- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#170
Sahabat
Aku mendapati Oscar sudah duduk di teras ketika aku keluar dari ruang tamu.
“Aku pikir kamu sudah balik ke Jakarta?”
Aku membuka percakapan dan duduk di kursi kosong di sebelah meja.
Dia diam.
Aku menolehnya, penasaran kenapa dia hanya diam saja. Oscar menatap lurus ke depan atas, ke arah rimbunnya dedaunan yang bergoyang pelan karena tiupan angin di pagi ini.
Aku menatapnya yang hampir tak berkedip memandang, entahlah apa yang sedang dia lihat atau mungkin dia sedang berpikir. Aku membiarkannya saja.
“Oscar….” Aku memanggilnya pelan setelah hampir lima menit dia hanya berdiam diri.
Oscar menolehku dan tersenyum.
“Ada apa? Apa yang kamu lihat di sana?” tanyaku padanya sambil melirik sekilas ke arah pandangan Oscar terpaku tadi.
Dia tersenyum. "Enggak ada. Cuma bengong aja.” Dia berkilah
Aku menghela napas pelan.
“Ada yang sedang kamu pikirkan? Sepertinya ada yang sangat menganggumu.” Dia bertanya.
Aku terdiam.
“Ngapain kamu ke sini?” aku bertanya tanpa menjawab pertanyaannya tadi.
Kini dia yang terdengar menghela napas.
“Aku hanya khawatir padamu,” jawabnya membuatku tersenyum kecil.
“Aku bukan anak kecil yang harus selalu kamu khawatirkan, menurutku, kamu itu berlebihan, deh.”
Kembali dia memalingkan pandangannya dariku dan menatap lurus ke depan.
“Aku ngerasa… aku bakalan kehilangan seseorang.”
Akhirnya aku mengatakan apa yang ada di kepalaku padanya.
Aku menatapnya yang hanya diam.
“Aku harus gimana?”
“Tidak ada orang yang benar-benar memiliki sesuatu di dunia ini. Kehilangan atau pun tidak, akan sama saja kalau kamu menyadari dan memahaminya.”
“Aku tidak berani melawan rasa sakitnya. Aku takut aku ngga sanggup lagi.” Aku berkata lirih.
“Kenapa harus gentar dengan rasa takut?” Dia bertanya dan memandangku tajam.
“Kamu hanya harus takut ketika melakukan hal yang salah. Lalu kenapa harus takut pada sesuatu yang bisa kamu kendalikan dengan pikiranmu?”
Aku menatap matanya yang seperti menusuk ke dalam mataku dan menembus pikiranku.
“Apapun yang sudah dilakukan pasti akan membuahkan hasil. Tidak peduli itu akan terjadi sekarang atau pun nanti. Tidak peduli hasil itu baik atau buruk. Kamu tinggal menerimanya.”
Aku membuang pandanganku yang mulai mengabur karena air mata.
Aku pernah mengalami pergolakan jiwa yang luar biasa hancur dulu. Kalau saat ini, hal yang sama akan terjadi lagi, aku harus siap. Aku harus yakin bisa menghadapinya lagi.
***
Hari beranjak siang ketika Oscar menemaniku makan siang di salah satu rumah makan di dekat kompleks perumahan.
Kami duduk di salah satu sudut yang lebih sepi dari pengunjung. Menikmati soto ayam khas Surabaya ditemani dengan segelas es jeruk di siang yang terik.
Aku dan Oscar tidak banyak bicara. Aku yang sedang bad mood dan Oscar yang sepertinya, mungkin, sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.
Beberapa kali aku mendapatinya terpaku, bukan melamun, seperti seseorang yang sedang menyimak sesuatu. Seperti saat ini, disaat aku sudah hampir menghabiskan separuh makananku, dia sama sekali belum menyentuhnya. Dia hanya diam sambil sesekali menggerak-gerakkan telunjuknya di atas meja.
“Kapan kamu akan pulang ke Jakarta?” Dia tiba-tiba bertanya membuatku terkejut dan memandangnya ragu.
“Ke Jakarta?” tanyaku sekali lagi membenarkan apa yang kudengar tadi.
Dia mengangguk.
“Entahlah, aku belum ada rencana. Mungkin minggu depan.”
“Minggu depan…,” dia mengulang kalimat itu. Dia seperti sedang berpikir, kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kenapa?” Aku bertanya. Penasaran.
“Ngga apa-apa, kalau bisa kita barengan aja nanti balik ke Jakarta.”
“Memang kamu ngga ada kerjaan di Jakarta?”
Dia menggeleng sambil tersenyum.
“Beneran?”
Dia mengangguk pasti. “Aku pengangguran sekarang.”
Aku tersenyum mengejek.
Entah bagaimana tiba-tiba saja tanpa aku sadari kedatangan Bramantya yang sudah berdiri di samping Oscar dan dua orang sahabat itu saling menyapa ringan.
Bramantya kemudian ikut bergabung di meja kami. Tidak lama setelah itu, aku melihat Laras dan Fandra masuk ke dalam rumah makan ini. Aku menundukkan wajah berpura-pura mengaduk-aduk makananku.
“Siang,” sapaan lembut menusuk gendang pendengaran membuatku mau tidak mau mengangkat wajah dan bersitatap dengan pemilik suara.
Laras berdiri di belakang kakaknya dengan memamerkan seulas senyum tipis. Rona berduka masih terlihat di raut wajahnya.
Oscar berdiri dan mempersilakan Laras duduk, lalu mengangguk kecil pada Fandra. Kini ada lima orang duduk di meja yang tidak seberapa besar ini. Setelah memesan makanan, Oscar terlibat obrolan ringan dengan Bramantya mengenai perkembangan studi S2 Bram dan rencana Oscar ke depan.
Aku, Laras, dan Fandra hanya berdiam diri.
“Mbak Vio kerja di mana di sini?” Laras bertanya membuka percakapan. Aku mengangkat wajahku dan menatapnya
“Oh, aku ngga kerja di Surabaya, kebetulan lagi ada tugas kerja, sebulan aja.”
“Oh.”
“Dulu Vio tugas di Bali, kebetulan dia kost di tempatku.” Fandra menyahut setelah menyesap es teh manisnya. Aku menatapnya sejenak lalu kembali mengalihkan pandangan darinya.
“Ketemu aku juga di Bali.” Kali ini tiba-tiba Oscar menyahut sambil terkekeh.
Aku heran dengannya. Tadi dia sangat serius sampai-sampai aku tidak berani mengajaknya bicara dan sekarang dia bersikap seakan-akan aku tidak pernah melihat sikapnya beberapa menit yang lalu.
Laras melemparkan senyuman manis menanggapi pernyataan Oscar.
“Kapan balik ke Bali, Fand?” tanyaku pada Fandra.
Dia menoleh dan menatapku, “besok, mungkin,” sahutnya singkat.
“Bukannya kamu bilang mau balik malem ini?” Sanggah Laras cepat.
“Ngga jadi, aku ada keperluan sedikit.”
Setelah itu, tidak ada lagi yang menyahut dan bersamaan dengan itu datanglah pesanan mereka.
***
“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Fandra ketika kami usai makan dan menunggu Oscar dan Bramantya yang sedang membayar di kasir.
“Iya.”
“Aku ikut ke rumah kamu, boleh?”
Sekali lagi aku mengangguk.
***
Aku mempersilakan dia duduk di teras. Sedangkan aku ke dalam mengambilkannya segelas air putih. Cukup penat dan gerah rasanya setelah tadi berjalan dari rumah makan itu ke rumahku.
Jaraknya memang tidak jauh, tetapi tidak dekat juga untuk ditempuh dengan jalan kaki. Oscar ikut ke rumah Bramantya bersama Laras untuk mengambil barang-barangnya karena dia mengatakan akan menginap di hotel mulai malam ini.
“Minum dulu.”
Kuletakkan segelas besar air minum di meja di samping tempat duduk Fandra.
Posisi kami sama persis dengan kejadian tadi pagi ketika aku duduk ngobrol dengan Oscar.
Fandra mengambil gelas dan meneguk sedikit isinya.
“Kamu mau ngomong soal apa?”
“Aku ingin kamu tahu soal Laras….”
“Aku sudah tahu,” potongku cepat, “Bram yang bilang padaku.”
“Dia tahu soal kita?”
“Soal apa?”
“Hubungan kita?”
“Hubungan apa?”
Dia memandangku tajam.
“Hubungan apa?” Aku bertanya sekali lagi.
“Kalau aku menyukai kamu.”
“Dia ngga tahu. Kenapa? Kamu takut kalau Laras tahu?”
Matanya masih tetap tidak berkedip memandangku.
“Kamu tahu siapa Laras?”
“Tahu. Dia mantan kamu, kan? Bram yang bilang. Dia masih sayang sama kamu?”
Fandra mengalihkan pandangannya dari mataku. Dia diam. Aku menunggu jawabannya.
“Dia masih sayang kamu, kan. Kamu sendiri gimana?”
Dia masih saja diam, membuatku mulai agak kesal.
“Kalau kamu masih sayang dia, go ahead! I’m fine with that. Aku akan bahagia jika kamu juga bahagia.”
“Aku akan jelaskan.” Dia berkata pelan.
Aku berdiam diri memberikannya waktu untuk bicara.
“Aku bertemu lagi dengan Laras baru-baru ini. Kebetulan Ibunya dan Papaku di rawat di rumah sakit yang sama.”
“Papa kamu kenapa?” Aku memotong.
“Sakit jantungnya kambuh karena kelelahan, tapi sekarang kondisinya sudah jauh lebih baik. Bisa aku lanjut?”
Aku mengangguk, menatapnya yang juga memandangku. Tak pernah lepas mata ini dari pandangannya.
“Aku jadi sering menjenguk Ibunya. Karena dulu, selama pacaran dengannya, aku dan Ibunya cukup dekat.”
Aku percaya, karena dengan sikap Fandra yang luwes dia pasti dengan mudah disukai oleh siapa pun.
“Kebetulan juga, Mamaku dan Ibunya Laras adalah teman lama. Entah bagaimana, tiba-tiba saja mereka menginginkan agar aku dan Laras bertunangan, padahal mereka tahu kalau kami sudah tidak jalan bareng lagi. Di tambah lagi keadaan Ibunya Laras yang semakin memburuk.”
Mata Fandra menatapku sayu.
“Aku sama sekali tidak menginginkan ini, sungguh!”
“Lalu, kamu bilang apa sama mereka?”
“Aku bilang akan mempertimbangkannya, ini kukatakan semata-mata menjaga perasaan Ibunya Laras. Mamaku sendiri tidak memaksa, dia juga melakukan ini karena permintaan Almarhumah. Karena aku sudah menceritakan pada orang tuaku tentang kamu, seperti permintaanmu dulu.”
“Gimana dengan Laras?”
“Aku belum bicara dengannya.”
Aku mengalihkan pandanganku dari matanya.
“Lalu kamu sendiri?” tanyaku lagi.
Aku merasa dia sedang memperhatikanku, membuatku menolehnya lagi.
“Kamu selalu meragukanku.”
Dia menatapku tajam tepat ke bola mataku.
“Aku tidak pernah meragukanmu, aku hanya ingin mengujimu, menguji keseriusan hatimu. Jujur, aku baru saja ingin bilang ke kamu, kita ngga usah berjanji-janji lagi. Ingkari saja semua. Aku akan menuruti apa pun keinginanmu. Tapi rupanya kenyataan menjadi tidak semudah yang aku inginkan.”
“Aku akan bilang semua sama Laras.”
Aku memandangnya lekat.
“Soal orang tua kamu bagaimana?”
“Aku belum bisa memastikan kalau soal itu.”
Dia berkata pelan. Jelas sekali keraguan terpancar dari wajahnya.
“Tidak apa-apa. Seperti yang aku bilang tadi. Aku ikhlas apa pun akhirnya nanti. Karena aku sungguh-sungguh sayang sama kamu jadi aku akan merasa bahagia kalau kamu juga bahagia.”
***
Kami berpisah ketika hari menjelang sore. Tepat ketika Fandra berlalu, mobil Om Andre berhenti di depan rumah. Dia turun sambil memperhatikan punggung Fandra yang bergerak menjauh.
“Siapa lagi itu? Lo banyak temen cowonya ya?”
Aku hanya melengos tidak meresponnya dan bergerak mendorong pintu gerbang yang lumayan berat ini.
“Siapa cowok tadi?” Lagi-lagi pertanyaan itu terlontar dari Om Andre ketika kami sedang duduk bersama di ruang tengah untuk melepaskan lelah sejenak.
“Teman…,” sahutku singkat tanpa melepaskan pandangan dari layar ponselku.
“Kenal di mana? Temen kantor?”
Dia masih penasaran rupanya
“Bukan.”
“Kenal di mana?” Dia mengulangi lagi pertanyaannya.
Aku mendongak dan menatap wajahnya yang polos memamerkan ekspresi datar.
“Kenal di Bali.”
“O ya, lo belum cerita gimana lo bisa sampe ke Bali? Trus nyokap lo gimana?”
Aku memicingkan mata, menatapnya dengan penuh kecurigaan.
“Emang kenapa kalau gw ke Bali?”
“Bukannya nyokap lo ngga ngijinin lo dateng ke sana?”
“Lo pasti tahu kenapa mama ngga suka dateng ke Bali kan?"
“Gw ngga jelas juga. Yang gw tahu nyokap lo itu emang anti banget dateng ke sana.”
“Masa sih lo ngga tahu Om?”
Dia mengalihkan pandangannya dariku dan kemudian menyesap kopi dari cangkir mungilnya
“Gw ketemu sama papa gw di sana. Papa gw masih hidup.”
“Uhuk!” Om Andre kaget dan tersedak.
“Kenapa lo? Kaget?”
“Beneran lo ketemu Om Damar?”
“Tega lo ya! Lo tahu tapi ngga pernah bilang apa pun ke gw soal laki-laki itu.”
“Bukannya gw ngga mau, Vi, gw takut sama nyokap lo. Bisa-bisa gw di bunuh sama Mbak Mel kalau sampe gw cerita. Lo tahu sendiri kan nyokap lo kayak gimana galaknya. Trus, bokap lo gimana? Eh, tapi gimana lo bisa ketemu sama Om Damar?”
Aku menceritakan semua kisahku pada Om Andre yang hanya melongo mendengarnya. Tentu saja aku tidak menceritakan tentang Oscar dan kecelakaan yang menyebabkan aku tak sadarkan diri.
“Ada hikmah dari semua kejadian, Vi. Mungkin lo emang ngga berjodoh sama si Angga itu. Trus, cowok tadi itu yang namanya Fandra?”
Aku mengangguk.
“Lo pacaran sama dia?”
Aku menggeleng.
“Lo suka sama dia?”
“Iya.”
“Dianya suka sama lo?”
“Iya.”
“Ya udah kenapa ngga pacaran? Diseriusin.”
“Awalnya gw masih ragu, tapi saat gw mulai yakin malah ada halangan yang lain. Apa mungkin ngga berjodoh lagi ya, Om?”
“Halangan apa?”
“Dia dijodohin sama mantan pacarnya yang dulu. Mantan gw yg dulu juga tunangan sama adiknya. Dan banyak lagi perbedaan yang lain, lo tahulah, beda agama, cara hidup, belum lagi masa lalu gw yang ngga baik.”
Ups…
“Masa lalu lo yang mana yang ngga baik?”
Sambar Om Andre cepat. Rupanya dia bersungguh-sungguh mendengarkan curhatanku.
“Ya… latar belakang keluarga gw.”
Kilahku mencari-cari jawaban.
“Emang keluarga lo ngga baik? Jangan sembarangan ya. Lo itu punya latar belakang keluarga yang baik semua. Perceraian orang tua itu bukan salah lo, jadi ngga fair kalau itu dijadikan alasan.”
“Tapi kan Om, latar belakang mama dan Om Damar mirip sama gw dan Fandra sekarang. Kita completely beda dari semua-semuanya. Wajar dong, kalau ada ketakutan-ketakutan dalam hati gw atau mungkin dari keluarganya Fandra.”
“Yah, jalanin aja dulu kenapa. Kan kalian belum tentu bakalan nikah.”
“Ngawur lo! Lo suruh gw buang-buang waktu dan energi untuk hubungan yang ngga jelas?! No way! Ngga akan! Waktu dan energi gw udah cukup terkuras sama mantan gw yang dulu, gw ngga bodoh, buat ngulang kesalahan yang sama.”
Om Andre terdiam.
“Udahlah ngga usah lo pusing-pusing mikirin gw. Anyway, lo udah ketemuan sama Mbak Maya? Udah lo kasiin kadonya?”
Aku bertanya mengalihkan pembicaraan.
“Udah.”
Dia menjawab singkat dan rona wajahnya mendadak berubah menjadi tidak bergairah.
“Kenapa lo? Dicuekin lagi.”
“Ngga juga. Udah gw kasi kadonya. Dia terlihat….”
“Ngga suka ya?” tebakku
“Dia suka banget. Thanks ya, gw hari ini baru tahu ternyata dia juga suka baca.”
Aku mendelik, “Lo baru tahu, kemana aja lo?”
“Beneran gw baru tahu karena selama ini jarang banget gw liat dia bawa-bawa buku atau baca-baca gitu.”
“Payah lo!”
“Trus ntar malem party dong?”
“Ngga ada party.”
“Eh, kok gitu? Dia ngga suka party?”
“Dia ada janji sama Nabila ntar malem.”
“Dan lo biarin dia pergi lagi sama cewe itu?”
“Gw harus gimana?”
“Ya jangan dikasi lah!”
“Susah….”
Sebuah dentingan terdengar dari ponsel-ku, sebuah pesan masuk. Aku melihat sebuah pesan dari Pak Herman.
Vio, nanti langsung ketemu di TKP aja ya, saya lagi di rumah sodara sekalian berkunjung mumpung di sini. Ciao.
Selintas sebuah ide melesat di kepalaku.
“Om, ntar malem gw ada undangan diner di rumahnya owner perusahaan tempat gw audit sekarang. Lo mau ikut gw ngga?”
“Males gw.”
“Kalau ada Maya di sana, lo masih males?”
Mendengar aku menyebut nama Maya, Om Andre langsung melihatku dengan mata berbinar.
Aku mendapati Oscar sudah duduk di teras ketika aku keluar dari ruang tamu.
“Aku pikir kamu sudah balik ke Jakarta?”
Aku membuka percakapan dan duduk di kursi kosong di sebelah meja.
Dia diam.
Aku menolehnya, penasaran kenapa dia hanya diam saja. Oscar menatap lurus ke depan atas, ke arah rimbunnya dedaunan yang bergoyang pelan karena tiupan angin di pagi ini.
Aku menatapnya yang hampir tak berkedip memandang, entahlah apa yang sedang dia lihat atau mungkin dia sedang berpikir. Aku membiarkannya saja.
“Oscar….” Aku memanggilnya pelan setelah hampir lima menit dia hanya berdiam diri.
Oscar menolehku dan tersenyum.
“Ada apa? Apa yang kamu lihat di sana?” tanyaku padanya sambil melirik sekilas ke arah pandangan Oscar terpaku tadi.
Dia tersenyum. "Enggak ada. Cuma bengong aja.” Dia berkilah
Aku menghela napas pelan.
“Ada yang sedang kamu pikirkan? Sepertinya ada yang sangat menganggumu.” Dia bertanya.
Aku terdiam.
“Ngapain kamu ke sini?” aku bertanya tanpa menjawab pertanyaannya tadi.
Kini dia yang terdengar menghela napas.
“Aku hanya khawatir padamu,” jawabnya membuatku tersenyum kecil.
“Aku bukan anak kecil yang harus selalu kamu khawatirkan, menurutku, kamu itu berlebihan, deh.”
Kembali dia memalingkan pandangannya dariku dan menatap lurus ke depan.
“Aku ngerasa… aku bakalan kehilangan seseorang.”
Akhirnya aku mengatakan apa yang ada di kepalaku padanya.
Aku menatapnya yang hanya diam.
“Aku harus gimana?”
“Tidak ada orang yang benar-benar memiliki sesuatu di dunia ini. Kehilangan atau pun tidak, akan sama saja kalau kamu menyadari dan memahaminya.”
“Aku tidak berani melawan rasa sakitnya. Aku takut aku ngga sanggup lagi.” Aku berkata lirih.
“Kenapa harus gentar dengan rasa takut?” Dia bertanya dan memandangku tajam.
“Kamu hanya harus takut ketika melakukan hal yang salah. Lalu kenapa harus takut pada sesuatu yang bisa kamu kendalikan dengan pikiranmu?”
Aku menatap matanya yang seperti menusuk ke dalam mataku dan menembus pikiranku.
“Apapun yang sudah dilakukan pasti akan membuahkan hasil. Tidak peduli itu akan terjadi sekarang atau pun nanti. Tidak peduli hasil itu baik atau buruk. Kamu tinggal menerimanya.”
Aku membuang pandanganku yang mulai mengabur karena air mata.
Aku pernah mengalami pergolakan jiwa yang luar biasa hancur dulu. Kalau saat ini, hal yang sama akan terjadi lagi, aku harus siap. Aku harus yakin bisa menghadapinya lagi.
***
Hari beranjak siang ketika Oscar menemaniku makan siang di salah satu rumah makan di dekat kompleks perumahan.
Kami duduk di salah satu sudut yang lebih sepi dari pengunjung. Menikmati soto ayam khas Surabaya ditemani dengan segelas es jeruk di siang yang terik.
Aku dan Oscar tidak banyak bicara. Aku yang sedang bad mood dan Oscar yang sepertinya, mungkin, sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.
Beberapa kali aku mendapatinya terpaku, bukan melamun, seperti seseorang yang sedang menyimak sesuatu. Seperti saat ini, disaat aku sudah hampir menghabiskan separuh makananku, dia sama sekali belum menyentuhnya. Dia hanya diam sambil sesekali menggerak-gerakkan telunjuknya di atas meja.
“Kapan kamu akan pulang ke Jakarta?” Dia tiba-tiba bertanya membuatku terkejut dan memandangnya ragu.
“Ke Jakarta?” tanyaku sekali lagi membenarkan apa yang kudengar tadi.
Dia mengangguk.
“Entahlah, aku belum ada rencana. Mungkin minggu depan.”
“Minggu depan…,” dia mengulang kalimat itu. Dia seperti sedang berpikir, kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kenapa?” Aku bertanya. Penasaran.
“Ngga apa-apa, kalau bisa kita barengan aja nanti balik ke Jakarta.”
“Memang kamu ngga ada kerjaan di Jakarta?”
Dia menggeleng sambil tersenyum.
“Beneran?”
Dia mengangguk pasti. “Aku pengangguran sekarang.”
Aku tersenyum mengejek.
Entah bagaimana tiba-tiba saja tanpa aku sadari kedatangan Bramantya yang sudah berdiri di samping Oscar dan dua orang sahabat itu saling menyapa ringan.
Bramantya kemudian ikut bergabung di meja kami. Tidak lama setelah itu, aku melihat Laras dan Fandra masuk ke dalam rumah makan ini. Aku menundukkan wajah berpura-pura mengaduk-aduk makananku.
“Siang,” sapaan lembut menusuk gendang pendengaran membuatku mau tidak mau mengangkat wajah dan bersitatap dengan pemilik suara.
Laras berdiri di belakang kakaknya dengan memamerkan seulas senyum tipis. Rona berduka masih terlihat di raut wajahnya.
Oscar berdiri dan mempersilakan Laras duduk, lalu mengangguk kecil pada Fandra. Kini ada lima orang duduk di meja yang tidak seberapa besar ini. Setelah memesan makanan, Oscar terlibat obrolan ringan dengan Bramantya mengenai perkembangan studi S2 Bram dan rencana Oscar ke depan.
Aku, Laras, dan Fandra hanya berdiam diri.
“Mbak Vio kerja di mana di sini?” Laras bertanya membuka percakapan. Aku mengangkat wajahku dan menatapnya
“Oh, aku ngga kerja di Surabaya, kebetulan lagi ada tugas kerja, sebulan aja.”
“Oh.”
“Dulu Vio tugas di Bali, kebetulan dia kost di tempatku.” Fandra menyahut setelah menyesap es teh manisnya. Aku menatapnya sejenak lalu kembali mengalihkan pandangan darinya.
“Ketemu aku juga di Bali.” Kali ini tiba-tiba Oscar menyahut sambil terkekeh.
Aku heran dengannya. Tadi dia sangat serius sampai-sampai aku tidak berani mengajaknya bicara dan sekarang dia bersikap seakan-akan aku tidak pernah melihat sikapnya beberapa menit yang lalu.
Laras melemparkan senyuman manis menanggapi pernyataan Oscar.
“Kapan balik ke Bali, Fand?” tanyaku pada Fandra.
Dia menoleh dan menatapku, “besok, mungkin,” sahutnya singkat.
“Bukannya kamu bilang mau balik malem ini?” Sanggah Laras cepat.
“Ngga jadi, aku ada keperluan sedikit.”
Setelah itu, tidak ada lagi yang menyahut dan bersamaan dengan itu datanglah pesanan mereka.
***
“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Fandra ketika kami usai makan dan menunggu Oscar dan Bramantya yang sedang membayar di kasir.
“Iya.”
“Aku ikut ke rumah kamu, boleh?”
Sekali lagi aku mengangguk.
***
Aku mempersilakan dia duduk di teras. Sedangkan aku ke dalam mengambilkannya segelas air putih. Cukup penat dan gerah rasanya setelah tadi berjalan dari rumah makan itu ke rumahku.
Jaraknya memang tidak jauh, tetapi tidak dekat juga untuk ditempuh dengan jalan kaki. Oscar ikut ke rumah Bramantya bersama Laras untuk mengambil barang-barangnya karena dia mengatakan akan menginap di hotel mulai malam ini.
“Minum dulu.”
Kuletakkan segelas besar air minum di meja di samping tempat duduk Fandra.
Posisi kami sama persis dengan kejadian tadi pagi ketika aku duduk ngobrol dengan Oscar.
Fandra mengambil gelas dan meneguk sedikit isinya.
“Kamu mau ngomong soal apa?”
“Aku ingin kamu tahu soal Laras….”
“Aku sudah tahu,” potongku cepat, “Bram yang bilang padaku.”
“Dia tahu soal kita?”
“Soal apa?”
“Hubungan kita?”
“Hubungan apa?”
Dia memandangku tajam.
“Hubungan apa?” Aku bertanya sekali lagi.
“Kalau aku menyukai kamu.”
“Dia ngga tahu. Kenapa? Kamu takut kalau Laras tahu?”
Matanya masih tetap tidak berkedip memandangku.
“Kamu tahu siapa Laras?”
“Tahu. Dia mantan kamu, kan? Bram yang bilang. Dia masih sayang sama kamu?”
Fandra mengalihkan pandangannya dari mataku. Dia diam. Aku menunggu jawabannya.
“Dia masih sayang kamu, kan. Kamu sendiri gimana?”
Dia masih saja diam, membuatku mulai agak kesal.
“Kalau kamu masih sayang dia, go ahead! I’m fine with that. Aku akan bahagia jika kamu juga bahagia.”
“Aku akan jelaskan.” Dia berkata pelan.
Aku berdiam diri memberikannya waktu untuk bicara.
“Aku bertemu lagi dengan Laras baru-baru ini. Kebetulan Ibunya dan Papaku di rawat di rumah sakit yang sama.”
“Papa kamu kenapa?” Aku memotong.
“Sakit jantungnya kambuh karena kelelahan, tapi sekarang kondisinya sudah jauh lebih baik. Bisa aku lanjut?”
Aku mengangguk, menatapnya yang juga memandangku. Tak pernah lepas mata ini dari pandangannya.
“Aku jadi sering menjenguk Ibunya. Karena dulu, selama pacaran dengannya, aku dan Ibunya cukup dekat.”
Aku percaya, karena dengan sikap Fandra yang luwes dia pasti dengan mudah disukai oleh siapa pun.
“Kebetulan juga, Mamaku dan Ibunya Laras adalah teman lama. Entah bagaimana, tiba-tiba saja mereka menginginkan agar aku dan Laras bertunangan, padahal mereka tahu kalau kami sudah tidak jalan bareng lagi. Di tambah lagi keadaan Ibunya Laras yang semakin memburuk.”
Mata Fandra menatapku sayu.
“Aku sama sekali tidak menginginkan ini, sungguh!”
“Lalu, kamu bilang apa sama mereka?”
“Aku bilang akan mempertimbangkannya, ini kukatakan semata-mata menjaga perasaan Ibunya Laras. Mamaku sendiri tidak memaksa, dia juga melakukan ini karena permintaan Almarhumah. Karena aku sudah menceritakan pada orang tuaku tentang kamu, seperti permintaanmu dulu.”
“Gimana dengan Laras?”
“Aku belum bicara dengannya.”
Aku mengalihkan pandanganku dari matanya.
“Lalu kamu sendiri?” tanyaku lagi.
Aku merasa dia sedang memperhatikanku, membuatku menolehnya lagi.
“Kamu selalu meragukanku.”
Dia menatapku tajam tepat ke bola mataku.
“Aku tidak pernah meragukanmu, aku hanya ingin mengujimu, menguji keseriusan hatimu. Jujur, aku baru saja ingin bilang ke kamu, kita ngga usah berjanji-janji lagi. Ingkari saja semua. Aku akan menuruti apa pun keinginanmu. Tapi rupanya kenyataan menjadi tidak semudah yang aku inginkan.”
“Aku akan bilang semua sama Laras.”
Aku memandangnya lekat.
“Soal orang tua kamu bagaimana?”
“Aku belum bisa memastikan kalau soal itu.”
Dia berkata pelan. Jelas sekali keraguan terpancar dari wajahnya.
“Tidak apa-apa. Seperti yang aku bilang tadi. Aku ikhlas apa pun akhirnya nanti. Karena aku sungguh-sungguh sayang sama kamu jadi aku akan merasa bahagia kalau kamu juga bahagia.”
***
Kami berpisah ketika hari menjelang sore. Tepat ketika Fandra berlalu, mobil Om Andre berhenti di depan rumah. Dia turun sambil memperhatikan punggung Fandra yang bergerak menjauh.
“Siapa lagi itu? Lo banyak temen cowonya ya?”
Aku hanya melengos tidak meresponnya dan bergerak mendorong pintu gerbang yang lumayan berat ini.
“Siapa cowok tadi?” Lagi-lagi pertanyaan itu terlontar dari Om Andre ketika kami sedang duduk bersama di ruang tengah untuk melepaskan lelah sejenak.
“Teman…,” sahutku singkat tanpa melepaskan pandangan dari layar ponselku.
“Kenal di mana? Temen kantor?”
Dia masih penasaran rupanya
“Bukan.”
“Kenal di mana?” Dia mengulangi lagi pertanyaannya.
Aku mendongak dan menatap wajahnya yang polos memamerkan ekspresi datar.
“Kenal di Bali.”
“O ya, lo belum cerita gimana lo bisa sampe ke Bali? Trus nyokap lo gimana?”
Aku memicingkan mata, menatapnya dengan penuh kecurigaan.
“Emang kenapa kalau gw ke Bali?”
“Bukannya nyokap lo ngga ngijinin lo dateng ke sana?”
“Lo pasti tahu kenapa mama ngga suka dateng ke Bali kan?"
“Gw ngga jelas juga. Yang gw tahu nyokap lo itu emang anti banget dateng ke sana.”
“Masa sih lo ngga tahu Om?”
Dia mengalihkan pandangannya dariku dan kemudian menyesap kopi dari cangkir mungilnya
“Gw ketemu sama papa gw di sana. Papa gw masih hidup.”
“Uhuk!” Om Andre kaget dan tersedak.
“Kenapa lo? Kaget?”
“Beneran lo ketemu Om Damar?”
“Tega lo ya! Lo tahu tapi ngga pernah bilang apa pun ke gw soal laki-laki itu.”
“Bukannya gw ngga mau, Vi, gw takut sama nyokap lo. Bisa-bisa gw di bunuh sama Mbak Mel kalau sampe gw cerita. Lo tahu sendiri kan nyokap lo kayak gimana galaknya. Trus, bokap lo gimana? Eh, tapi gimana lo bisa ketemu sama Om Damar?”
Aku menceritakan semua kisahku pada Om Andre yang hanya melongo mendengarnya. Tentu saja aku tidak menceritakan tentang Oscar dan kecelakaan yang menyebabkan aku tak sadarkan diri.
“Ada hikmah dari semua kejadian, Vi. Mungkin lo emang ngga berjodoh sama si Angga itu. Trus, cowok tadi itu yang namanya Fandra?”
Aku mengangguk.
“Lo pacaran sama dia?”
Aku menggeleng.
“Lo suka sama dia?”
“Iya.”
“Dianya suka sama lo?”
“Iya.”
“Ya udah kenapa ngga pacaran? Diseriusin.”
“Awalnya gw masih ragu, tapi saat gw mulai yakin malah ada halangan yang lain. Apa mungkin ngga berjodoh lagi ya, Om?”
“Halangan apa?”
“Dia dijodohin sama mantan pacarnya yang dulu. Mantan gw yg dulu juga tunangan sama adiknya. Dan banyak lagi perbedaan yang lain, lo tahulah, beda agama, cara hidup, belum lagi masa lalu gw yang ngga baik.”
Ups…
“Masa lalu lo yang mana yang ngga baik?”
Sambar Om Andre cepat. Rupanya dia bersungguh-sungguh mendengarkan curhatanku.
“Ya… latar belakang keluarga gw.”
Kilahku mencari-cari jawaban.
“Emang keluarga lo ngga baik? Jangan sembarangan ya. Lo itu punya latar belakang keluarga yang baik semua. Perceraian orang tua itu bukan salah lo, jadi ngga fair kalau itu dijadikan alasan.”
“Tapi kan Om, latar belakang mama dan Om Damar mirip sama gw dan Fandra sekarang. Kita completely beda dari semua-semuanya. Wajar dong, kalau ada ketakutan-ketakutan dalam hati gw atau mungkin dari keluarganya Fandra.”
“Yah, jalanin aja dulu kenapa. Kan kalian belum tentu bakalan nikah.”
“Ngawur lo! Lo suruh gw buang-buang waktu dan energi untuk hubungan yang ngga jelas?! No way! Ngga akan! Waktu dan energi gw udah cukup terkuras sama mantan gw yang dulu, gw ngga bodoh, buat ngulang kesalahan yang sama.”
Om Andre terdiam.
“Udahlah ngga usah lo pusing-pusing mikirin gw. Anyway, lo udah ketemuan sama Mbak Maya? Udah lo kasiin kadonya?”
Aku bertanya mengalihkan pembicaraan.
“Udah.”
Dia menjawab singkat dan rona wajahnya mendadak berubah menjadi tidak bergairah.
“Kenapa lo? Dicuekin lagi.”
“Ngga juga. Udah gw kasi kadonya. Dia terlihat….”
“Ngga suka ya?” tebakku
“Dia suka banget. Thanks ya, gw hari ini baru tahu ternyata dia juga suka baca.”
Aku mendelik, “Lo baru tahu, kemana aja lo?”
“Beneran gw baru tahu karena selama ini jarang banget gw liat dia bawa-bawa buku atau baca-baca gitu.”
“Payah lo!”
“Trus ntar malem party dong?”
“Ngga ada party.”
“Eh, kok gitu? Dia ngga suka party?”
“Dia ada janji sama Nabila ntar malem.”
“Dan lo biarin dia pergi lagi sama cewe itu?”
“Gw harus gimana?”
“Ya jangan dikasi lah!”
“Susah….”
Sebuah dentingan terdengar dari ponsel-ku, sebuah pesan masuk. Aku melihat sebuah pesan dari Pak Herman.
Vio, nanti langsung ketemu di TKP aja ya, saya lagi di rumah sodara sekalian berkunjung mumpung di sini. Ciao. Selintas sebuah ide melesat di kepalaku.
“Om, ntar malem gw ada undangan diner di rumahnya owner perusahaan tempat gw audit sekarang. Lo mau ikut gw ngga?”
“Males gw.”
“Kalau ada Maya di sana, lo masih males?”
Mendengar aku menyebut nama Maya, Om Andre langsung melihatku dengan mata berbinar.
Diubah oleh drupadi5 08-02-2022 14:41
JabLai cOY dan 4 lainnya memberi reputasi
5