Kami menghabiskan masing-masing satu porsi yang terdiri 10 tusuk tanpa terasa. Kemudian berjalan sambil menghisap tembakau dengan lembut. Ia meneruskan kisah Antawirya.
Kediaman Astacala terdiri satu bangunan besar dan melebar. Dengan 10 anggota keluarga. Mempunyai lahan luas di belakangnya yang berfungsi sebagai upacara dan latihan rutin mereka.
Berada diatas gunung, dikelilingi kebun, Astacala menjadi tempat yang cukup menarik. Sebuah desa tepat berada dibawahnya, menjadikan kehidupan sehari-hari mereka tidak terlalu terisolir. Mengandalkan panen, mereka bertahan dan terus menjaga segelnya.
Durma sedang mengobrak-abrik Astacala, beberapa orang terbunuh karenanya. Beberapa yang lain terluka dan terus melawan. Sama seperti yang pernah dibawa Maludra dulu, antek-antek Durma hampir seperti makhluk abadi. Mereka terluka, namun tak berhenti bergerak dan menyerang. Satu-satunya cara untuk menghentikan mereka adalah menebas kedua kakinya, itupun hanya memberi sedikit waktu.
Jika kaki ditebas, mereka bergerak dengan tangan, jika tangan ditebas, mereka bergerak dengan dagu, jika kepala mereka ditebas, badan mereka akan berguling untuk mengganggu gerakan lawannya ketika bertarung.
Laras dan Jingga tiba, mereka bersembunyi di balik rerimbunan memperhatikan kesempatan di tengah-tengah kekacauan tersebut.
Sementara mereka meninggalkan Nata dan Lala yang turun ditengah jalan saat menemukan Wira berlari turun.
"Salahsatu dari kita musti nyari tetua Astacala."
Laras berujar.
"Yaudah
siadeh yang nyari,
aing ngurus si empat tangan itu."
Jingga membalas.
"Kita kumpul di bawah batu paling besar itu ya?"
Laras menunjuk ke bawah.
"Okeoke, kalo
sia udah nyampe terus
aing lama dateng, tinggal aja gak apa-apa. Yang penting mereka gak ngejar. Gimana?"
Jingga memberi usul.
"Bener ya?"
Laras mempertanyakan.
"Iya bener, tenang aja."
Jingga meyakinkan sambil menunjuk punggungnya.
"Iya deh, aku maju duluan."
Laras bersiap.
"E e e eh.. tunggu bentar."
Jingga menahannya.
"Apalagi?"
Laras protes.
"
Aing dulu yang maju, kalo mereka udah fokus ke
aing, baru
sia maju."
Jingga menjawab setengah sombong.
"Yaudah
atuh sok, saya tunggu disini."
Laras menurutinya.
"Cakep!"
Jingga menepuk kepala Laras sambil berlalu maju.
"Uhh! Udah sana!"
Laras mendorongnya.
Jingga berjalan sambil merapal, tubuhnya perlahan berubah. Sesuatu menyembul keluar dari bawah punggungnya, ekor oranye dengan corak putih dan hitam bergaris.
Kedua tangannya pun perlahan berubah, bulu-bulu halus merayap hingga siku, tangannya perlahan berbentuk seperti tangan harimau, pun dengan kakinya saat ia melepaskan sepatunya sambil berjalan santai, hingga terakhir saat telinga mencuat dan pupil matanya berubah vertikal.
Jingga tanpa aba-aba langsung menerjang salahsatu antek, merobek tendon sendi, mematahkan kaki dan tangannya dengan sekejap, lalu memutar kepala lawannya hingga berbalik ke belakang.
"Yooooo anjeeng!!! Kemari kalian!
biar kurobek satu persatu, khekhekhe!"
Jingga berteriak menantang, setengah dari kata-katanya terdengar sedikit serak namun berat. Membuat semua antek berpaling kepadanya, pun dengan Durma yang sedang melawan tetua Astacala.
Ada 10 orang antek yang masih sanggup bergerak dan bertarung. Semuanya menyerang Jingga dengan gila. Jingga dengan cekatan merobek perut mereka satu persatu, saat yang lain mencoba melawannya, Jingga menghindar dan membalas serangan itu. Pun ketika ia terkena serangan, Jingga langsung melompat dan mencakar, melucuti tangan kaki antek itu dengan cepat lalu kembali melanjutkan serangannya.
Tersisa 8 orang antek yang masih bergerak, kebanyakan leher mereka telah patah, perut robek dengan isi perut terburai atau salahsatu kakinya yang pincang. Mereka tak berhenti terus menyerang Jingga, hingga saat salahsatunya berhasil merobohkan Jingga dan yang lain segera menumpuk tubuhnya sambil mengigiti setiap bagian dari tubuh Jingga.
Laras mendapatkan kesempatannya, ia melayang dengan armor api yang menyala, melesat melewati Jingga menuju tetua Astacala. Tepat saat tangannya meraih tubuh sang tetua untuk dibawa pergi, salahsatu tangan Durma berhasil menggapai kaki Laras diudara.
"Ayo ...
... Main."
Kedua kepala itu bicara bergantian, menarik tubuh Laras dan segera membantingnya. Saat tersadar, tangan Durma yang memegang kaki Laras telah melepuh, ada sisa-sisa api dari luka itu.
"Baik, ayo main."
Laras meladeni Durma, ia berencana melumpuhkannya agar dapat membawa pergi tetua Astacala.
Laras segera melayang menyerang Durma, ia mengarahkan tinjunya yang dijilati api, tepat mengarah pada wajah, dan dada Durma.
Sementara Durma menghindari serangan Laras, saat di waktu yang tepat, keempat tangannya meraih tangan Laras dan memutarnya dan membanting tubuh Laras.
Laras memutar tubuhnya agar lengannya tak terluka, meskipun harus mendarat dengan punggung terlebih dahulu. Lalu dengan cepat, Laras menarik Durma yang masih memegangi tangannya, dan ketika tubuhnya tepat dibawah Durma ia meletakkan telapak tangannya yang lain ke perut Durma. Lalu dengan satu mantra, dari telapak tangannya keluar api yang menembus tubuh Durma.
Laras tak menghentikan serangannya sampai situ, ia berguling, berbalik, dan meraih kepala Durma dan membantingnya dengan sebuah jatuhan telak.
Namun sayang, saat Laras berniat untuk melanjutkan serangannya yang lain, kedua tangan yang berada dibelakang tubuh Durma mengentikan gerakan Laras, kedua kaki depannya menerjang, dan kaki belakangnya menendang Laras berkali-kali. Ia melakukan itu sambil bangkit.
Laras menahan itu meski tak sempurna, Lalu saat lengannya tertangkap, ia lagi-lagi menyemburkan api dan membakar Durma.
Tubuh Durma yang terbakar segera hilang keseimbangan dan panik untuk memadamkan api Laras. Karena luka didadanya yang cukup fatal, ia ambruk dengan kobaran api yang terus menghanguskan tubuhnya.
"Ampuuun ...
... Panasss...
...Ampuuun!"
Durma berteriak sambil berguling-guling, hingga tubuhnya berhenti bergerak. Jilatan api Laras sukses menghanguskan tubuhnya hingga tak berbentuk.
Laras kemudian mengalihkan perhatiannya pada Jingga yang sedang kewalahan. Ia melemparkan semburan api yang segera mengenai para antek yang tersisa. Jingga segera menendang tubuh mereka, terdengar bunyi retakan dari tulang rusuk atau punggungnya saat tendangan Jingga mengenai dengan telak tubuh mereka.
"Sudah?"
Tanya Laras saat melihat Jingga terengah.
"Beres~"
Jingga mengacungkan jempolnya ke arah Laras.
"Yaudah ayo pulang."
Laras segera membantu tetua Astacala berdiri.
Tubuh tua nan ringkih itu dipaksa bergerak, diantara mayat-mayat keturunannya yang tak bersisa. Kakek itu hanya menghela nafas sambil menahan tangis.
Meski sebutir air mata terlepas dari niatannya. Ia berjalan pincang, menahan lukanya dan terus mengikuti langkah Laras.
"Maaf kek, kami terlambat."
Laras berkata dengan sendu.
"Tidak, tidak, dengan kau yang menghanguskan tubuhnya, itu sudah lebih dari cukup. Setidaknya Wira dapat bertahan dan tak ada kekhawatiranku dia akan dikejar. Selama Wira masih hidup, Astacala tidak akan musnah."
Kakek itu membalas perkataan Laras.
"Saya mengerti, tapi alangkah baiknya bila kakek juga selamat. Tetua Jagaloka masih dibutuhkan oleh para penerus."
Laras kembali menghibur.
Sementara tetua tersenyum simpul sebagai balasan pada Laras.
"Yaudah ayo balik!
Siagak salah kan nyuruh sopir serem itu buat nunggu kita?"
Jingga bertanya.
"Iya iya, kalo gak gitu, kita sendiri yang repot pulangnya."
Laras mejawab.
"Sopir?"
Tetua Astacala bertanya penasaran.
"Ah, nanti kakek juga lihat ..... "
Tepat sebelum Jingga menyelesaikan kata-katanya, sesuatu menembus tubuh sang tetua dari belakang.
Darahnya mengenai wajah dan baju Jingga. Lalu ia ambruk seketika.
Laras berbalik ke belakang untuk melihat siapa yang melakukan hal itu.
Sang Durma bangkit, tubuhnya yang telah hangus terbakar perlahan pulih, malah ia kini merangkak seperti laba-laba bertubuh manusia. Mulut salahsatu kepalanya terbuka sangat lebar, dari dalam kerongkongannya terlihat sesuatu seperti moncong senapan yang menembakkan jarum sebesar lengan dewasa.
"hehehe ...
... Selamat ...
... Tinggal ...
... Tugas kami ...
... Selesai~ "
Lalu Durma menembak ke arah Jingga dan dan Laras.
Jingga yang masih kaget tak bergerak, sementara Laras dengan cekatan menghindar dan menepis jarum yang mengarah pada Jingga dengan tangannya yang diselimuti api.
Durma lalu melompat, merayap di dinding untuk pergi dari situ.
"Bajingan!
Kubunuh kau!"
Saat kesadaran Jingga kembali dari syok, ia mengeluarkan sepasang sayap hitam dari punggungnya, kakinya berubah menjadi cakar, ia mengepakkan sayapnya dengan cepat dan terbang mengarah menuju Durma.
Durma yang tak ingin dikejar, segera menembaki Jingga beberapa kali. Tembakannya meleset, membuat celah agar Jingga terus mendekatinya.
Namun tiba-tiba Durma berhenti, Jingga terus meluncur dengan cepat. Saat mereka berdekatan, Durma kembali menembak. Jingga menghindar dengan terbang menyamping, namun tembakan kedua tepat mengenai salahsatu sayapnya.
Jingga yang tak mampu lagi terbang karena sayapnya berlubang, segera jatuh menghantam lantai. Seolah tak ingin melepaskan mangsanya, saat Jingga ingin kembali mengejar dengan kaki harimaunya yang bersiap, Laras terbang melayang menyusul.
Namun lagi-lagi tembakan beruntun dari Durma mengganggu Laras, saat perhatiannya teralihkan karena menahan tembakan Durma, dalam sekejap, Durma telah menghilang dari pandangan.
Laras terluka, ia kemudian harus jatuh, alih-alih membantu Laras, Jingga berlari keluar menyusul Durma yang kabur.
Laras kesal, ia menghampiri tubuh tetua Astacala yang tak bernyawa. Ia menangis sejadi-jadinya di samping tubuh kakek tua itu.
Lalu Jingga kembali, ia dengan cepat menerkam Laras. Menduduki tubuhnya dan memukul Laras berkali-kali.
"Wanita tak berguna!
Aingkira
sia udah berhasil ngalahin bedebah itu! Ketololan, keteledoran, dan kecerobohanmulah yang membuat tetua Astcala meninggal! Mati saja anjing Wirahma!!"
Jingga terus memukul, mencakar, dan melukai Laras.
Laras hanya menyilangkan tangannya menahan pukulan kesal Jingga tanpa sedikitpun membalasnya.
Tepat di saat itu, Lala tiba. Ia melihat tubuh tetua Astcala tak bernyawa dan Jingga yang sedang memukuli Laras.
"Hey hey hey! Berhenti!"
Ia melerai Jingga, memeluk tubuhnya dan menariknya dari Laras.
"Cukup Jing! Kau akan membunuhnya jika tak berhenti!"
Lala memberi kejutan listrik kecil di tengkuk Jingga, membuatnya kaget dan akhirnya lemas.
Jingga pasrah dan kesal. Meski melihat lengan Laras robek disana-sini.
Darah menghiasi baju Laras, darahnya dan darah tetua Astacala tercampur. Laras menurunkan tangannya, ia masih menangis. Tak mempedulikan luka-lukanya yang didapat dari Jingga sama sekali.
Meski Lala sadar ia harus berbuat apa, namun keadaan mereka menghentikan momennya untuk sementara.
Jauh di lubuk hatinya, Lala ingin menyelesaikan ini, namun emosi kedua kawannya harus dilepaskan. Ia pun kesal, marah, kecewa, dan takut atas apa yang akan para Jagaloka hadapi di masa depan melihat kejadian ini.
"3 menit, selesaikan tangisan kalian. Sebelum kubuat kalian pingsan dan menyeret paksa pulang."
Lala berujar sambil berlalu menuju bis hantu yang menunggu.
Ia mengepalkan tangannya hingga darah menetes dari situ.
Esoknya berita tentang Astacala menyebar kemana-mana, semua media berita mengabarkan tentang kejadian itu. Spekulasi yang salah merebak lebih dari kenyataan yang sebenarnya.
Pun dengan Wira, sebagai bentuk pembalasannya, ia mengambil langkah nekat dalam ajiannya.