Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dwindrawatiAvatar border
TS
dwindrawati
SUAMIKU, KUSURUH PULANG SAJA PADA IBUNYA
Cerita sebelumnya bisa Agan baca DI SINI

***

Bang Ipul yang masih terdiam di tempat seperti orang kena sawan, akhirnya tersadar saat aku memasukkan pakaian-pakaian kotornya itu dalam sebuah kantong kresek bekas.

Dia buru-buru menghampiriku, namun terlambat.

Setelah selesai dengan baju kotornya, aku beralih ke dalam kamar. Kubuka lemari pakaian kami yang hanya terdiri dari dua pintu. 

Tanganku bergerak menurunkan sebuah tas ransel yang biasa dipakai Bang Ipul untuk bepergian jauh, atau sekadar memancing bersama teman-temannya di muara.

Bang Ipul mengikutiku ke kamar seperti anak kecil yang tak mau jauh dari bokong emaknya.

"Dek ... Dek ... maafkan Abang, Dek. Abang tau Abang telah salah Dek. Tapi tolonglah, jangan usir Abang malam-malam begini," pintanya dengan wajah memelas.

Aku sebenarnya tak tega, tapi sekali-sekali Bang Ipul harus dibikin jera.

Aku tetap memasukkan beberapa pakaiannya yang sudah terlipat rapi dari dalam salah satu rak lemari ke dalam tas ranselnya.

Sikapku masih diam membisu, kupasang wajahku kaku.

"Nih, sudah kubantu Abang mengemasi pakaian Abang. Pulanglah ke rumah Ibu Abang. Maafkan jika selama menjadi istri Adek banyak salah sama Abang," ujarku seraya menyerahkan bungkusan kresek berisi pakaiannya.

Bang Ipul tampak semakin merasa bersalah. Wajahnya pun kian mengiba.

"Dek, maafkanlah Abang. Tolong beri kesempatan sekali lagi. Demi Riska, anak kita ...." 

Mendengar ia membawa-bawa nama anak kami - Riska - seketika aku pun menoleh padanya.

"Demi Riska Abang bilang? Sekarang baru ingat sama Riska? Kemarin-kemarin waktu susu Riska habis apa Abang ingat? Waktu aku bawa dia pergi kerja dari pagi sampai petang, apa Abang perduli? Waktu Riska merengek minta jajan tapi tak bisa kuturuti, apa Abang tau?" 

Aku berkata dengan nada suara yang meninggi lantaran emosi sudah sulit dibendung lagi. Tak peduli bila ada tetangga yang mendengar pertengkaran kami.

Bang Ipul terdiam lagi. Mungkin bingung, hendak menjadikan apa atau siapa lagi supaya bisa dipakai alasan agar aku batal mengusirnya pergi.

"Adek selama ini diam dan bersabar, Bang. Sekian lama kita berumah tangga tapi Abang selalu lalai dan zolim dalam memberikan nafkah. Gaji Abang sebagai kepala staf di pabrik lumayan besar, tapi kita masih saja harus tinggal dalam kontrakan sempit dan hidup serba kekurangan!" 

Kali ini tangisku pecah. Kuusap airmata dengan gerakan kasar menggunakan punggung tangan. 

"Dek, Abang janji akan berubah Dek, Abang bersumpah ...." Ia berkata dengan wajah penuh iba. Tapi sayang, hati ini sudah telanjur sakit.

"Sudah berapa kali Abang janji? Nanti bulan depan pasti diulangi lagi." Aku membalas ucapannya.

Kuhela napas panjang sebelum kembali berkata.

"Adek bukannya ingin menguasai uang Abang. Tidak sama sekali, Bang. Adek hanya menagih hak Adek sebagai istri. Abang ini lelaki dewasa, sudah seharusnya tau mana yang Abang mesti dahulukan. Berbakti pada orang tua itu memang wajib Bang, tapi perhatikan dulu anak dan istri di rumah," tukasku lagi.

"Adek tak melarang Abang menafkahi Ibunya Abang, tapi jangan buat anak dan istri sendiri kelaparan." 

Omelanku panjang lebar, berharap dapat membuka pikiran suamiku yang sudah salah kaprah mengenai bakti pada orang tua.

Kuraih Riska yang sedang duduk di atas lantai, untuk kemudian kugendong anakku, lalu kubawa masuk ke kamar. Pintunya aku kunci dari dalam. 

Tak kupedulikan lagi Bang Ipul di luar. Entah dia pulang ke rumah ibunya atau justru bertahan dengan harapan aku memaafkannya.

Di dalam kamar aku menangis lagi, perasaan terluka yang kurasakan bertahun-tahun ini akhirnya meluap juga. 

Yang aku sesalkan, Bang Ipul dan Ibunya seolah lupa bahwasanya kini Bang Ipul sudah berumah tangga. Punya keluarga yang harus diberi nafkah. 

Parahnya lagi, suamiku itu justru makin terlena saat aku memutuskan untuk bekerja. Padahal itu kulakukan karena saking tak cukupnya nafkah yang dia berikan selama ini.

Kupeluk lagi Riska erat. Hanya anakku satu-satunya yang bisa membuatku tetap waras dalam situasi pelik seperti ini. 

Yang sudah terjadi biarlah terjadi. Aku sudah tak lagi takut hidup tanpa suami. Toh ada atau tak ada dia, aku sudah merasa hidup seperti janda. Punya suami tapi jarang dinafkahi. Hampir semua penghasilannya mengalir ke tempat yang tak semestinya.

Tak lama, kudengar bunyi motor yang distarter. Bunyi motor Bang Ipul. Suara motornya lama-lama terdengar menjauh, terbawa bersama angin malam yang mendesau. Mungkin dia akhirnya memutuskan pulang ke rumah Ibunya.

Kubawa diri ini melangkah keluar. Mengunci pintu dan menutup tirai. Biarlah, malam ini aku tidur berdua anakku saja. Toh ada dan tak ada suamiku pun tak ada bedanya. Bersuami rasa janda, itu yang kurasakan selama menikah dengannya.

Untuk apa berumah tangga jika aku yang harus terus makan ati. Hanya membuat jiwaku tak sehat dari hari ke hari, karena kelakuan suamiku dan Ibunya yang semena-mena dan zolim pada hak-ku dan Riska, anak kami.

***

(Agan Sista, selanjutnya cerita akan kututurkan dari sudut pandang penulis ya)

***

Sementara di rumah orang tua Ipul …

"Loh, kok balik lagi kau Pul?" Ibunya Ipul bertanya heran saat dilihatnya Ipul kembali. Padahal putra kesayangan itu sehabis maghrib tadi sudah datang menyetor gaji.

Wajahnya makin tampak kebingungan kala dilihatnya tas ransel serta kantong kresek yang ditenteng oleh Ipul.

"Kau bawa apa itu, Nak? Makanan kah?" Sang Ibu bertanya penuh harap, tapi lalu kecewa saat dilihatnya Ipul cuma menggeleng lemah.

"Ipul diusir Bu sama Yanti," jawab Ipul dengan  nada lemah. Ia tampak tak bersemangat. Diletakkannya kantong kresek yang berisi pakaian kotornya itu tadi di dekat kaki kursi di ruang tamu.

"Apa? Si Yanti mengusirmu? Kenapa? Apa alasannya?!" Ibu Ipul bertanya kaget.

"Yanti sepertinya marah gara-gara setiap gajian Ipul selalu memberikan uang lebih banyak ke Ibu. Sedangkan dia hanya Ipul kasih sisanya setelah Ibu ambil gaji yang Ipul berikan," jelas Ipul.

Wajah Ibu Ipul seketika memerah demi mendengar penjelasan anaknya.

"Kurang ajar sekali si Yanti itu! Harusnya dia tak perlu iri lah, kau kan anak Ibu, jadi wajar kalau sebagian penghasilanmu kau berikan pada Ibu. Ibu ini yang mengandung dan melahirkanmu. Sedangkan si Yanti itu cuma perempuan yang baru kau kenal kemaren sore dan kau jadikan istri. Bukannya berbakti, dia malah dengki. Lantas, sekarang dia merasa lebih berhak atasmu dan hartamu, dasar menantu tak tau diri!!" 

Ibu Ipul terus memaki-maki Yanti geram.

Sedang Ipul makin tertunduk dalam. 

"Jadi apa yang kau bawa itu, Pul?" tanya Ibunya kemudian, matanya mengarah lagi pada kantong keresek yang dikiranya berisi makanan tadi.

"Baju kotor, Bu. Yanti suruh Ipul bawa ke sini. Katanya karena di rumah Ibu ada mesin cuci jadi dia sudah tak mau mencucikan baju Ipul lagi." Ipul menjawab.

"Huh, dasar menantu picik! Benar-benar tak tau diri dia! Lihat saja besok, kubuat habis si Yanti itu!" geram Ibu ipul sembari menyipitkan mata.

"Ibu mau apakan si Yanti?" Ipul bertanya.

"Besok mau kulabrak perempuan serakah yang kau kimpoii itu, Pul! Biar kuajari dia bagaimana harus bersikap pada suami dan mertua! Biar gak ngelunjak dia. Bukannya bersyukur sudah diberi nafkah, malah banyak tingkah!" Ibu Ipul menjawab dengan amarah yang meluap-luap.

Dia tak sadar, siapa yang lebih pantas dijuluki tamak sebenarnya. 

***


BERSAMBUNG ke HALAMAN INI
Diubah oleh dwindrawati 29-03-2021 19:37
inarungu
piaupiaupiau
Nikita41
Nikita41 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
2.9K
9
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
Rainbow555Avatar border
Rainbow555
#4
Lanjut
dwindrawati
nomorelies
nomorelies dan dwindrawati memberi reputasi
2
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.