- Beranda
- Stories from the Heart
Balada Cinta Si Badut Mampang
...
TS
indrag057
Balada Cinta Si Badut Mampang
Spoiler for :
BALADA CINTA SI BADUT MAMPANG
(TAMAT)
(TAMAT)
pic : kapanlagi.com
Part 1:
Gadis Bertopi Merah
Gadis Bertopi Merah
Gadis tanggung bertopi merah itu berjalan berjingkat jingkat menyeberangi perempatan jalan saat lampu lalu lintas menyala merah. Rambut ekor kudanya terayun ayun mengikuti irama gerak langkah kakinya. Sementara baju lengan panjang kotak kotak yang ia kenakan tanpa dikancingkan itu melambai lambai dipermainkan angin, memperlihatkan kaos yang juga berwarna merah yang ia kenakan di balik kemeja itu.
Sebelah tangan gadis itu menenteng sebuah ukulele. Sedang di tangan yang satu lagi, sebuah kantong plastik bening berisi dua bungkus roti dan air mineral gelasan nampak berayun ayun.
Hiruk pikuknya para pengendara kendaraan yang seolah tak sabar menunggu lampu hijau sama sekali tak dihiraukan oleh gadis itu. Baru saat ada salah seorang pengendara sepeda motor yang iseng menggodanya dengan bersuit dan membunyikan klakson, gadis itu membalasnya dengan menjulurkan lidahnya.
"Dasar cowok ganjen!" dengus gadis itu sambil melompat naik ke atas trotoar. Langkah kecilnya kemudian membawa gadis itu ke salah satu sisi tembok pagar Masjid Raya yang berada di sudut perempatan jalan. Selembar kardus bekas ia jadikan untuk alas duduk, bersandar pada tembok pagar kusam yang dinaungi oleh rindangnya pohon angsana. Tangan mungilnya dengan cekatan membuka bungkusan plastik yang dibawanya, mengeluarkan isinya, lalu dengan lahap mengunyah roti yang menjadi menu makan sorenya itu.
Kunyahan gadis itu tiba tiba terhenti saat matanya tanpa sengaja melirik seorang remaja laki laki yang duduk tak jauh darinya. Anak laki laki bertubuh dekil dengan pakaian kumal itu sepertinya sudah tak asing dimatanya. Pelan pelan gadis itu menggeser posisi duduknya, mendekat ke arah anak itu.
"Nih, makan," ujar si gadis sambil mengulurkan sisa roti di dalam kantong plastiknya. Anak laki laki itu nampak terkejut. Ia menoleh dan menatap nanar ke arah si gadis.
"Ayo, makanlah. Sepertinya kamu kelaparan. Ini roti masih bagus kok, aku baru saja membelinya," ujar si gadis lagi, sambil tersenyum.
Sedikit ragu anak laki laki itu mengulurkan tangannya, menerima roti yang diberikan oleh si gadis, tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah si pemberi roti itu.
"Terima kasih," ujar anak laki laki itu lirih. Pelan pelan ia membuka bungkus roti itu dan menggigit isinya.
"Siapa namamu?" tanya gadis itu lagi, sambil mengeluarkan air mineral gelasan dari dalam plastik dan meletakkannya di depan si anak laki laki.
"Lintang," sahut anak laki laki itu pendek.
"Aku Gendhis," tanpa diminta gadis itu juga menyebutkan namanya. "Kamu minggat dari rumah ya?"
"Eh?!" si anak laki laki nampak terkejut mendapat pertanyaan tak terduga itu.
"Sudah beberapa hari ini kuperhatikan kamu selalu berada disini, dari pagi saat aku datang, sampai sore menjelang saat aku pulang. Pakaianmu juga tak pernah ganti, dan ...."
"Aku dibuang," pelan anak itu memotong ucapan si gadis.
"Dibuang?!" kini si gadis yang nampak terkejut.
"Ibuku kimpoi lagi setelah bapakku meninggal, dan bapak tiriku, sepertinya ia tak suka kepadaku. Dengan dalih mengajakku jalan jalan ke kota ini, diam diam ia justru meninggalkanku seorang diri di kota ini," jelas si anak laki laki.
"Ya ampuuunnn, kejam sekali bapak tirimu itu," ujar si gadis penuh iba. "Darimana asalmu?"
"Dari kota S."
"Kota S? Dimana itu?"
"Sebuah kota kecil yang sangat jauh dari sini. Butuh waktu sehari semalam untuk sampai di kota ini dari kotaku."
"Tega sekali orang tuamu itu," gumam si gadis. "Sudah berapa lama kamu dibuang disini?"
"Empat hari," lagi lagi si anak laki laki menjawab pelan.
"Pantas saja, beberapa hari ini aku selalu melihatmu disini. Jadi selama empat hari itu, apa saja yang kamu lakukan?"
"Entahlah. Aku bingung. Aku hanya duduk duduk saja disini, dan kalau malam, aku tidur di emperan masjid. Beruntung kadang kadang ada orang yang berbaik hati memberiku makanan atau sedikit uang."
"Kau masih lapar?" tanya si gadis lagi saat menyadari bahwa roti di tangan si anak laki laki itu telah habis tak tersisa. Agak segan anak laki laki itu mengangguk.
"Bagaimana kalau kau ikut ke rumahku saja?" sebuah ide tiba tiba melintas di benak si gadis.
"Eh, bolehkah?" mata si anak laki laki nampak berbinar.
"Tentu saja boleh. Kita senasib. Aku juga tak punya orang tua. Setiap hari aku ngamen disini untuk menyambung hidup. Kalau kamu mau, nanti kamu juga boleh kok ikut aku ngamen, daripada kamu terlantar disini," kata si gadis lagi.
"Emmmm, tapi ...," si anak laki laki nampak berpikir keras.
"Aku nggak maksa sih, dan kalau kamu nggak mau juga nggak papa kok," ujar si gadis sambil berdiri. "Sudah sore, aku pamit pulang dulu ya. Besok kamu tunggu disini saja. Aku janji, akan kubawakan makanan dan baju ganti untukmu."
Si gadis lalu melangkah meninggalkan si anak laki laki yang masih diam seribu bahasa itu. Kaki mungilnya melangkah menyusuri trotoar yang berdebu itu menuju ke arah timur.
"Gendhis, tunggu!" seruan si anak laki laki menghentikan langkah si gadis. Ia menoleh dan melambai ke arah si anak laki laki, memberi isyarat untuk mengikutinya. Si anak laki lakipun segera bangkit dan berlari lari kecil menyusul si gadis. "Aku mau ikut denganmu!"
"Ayolah," seru si gadis sambil kembali berjalan. Berdua mereka akhirnya berjalan beriringan meninggalkan hiruk pikuknya lalu lintas di perempatan jalan itu, memasuki sebuah gang sempit yang diapit oleh bangunan bangunan megah yang tinggi menjulang. Sementara di ufuk barat sana, warna jingga mulai menyelimuti cakrawala, menandakan bahwa sang suryapun telah pamit untuk kembali ke peraduannya.
Sebelah tangan gadis itu menenteng sebuah ukulele. Sedang di tangan yang satu lagi, sebuah kantong plastik bening berisi dua bungkus roti dan air mineral gelasan nampak berayun ayun.
Hiruk pikuknya para pengendara kendaraan yang seolah tak sabar menunggu lampu hijau sama sekali tak dihiraukan oleh gadis itu. Baru saat ada salah seorang pengendara sepeda motor yang iseng menggodanya dengan bersuit dan membunyikan klakson, gadis itu membalasnya dengan menjulurkan lidahnya.
"Dasar cowok ganjen!" dengus gadis itu sambil melompat naik ke atas trotoar. Langkah kecilnya kemudian membawa gadis itu ke salah satu sisi tembok pagar Masjid Raya yang berada di sudut perempatan jalan. Selembar kardus bekas ia jadikan untuk alas duduk, bersandar pada tembok pagar kusam yang dinaungi oleh rindangnya pohon angsana. Tangan mungilnya dengan cekatan membuka bungkusan plastik yang dibawanya, mengeluarkan isinya, lalu dengan lahap mengunyah roti yang menjadi menu makan sorenya itu.
Kunyahan gadis itu tiba tiba terhenti saat matanya tanpa sengaja melirik seorang remaja laki laki yang duduk tak jauh darinya. Anak laki laki bertubuh dekil dengan pakaian kumal itu sepertinya sudah tak asing dimatanya. Pelan pelan gadis itu menggeser posisi duduknya, mendekat ke arah anak itu.
"Nih, makan," ujar si gadis sambil mengulurkan sisa roti di dalam kantong plastiknya. Anak laki laki itu nampak terkejut. Ia menoleh dan menatap nanar ke arah si gadis.
"Ayo, makanlah. Sepertinya kamu kelaparan. Ini roti masih bagus kok, aku baru saja membelinya," ujar si gadis lagi, sambil tersenyum.
Sedikit ragu anak laki laki itu mengulurkan tangannya, menerima roti yang diberikan oleh si gadis, tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah si pemberi roti itu.
"Terima kasih," ujar anak laki laki itu lirih. Pelan pelan ia membuka bungkus roti itu dan menggigit isinya.
"Siapa namamu?" tanya gadis itu lagi, sambil mengeluarkan air mineral gelasan dari dalam plastik dan meletakkannya di depan si anak laki laki.
"Lintang," sahut anak laki laki itu pendek.
"Aku Gendhis," tanpa diminta gadis itu juga menyebutkan namanya. "Kamu minggat dari rumah ya?"
"Eh?!" si anak laki laki nampak terkejut mendapat pertanyaan tak terduga itu.
"Sudah beberapa hari ini kuperhatikan kamu selalu berada disini, dari pagi saat aku datang, sampai sore menjelang saat aku pulang. Pakaianmu juga tak pernah ganti, dan ...."
"Aku dibuang," pelan anak itu memotong ucapan si gadis.
"Dibuang?!" kini si gadis yang nampak terkejut.
"Ibuku kimpoi lagi setelah bapakku meninggal, dan bapak tiriku, sepertinya ia tak suka kepadaku. Dengan dalih mengajakku jalan jalan ke kota ini, diam diam ia justru meninggalkanku seorang diri di kota ini," jelas si anak laki laki.
"Ya ampuuunnn, kejam sekali bapak tirimu itu," ujar si gadis penuh iba. "Darimana asalmu?"
"Dari kota S."
"Kota S? Dimana itu?"
"Sebuah kota kecil yang sangat jauh dari sini. Butuh waktu sehari semalam untuk sampai di kota ini dari kotaku."
"Tega sekali orang tuamu itu," gumam si gadis. "Sudah berapa lama kamu dibuang disini?"
"Empat hari," lagi lagi si anak laki laki menjawab pelan.
"Pantas saja, beberapa hari ini aku selalu melihatmu disini. Jadi selama empat hari itu, apa saja yang kamu lakukan?"
"Entahlah. Aku bingung. Aku hanya duduk duduk saja disini, dan kalau malam, aku tidur di emperan masjid. Beruntung kadang kadang ada orang yang berbaik hati memberiku makanan atau sedikit uang."
"Kau masih lapar?" tanya si gadis lagi saat menyadari bahwa roti di tangan si anak laki laki itu telah habis tak tersisa. Agak segan anak laki laki itu mengangguk.
"Bagaimana kalau kau ikut ke rumahku saja?" sebuah ide tiba tiba melintas di benak si gadis.
"Eh, bolehkah?" mata si anak laki laki nampak berbinar.
"Tentu saja boleh. Kita senasib. Aku juga tak punya orang tua. Setiap hari aku ngamen disini untuk menyambung hidup. Kalau kamu mau, nanti kamu juga boleh kok ikut aku ngamen, daripada kamu terlantar disini," kata si gadis lagi.
"Emmmm, tapi ...," si anak laki laki nampak berpikir keras.
"Aku nggak maksa sih, dan kalau kamu nggak mau juga nggak papa kok," ujar si gadis sambil berdiri. "Sudah sore, aku pamit pulang dulu ya. Besok kamu tunggu disini saja. Aku janji, akan kubawakan makanan dan baju ganti untukmu."
Si gadis lalu melangkah meninggalkan si anak laki laki yang masih diam seribu bahasa itu. Kaki mungilnya melangkah menyusuri trotoar yang berdebu itu menuju ke arah timur.
"Gendhis, tunggu!" seruan si anak laki laki menghentikan langkah si gadis. Ia menoleh dan melambai ke arah si anak laki laki, memberi isyarat untuk mengikutinya. Si anak laki lakipun segera bangkit dan berlari lari kecil menyusul si gadis. "Aku mau ikut denganmu!"
"Ayolah," seru si gadis sambil kembali berjalan. Berdua mereka akhirnya berjalan beriringan meninggalkan hiruk pikuknya lalu lintas di perempatan jalan itu, memasuki sebuah gang sempit yang diapit oleh bangunan bangunan megah yang tinggi menjulang. Sementara di ufuk barat sana, warna jingga mulai menyelimuti cakrawala, menandakan bahwa sang suryapun telah pamit untuk kembali ke peraduannya.
Bersambung
Diubah oleh indrag057 15-09-2024 17:46
azhuramasda dan 119 lainnya memberi reputasi
116
65.4K
2.6K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.1KThread•45.7KAnggota
Tampilkan semua post
mamaproduktif
#100
Yahelah penasaran terus ini kalau updte
Rainbow555 dan indrag057 memberi reputasi
2
Tutup