- Beranda
- Stories from the Heart
Natsu No Hanami [N2H] - Fiksi -
...
TS
blank.code
Natsu No Hanami [N2H] - Fiksi -
![Natsu No Hanami [N2H] - Fiksi -](https://s.kaskus.id/images/2024/11/30/2875008_20241130104431.jpg)
PROLOG
Jakarta, pertengahan Juli 2013.
Matahari baru saja mulai merangkak naik di balik gedung-gedung tinggi, mengirimkan kilau keemasan yang menyelimuti jalanan. Suasana di Jalan M.H. Thamrin masih dipenuhi hiruk-pikuk kendaraan, suara mesin yang monoton mengiringi langkahku pagi itu.
Di punggung, ransel abu-abu terasa lebih berat dari biasanya, seolah di dalamnya bukan hanya berisi dokumen, melainkan seluruh harapan dan kecemasan yang menghantui pikiran selama beberapa minggu terakhir. Hari ini bukan hari biasa. Ini adalah hari di mana aku, Endra, akan mengurus visa pelajar—tiket menuju negeri asing yang selama ini hanya aku kenal dari halaman buku Manga dan film-film Anime minggu pagi yang saat kecil rutin ku tonton.
Sampai di depan gedung Kedutaan Besar Jepang, aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Baiklah, Endra," aku berbisik pelan, seolah kalimat itu adalah mantra yang bisa meredam segala ketakutan, "Ini langkah pertama dari perjalanan panjangmu. Jangan sampai gagal hanya karena hal-hal kecil."
Saat memasuki gedung kedutaan, aku segera dihadapkan pada prosedur keamanan yang ketat, seperti benteng yang melindungi dunia di baliknya dari hiruk-pikuk ibu kota. Seorang petugas keamanan berbadan tegap memeriksa seluruh badanku dan memindai isi tas dengan teliti, seperti seorang seniman menelusuri kanvasnya. Semua barang bawaanku melewati mesin X-ray, mengingatkan bahwa setiap perjalanan dimulai dengan pengorbanan, meski sekadar untuk beberapa benda pribadi yang sementara harus dipindai dan dilepaskan.
Setelah pemeriksaan, aku diarahkan ke ruang tunggu dan menerima nomor antrian serta formulir untuk diisi. Aku memilih tempat duduk di antara deretan kursi yang berjajar rapi, dalam suasana yang hening. Di sekeliling, ada banyak wajah asing yang mungkin memiliki tujuan serupa, mungkin berbeda. Semua terbungkus dalam pikiran masing-masing, di dalam keheningan yang tidak sepenuhnya kosong.
Ketika hendak mulai mengisi formulir, aku tersentak. Di antara benda-benda di tas, tidak ada pulpen. Tangan berhenti merogoh, jantungku berdegup lebih cepat. "Astaga, di mana pulpen Gue?" gumamku dengan panik, berusaha mencari-cari. Waktu seolah melambat saat aku terus mencari tanpa hasil.
Sekilas, aku melirik jam dinding merah di atas. Pukul 08.20. Waktu terasa lebih berharga dari biasanya, dan aku tahu tidak ada waktu untuk dibuang hanya karena kelalaian kecil ini. Pandanganku berkeliling ruangan, menyapu orang-orang yang duduk di sana, berharap menemukan seseorang yang mungkin bersedia meminjamkan pulpen.
Lalu pandangan berhenti pada seorang wanita muda yang kutaksir seusiaku dan duduk sekitar dua meter di sisi kanan. Rambutnya hitam sebahu, tergerai rapi, dan ia mengenakan kemeja putih yang tampak elegan. Kacamata berbingkai hitam membingkai matanya dengan lembut. Ada sesuatu pada sosoknya yang membuatnya terlihat... berjarak, namun sekaligus akrab. Ia tampak tenang, menuliskan sesuatu di buku agenda bersampul biru muda dengan motif bunga-bunga.
Ragu-ragu, aku berdebat dengan diri sendiri, apakah pantas meminta bantuan dari seorang asing. Namun, kebutuhan sering kali mengalahkan keraguan. Aku menarik napas dan akhirnya berkata, "Permisi, boleh nggak gue pinjam pulpen elu sebentar? buat ngisi formulir ini."
Wanita itu mengangkat alis, menatapku sejenak dengan pandangan yang sulit diartikan, sebelum akhirnya ia tersenyum kecil. "Oh, tentu. Sebentar." Ia mengambil pulpen hitam dari buku agendanya dan menyodorkannya ke aku.
"Terima kasih banyak, ya?" kataku dengan lega. "Gue janji nggak akan lama. Lagi nggak dipakai kan?"
"Nggak apa-apa, silakan dipakai," jawabnya, dengan nada suara yang seolah-olah mengalir dari tempat yang jauh dan tenang. "Aku masih punya cadanga, kok."
Dengan perasaan yang sulit ku ungkapkan dengan kata-kata, aku kembali ke tempat duduk dan mulai mengisi formulir. Sesekali, tanpa sengaja, aku mencuri pandang ke arah wanita itu,.
Waktu berlalu. Suara dari pengeras suara memanggil nomor antrian. Wanita itu berdiri, melangkah masuk ke dalam ruangan. Aku masih sibuk mengisi formulir dengan teliti, memastikan setiap kolom tidak ada yang terlewat.
Begitu selesai, aku menyadari bahwa sejak tadi aku menahan keinginan untuk ke toilet. Aku bangkit, mencari toilet terdekat. Saat kembali ke ruang tunggu, kursi yang tadi diduduki wanita itu sudah kosong. Ada sesuatu yang seketika hilang dari ruangan itu, dan aku merasa sedikit bingung.
Ketika nomor antrianku dipanggil, aku masuk dan menjalani proses pengajuan visa. Petugas kedutaan menanyakan beberapa hal dengan singkat, dan aku menjawab sebaik mungkin. Setelah selesai, aku keluar dengan harapan bisa mengembalikan pulpen pada wanita itu.
Namun, betapa kecewanya ketika menyadari bahwa ia benar-benar sudah tak ada di ruangan. Aku menghampiri staf di loket. "Maaf, apakah Ibu melihat wanita berkacamata dengan rambut hitam sebahu yang tadi duduk di sana?"
"Maaf, saya tidak memperhatikan," jawabnya datar, seolah pertanyaanku hanyalah basa-basi.
Pulpen itu masih ada di tanganku. Ada sesuatu yang seketika membuat benda itu terasa lebih dari sekadar alat tulis, melainkan pengingat yang terbungkus dalam rasa tak terjelaskan. "Mungkin ini akan jadi kenang-kenangan," pikirku, lalu menyelipkan pulpen hitam itu ke dalam saku celana.
Empat hari kemudian, aku kembali ke kedutaan untuk mengambil visa pelajar yang sudah selesai diproses. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam diriku. Ketakutan dan keraguan yang dulu menggantung seakan telah larut dalam rasa percaya diri yang baru. Aku menggenggam visa di tangan, menyadari bahwa langkah kecil ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Di luar gedung kedutaan, aku terdiam, membiarkan mata menatap gedung tinggi yang megah itu. Bayanganku terbang melintasi gedung-gedung di Tokyo, jalan-jalan yang ramai, hingga halaman-halaman universitas di Jepang.
Tantangan bahasa, perbedaan budaya, dan tuntutan akademis yang mungkin menunggu di sana tidak lagi menakutkan. Pulpen hitam itu, yang masih ada di saku jaket, tiba-tiba terasa lebih dari sekadar alat tulis. Ia seolah seperti penghubung yang tak kasat mata, sebuah jimat keberuntungan yang mengingatkan bahwa kadang-kadang, hal-hal kecil yang tak terduga bisa membuka jalan satu bagian proses penting.
Aku bertanya-tanya, apakah suatu hari nanti aku akan bertemu lagi dengan wanita itu? Ataukah ia hanya kebetulan sesaat, atau takdir yang sengaja Tuhan kirim untuk membantuku melalui proses ini?
Dengan senyum kecil, aku menggenggam visa di tangan, melangkah pergi, dan menyadari bahwa kisahku baru saja dimulai. Di saku kanan, pulpen hitam itu beristirahat tenang, menunggu petualangan berikutnya.
Diubah oleh blank.code 30-11-2024 10:45
itkgid dan 27 lainnya memberi reputasi
28
12K
178
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
blank.code
#121
CHAPTER 3: MEET HER AGAIN
Cahaya pagi di Tokyo seperti jendela kecil menuju dunia yang belum sepenuhnya terjaga. Matahari masuk perlahan, menerobos celah gorden pastel di apartemen kami, menciptakan bayangan samar di dinding. Aku duduk di tempat tidur, memegang secangkir kopi instan yang masih mengepul. Rasanya pahit, tapi hangat. Di luar, suara kereta yang melintas berirama dengan deru sepeda motor di jalan sempit. Tokyo adalah simfoni yang tak pernah benar-benar berhenti, bahkan di pagi hari.
Aku menghirup napas dalam-dalam, membiarkan aroma kopi bercampur dengan udara lembap musim panas. Ini baru minggu pertama kami di sini, tetapi rasanya seperti sudah bertahun-tahun. Tokyo memiliki cara untuk membuat waktu melambat sekaligus melaju kencang. Di satu sisi, aku merasa terburu-buru, berusaha menyesuaikan diri dengan ritme kota ini. Di sisi lain, ada saat-saat seperti ini—duduk di kamar kecil yang terasa seperti kotak sepatu, sambil merenungkan hidupku sejauh ini.
Alvin masih di kamar mandi. Suara aliran air terdengar seperti latar belakang film pendek cinematik yang tak berkesudahan. Mungkin dia tertidur di sana lagi, kebiasaan anehnya setiap pagi. Aku mengetuk pintu dua kali.
“Vin, jangan tidur di kamar mandi! Kita bisa terlambat,” ujarku dengan nada bercanda, meskipun sebenarnya aku agak kesal.
Dari dalam, terdengar gumaman samar. “Sabar tho, Ndra. Perutku masih nggak bisa kompromi iki.”
Aku menghela napas, lalu tersenyum kecil. Alvin adalah tipe orang yang tidak bisa kau benci meskipun dia membuatmu frustrasi. Ada sesuatu yang hangat tentang caranya berbicara, seperti aroma sup ayam hangat di hari hujan. Dia sering bercerita tentang keluarganya di Malang, tentang ibunya yang pandai membuat lumpia, atau tentang Nimo, anjing kecilnya yang katanya selalu tidur di pangkuannya setiap malam. Di sela cerita-ceritanya, aku sering memikirkan rumah, tapi tidak seperti dia. Aku tidak benar-benar merindukan rumah. Bagiku, rumah adalah konsep yang intens, lebih seperti sebuah perasaan daripada tempat.
Apartemen kami di Ota adalah contoh sempurna efisiensi Jepang. Dengan luas hanya 16 meter persegi, ruangan itu terasa seperti teka-teki Tetris yang dirancang untuk memuat sebanyak mungkin fungsi. Ada dapur kecil di sebelah kiri pintu masuk, wastafel mungil di sampingnya, dan kamar mandi yang lebih sempit daripada bilik telepon umum. Ruang utama adalah kombinasi dari tempat tidur, meja makan, dan ruang belajar. Di sini, setiap sentimeter persegi memiliki tujuan, dan setiap sudut membawa cerita kecil tentang adaptasi kami di kota ini.
Meski sempit, apartemen ini memiliki pesona tersendiri. Suara kereta yang lewat setiap beberapa menit menjadi pengingat bahwa kami berada di jantung kehidupan Tokyo. Aku sering duduk di tepi jendela kecil kami, memperhatikan pejalan kaki yang hilir mudik di bawah, membayangkan cerita-cerita mereka. Alvin, di sisi lain, sering menghabiskan waktu dengan memutar lagu-lagu lawas dari ponselnya. Kadang-kadang, dia menari kecil di tengah ruangan, mengundang tawa dariku.
Hari pertama di kelas bahasa Jepang tiba dengan kecepatan yang mengejutkan. Kami meninggalkan apartemen pukul tujuh pagi, setelah Alvin akhirnya selesai berurusan dengan "kompromi perutnya." Perjalanan ke lembaga kursus memakan waktu sekitar 55 menit dengan kereta komuter, termasuk dua kali transit di stasiun besar. Di dalam kereta, suasananya campuran antara kebisingan dan keheningan. Orang-orang bergerak seperti robot, dengan ekspresi yang tampak seragam: serius, fokus, tapi entah bagaimana jauh.
Aku memperhatikan seorang wanita tua yang duduk di pojok gerbong, memegang tas belanja yang penuh dengan sayuran segar. Di seberangnya, seorang pria muda dengan setelan jas tertidur sambil memegang tas kerjanya. Di luar jendela, Tokyo berlari seperti film yang dipercepat. Bangunan tinggi, toko-toko kecil, dan taman-taman mungil berlalu dalam hitungan detik.
“Vin, cepat! Kita hanya punya tiga menit lagi,” ujarku saat kami akhirnya tiba di depan gedung bercat putih tempat lembaga kursus itu berada. Alvin tergopoh-gopoh di belakangku, membawa tas selempangnya dengan gaya santai yang kontras dengan langkah tergesa-gesaku.
Kami memasuki ruang kelas di lantai tiga tepat saat jam berdentang pukul delapan. Semua kursi hampir penuh. Aku menemukan dua tempat kosong di baris paling belakang dan langsung mendudukinya. Ruang kelas itu penuh dengan energi yang aneh—kombinasi antara rasa gugup dan antusiasme. Orang-orang dari berbagai negara duduk bersama, berbagi tujuan yang sama: memahami bahasa Jepang.
Sensei kami, seorang wanita bernama Yunna akami, memperkenalkan dirinya dengan senyuman ramah. Kata-katanya dalam bahasa Inggris terdengar jelas, meskipun ada aksen Jepang yang menambahkan warna unik pada suaranya. Sambil dia berbicara, aku mencoba fokus, tetapi mataku terus bergerak, mencari sesuatu yang tidak sepenuhnya kupahami.
Dan di situlah aku melihatnya. Rambut hitam sebahu, wajah yang familiar, dan cara berdirinya yang penuh keyakinan.
Dan di situlah aku melihatnya. Rambut hitam sebahu, wajah yang familiar, dan cara berdirinya yang penuh keyakinan.
“Dia...” pikirku. “Dia benar-benar di sini.” aku tercekat dalam diam berusaha mencerna takdir misterius ini.
Ketika giliran gadis itu memperkenalkan diri, aku mendengarkan setiap kata seperti seorang penonton yang terpesona di tengah konser.
“Good morning everyone. My name is Berlian Maheswari, you can call me Anna,” katanya dengan suara yang tenang tapi jelas. Kalimat-kalimat berikutnya berlalu seperti angin di telingaku. Aku tidak mendengar detailnya, tapi aku menangkap intinya: dia datang dari Yogyakarta, mencintai Jepang sejak kecil, dan bermimpi menjadi dokter seperti keinginan almarhum ayahnya. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku merasa kecil.
Aku merogoh tas selempangku, mencari balpen hitam yang sudah lama kusimpan. Balpen itu adalah pengingat kecil dari pertemuan singkat kami di kedutaan Jepang dua bulan lalu. Saat itu, aku tidak pernah membayangkan bahwa aku akan bertemu dia lagi—apalagi di tempat seperti ini.
Ketika kelas selesai, aku mengumpulkan keberanian untuk menghampirinya.
“Anna!” panggilku saat dia berjalan menuju pintu keluar. Dia menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Ya, ada apa?”
“Kamu ingat aku?” tanyaku, mencoba terlihat santai meskipun hatiku berdebar. Dia memiringkan kepalanya sedikit, seperti mencoba mengingat. “Endra, kan? Kita sama-sama dari Indonesia.”
“Anna!” panggilku saat dia berjalan menuju pintu keluar. Dia menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Ya, ada apa?”
“Kamu ingat aku?” tanyaku, mencoba terlihat santai meskipun hatiku berdebar. Dia memiringkan kepalanya sedikit, seperti mencoba mengingat. “Endra, kan? Kita sama-sama dari Indonesia.”
“Iya, tapi bukan itu. Maksudku... kamu ingat waktu di kedutaan Jepang di Jakarta? Aku yang pernah pinjam balpen hitammu.”
“Oh...” Dia terdiam sejenak, lalu senyumnya muncul perlahan. “Ya, aku ingat sekarang. Itu kamu toh?”
“Oh...” Dia terdiam sejenak, lalu senyumnya muncul perlahan. “Ya, aku ingat sekarang. Itu kamu toh?”
Aku mengeluarkan balpen itu dari saku celanaku dan menyerahkannya padanya. “Ini. Aku akhirnya bisa balikin. Maaf ya, waktu itu aku buru-buru, jadi nggak sempat ngembaliin langsung.”
Dia mengambil balpen itu, matanya menatapku dengan campuran keterkejutan dan rasa terima kasih. “Makasih ya. Aku pikir aku nggak akan pernah lihat balpen ini lagi, apalagi ketemu orang yang minjemnya.”
Kami berbicara sebentar sebelum Alvin memanggilku dari pintu. Dia memberiku kode dengan gerakan tangan yang jelas: “Ayo pulang!”
“Aku duluan ya. Salam kenal, Anna,” ujarku, melambaikan tangan kecil sambil melirik Alvin yang semakin tak sabar.
Dia tersenyum tipis. “Iya, sampai ketemu lagi.”
Saat aku keluar dari ruangan, ada sesuatu yang terasa berubah. Entah bagaimana, dunia ini tampak sedikit lebih besar, lebih cerah, lebih penuh kemungkinan.
Kami berbicara sebentar sebelum Alvin memanggilku dari pintu. Dia memberiku kode dengan gerakan tangan yang jelas: “Ayo pulang!”
“Aku duluan ya. Salam kenal, Anna,” ujarku, melambaikan tangan kecil sambil melirik Alvin yang semakin tak sabar.
Dia tersenyum tipis. “Iya, sampai ketemu lagi.”
Saat aku keluar dari ruangan, ada sesuatu yang terasa berubah. Entah bagaimana, dunia ini tampak sedikit lebih besar, lebih cerah, lebih penuh kemungkinan.
Diubah oleh blank.code 25-11-2024 20:22
itkgid dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup