kita sembunyi dahulu. Kita perlu memastikan siapa orang berkuda itu “
Lantas keduanya segera menepi. Kedua mata Kertopati tersangkut pada sebuah parit yang agak dalam. Tanpa berpikir lagi, maka dengan tergesa - gesa ia meloncat turun. Demikian tergesa-gesanya sehingga ia jatuh terjerembab ditanah yang becek sembari masih mendukung Sembada. Tertatih-tatih keduanya bangun, kemudian berlari-lari kecil terjun kedalam parit, sehingga pakaian yang basah menjadi semakin kuyup. Tetapi Kertopati dan Sembada sama sekali tidak menghiraukannya lagi.Kertopati seakan-akan membeku didalam air parityang dingin. Ia melihat seekor kuda lari dimuka hidungnya. Dilihatnya pula anak muda berbadan tegap duduk merapat diatas punggung kuda itu seperti sedang berpacu.
Dalam keremangan cahaya bulan yang mulai menyembul di balik awan mendung ia dapat mengenal, bahwa penunggang kuda itu adalah anak muda yang pernah dikenalnya. Sukmo Aji.
“Sembada, sebagai seorang pengawal kademangan yang terpilih dan terlatih kau harus sanggup bertahan! Sebentar lagi kita akan sampai di tujuan!”
“Jika Kakang membunuhku saat ini, kakang akan terlepas dari beban dan bisa sampai di tujuan. Jangan perdulikan diriku. Pentingkan tugas yang ada di pundak kakang!”
Kertopati terharu mendengar ucapan pemuda itu.
“ Tugas yang dibebankan oleh Ki Demang di pundak kita semua telah gagal. Delapan kawan kita terbunuh di dasar lubang itu. Lupakan sejenak tugas itu. Kita harus segera menemukan desa terdekat dan merawat luka –luka mu di sana !” meluncur kata-kata itu dari mulut Kertopati.
Meskipun tenaganya sudah terkuras, tapi semangatnya seperti memberi kekuatan baru untuk terus berlari sambil memanggul tubuh pemuda itu.
Di kejauhan tampak nyala lampu kecil sekali berkedip -kedip di tengah sawah. Ke situlah Kertopati berlari memanggul tubuh pemuda itu. Untung saja daerah itu tidak turun hujan. Kalau tidak, berlari di pematang sawah yang licin tentu akan menyusahkannya. Baru saja Kertopati hendak melangkah. Telinganya yang tajam mendengar derap kaki kuda mendekat.
“ Ada orang datang “ , Kertopati setengah berbisik.
“ Jangan –jangan gerombolan Kalabang Ijo Kakang “
“ Aku rasa bukan Sembada, hanya seekor kuda saja. Tetapi, ada baiknya kita sembunyi dahulu. Kita perlu memastikan siapa orang berkuda itu “
Lantas keduanya segera menepi. Kedua mata Kertopati tersangkut pada sebuah parit yang agak dalam. Tanpa berpikir lagi, maka dengan tergesa - gesa ia meloncat turun. Demikian tergesa-gesanya sehingga ia jatuh terjerembab ditanah yang becek sembari masih mendukung Sembada. Tertatih-tatih keduanya bangun, kemudian berlari-lari kecil terjun kedalam parit, sehingga pakaian yang basah menjadi semakin kuyup. Tetapi Kertopati dan Sembada sama sekali tidak menghiraukannya lagi.Kertopati seakan-akan membeku didalam air parityang dingin. Ia melihat seekor kuda lari dimuka hidungnya. Dilihatnya pula anak muda berbadan tegap duduk merapat diatas punggung kuda itu seperti sedang berpacu.
Dalam keremangan cahaya bulan yang mulai menyembul di balik awan mendung ia dapat mengenal, bahwa penunggang kuda itu adalah anak muda yang pernah dikenalnya. Sukmo Aji.
Diubah oleh breaking182 07-07-2021 09:35
itkgid dan 19 lainnya memberi reputasi
20
Kutip
Balas