Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta
Gue memejamkan mata dan meresapi suara angin yang beradu dengan rimbunnya dedaunan sebuah pohon besar di samping gerbong kereta yang sudah terbengkalai. Seperti alunan musik pengantar tidur; desiran angin membuat perlahan demi perlahan kesadaran gue melayang, menembus ruang tanpa batas, ke sebuah dimensi yang tidak beruntas.

"Woy mao magrib! PULANG!" Suara anak perempuan kecil membuyarkan semua mimpi yang rasanya baru saja dimulai.

"Ah, resek lo Ai! Gue baru mau tidur!" Gerutu gue.

"Baru mau tidur dari hongkong! Lo tidur dari siang, Tole!!!"

"Haaah!?"

Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta


Quote:



Itu salah satu pengalaman gue hampir dua dekade lalu. Di saat gue masih sering tidur siang di atap 'bangkai' kereta, di sebuah balai yasa (Bengkel Kereta) milik perusahaan plat merah yang saat itu masih bernama PT. KA. Untuk menghindari amukan 'Babeh' yang disebabkan karena gue membolos ngaji. Sebuah pengalaman, karena sebab dan lain hal, yang sudah pasti tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Oh iya, Nama gue Widi, jika itu terlalu keren; karena gue yakin kata pertama yang keluar dari lidah lo saat menemukan sesuatu yang keren itu adalah Anjay atau Widiiiiii... (krik). Maka you can call me, Anjay. Wait, lo bakal gue gebuk kalo manggil gue Anjay atau Anjayani. So, cukup panggil gue Tole.

"Iya, Anjay... Eh, Tolee."

emoticon-Blue Guy Bata (L)
Gue seorang laki-laki tulen, yang masih masuk dalam golongan Generasi Milenial. Seorang laki-laki keturunan (Sebenernya) Jawa, tapi karena dari gue nongol dari rahim Ibu gue sampe sekarang rasanya gue udah nyatu sama aspal jalanan Ibu Kota maka secara de jure gue menyatakan gue ini anak Betawi. Yang protes gue sarankan segera pamit baik-baik dan siapin surat wasiat!

Sekali lagi gue tegaskan, kalau gue lahir dan besar di Jakarta. Konon Bapak gue menghilang saat gue dilahirkan, sampai usia gue menginjak satu tahun bokap gue di temukan meregang nyawa dengan penuh luka di kali dekat rumah gue sebelum akhirnya meninggal dunia saat hendak di larikan ke rumah sakit. Semenjak saat itu gue hanya tinggal berdua dengan Ibu. Tunggu, lebih tepatnya gue memang sudah sejak lahir tinggal hanya bersama Ibu gue.

Hanya sedikit kenangan tentang Ibu di kepala gue. Sejauh-jauhnya gue mencoba mengingat, hanya Ibu gue yang selalu mengantar gue hingga depan sekolah sebelum akhirnya menjajakan 'permen sagu' dan mainan balon yang sebenarnya mempraktekan bagaimana hukum kapilaritas bekerja. Hanya sebatas itu ingatan gue pada Ibu, karena Ibu harus 'berpulang' pada Semesta sebelum gue mempunyai kemampuan mengingat suatu kejadian secara mumpuni di dalam otak gue. Ya, Ibu gue meninggal di saat gue masih 7 tahun setengah atau di pertengahan kelas 1 yang mana harus membuat gue hidup sebatang kara di tengah "kerasnya" kota Jakarta.

Gue tidak mempunyai keluarga dari Bapak. Konon Bapak gue adalah anak semata wayang dan Konon (lagi) Kakek dari Bapak gue meninggal akibat PETRUS, sedangkan Nenek dari Bapak gue meninggal beberapa bulan setelah Kakek gue.

Satu-satunya keluarga gue hanya Kakak dari Ibu gue, sebut saja Bude Ika. Beliau tinggal di Kota Kebumen Jawa tengah bersama (sebut saja) Pakde Nyoto, suami beliau. Dan mereka mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari 2 perempuan dan satu laki-laki. Yang dalam artian sebenarnya gue masih memiliki keluarga, tapi...

Saat Ibu meninggal gue belum mempunyai kemampuan otak yang mumpuni untuk menggambarkan bagaimana isi hati gue saat itu. Namun yang bisa dipastikan saat itu gue menangis dalam waktu yang sangat lama, lama sekali!

Dan konon... (Ahh, semoga lo engga bosen denger kata konon, karena memang gue belum punya kemampuan yang untuk merekam dengan sempurna suatu kejadian di dalam otak gue saat itu. Yang gue tuliskan saat ini hanya berdasarkan cerita sepuh sekitar tentang saat itu.) ... Setelah Ibu meninggal gue diboyong ke Kebumen oleh Bude dan Pakde, tapi saat itu gue hanya bertahan semalam dan "membandel" kembali lagi ke Jakarta seorang diri.

Lo mau tau alasan gue membandel balik lagi ke Jakarta? Cuma karena takut! Ya, Takut! Untuk hal ini gue bisa mengingat hal itu. Gue takut buat tinggal di rumah Bude di kebumen. Jangan lo pikir gue takut menyusahkan atau takut merepotkan. Come on! Gue masih 7 setengah tahun saat itu mana mungkin gue berpikir seperti itu. Yang gue takutin cuma satu hal, SETAN! Ya karena tempat tinggal Bude di Kebumen (saat itu) masih banyak perkebunan dengan pohon-pohon yang besar. Ditambah kamar mandi untuk keperluan mandi dan buang air di rumah Bude berada terpisah dari bangunan utama rumah; Gue harus melewati deretan pepohonan besar terlebih dahulu sebelum sampai ke kamar mandi. Hal itu membuat gue takut untuk tinggal di sana, di rumah Bude.

Apa lo mau sekalian nanya gimana cara gue balik ke Jakarta seorang diri? Oke, jangan teriak, yah. Gue jalan kaki menyusuri rel dari Kebumen sampai Jakarta!

Kalo dipikir-pikir sekarang, kenapa yah saat itu gue engga naik kereta. Toh saat itu kereta belum seperti sekarang. Dulu pengamen sama pedagang asongan masih boleh berkeliaran di dalam kereta. Tapi kenapa gue malah jalan kaki, yah? Kan justru kesempatan buat ketemu setan-nya makin gede.

Yah, anak 7 tahun, Boss. 7 TAHUN! Mana ada kepikiran isi botol yakult pake beras terus ngamen. Itu baru kepikiran setelah akhirnya Bude dan Pakde nyerah karena kelakuan gue; tiap kali dijemput tiap itu juga gue bandel balik ke Jakarta. Sampai akhirnya gue dititipin sama Babeh, seorang sesepuh di daerah rumah gue tinggal yang juga akrab sama Almarhum Bapak semasa hidupnya.

Babeh ini sebenarnya seorang guru ngaji, tapi paling ogah dipanggil ustadz. Maunya dipanggil Babeh. "Babeh bukan ustadz cuma ngenalin anak-anak baca tulis Al-Qur'an doang. Ga pantes dipanggil ustadz apalagi kiyai" Salah satu omongan Babeh yang selalu gue inget. Tapi memang benar, setiap sore Babeh ngajar anak-anak kecil usia-usia sekolah SD baca tulis Al-Qur'an, mentok-mentok belajar ilmu fiqih yang awam ajah. Itu pun engga semua, cuma beberapa anak yang sekiranya Babeh sudah bisa dan siap diajari tentang itu. Jadi selama lo belom bisa baca Juz Terakhir Al-Qur'an dengan Makhroj yang benar jangan harap lo bisa naik ke tingkat selanjutnya. Maka daripada itu, kebanyakan anak-anak ngaji di Babeh engga kuat, paling beberapa bulan sudah cabut.

Dan gue salah satu anak yang beruntung (Gue bilang beruntung karena gue dititipin kepada Beliau jadi mungkin dulu karena keterpaksaan yang mau engga mau gue harus bisa, jadi bukan faktor kecerdasan) yang bisa diajarin beberapa kitab Fiqih sama Babeh.

Selain ngenalin baca tulis Al-Qur'an kepada anak-anak sekitaran rumah. Babeh ini sebenarnya mantan guru silat tapi karena usianya sudah tua, (saat itu usia Babeh 63 tahun) Beliau sudah tidak lagi mengajar silat. Dan konon Bapak gue adalah salah satu murid silatnya Babeh.

Babeh memiliki banyak anak, kalau gue tidak salah hitung (maaf jika gue salah hitung) ada sekitar 12. Namun karena beberapa anaknya sudah meninggal, tersisa 8 anak dan dari 8 anak; yang hampir semua sudah menikah. Hanya dua anak dan satu menantu yang tinggal bersama Babeh. Mereka adalah Bang Zaki, anak nomor 7 Babeh. Mbak Wati, Istrinya Bang Zaki dan Mpo Juleha anak bontot-nya Babeh, satu-satunya anak Babeh yang belum menikah. Usia Bang Zaki beberapa tahun lebih muda dari Mendiang Bapak gue. Sedangkan Mpok Leha saat itu usia-nya masih 18 tahun dan saat itu baru saja masuk sebuah Universitas Negeri di Depok.

Rumah Babeh berjarak sekitar 100 meter dari rumah yang pernah gue tinggali bersama Ibu sebelum Ibu meninggal (Saat itu gue belum mengerti status kepemilikan rumah itu). Di sebuah kawasan yang pernah menjadi kunci kesuksesan Pemerintahan Hindia Belanda mengurangi titik banjir yang ada di Batavia pada masanya.

Rumah Babeh tidaklah besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Kamar pertama sudahlah pasti ditempati Babeh dan satu kamar lainnya di tempati Bang Zaki dan istrinya. Sementara Mpok Leha (sebelumnya) biasa tidur "ngaprak" di ruang tengah yang jika waktu sudah masuk waktu Ashar akan disulap menjadi ruang kelas Babeh. Itu kondisi sebelum gue dititipkan pada Babeh. Setelah gue dititipkan pada Babeh susunan itu berubah. Bang Zaki tidur di bale kayu yang ada di depan rumah, sementara Mpok Leha tidur bersama Mba Wati dan gue tidur "ngaprak" di ruang tengah.

Mungkin gue terlihat "menyusahkan" untuk keluarga Babeh. Tapi percayalah mereka sekeluarga adalah tipe "orang betawi" asli yang menjunjung tinggi adat dan istiadat mereka. Walaupun suara mereka tinggi, bahasa mereka terkadang "nyeleneh" tapi perlakuan mereka benar-benar menunjukan bagaimana Indonesia bisa dikenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sekeluarga benar-benar berhati malaikat.

Anyway... Bicara menyusahkan, kesadaran apa yang bisa ditimbulkan anak berusia kurang dari 8 tahun? Bahkan saat itu gue sama sekali tidak merasa kalau gue ini menyusahkan. Namun seiring waktu, rasa sungkun perlahan timbul. Perasaan "kalau gue sudah banyak menyusahkan dan menjadi beban tambahan untuk keluarga Babeh" perlahan timbul seiring bertambahnya usia gue.

Mulai detik ini, gue berani menjamin kalau apa yang gue tuliskan berdasarkan apa yang sudah otak gue rekam dan berdasarkan apa yang telah tangan gue catatkan semenjak gue belajar bagaimana menulis sebuah buku harian saat duduk di sekolah dasar. So here we go!

Spoiler for They don’t give you a right:



Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 13:09
joewan
joyanwoto
adityakp9
adityakp9 dan 115 lainnya memberi reputasi
110
224.2K
1.2K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.7KThread43.1KAnggota
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#313
Part 44-c
Satu persatu orang-orang di dalam ruangan ini mulai beranjak pergi. Hanya menyisakan beberapa orang saja; resepsionis yang sedari tadi duduk di sebelah gue, Om Han yang masih berbicara dengan salah satu ketum partai dan juga orang yang biasa Malik panggil, "Mbah". Sedangkan Elsa baru saja keluar ruangan ini bersama Pak Tri.

Lalu beberapa menit kemudian ketum partai itu meninggalkan ruangan ini. Menyisakan gue, Resepsionis, Om Han, Mbah dan Elsa yang baru saja masuk lagi ke dalam ruangan ini.

Elsa beradu tatap dengan resepsionis di sebelah gue, lalu Elsa menganggukan kepala kemudian resepsionis ini beranjak dari duduknya. "Mari, Pak." Ucap resepsionis itu bersamaan dengan Mbah yang beranjak kemudian berjalan masuk ke pintu yang ada di belakang mimbar.

Resepsionis ini lalu berjalan, gue mengikuti di belakang langkahnya. Sementara gue melihat Elsa duduk di tempat gue duduk sebelumnya. Langkah gue semakin dekat mendekati Om Han, dan saat resepsionis itu tiba dihadapan Om Han, dia membuat gesture permisi.

"ELSSAAAA!" Teriak Om Han tiba-tiba. Suaranya sungguh menggelegar memenuhi seisi ruangan. Hal itu tentu saja membuat gue sangat terkejut. 

Om Han lalu berbalik badan menghadap ke arah gue setelah sebelumnya memberi gesture pada si resepsionis ini untuk pergi. Resepsionis itu lalu berjalan dan masuk ke pintu yang sama dengan pintu yang dimasuki Mbah-nya Malik sebelumnya.

Gue hanya terdiam, mematung karena teriakan Om Han yang barusan. Sekejap gue melirik ke Elsa, dia hanya diam duduk dengan santainya. Lalu sekejap pula gue melirik Om Han, raut wajah Om Han berbeda sekali dengan Om Han yang gue jumpai di rumahnya.

"Selama ini saya bertanya-tanya…" Ucap Om Han sambil beranjak dari duduknya. "Kenapa saya tidak bisa melacak kamu. Kenapa saya selalu kehilangan jejak kamu…" Lanjut Om Han sambil melangkah mendekat menghampiri gue. "...Tapi kehadiran kamu di sini itu sudah menjelaskan semuanya. Sepertinya ada seseorang yang mengkhianati saya…"Lanjut Om Han dan kemudian. "... BRUG!!!" Om Han memukul perut gue dengan sangat keras.

"Pukulan itu dari pribadi seorang ayah yang anaknya sudah ditiduri oleh pacarnya!" Ucap Om Han di tengah rintihan gue menahan sakit di bagian perut gue. "Kenapa kamu membantunya, ELSA!" Lanjut Om Han kembali berteriak saat menyebut nama Elsa.

"Me? Apa bapak bercanda?" Sahut Elsa.

"Kamu jangan main-main dengan saya, Elsa! Ingat siapa diri kamu!" Ucap Om Han.

"Saya selalu ingat siapa saya. Dan saya tidak pernah membantunya. Ada alasan kenapa saya merekrutnya ke sini. Alasan itu adalah seperti yang bapak sebutkan barusan. Dia lihai dalam urusan menyembunyikan diri." Sahut Elsa dengan tenangnya.

"..." Om Han menggelengkan kepala.

"Lagi pula selama ini Bapak mengintainya sebagai seorang Ayah yang menjaga putri semata wayangnya, bukan? Apa alasan saya untuk mencampuri urusan keluarga Bapak?" Ucap Elsa sesaat sebelum Om Han hendak berbicara.

"..." Om Han terdiam.

"Lagi pula bisa saja Gladys yang membantu dia menghilangkan jejaknya dari…"

"Jangan sebut-sebut nama anak saya!" Sambar Om Han.

"Atau mungkin itu strateginya dia, pacaran dengan Gladys untuk tujuan tertentu..." Ucap Elsa.

"NO!" Sambar gue sambil menoleh ke arah Elsa dan menggelengkan kepala gue. Namun tiba-tiba Om Han menjambak rambut gue dengan tangan kirinya.

"Berani-beraninya kamu!" Ucap Om Han lalu menampar pipi gue dengan tangan kanannya. "Jauhi anak saya!" Lanjut Om Han lalu menampar pipi gue lagi.

"Saya enggak bisa, Om." Sahut gue lalu Om Han kembali menampar pipi gue. Kali ini tamparan Om Han mulai sedikit berkurang sakitnya. Gue menduga, Om Han tidak biasa memukul sehingga efek balik saat dia memukul gue pada saat pertama kalinya membuat tangannya sedikit merasa nyeri. Sebuah hal yang wajar untuk orang yang baru pertama kali memukul orang lain.

"Kamu berani melawan saya? Kamu tidak tahu siapa saya?" 

"Yang saya tau Om itu papahnya Gladys!" Sahut gue. Lalu Om Han kembali menampar gue dan kali ini tamparan Om Han benar-benar tidak berefek apapun buat gue.

Melihat gue yang hanya bergeming setelah Om Han menampar gue kembali, Om Han lalu menjambak rambut gue namun gue menahan daya tarik yang ditimbulkan lengan Om Han dengan mengokohkan otot-otot leher gue sehingga Om Han hanya menarik rambut gue saja, tanpa mampu membuat gue tertunduk seperti sebelumnya.

"Kamu benar-benar tidak mengerti posisi kamu saat ini!" Ucap Om Han lalu melepaskan jambakannya.

"Saya tidak yakin, Pak!" Tetiba Elsa berbicara. "Atas dasar aset berharga. Widi, akan mendapat perlindungan sepenuhnya." Lanjut Elsa.

"Siapa yang bisa mengatakan itu selain saya!" Sahut Om Han.

"Maaf membuat anda kecewa, tapi ini sepenuhnya sudah hasil suara mayoritas forum." Sahut Elsa.

"Mayoritas siapa? Forum yang mana!" Sahut Om Han. Entah mengapa gue merasakan jelas perubahan emosi OM Han, dia terlihat lebih emosional dan terlihat sedikit kepanikan di dalam raut wajahnya.

"Mengapa?" Tanya gue dalam hati sambil mengamati keduanya.

"Bapak sudah mengetahuinya." Sahut Elsa seraya beranjak dari duduknya kemudian berjalan menghampiri gue. "9 dari sepuluh kepala forum, sudah menyetujui..." Lanjut Elsa sambil merangkul gue. "...Dan perdetik ini, kesepuluh suara sudah bulat mengatakan. Anak ini adalah mitra potensial yang harus diberi perhatian lebih."

"Maksud kamu apa, ELSA!" Om Han benar-benar terlihat panik.

"Maksud saya sudah jelas. Terimakasih atas jasa bapak selama ini." Sahut Elsa sambil menjulurkan tangannya pada Om Han.

Om Han lalu tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Raut wajahnya menunjukan ekspresi ketidakpercayaan atas apa yang terjadi. Dan gue hanya bergeming mencoba mengerti semua ini, gue benar-benar seperti merasa di sebuah tempat yang gelap tanpa ada sedikitpun cahaya masuk ke dalam mata.



Aku tidak akan lelah mengatakan; di dalam gelap yang sangat menakutkan, kamulah satu-satunya cahaya yang memberiku ketenangan


Om Han masih tertawa seolah tak percaya, lalu tiba-tiba dia mengeluarkan sesuatu dari balik jas yang dia kenakan. "HAN!" Bentak Elsa saat Om Han menodongkan sebuah pistol ke arah gue. "Kamu sudah gila!" Lanjut Elsa.

"Saya bukan lagi anggota forum, saya tidak punya urusan dengan aturan forum. Saat ini saya dan dia berada di posisi yang sama. Saya penasaran apakah di mata Forum anak ini lebih berharga dibandingkan saya." Ucap Om Han sedikit terengah-engah.

Elsa lalu melangkah mendekati Om Han, walau berbisik gue mampu mendengar apa yang dibisikan Elsa pada Om Han, "Lakukan jika memang itu layak dilakukan… (setelahnya gue tidak lagi bisa mendengar apa yang Elsa bisikan)"

Gue benar-benar tidak mengerti, ke arah mana Elsa sebenarnya berpihak. Sebelum semua ini dia seolah seperti ingin menyelamatkan gue, namun kenapa saat ini Elsa terlihat tidak pernah melakukan itu sebelumnya. "Siapa sebenarnya dia? Forum apa yang dimaksud olehnya? Dan…" 

Dan gue sedikit terkejut saat gue melihat ekspresi Om Han yang tiba-tiba saja berubah; Om Han menghela nafas, lalu menyembunyikan kembali pistol yang ia pegang dibalik celananya. "Gladys itu anak saya satu-satunya." Ucap Om Han kembali tenang. Sementara Elsa berjalan terus menuju pintu yang sebelumnya dimasuki resepsionis sebelumnya.

Om Han lalu duduk kembali di kursi kemudian mempersilahkan gue duduk di kursi yang sama dengannya. Sementara Elsa sudah memasuki pintu tersebut yang membuat hanya ada gue dan Om Han di ruangan ini.

"Saya tidak ingin melihatnya sedih (Gladys), semenjak kepergian Istri saya, Gladys selalu murung. Dia seperti kehilangan senyumnya, selalu menyendiri, selalu menghindar jika saya ajak bicara. Hingga suatu saat dia mengenal alkohol, perlahan saya mulai kembali melihat senyumnya, dia perlahan mulai membuka dirinya kembali pada orang-orang. Dan kesalahan saya adalah membiarkan itu…" Om Han tiba-tiba bercerita lalu menghela nafasnya. Sementara gue hanya diam dan mendengarkan Om Han dengan seksama.

"... Saya tidak pernah ada masalah dengan alkohol, minum-minuman beralkohol, jelas saya juga meminumnya terkadang. Dari itu saya membiarkan Gladys minum-minum seperti itu. Toh dia bisa kembali ceria, saya senang. Tapi saya melupakan jika di dalam pergaulan pasti ada saja laki-laki brengsek yang mengambil keuntungan dari kondisi itu. Ya kamu pasti paham gimana kehidupan gemerlap malam…"

Gue menganggukan kepala.

"...Salah saya membiarkan Gladys dan terlalu percaya pada orang-orang disekitarnya. Hingga yang saya pikir Gladys sudah kembali menjadi Gladys yang sebelum ditinggal pergi Ibu-nya ternyata Gladys berubah menjadi anak yang liar."  Lanjut Om Han memetik dua jarinya pada kata liar.

"..."

"Sangat sulit mengawasi Gladys tanpa sepengetahuannya. Gladys selalu tahu jika saya sedang mengawasinya dan itu selalu membuat saya dan dia cekcok di rumah. Dan karena itu saya sulit untuk menyingkirkan orang-orang yang saya anggap buruk untuk anak saya. Karena Gladys pasti akan tahu, dan saya tidak ingin terus-terusan berseteru dengan anak saya sendiri."

"..."

"Hingga entah bagaimana tiba-tiba saya melihat Gladys yang dulu kembali, di malam itu Gladys dengan segalanya yang saya merasa telah hilang semenjak ibunya tiada, dia kembali dan menghampiri saya, meminta tolong saya untuk melacak pemilik mobil…"

"B *** S*" Gue menyebutkan plat nomor mobil milik Karina.

"Ya, mobil milik ayahnya kawanmu itu. Saya senang malam itu, saya benar-benar melihat Gladys kembali. Saya pun mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dan saya mengetahui semuanya bahkan dari Gladys, semenjak malam itu Gladys benar-benar berubah, hubungan saya dan Gladys kembali seperti seharusnya ayah dan anak." Lanjut Om Han.

"Karena itu Om sebegitunya berterimakasih pada teman saya?" Tanya gue.

"Dan kamu juga!" Sahut Om Han. "Yaa, memang harus saya akui, setelah malam itu dan semenjak mengenal kamu. Gladys sudah menjadi Gladys yang dulu. Harus saya akui itu! Tapi perlu ditekankan lagi, saya hanya orang tua…"

"Saya mengerti, Om." Sambar gue. "Se…"

"Sebentar, saya ingin meluruskan. Kita berbicara disini sebagai mitra. Saat ini saya bukan lagi anggota dari 10 forum. Saya tidak menganggap kamu anak kecil, atau seseorang bawahan saya, kita sama, saya ingin bertukar pikiran sama kamu. Kita sama-sama tau semua yang ada disini bukanlah orang yang baik, mungkin bisa kita sebut semua yang ada disini adalah penjahat, benar?"

"Iya, Om." Sahut gue mulai mengerti arah maksud ucapan Om Han.

"Sebejat-bejat seorang penjahat yang mempunyai anak. Dia pasti ingin anaknya mendapat yang terbaik untuk hidupnya…"

"Saya paham, Om." Sambar gue sambil meletakan kedua tangan gue diatas dudukan kursi yang ada di depan gue, menatap tajam sebuah lukisan kaca mosaik yang menggambarkan keagungan kristus yang memberi berkah pada seluruh pengikutnya. "Gak mungkin ada bapak yang rela anaknya pacaran sama penjahat, sama bandar narkoba. Lagi pula di luar itu semua, saya sadar saya bukan pilihan terbaik untuk Gladys." Lanjut gue kemudian menundukan kepala hingga kepala gue berada di sela-sela kedua tangan gue.

"Ya seperti itu kurang lebih maksud saya." Sahut Om Han menyandarkan posisi duduknya sambil mengaitkan kancing jas yang ia kenakan. "Lalu jika kamu sudah paham, kenapa kamu mendekati Gladys, anak saya satu-satunya!?" Lanjut Om Han.

"Saya cinta sama Gladys, Om." Jawab gue sambil menegakan kepala gue kembali lalu menatap wajah Om Han.

"..." Om Han terdiam, beberapa detik kemudian ia tertawa terbahak-bahak. "Hahahahahaha, cinta… cinta… ternyata sepintar dan secerdik apapun yang saya dengar tentang kamu. Kamu memang masih anak muda yang tidak berpikir matang." Lanjut Om Han.

Gue menganggukan kepala. "Mungkin… ya… memang kenyataannya saya masih anak kecil. Saya hanya bertindak semau saya, atas dasar ego saya, yang penting saya senang, saya tidak peduli walaupun saya mengetahui dari awal jika ayahnya perempuan yang saya suka adalah seorang mafia yang besar. Saya tidak peduli." 

Om Han tiba-tiba saja merangsek menarik kerah gue, "Apa yang sebenarnya kamu rencanakan?" Ucap Om Han.

Gue menggelengkan kepala,Om Han lalu melepaskan tangannya. "Pada Gladys? Tidak ada! Saya sudah bilang sama Om. Saya mencintai Gladys, Saya masih anak bocah biasa…"

"Kamu tau saya bisa dengan mudah menyingkirkan kamu saat ini, lebih-lebih di sini. Jika kamu bukan anak pacar saya. Saat ini juga saya pasti akan memotong-motong tubuh kamu dan menjadikannya sarapan pagi untuk buaya-buaya peliharaan saya. Tapi kondisinya saat ini kamu adalah pacarnya Gladys, dia pasti akan curiga pada saya jika kamu hilang begitu saja. Mari buat ini lebih mudah, berapa angka yang kamu mau untuk kamu meninggalkan dia tanpa harus dia merasa curiga pada saya nantinya." 

"Saya sudah bilang, Om. Saya cinta Gladys, saya lebih baik mati dari pada harus menjadikan orang yang saya cinta sebagai alat transaksi." Sahut gue.

"KAMU INI SEBENARNYA MENGERTI AT…"

"Saya mengerti, Om." Sambar gue, "DENGAN SANGAT! Saya tidak akan meninggalkan Gladys. Tapi saya akan buat ini lebih mudah."

Om Han menggerakan kepala dan tangannya memberi isyarat untuk gue lanjut bicara.

"Saya emang gak akan ninggalin Gladys. Tapi saya engga bilang kalau Gladys gak akan ninggalin saya. Om gak perlu takut, gak perlu khawatir sama saya, karena saya yakin cepet atau lambat Gladys bakal ninggalin saya. Tapi saya ada sedikit permintaan dari, Om."

"Apa?" Tanya Om Han.

"Saya gak mau jadiin Gladys nilai tukar, tapi saya butuh bantuan Om, ketika nanti Gladys udah ninggalin saya."

"Maksudmu, kamu ingin bayaran ketika Gladys sudah meninggalkan kamu!?" 

Gue menggelengkan kepala. "Saya sudah bilang saya tidak ingin seperti itu. Begini, anggaplah saya meminta bantuan Om sebagai mitra, sebagai kolega atau sebagai anak buah, Om. Saya tidak masalah, apapun itu. Dan saya berjanji, saya akan membalas itu. Dengan uang, atau dengan apapun… saya akan anggap bantuan Om nanti sebagai hutang saya." 

"Jadi kamu mengajak saya berbisnis?"

"Lebih tepatnya saya mengajukan proposal pinjaman." Sahut gue.

"Katakan!?"

"Om tau, Mami?" Tanya gue.

"Ya, siapa yang tidak mengenalnya disini? Pemilik prostitusi besar yang selalu menyediakan pelayanan terbaik untuk kita semua di sini." Jawab Om Han.

"Saya menginginkan dua anaknya Mami." 

Om Han menggerakan telunjuknya sambil tersenyum. "Berapa lama? Sebulan? Setahun? Saya akan berikan kalau memang itu akan membuat Gladys meninggalkan kamu."

"Selamanya! Saya ingin dua anaknya Mami keluar dari sana selamanya dan itu bukan untuk supaya Gladys meninggalkan saya, Om. Saya sudah katakan, kesampingkan dulu Gladys! Kita berbicara bisnis yang akan kita mulai nanti pada saat Gladys meninggalkan saya."

"Well… well… well… we talk about business tapi untuk membeli dua anaknya Mami, itu bukan harga yang sedikit. Kamu tahu itu!?" 

"Ya, saya tau, Om. Tau dengan jelas dan itu alasan saya di sini. Di kehidupan yang seperti ini. Hanya untuk itu." Sahut gue.

"Dua orang perempuan yang spesial kah untuk kamu. Mereka?"

"Saya mempertaruhkan hidup saya untuk mereka. Apa itu terlihat belum cukup spesial?" 

"Jadi Gladys untukmu tidak spesial…"

"Kita gak bisa ngebandingin martabak spesial sama BMW special edition, Om! Keduanya spesial, tapi konteksnya jelas berbeda. Gak apple to apple membandingkan Gladys dengan kedua orang yang saya maksud ini." 

"Okeh, walaupun saya tidak mengerti. Saya tidak bisa membaca arah pikiranmu. Tapi satu hal yang saya ingin tanya. Kenapa kamu ingin mengangkat kedua perempuan ini?"

"Saya tidak ingin mengangkat, Om. Saya hanya ingin membebaskan. Menurut saya tidak sepantasnya mereka di sana!"

"Loh, kenapa? Saya kenal Mami, dia bukan tipikal orang yang mencari pekerja, mereka yang mendatangi Mami dan meminta pekerjaan padanya…"

"Saya mengerti, Om. Tapi apa mereka punya pilihan lain…"

"Pilihan! Tentu saja ada, hidup itu pilihan…"

"Saya setuju, Om. Hidup memang pilihan. Untuk sebagian orang. Dan sialnya ada sebagian kecil manusia yang benar-benar tidak mempunyai pilihan dalam hidupnya. Dan sialnya lagi, saya hidup dalam lingkungan yang terkadang tidak ada opsi untuk mengubah hidup. Terkecuali mereka mampu membuat pilihan mengubah sendiri yang tidak jarang membahayakan hidup. Saya mengerti dan saya tidak peduli dengan pelac*r disana yang menjual tubuhnya hanya karena mempertahankan eksistensi hidupnya dalam kemewahan, tapi kedua sahabat saya disana, saya yakin jika ada opsi hidup sederhana dan hidup berkecukupan tanpa harus menjual dirinya. Mereka akan memilih hidup berkecukupan. Tapi nyatanya? Tidak seperti itu, Om! Kita jangan melihat jauh ke pelosok, di tengah kota yang tidak jauh dari Istana. Ada banyak manusia-manusia yang bingung bagaimana besok mereka bisa membeli makan!"

"..." Om Han bergeming selama gue berbicara. "Maaf, saya terlalu banyak bicara." Ujar gue karena merasa gue sedikit kurang ajar telah berbicara seperti itu—soal hidup pada Om Han yang notabene-nya Om Han lebih banyak mengecap asam garam dibandingkan gue, pastinya.

Om Han lalu berdiri kemudian mengeluarkan ponselnya. Dia lalu melangkah ke arah pintu tempat gue masuk ke ruangan ini sebelumnya, sementara gue hanya diam mengamati langkahnya. Hingga beberapa langkah sebelum Om Han sampai di pintu itu, Om Han berbalik badan. "Siapa namanya?" Tanya Om Han.

"Alodya dan Sunny, Om." Sahut gue kemudian Om Han berbalik badan lagi menghadap pintu keluar sambil berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.

Tak berapa lama Om Han memasukan kembali ponsel ke dalam sakunya. "Waw, harganya lebih mahal dari yang saya kira. Saya sudah penuhi permintaanmu. Mulai saat ini kamu berhutang pada saya."

"Saya pasti akan menggantinya, Om. Sebutkan saja angkanya. Tapi saya pinta…"

"Haaah… Saya tidak tertarik dengan angkanya, saya tidak ingin kamu membayarnya dengan uang. Uang terlalu mudah di sini. Nanti saya akan memberitahu kamu bagaimana cara kamu membayarnya. Untuk saat ini kamu harus ingat jika kamu memiliki hutang pada saya."

"Baik, Om. Saya tunggu kabar dari, Om."

Om Han mengangkat tangannya sejenak selepas ia membuka pintu dan beranjak keluar dari ruangan ini. Spontan gue menghela nafas ketika Om Han sudah tak terlihat lagi. Gue sudah menduga Om Han akan menentang hubungan gue dengan Gladys, barusan adalah kali pertamanya gue bertemu Om Han dalam posisi gue sebagai pacar dari anak semata wayangnya dan gue menduga ini akan menjadi kali terakhirnya.
Diubah oleh nyunwie 17-05-2021 16:54
anonymcoy02
MFriza85
joyanwoto
joyanwoto dan 37 lainnya memberi reputasi
38
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.