Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

husnamutiaAvatar border
TS
husnamutia
Aphrodite, Di Balik Senyum Sang Dewi
Kumpulan Cerpen

Aphrodite, Di Balik Senyum Sang Dewi

Ketika cinta dan kesetiaan dipertaruhkan pada ketidakpastian.


Aphrodite, Di Balik Senyum Sang Dewi

Lelaki Senja Di Ujung Stasiun


Setiap senja tiba, lelaki itu selalu datang ke stasiun. Kemudian duduk di bangku panjang paling ujung. Sesekali ia beranjak kemudian duduk lagi.

Sepertinya ia tengah menantikan seseorang, tampak dari gerak-geriknya. Lelaki itu akan berlari ke depan kereta yang berhenti. Kemudian, berdiri meneliti wajah-wajah yang baru saja tiba. Ia kemudian menarik diri, kembali duduk dengan wajah kecewa.

"Siapa yang tengah dinantinya?" Setiap tanya dari orang-orang di stasiun yang melihat tingkah lelaki itu.

"Sudah lima belas tahun ia begitu. Gara-gara cewek. Makanya kalau demen sama cewek jangan terlalu, nanti jadi gini," ucap Bapak penjual Es Dawet sambil menempelkan jari di jidatnya.

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya. "Begitu besar cinta dan kesetiaan pria itu," gumamku.

"Dulu dia ganteng loh mas," ucap Mbok gorengan asal Jawa, yang mangkal di pinggir stasiun dengan semangat. Nampak semburat senyum nangkal di ujung bibirnya.

"Dulu, Ibu naksir ya?" spontan aku membalas candaan itu sambil menahan tawa.

"Hahaha itu dulu loh, sekarang ya ogah. Mending sing waras, senajan buluk," jawabnya lagi sembari melirik lelaki paruh baya yang baru datang membawa tremos es. Mungkin, ia suaminya.

Dari jauh, lelaki di ujung stasiun itu masih duduk termangu. Merah saga semakin jelas terlihat, sebentar lagi Maghrib tiba dan malam pun datang.

"Sampai kapan lelaki itu akan menunggu?"

Sudah seminggu lamanya, mondar-mandir di stasiun ini hanya untuk menyelesaikan tugas akhir. Kini, aku justru semakin tertarik lebih lama memahami kehidupan jalanan, terlebih dengan lelaki itu.

Lelaki itu nyaris tak pernah bicara dengan siapa pun. Bagiku ia cermin kesetiaan, tetapi kadang pula logikaku menentang. Kasihan, ya, lelaki itu telah mempertaruhkan cinta dan kesetiaan pada sebuah ketidak pastian.

Tahukah kau apa yang kau lakukan itu
Tahukah kau siksa diriku
Bertahun kunantikan jawaban dirimu
Bertahun-tahun ku menunggu


Hampir saja kopi di tangan tumpah, saat seorang pengamen tiba-tiba bernyanyi nyaring di sampingku.

"Terima kasih," ucap pemuda ceking berkas oblong warna hitam pudar, sambil menyambar uang dua ribu yang kusodorkan sambil berlalu.

Dari bangku kedai kopi, aku masih betah mengawasi lelaki bertopi yang nyaris menutupi sebagian wajahnya. Lelaki itu tampak tengah mencoret-coret sesuatu. Membuatku tergerak untuk mendekatinya.

Ia tak bereaksi saat aku mendekatinya. Benar seperti dugaanku, ia tengah menulis sesuatu di sebuah buku tulis.

Baru saja hendak menyapa, lelaki itu bangkit setelah merobek kertas yang telah ditulisnya dan melemparkan ke tong sampah tak jauh dari tempatnya duduk.

Lelaki itu kembali diam, memandang jauh ke rel kerata, dengan tatapan kosong dan hampa.

Aku mengambil kertas yang baru saja di lemparkan lelaki itu. Diam-diam melipat dan memasukannnya ke kantong. Sambil ngeloyor ke mushola di ujung belakang stasiun.

Setelah shalat Maghrib, dan mengikat tali sepatu di teras. Aku menyempatkan membuka selembar kertas yang kupungut dari tempat sampah tadi. Pelan tulisan tangan itu mulai kubaca.

Dear Natalie

Di sini aku masih menunggumu, turun dari kereta dan melambaikan tangan.

Dengan tangan terbuka, kan kusambut kedatanganmu.

Pelukan ini masih menunggumu, pulang seperti yang kau janjikan.

Sudah seribu kereta melintasi senja, hingga tetbit surya, kau masih belum tiba. Lupakah kau pada janjimu?

Atau mungkin kau telah tiba, tetapi kita tak bertemu. Oh maafkan aku, pasti tadi aku beranjak pergi mengisi perutku.

Baiklah sayang aku tak kan pergi barang sejenak pun, dari sini. Hingga kau kembali.

Kekasihmu
Rangga


Aku melipat kertas itu kembali, dan pergi menghampiri lelaki itu. Setelah sebelumnya mbeli sebungkus nasi dan minuman.

Lelaki itu tetap tak bereaksi, saat kuletakan sepaket makan malam untuknya.

Ah, ingin rasanya mendengar lelaki itu bicara, tetapi itu tak mungkin. Kata penjual nasi yang kutemui barusan, lelaki itu sudah kehilangan suaranya sejak ia merana kehilangan kekasihnya karena kecelakaan lima belas tahun silam.

Tamat

Terima kasih sudah mampir.

Thread ini adalah sebuah kumpulan cerpen Aphrodite, Di Balik Senyum Sang Dewi dengan cerpen pertama berjudul Lelaki Senja Di Ujung Stasiun. InsyaAllah ane akan update seminggu sekali. Mohon doa dan suport teman-teman semuanya.


Sumber gambar sampulklik

Gambar dua Pixabay edit by Canva



Quote:
Diubah oleh husnamutia 27-10-2021 19:15
makgendhis
herry8900
jamalfirmans282
jamalfirmans282 dan 59 lainnya memberi reputasi
60
14.2K
716
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
husnamutiaAvatar border
TS
husnamutia
#153
Tak Ada Daun yang Sendirian
Aphrodite, Di Balik Senyum Sang Dewi
Pixabay




Rama hanya diam sambil tersenyum melihat teman-teman sekelasnya bersorak saat diumumkan bahwa dua hari ke depan sekolah libur menyambut Ramadan. Seperti sekumpulan lebah cerita keseruan Bulan Ramadan berloncatan. Suasana kelas menjadi gaduh dan berisik. Tak seperti anak-anak lain, Rama biasa saja menanggapi tentang puasa. Bukan hanya saat Ramadhan. Hampir setiap hari ia dan adiknya berpuasa karena tak ada makanan.

"Rama, kok kamu diam saja! Gak suka bulan Ramadan, ya? Pasti gak kuat puasa ya?" Berondong Raka sambil tertawa meledek, melihat Rama teman sebangkunya yang diam saja. Namun Rama lagi-lagi cuma nyengir tak menjawab pertanyaan itu. Kelas semakin gaduh dan tak terkontrol hingga Pak Herman menggebrak meja, seketika tenang kembali.

Lonceng panjang dua kali berbunyi pertanda jam pelajaran berakhir dan siswa siswi kelas empat SD Batu Hiedeng itu berlari berhamburan keluar kelas. Raka yang masih penasaran melihat ekspresi tenang Rama. Baginya bulan Ramadan sangat menyenangkan. Banyak makanan, lebih enak dari biasanya dan tentu di akhir bulan ia akan dapat baju baru. Raka mengira Rama tak kuat puasa. Jika itu benar, hal itu bisa ia gunakan untuk meledek Rama.

"Rama, bener kan kamu gak kuat puasa?"

Lagi-lagi Rama tak menjawab. Ia lebih memilih berlari meninggalkan Raka sendirian dengan rasa penasarannya. Raka yang bertubuh gempal memilih berjalan pelan dengan kekesalannya karena tak kuat mengimbangi Rama.

Sesampainya di Rumah, Rama langsung berganti pakaian dan mengambil peralatan memulung. Belum sempat membuka pintu, Fitri adiknya muncul dari bilik kamar mengejutkan.

"Kak, Rama mau mulung?" Rama berhenti, kemudian berbalik ke arah Fitri yang berwajah pucat.

"Kak Rama, aku lapar?" Fitri memelas sambil memegangi perutnya.

"Bentar ya dik, Kakak mulung dulu, nanti kalau sudah dapat langsung kakak jual. Nanti uangnya, Kakak beliin makanan?"

"Janji ya, kak!"

Rama tersenyum meyakinkan adiknya. Kemudian bergegas ke luar rumah.

Dulu saat ayahnya masih ada Rama tak pernah memulung. Namun nasib membuatnya mengikuti jejak ayahnya menjadi pemulung. Menyusuri jalanan untuk mencari barang-barang yang bisa ditukar uang. Dengan tekun ia menghampiri tong-tong sampah dan mengorek dengan pengait. Mencari benda-benda yang bisa didaur ulang. Kemudian memasukannya ke dalam karung di punggung kirinya.

Langkahnya terhenti di depan baliho besar di depan sebuah pos ronda. Bergambar dua orang lelaki memakai jas dengan topi hitam di kepalanya. Keduanya tampak tersenyum bahagia sambil merapatkan kedua tangan di depan dada.

"Marhaban yaa Ramadan 1422H. Selamat menunaikan ibadah puasa." Rama berhenti sejenak untuk menarik nafas kemudian melanjutkan membaca.

"Mari tingkatkan ibadah dan beramal di Bulan suci yang penuh rahmat ini. Semoga kita senantiasa mendapatkan ampunan dan Ridha Allah SWT. Aamiin ya rabbal alamiin."

Tatapan mata Rama terhenti pada nama dan foto dalam baliho. Kemudian ia mengambil tas kanvas yang diselipkan di pinggangnya. Ia membandingkan foto dalam baliho dengan foto pada tas kanvas setelah mengambil botol minum dari dalamnya.

"Kami akan mensejahterakan rakyat dan memberantas kemiskinan." Kembali Rama membaca tulisan pada tas dengan lantang. Kemudian ia kembali menyimpan botol minum ke dalamnya dan menyelipkan kembali di pinggang.

Rama memandang lurus ke depan, kemudian kembali berjalan dan memeriksa tong-tong sampah. Mencari botol-botol plastik atau barang apa saja yang punya nilai jual.

"Besok sahur pertama yang spesial ya, Kak!" Rama teringat Fitri adiknya, saat melihat karungnya yang mulai mengembung. "Semoga cukup untuk sore dan malam nanti," ia berdoa sejenak kemudian tersenyum dan meneruskan perjalanan mengitari perumahan.

Terik matahari yang memantul dari setiap benda yang ditimpa membuat hawa semakin panas. Namun Rama seakan mati rasa. Sendal jepit tipis di bawah telapak kakinya seakan hendak lumer terkena panasnya aspal jalan. Baju lusuh yang melekat di tubuhnya semakin basah karena keringat. "Sedikit lagi," bisik dalam hatinya. Spontan otaknya menghitung jika karungnya penuh berapa uang yang kira-kira ia dapatkan.

Menjelang maghrib Rama sampai di depan rumah. Hatinya diliputi bahagia, membayangkan Fitri akan bersorak gembira melihat apa yang ia bawa. Perlahan kebahagiaan itu sirna. Berganti rasa khawatir yang menyeruak begitu saja. Saat ia melihat daun pintu terbuka sedikit serta lampu rumah yang menyala terang, tak seperti biasanya.

"Fit, Fitri," panggilnya sambil menerobos masuk. Degup jantungnya semakin cepat Saat ia dapati beberapa tetangga berada dalam rumahnya.

"Ramadan, kemana saja kamu, Jang, Jang?"

Tak memedulikan yang bertanya, Rama langsung menghampiri Fitri yang tergolek lemah.

"Adikmu, pingsan, Jang!" terang Bi Narsih tetangga sebelah Rama.

"Fit, bangun Fit, Kakak pulang!" Dengan nada bergetar, Rama memangil-manggil nama adiknya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Fitri.

"Kak," sahut Fitri lemah. Mata kecilnya perlahan membuka. Fitri tampak kebingungan. Ia melihat ke sekeliling ruangan.

"Akhirnya, kamu siuman juga, neng," timpal yang lain. Dengan cekatan Bi Narsih memberi Fitri minum dan menyuapinya makan. Hingga perlahan tenaga Fitri pulih kembali. Sinar matanya yang redup kembali berbinar.

Satu persatu para tetangga Rama pamit pulang, setelah Fitri benar-benar pulih. Tampaknya ia pingsan karena lapar. Beruntung waktu itu ada Bi Narsih yang datang menjenguknya.

"Ramadhan, Fitri, lain kali kalau ada apa-apa ngomong, ka Bibi. Kalian kan tahu Bibi sibuk tina pasar," ucap Bi Narsih. Sinar matanya satu memandang kedua bocah tetangganya. Ada rasa bersalah menusuk-nusuk hatinya.

"Iya, Bi. Maaf merepotkan."
Setitik air mata jatuh di sudut mata Bi Narsih, mendengar jawaban Ramadhan. Hatinya trenyuh dengan sikap dewasa yang ditunjukan. Kehidupan pahit membuat bocah itu dewasa sebelum waktunya.

"Ya, sudah. Bibi pamit dulu. Inget ya, lain kali bilang kalau butuh apa-apa. Jangan sungkan, Bibi cuma sibuk, bukan tak peduli sama kalian." Bi Narsih membelai pipi Fitri dan membelai kepala Ramadhan sebelum beranjak pergi.

"Iya, Bi," jawab Ramadan parau. Selama ini merasa hidup sendiri tanpa ada yang peduli. Namun kini ia menyadari kebaikan Bi Narsih dan tetangga-tetangga yang lain.

Sepeninggal Bi Narsih, Ramadan dan Fitri saling berpandangan. Rasa haru dan bahagia menyelimuti keduanya.

"Alhamdulillah ya, Kak," ucap Fitri yang disambut senyuman manis oleh Ramadan.

Tamat

Mutia AH
Ruji, 17 Mei 2021


indrag057
mr..dr
mr..dr dan indrag057 memberi reputasi
2
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.