Kaskus

News

tyrodinthorAvatar border
TS
tyrodinthor
Ketika Ibnu Nadim Menjelaskan Tentang Yahudi, Kristen, Hindu, dan Buddha
Ketika Ibnu Nadim Menjelaskan Tentang Yahudi, Kristen, Hindu, dan Buddha


Jika kita sering bergaul dengan kitab-kitab Arab klasik, kita akan menjumpai kekayaan khazanah literatur berbahasa Arab sejak abad ke-7 sampai 9. Dan biasanya, saya pun akan merujuk kitab Al-Fihristyang ditulis oleh Ibnu Nadim (w. 385 Hijriyyah / 995) untuk menelusuri berbagai kitab Arab klasik yang beredar sejak abad ke-7 sampai 9, baik itu kitab-kitabnya para 'ulama salaf Muslim, hingga kitab-kitabnya para rabi Yahudi generasi Ge'onim. Sebagai suatu kitab bibliografi berbentuk katalog ensiklopedia, kitab yang berjudul asli Al-Fihristul-'Ulum ("Katalog Ilmu-ilmu") merangkum banyak nama-nama tokoh-tokoh penting dari berbagai madzhab dan firqah selain daripada ilmu-ilmu sekuler. Namun tidak hanya sebagai katalog, tapi juga deskripsi ringkas tentang suatu madzhab dan firqah yang waktu itu sangat banyak dan beragam.

Di masa sekarang, apabila kita mendengar kata madzhab, maka akan selalu merujuk pada berbagai metode/sekolah fiqh Islam. Sedangkan untuk kata firqah, maka akan selalu merujuk pada sekte-sekte 'aqidah dan kalam Islam. Namun sebenarnya, pada masa ketika madzhab dan firqah itu sedang berkembang, kedua kata ini senantiasa merujuk suatu kelompok khusus dalam skala luas. Misalnya, untuk kata madzhab, kata ini juga merujuk pada "agama" lain. Sedangkan kata firqah, kata ini merujuk pada "sekte-sekte" dalam berbagai agama. Para 'ulama di masa itu tidak mempersempit makna din untuk sebatas "agama". Demikian juga Ibnu Nadim. Sebagai seorang 'alim (jamak: 'ulama), yang seharusnya diartikan sebagai "ilmuwan" daripada sebagai "ahli agama Islam", Ibnu Nadim dengan cermat mencatat segala macam nama-nama tokoh besar dari berbagai agama dan sekte-sektenya sejak abad ke-7 sampai 9 di masa hidupnya, dengan menggunakan kata madzhab dan firqah, serta nama-nama kitab yang mereka tulis.

Dari banyak madzhab dan firqah itu, saya tertarik membahas yang paling dikenal saja sampai saat ini, yaitu Yahudi, Kekristenan, dan Buddhisme. Ibnu Nadim menulis deskripsi yang singkat namun padat tentang ketiga agama ini, disertai tokoh-tokoh dan kitab-kitabnya, yang saat itu memang berada dalam lingkungan intelektual yang sama dengan ummat Muslim. Pada thread ini, saya akan menerjemahkan bagian-bagian itu dalam kitab ini per paragraf, dengan harapan agar membuka cakrawala berpikir kita tentang zaman yang digadang-gadang sebagai Islamic Golden Age, sebagai suatu zaman yang terbuka, beragam, dan berpikir bebas, tanpa tendensi keimanan atau keagamaan tertentu.

Sebagai pembuka, kita perlu mengenal sedikit tentang Ibnu Nadim dan kitab Al-Fihrist-nya. Dia adalah seorang cendikiawan Baghdad di masa 'Abbasiyyah, dengan nama asli Muhammad bin Ishaq, kun'yah-nya Abu Ya'qub, laqab-nya "Al-Warraq" (Tinta), dan masyhur disebut Ibnu Nadim. Setidaknya ada 2 (dua) 'ulama di abad pertengahan (yaitu Dzahabi dan Ibnu Hajar) yang menduga dia menganut Syi'ah dalam hal 'aqidah, sementara juga menganut Mu'tazilah dalam hal kalam. Dalam hal ini, saya akan membahas bantahan khusus tentang ini dilandasi oleh berbagai analisis linguistik dan kesejarahan dari banyak tarajim yang beredar tentang dia:



Yang perlu ditegaskan adalah, bahwa Ibnu Nadim tidak memiliki tendensi keimanan ketika menulis kitab ini (yang akan kita buktikan bersama dari catatan dia tentang madzhab dan firqah yang ada (dan yang pernah ada) di sekitar dia. Artinya, kitab Al-Fihrist terbebas dari bias iman. Kitab Al-Fihrist semata-mata merupakan usaha kecendikiaan yang dilakukan Ibnu Nadim untuk membuat suatu ensiklopedia, atau buku pintar, yang bertujuan melestarikan berbagai kebudayaan yang ada di masa hidupnya sepengetahuannya. Dengan kinerja intelektual luar biasa, Ibnu Nadim dapat merangkum berbagai informasi dengan sangat akurat. Dia pun menyebutkan tokoh-tokoh 'ulama salaf dengan menggunakan tarajim dan manaqib, juga menggunakan hadits-hadits Sunni. Yang perlu diperhatikan bahwa dia tidak ingin mengambil sumber dari yang berlawanan. Maksudnya, ketika dia menjelaskan tentang Yahudi (seperti yang akan kita ulas bersama di bawah), dia menukilnya dari tokoh Yahudi langsung. Demikian juga ketika dia merangkum ilmu-ilmu hadits (yang maksudnya adalah hadits-hadits Sunni), dia juga menukilnya dari para muhadditsin Sunni. Lebih spesial lagi, kitab Al-Fihrist ini tidak hanya merangkum berbagai sekte, namun juga ilmu-ilmu lain. Ibnu Nadim sendiri menulis judulnya Al-Fihristul-'Ulum ("Katalog ilmu-ilmu"), dimana sudah barang tentu di dalamnya terdapat ensiklopedia tentang ilmu gramatika Arab (nahwu), logika, filsafat, matematika, fisika dan pengobatan, biologi, astronomi, arsitektur, dan beberapa ilmu-ilmu yang sekarang sudah tergolong pseudosains seperti astrologi (an-nujum), alkemi (al-kimya), dan supranatural (al-'ajib).

Oleh sebab itu, selain thread ini ditulis dalam rangka edukasi dan pencerahan, namun juga thread ini saya persembahkan khusus bagi seluruh pecinta sejarah, kebudayaan, dan peradaban manusia. Semoga dapat berkontribusi dalam pengembangan wawasan dan wacana toleransi antar umat beragama.

Selamat membaca!

INDEX


Tentang Yahudi (1)
Tentang Yahudi (2)
Tentang Kekristenan
Tentang Sekte-sekte Kristen dan Gnostik (1)
Tentang Sekte-sekte Kristen dan Gnostik (2)
Tentang India (1)
Tentang India (2)
Tentang India (3)
Tentang Buddhisme dan Sang Buddha
Diubah oleh tyrodinthor 20-04-2021 21:41
songosongoAvatar border
pakisal212Avatar border
starcrazyAvatar border
starcrazy dan 62 lainnya memberi reputasi
63
15.4K
197
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & Xenology
KASKUS Official
6.5KThread11.5KAnggota
Tampilkan semua post
tyrodinthorAvatar border
TS
tyrodinthor
#75
APA SEKTENYA IBNU NADIM? (3)
Lanjutan dari (2)

Bahkan, patut diduga bahwa "Al-Mujbirah" sebenarnya adalah sebuah sebutan yang saat itu sedang populer untuk merujuk suatu kelompok yang tadinya adalah mantan Mu'tazilah. Bila kita perhatikan seluruh daftar 'ulama "Al-Mujbirah" yang ditulis Ibnu Nadim, kita akan menemui deretan 'ulama yang memang bekas Mu'tazili. Sebut saja di antaranya, Al-Asy'ari sendiri, lalu Ibnu Kullab dan Hafsh Al-Fard (lihat Al-Fihrist Hal. 255), lalu 'Abdullah bin Dawud dan Al-Karabisi (lihat Al-Fihrist Hal. 256, bahkan disebutkan bahwa Al-Karabisi adalah mantan anggota Ahlur-Ra'yi, sebuah kelompok advokat yang mengutamakan pendapat pribadi, yang umumnya diisi oleh para fuqaha dari madzhab Hanafi dan Mu'tazilah). Termasuk juga Al-Husain An-Najjar yang disebutkan di atas, bahwa dia sering duduk di majlis An-Nazham untuk berdebat. Para 'ulama "Al-Mujbirah" ini pada akhirnya kemudian membangun majlis-nya sendiri, seperti Ibnu Kullab (Kullabiyyah) dan Al-Asy'ari (Asy'ariyyah). Dugaan lainnya, bahwa "Al-Mujbirah" merupakan sebuah sekte yang menganut determinisme takdir, sebuah keyakinan yang mendasarkan pada ketiadaan kehendak bebas (free will). Semua 'ulama "Al-Mujbirah" di atas tampak menolak keyakinan Mu'tazilah bahwa seluruh manusia memiliki kehendak bebas menentukan takdirnya. Yang manapun itu, tetap saja bahwa Ibnu Nadim tidak hendak mengatakan bahwa "Al-Mujbirah" adalah Asy'ariyyah sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar di atas.

Kemudian, kalimat Ibnu Hajar yang berbunyi "[Ibnu Nadim] menyebut orang-orang selain Syi'ah sebagai "kalangan umum" (عاميا). Hal ini disebabkan karena di masa Ibnu Hajar, Ahlus-Sunnah telah berdiri sebagai sebuah sekte mainstream yang sebagian besar doktrin teologinya telah dibakukan/dikanonisasi/diseragamkan. Hal ini berbeda dengan Ahlus-Sunnah di masa Ibnu Nadim, yang mana belum ada penyeragaman terhadap doktrin Ahlus-Sunnah. Kita dapat dengan mudah menemui berbagai keragaman ikhtilaf dan majlis yang dibangun oleh para 'ulama salaf Sunni, yang menandakan bahwa Ahlus-Sunnah adalah kelompok tradisional yang sangat inklusif (terbuka), tidak sektarian, dan tidak tunggal, sehingga dapat dikatakan sebagai khalayak umum, daripada suatu kalangan khusus. Di masa Ibnu Hajar dan di zaman sekarang, tentu saja Ahlus-Sunnah sudah menjadi sekte khusus yang telah baku dan terformat, tapi untuk di masa hidup Ibnu Nadim, Ahlus-Sunnah adalah kelompok umum.

DUGAAN IBNU NADIM SEBAGAI SYI'AH KARENA PENGGUNAAN GELAR 'ALAIHIS-SALAM UNTUK 'ALI

Kita telah mengkritik pendapat Ibnu Hajar dalam menduga Ibnu Nadim sebagai Syi'ah sangatlah lemah. Selain dia hanya menukil pendapat Dzahabi, dia juga secara sederhana menginterpretasikan kata "Al-Mujbirah" yang dimaksud Ibnu Nadim adalah Asy'ariyyah. Kita telah menunjukkan bukti bahwa argumentasi Ibnu Hajar tsb sangat lemah.

Namun, setidaknya juga muncul dugaan lain bahwa Ibnu Nadim itu Syi'ah, didasari oleh penggunaan frase 'alaihis-salam (عليه السلام ; "baginya keselamatan") yang disematkan kepada 'Ali bin Abu Thalib di dalam Al-Fihrist. Dalam tradisi Sunni di zaman sekarang, kita mengetahui bahwa frase tsb (yang umumnya dalam bahasa Indonesia disingkat a.s.) digunakan secara khusus bagi para nabi sebelum Muhammad, dan bagi para malaikat. Sedangkan untuk kalangan shahabat dan ahlul-bait, serta untuk kalangan 'ulama salaf, frase yang digunakan adalah radhiyallahu 'anh (رضي الله عنه ; "ridha Allah untuknya"). Hal ini berbeda dengan Syi'ah, yang biasanya menggunakan frase 'alaihis-salam dan/atau 'alaihish-shalatu was-salam (عليه الصلاة والسلام ; "baginya kesejahteraan dan keselamatan") kepada ahlul-bait beserta para imam Syi'ah. Sedangkan para shahabat yang dipercaya mengikuti ajaran 'Ali, seperti Salman Al-Farisi dan Abu Dzar Al-Ghifari, biasanya akan diberi frase radhiyallahu 'anh dan rahimahullah (رحمه الله). Maka demikian, sebagian orang menyimpulkan Ibnu Nadim sebagai Syi'ah dari kesimpulan yang terlampau dangkal ini.

Mengapa dangkal? Kita dapat mengulas beberapa kelemahan argumen ini.

Pertama, bahwa pada mulanya, frase 'alaihis-salam (عليه السلام) kepada 'Ali digunakan secara luas, baik oleh Sunni maupun Syi'ah. Jika kita membaca berbagai salinan kitab 'ulama salaf di zaman sekarang, kita memang tidak akan menemui frase ini disematkan kepada 'Ali. Tapi, jika kita menggunakan salinan yang berdasarkan manuskrip tertua, misalnya salinan Shahih Bukhari terbitan Dār al-Fikr (1975) dari Islamic University of Madinah (Madinah, Arab Saudi) oleh Dr. Muhammad Muhsin Khan, maka kita akan menemui frase ini disematkan Al-Bukhari kepada 'Ali. Pada Shahih Bukhari Vol. 6 Hal. 355 (bab Tafsir Surah Adz-Dzariyat), kita menemukan sebuah atsar yang berbunyi sbb:

...قال علي عليه السلام: الذاريات الرياح، وقال غيره: تذروه تفرقه
'Ali a.s. berkata: "[Judulnya] Adz-Dzariyat Ar-Riyah". Yang lainnya berkata: "[Ar-Riyah] di belakangnya dibuang .... (dst)

Juga terhadap Husain, Bukhari juga menulis frase 'alaihis-salam. Pada bab Jihad, Bukhari No. 91berbunyi sbb:

... أتي ‏ ‏عبيد الله بن زياد ‏ ‏برأس ‏ ‏الحسين ‏ ‏عليه السلام ‏ ‏فجعل في طست ...
..... lalu 'Ubaidillah bin Ziyaddatang membawa kepala Al-Hussain a.s. yang ditaruhnya ke dalam sebuah bejana ..... (dst)

Begitu juga dalam Sunan Abu Dawud terbitan Dār al-Muḡnī (1993) dari Al-Azhar University (Kairo, Mesir), pada bab Zakat Abu Dawud No. 1574 juga berbunyi sbb:

حدثنا عمرو بن عون، أخبرنا أبو عوانة، عن أبي إسحاق، عن عاصم بن ضمرة، عن علي عليه السلام، قال: قال رسول الله ﷺ: قد عفوت عن...
Telah menceritakan kepada kami 'Amru bin 'Aun (10), telah mengabarkan kepada kami Abu 'Awanah (7), dari Abu Ishaq (3), dari 'Ali a.s. (1), dia berkata: "Rasulullah SAW berkata: "Aku telah memberikan pengecualian terhadap .... (dst)

Penggunaan 'alaihis-salamdi kalangan Sunni pada masa lampau tidak hanya untuk kalangan ahlul-bait seperti 'Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Frase ini juga digunakan kepada shahabat. Misalnya, Daruquthni menulis nama 'Umar dan Abu Bakar disertai frase 'alaihis-salam. Kita menemukan misalnya pada Fadha'ilush-Shahabah No. 3 dan No. 30 sbb:

قال علي عليه السلام: لم أكن لأحل عقدة عقدها عمر عليه السلام...
'Ali a.s. berkata: "Aku tidak akan memberikan keputusan sebelum 'Umar a.s. menyimpulkan"

... سمعت جعفر بن محمد يقول: ما أرجو من شفاعة علي عليه السلام شيئا، إلا وأنا أرجو من شفاعة أبي بكر عليه السلام مثله ...
.... [Hafsh bin Ghayats (8)berkata]: "Aku mendengar Ja'far bin Muhammad (6) mengatakan: "Aku tidak akan meminta syafa'at apapun dari 'Ali a.s., kecuali misalnya aku meminta syafa'at dari Abu Bakar a.s. .... (dst)

Dari fakta-fakta di atas, dugaan bahwa Ibnu Nadim sebagai Syi'ah karena menyebut 'Ali disertai dengan frase 'alaihis-salam tidak memiliki landasan historis melainkan hanya mengasumsikan konteks penggunaan 'alaihis-salam oleh Syi'ah di zaman sekarang. Sebagai tambahan, perlu diketahui pula bahwa Ibnu Nadim menyebut Abu Bakar dan 'Umar disertai frase amirul-mu'minin ("pemimpin orang-orang yang beriman"). Jika kita menggunakan konteks Syi'ah zaman sekarang, maka mustahil seorang Syi'ah akan menggunakan frase amirul-mu'minin kepada Abu Bakar dan 'Umar.

LANTAS KEYAKINAN ISLAM APA YANG DIANUT IBNU NADIM?

Karena semua dugaan bahwa Ibnu Nadim sebagai Syi'ah telah terbantahkan dan tidak memiliki landasan historis dan literatur, lantas keyakinan Islam apa yang dianut Ibnu Nadim? Ahlus-Sunnah kah? atau Mu'tazilah kah?

Pertanyaan ini sebenarnya tidak lagi penting untuk dibahas jika tujuannya hanya sekedar apakah Ibnu Nadim bisa diandalkan atau tidak. Berbagai pembahasan dan penjelasan dalam kitab Al-Fihrist-nya, kita sudah sama-sama membuktikan keandalan historiografi dan bibliografi yang ditulisnya. Namun, jika kita memang ingin meneliti lebih jauh sekte apa yang dianut Ibnu Nadim, mengingat dia hidup di lingkungan Islam yang sangat sektarian dan memiliki keragaman sekte-sekte lain di luar Islam, maka pertanyaan ini menjadi menarik untuk diteliti lebih dalam. Namun sayangnya, kita tidak bisa mengetahui apa yang diyakininya, atau belum ada satupun teknik analisis dan kritik-tekstual yang dapat mengakomodasi perihal keyakinan seorang penulis di zaman kuno, kecuali jika ybs mengakuinya sendiri, atau memiliki kecondongan kepada keyakinan tertentu yang diindikasikan dari apa yang ditulisnya. Sejauh ini, Ibnu Nadim tidak memiliki kecondongan kepada keyakinan tertentu dari apa yang ditulisnya di dalam Al-Fihrist. Lingkungan intelektual yang beragam dan sekuler di sekitar Ibnu Nadim itu bisa kita lihat sendiri dari kolega Ibnu Nadim. Setidaknya, diketahui ada 2 (dua) orang sahabat dekat Ibnu Nadim:

  1. Al-Mufid (Syi'ah Ja'fari) yang berguru kepada Ibnu Hamdan (Sunni Hanbali)
  2. Yahya bin 'Adi (Kristen Jacobite) yang berguru kepada Abu Bisyir Al-Qunna'i (Kristen Nestorian).

Sementara itu, Ibnu Nadim sendiri berguru kepada Isma'il Ash-Shafar (seorang perawi hadits Sunni). Lantas, apakah Ibnu Nadim seorang Sunni? Belum tentu. Kita bisa perhatikan sendiri bahwa fenomena murid berguru kepada orang yang berbeda keyakinannya adalah lazim di masa itu. Seperti kolega-koleganya, seorang Syi'ah yang berguru kepada Sunni, atau seorang Jacobite yang berguru kepada Nestorian. Lantas apakah Ibnu Nadim seorang Syi'ah? Belum tentu juga. Seperti yang telah disebutkan pada paragraf ini, kita tidak bisa mengetahui apa yang diyakininya, atau belum ada satupun teknik analisis dan kritik-tekstual yang dapat mengakomodasi perihal keyakinan seorang penulis di zaman kuno, kecuali jika ybs mengakuinya sendiri, atau memiliki kecondongan kepada keyakinan tertentu yang diindikasikan dari apa yang ditulisnya. Yang dilakukan Ibnu Nadim hanyalah mencatat. Dia tidak mengeluarkan suatu pernyataan, ataupun fatwa keagamaan tertentu atas sesuatu yang diyakininya.
Diubah oleh tyrodinthor 19-04-2021 23:04
ronnie158
beranimurtad
diknab
diknab dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.