- Beranda
- Stories from the Heart
LIMA BELAS MENIT
...
TS
gitartua24
LIMA BELAS MENIT


PROLOG
"Masa SMA adalah masa-masa yang paling ga bisa dilupakan." menurut sebagian orang. Atau paling engga gue anggepnya begitu. Di masa-masa itu gue belajar banyak tentang kehidupan mulai dari persahabatan, bandel-bandel ala remaja, cita-cita, masa depan, sampai menemukan pacar pertama dan terakhir?. Drama? mungkin. pake banget? bisa jadi.
Masa Sma bagi gue adalah tempat dimana gue membentuk jati diri. Terkadang gue bantuin temen yang lagi kena masalah dengan petuah-petuah sok bijak anak umur tujuh belas tahun. Gak jarang juga gue ngerasa labil sama sikap gue sendiri. mau gimana lagi, namanya juga anak muda. Kadang gue suka ketawa-ketawa sendiri dan mengamini betapa bodohnya gue saat itu.
Gue SMA di jaman yang namnya hp B*ackberry lagi booming-boomingnya. Di jaman itu juga yang namanya joget sapel-sapelan lagi hits. Mungkin kalo lo inget pernah masuk atau bahkan bikin squd sendiri terus launching jaket sambil jalan-jalan di mall mungkin lo bakal malu sendiri saat ada temen lo yang ngungkit-ngungkit masa itu. Gue sendiri paling kesel kalo adan orang petantang-petenteng dengan bangganya bilang kalu dia anggota salah satu squad sapel terkenal di ibu kota dan sekitarnya. Secara saat itu gue lebih suka nonton acara metal di Rossi Fatmawati. Playlist lagi gue juga ga jauh-jauh dari aliran metal, punk, hardcore. Mungkin itu yang ngebuat gue ga terlalu suka lagu EDM atau rap yang mumble. Atau bahkan lagu RnB yang sering ada di top 100 Joox dan Spotify. Yaaa meskipun gue sekarang lebih kompromi dengan dengerin lagu apa aja yang gue suka, ga mandang genre.
Oiya, nama gue Atreya xxxxx. Biasa dipanggil Treya, dengan tinggi 182 cm dan berat 75 kg (naik turun tergantung musim). Ganteng dan menawan? relatif. Nama gue mungkin aneh ntuk orang Indonesia. Tapi gue suka dengan nama ini. karena pada dasarnya gue emang gasuka segala sesuatu yang banyak orang lain suka. Gue anak kedua dari dua bersaudara. Gue lahir dan besar di Jakarta, lebih tepatnya Jakarta selatan. Ga tau kenapa ada pride lebih aja Jakarta selatan dibanding bagian Jakarta lainnya, meskipun gue tinggal di Bintaro, hehe. Bokap gue kerja di suatu kantor yang ngurusin seluruh bank yang ada di Indonesia. Meski kerja kantoran tapi bokap gue suka banget yang namanya musik. mungkin darah itu menurun ke gue. Nyokap gue seorang ibu rumah tangga yang ngerangkap jadi pebisnis kecil-kecilah dimana orderan paling ramenya dateng pas bulan puasa. mulai dari makanan kering sampe baju-baju. Kakak gue cewek beda empat tahun. Waktu gue masuk SMA berarti doi baru masuk kuliah. Kakak gue ini orangnya cantik pake banget gan. kembang sekolah gitu dah. Gue bahkan sampe empet kalo ada temen cowoknya yang sok-sok baikin gue.
Lo percaya dengan dunia pararel? Dunia dimana ada diri kita yang lain ngelakuin sesuatu yang beda sama apa yang kita lakuin sekarang. Misalnya lo ada di dua pilihan, dan lo milih pilihan pertama. Untuk beberapa lama setelah lo ngejalanan pilihan lo mungkin lo bakal mukir ""Gue lagi ngapain yaa sekarang kalo milih pilihan yang kedua. mungkin gue lebih bahagi. Atau mungkin lebih sedih." Hal itulah yang ngebuat gue bikin cerita ini.
Ditahun itu gue baru masuk salah satu SMA di Jakarta selatan. Disaat itu juga cerita gue dimulai
INDEX
Part 1 - MOS day
Part 2 - Perkenalan
Part 3 - Peraturan Sekolah
Part 4 - Balik Bareng
Part 5 - Masih MOS Day
part 6 - Terakhir MOS Day
Part 7 - Hujan
Part 8 - Pertemuan
Part 9 - Debat Penting Ga Penting
Part 10 - Atas Nama solidaritas
Part 11 - Rutinitas
Part 12 - Om Galih & Jombang
Part 13 - Gara Gara Cukur Rambut
Part 14 - Rossi Bukan Pembalap
Part 15 - Bertemu Masa Lalu
Part 16 - Menghibur Hati
Part 17 - Ga Makan Ga Minum
Part 18 - SOTR
Part 19 - Tubirmania
Part 20 - Bukber
Part 21 - Masih Bukber
Part 22 - Wakil Ketua Kelas & Wacana
Part 23 - Latihan
Part 24 - The Rock Show
Part 25 - After Show
Part 26 - Anak Kuliahan
Part 27 - Malam Minggu Hacep
Part 28 - Aneh
Part 29 - Kejutan
Part 30 - Dibawah Sinar Warna Warni
Part 31 - Perasaan
Part 32 - Sela & Ramon
Part 33 - HUT
Part 34 - Masuk Angin
part 35 - Kunjungan
Part 36 - Wacana Rico
Part 37 - Atletik
Part 38 - Pengganggu
Part 39 - Nasib jadi Adek
Part 40 - Boys Talk
Part 41 - Taurus
Part 42 - Klise
Part 43 - Eksistensi
Part 44 - Utas VS Aud
Part 45 - Naik Kelas
Part 46 - XI IPA 1
Part 47 - Yang Baru
Part 48 - Lo Pacaran Sama Putri?
Part 49 - Sok Dewasa
Part 50 - Masih Sok Dewasa
Part 51 - Salah Langkah
Part 52 - Penyesalan
Part 53 - Bubur
Part 54 - Bikin Drama
Part 55 - Latihan Drama
Part 56 - Pertunjukan Drama
Part 57 - Coba-Coba
Part 58 - Greet
Part 59 - Sparing
Part 60 - Sedikit Lebih Mengenal
Part 61 - Hal Tidak Terduga
Part 62 - Hal Tidak Terduga Lainnya
Part 63 - Ngedate
Part 64 - Berita Dari Kawan
Part 65 : Second Chance
Part 66 - Maaf Antiklimaks
Part 67 - Bikin Film
Part 68 - Sudden Date
Part 69 - Masih Sudden Date (Lanjut Gak?)
Part 70 - Kok Jadi Gini
Part 71 - Sedikit Penjelasan
Part 72 - Sehari Bersama Manda
Part 73 - Masak Bersama Manda
Part 74 - Malam Bersama Manda
Part 75 - Otw Puncak
Part 76 - Villa & Kebun Teh
Part 77 - Malam Di Puncak
Part 78 - Hari Kedua & Obrolan Malam
Part 79 - Malam Tahun Baru
Part 80 - Shifting
Part 81 - Unclick
Part 82 - Gak Tau Mau Kasih Judul Apa
Part 83 - 17
Part 84 - Hari Yang Aneh
Part 85 - Pertanda Apa
Part 86 - Ups
Part 87 - Menjelang Perpisahan
Part 88 - Cerita Di Bandung
Part 89 - Obrolan Pagi Hari & Pulang
Part 90 - Awal Baru
Part 91 - Agit
Part 92 - Tentang Sahabat
Part 93 - Keberuntungan Atau Kesialan
Part 94 - Memulai Kembali
Part 95 - Belum Ingin Berakhir
Part 96 - Makan Malam
Part 97 - Rutinitas Lama
Part 98 - Sekedar Teman
Part 99 - Bukan Siapa-Siapa
Part 100 - Seperti Dulu
Part 101 - Kue Kering
Part 102 - Perusak Suasana
Part 103 - Cerita Di Warung Pecel
Part 104 - Konfrontasi
Part 105 - Tragedi Puisi
Part 106 - Gak Sengaja Jadian
Part 107 - Day 1
Part 108 - Mengerti
Part 109 - Sisi Lain
Part 110 - Cemburu
Part 111- Cemburu Lagi
Part 112 - Cerita Akhir Tahun
Part 113 - Ketemu Lagi
Part 114 - Malam Panjang
Part 115 - Malam Masih Panjang
Part 116 - Malam Berakhir
Part 117 - Mereka Bertemu
Part 118 - rekonsiliasi
Part 119 - Bicara Masa Depan
Part 120 - Langkah
Part 121 - UN
Part 122 - Pilox & Spidol
Part 123 - Menjelang Prom
Part 124 - Malam Perpisahan
Part 125 - Sebuah Akhir Untuk Awal Baru (TAMAT)
Epilog - Untuk Perempuan Yang Sempat Singgah Di Hati
Terima Kasih, Maaf, & Pengumuman
Special Part : Gadis Manis & Bocah Laki-Laki Di Kursi Depan
MULUSTRASI
Diubah oleh gitartua24 25-04-2022 01:17
JabLai cOY dan 122 lainnya memberi reputasi
119
197.8K
1K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
gitartua24
#701
Part 92 - Tentang Sahabat
Satu minggu sudah berjalan di masa-masa gue menjadi agit. Semuanya berjalan dengan lancar, atau bisa dibilang tidak terjadi hal apapun yang bisa dibilang berarti. Pagi hari gue berangkat ke sekolah dengan waktu yang lebih mepet dari biasanya. Kadang lima belas menit sebelum bel, kadang juga sepuluh menit.
Gue udah tau sekarang celahnya, gerbang sekolah ga mungkin langsung ditutup begitu bel tanda masuk berbunyi, emang bukan gue doang yang dateng di waktu yang mepet, banyak siswa-siswa lainnya yang dateng di saat-saat mepet, entah karena kesiangan atau sengaja. alasan gue kenapa berangkat mepet sederhana, supaya gampang ngeluarin motor.
Selain itu kesibukan gue yang bertambah sekarang adalah bimbel. Ya, karena sekarang gue udah kelas tiga gue memutuskan buat ikut bimbel, meskipun sebenernya belom tau jurusa mana yang bakal gue ambil kedepannya. Yang jelas karena SMA gue jurusan IPA maka kemungkinan besar gue juga akan ngambil jurusan yang ada di bidang IPA, meskipun gue belum terlalu yakin.
Gue bimbel di kawasan sambas deket barito. Tadinya gue pengen bimbel di tempat yang ga terlalu jauh dari rumah, tapi pikiran gue saat itu adalah gue males kalau ga ada temennya. Tapi itu juga yang gue sedikit sesalkan karena gue malah ga terlalu fokus bimbel dan kebanyakan main. Tapi yang terjadi biarlah terjadi, udah berlalu juga.
Di tempat bimbel itu gue barengan sama Bobby, Iman, Rian, dan Anda. Udah dipastikan kita menunggu jam sebelum bimbel di rumah Bobby. Sementara itu Rico, Sam, dan Gedak bimbel di tempat lain, dan juga yang berbeda-beda. Gue ga tau mereka punya target tertentu atau merasa tempat bimbel yang mereka pilih lebih bagus, yang jelas mereka tetep main ke rumah Bobby sebelum kita atau mereka berangkat.
Seperti yang gue katakan di awal, tidak ada hal penting yang terjadi dengan gue di minggu-minggu awal sekolah. Tapi, berbeda dengan gue, berbeda juga dengan sahabat gue, Rico.
Pagi itu, seperti biasa, gue dateng dengan waktu yang ngepas, beberapa menit sebelum bel. Gue masuk kelas dan suasana kelas adem ayem aja. Tapi justru hal ini yang ngebuat gue ngerasa jadi aneh, biasanya saat gue dateng bagian pojok kelas alias deket meja gue udah ribut ngomongin hal-hal yang sebenernya ga terlalu penting. Gue kadang sampe ngomel sendiri, sampe bilang ‘bacot anjing, masih pagi.’ Dan teman-teman di sekitar gue pada ketawa.
Kenapa pagi-pagi udah berisik, tidak lain dan tidak bukan alesannya adalah temen sebangku gue sendiri, Rico. Entah topik apa yang selalu dia bawa pas pagi-pagi udah ngebikin suasana kelas jadi berisik. Tapi pagi itu, ketika gue masuk gue ga melihat keberadaan dia di meja. Eh, salah, bukannya ga ngeliat, tapi ga keliatan. dia lagi rebahan pake empat kursi yang dijadiin satu. Dua meja sebelah kita emang kosong karena jumlah muridnya ga nyampe empat puluh.
Gue tiba di sebelah meja gue yang otomatis ga bisa dipake buat duduk. Gue ngeliat Rico lagi rebahan sambil nutupin matanya pake lengan kirinya.
“Awas nyet, gue mau duduk.” Kata gue sambil menggoyangkan kaki dia.
“Berisik lo Tre.” Yeee anak setan, kursi kursi gue, gue juga yang diusir.
Gue melihat ke arah Iman dan dari tatapan kedua mata kita seolah terjadi percakapan. Gue ngeliat Iman terus mengarahkan ke Rico seolah-olah bertanya ‘kenapa nih bocah?’ sementara itu Iman hanya menaikan kedua pundaknya dan menatap ke arah gue seolah berkata ‘kaga tau.’
Gue menarik dan mengeluarkan nafas dengan berat, haduh ini bocah kenapa lagi. Akhirnya gue meletakkan tas gue di atas meja gue dan mau gak mau duduk di atas meja sebelah meja gue yang kosong.
“Din….” Gue memanggil Dinda yang emang duduk di meja yang ada di depan meja gue. “Temen lo kenapa itu?”
“Biasa lah.” Jawab Dinda enteng.
“Biasa apaan?”
“Perlu gue ceritain?”
“Berisik lo Din.” Rico yang lagi diem tiba-tiba bersuara seolah mencegah Dinda untuk bersuara.
Mendengar omongan Rico barusan ketika menanggapi ucapan Dinda, bisa diasumsikan kalau Rico udah cerita sama Dinda. Ya, satu hal yang gue jarang ceritain kalau Rico emang deket sama Dinda. Mereka berdua udah saling kenal dari SD dan SMP, dan ketemu lagi di SMA. Jadi emang wajar kalau terkadang Rico lebih deket ke DInda dibanding temen-temennya yang lain, meskipun hanya berada di dalam kondisi tertentu.
Misalnya kaya sekarang, kemungkinan besar Rico lagi ada masalah sama ceweknya, Nadia. Sejak jadian hubungan mereka emang gak akur-akur amat. Mereka satu sekolah, tapi hampir ga pernah nunjukin kemesraan di sekolah. Mulai dari ribut-ribut kecil sampe ribut gede yang sepertinya terjadi saat ini, Rico emang lebih sering cerita ke Dinda.
Gue, dan temen-temen yang lain, bahkan lebih sering ngeliat Rico berdua sama Dinda kalau lagi di sekolah dibanding sama ceweknya. Terkadang Dinda juga nebeng balik sama Rico kalau misalkan kita lagi nongkrong di rumah Bobby. Tapi itu tadi, hanya di beberapa kesempatan dan kondisi. Sisanya Rico emang lebih sering nongkrong sama kita-kita.
Sampai sini gue dan anak-anak berasumsi kalau mereka berdua emang punya hubungan spesial. Atau paling engga salah satu dari mereka ada yang suka sama salah satunya. Entah Dinda yang suka sama Rico, atau Rico yang suka sama Dinda tapi lebih memilih alasan klise ga mau merusak hubungan pertemanan. Tapi sekali lagi, itu cuman sebuah asumsi.
Sebagai temen, kita semua udah cukup ngerti, kalau si Rico lagi diem gini berarti lagi ada masalah. Tapi yang namanya mulut emang paling ga bisa ditahan banget kalau masalah basa-basi dan gosip baru. Pada akhirnya kita lebih memilih diam sampe Rico yang emang mau cerita. Atau kita bisa nanya Dinda nanti si Rico kenapa pas lagi ga ada orangnya.
Jam terus berjalan sampai istirahat kesatu dan istirahat kedua terlewati. Di saat itu juga Rico kita ajak ke kantin tapi dia selalu bilang ‘males’. Entah karena beneran males atau males kalau nanti harus papasan sama ceweknya. Di jam istirahat kedua Rico cuman nitip makanan, yauds kita pada cabut buat nongkrong di kantin bentar.
Saat balik dan mau masuk ke kelas, kita semua ngeliat dari luar jendela kelas kalau Rico sama Dinda lagi ngobrolin sesuatu. Kayaknya sih Rico lagi curhat, entah masalah apaan. Akhirnya kita memutuskan buat nunggu dulu di luar, biarin mereka berdua ngobrol.
Sampai jam istirahat selesai dan bel tanda masuk berbunyi baru kita semua beranjak ke dalam kelas. Disitu mereka berdua udah selesai ngobrol.
“Lama banget lo nyet.” Omel Rico begitu gue nyampe di kelas.
“Rame bre kantinnya.” Jawab gue beralibi.
“Kipak.”
Gue pun memberikan bungkusan nasi dan sate yang sebelumnya dipesen Rico, dia nerima sambil ngomel-ngomel kalau perutnya kelaperan. Sambil makan juga masih ngegerutu. Oke, temen gue udah balik lagi seperti sedia kala.
“Ngapa sih nyet lo tadi pagi?”
“Entar aja udah, gue kemek dulu bentar.” Yauds lah, yang penting temen gue udah balik seperti dulu.
Saat bel pulang sekolah berbunyi, Rico mendadak buru-buru merapikan semua alat catet dan alat tulisnya, yaitu buku tulis dan pulpen yang dipenjem dari DInda, wkwkwk. Gue ama dia emang ga pernah bawa barang banyak-banyak, paling banter buku catetan dua sampe tiga di mata pelajaran yang udah pasti nyatet, sementara buku paket sama lks semuanya ditinggal di laci.
“Mau kemana lo nyet?” Tanya gue ke Rico yang langsung berdiri dari tempat duduknya.
“Bentar-bentar, ada urusan gue.”
“Ke rumah Bobby ga?”
“Iyaaa, duluan aja pada.” Sedetik kemudian Rico udah hilang dari pandangan kita semua. Gue, Bobby, Iman dan Rian saling berpandangan satu sama lain secara bergantian, tanpa berbicara satu sama lain. Tapi dari pandangan itu seolah kita bertanya satu hal yang sama, ‘ini bocah kenapa?’
Sejurus kemudian, seperti mendapat ide yang sama secara bersamaan, kita semua langsung ngerubungin mejanya Dinda buat nanyain apa yang terjadi pada Rico.
“Eh Din, itu temen lo kenapa? Dari pagi diem mulu.” Tanya kita bergantian bertubi-tubi.
“Biasa lah, emangnya dia ga cerita sama kalian?”
“Mana pernah si Rico cerita.” Jelas Iman, emang Rico jarang cerita masalah pribadi kita, atau lebih tepatnya kita semua emang ga terlalu sering cerita masalah pribadi masing-masing.
“Berantem lagi sama Nadia, cuman gatau deh nanti bakal gimana.”
“Maksudnya?”
Menurut Dinda berdasarkan cerita yang disampaikan Rico, masalahnya sama seperti kejadian-kejadian sebelumnya, yaitu orang ketiga. Rico katanya nemuin bukti chat ceweknya sama cowok lain sayang-sayangan. Setelah dia selidiki ternyata temen bimbel cewenya dari sekolah lain. Sementara itu alasan yang dibuat Nadia selalu klise, entah itu temennya lah, atau emang cara ngobrolnya gitu lah. Jujur, masalah si Rico ini juga sebenernya klise, karena beberapa kali pernah terjadi juga, cuman gue ga tau apa yang ngebuat Rico masih mempertahankan hubungannya.
Gue ga terlalu ngerti selama ini cowok yang deket sama ceweknya Rico siapa aja, dan Dinda juga sepertinya hanya menceritakan secara garis besar, atau emang Rico yang nyeritain ke Dinda secara garis besar aja.
“Terus sekarang si Rico maunya gimana?” Tanya gue ke Dinda.
“Gak tau, mangkanya dia lagi nemuin ceweknya dulu.”
Pada akhirnya kita nungguin Rico di rumah Bobby seperti biasa. Gue lupa, tapi sepertinya hari itu gue lagi ga ada kelas bimbel, begitu juga dengan temen-temen gue yang lain yang berada di tempat bimbel yang sama. Gak tau gimana dengan Sam yang ada di situ yang beda tempat bimbel sama yang lain.
Menjelang jam lima Rico akhirnya sampe di rumah Bobby, lama juga nih bocah ngobrolnya, hampir dua jam baru dateng. Ga ada keanehan yang terlihat pas Rico dateng, ga ada tampang-tampang murung dan ga ada tampang-tampang ceria.
“Kemana aja lo? lama amat?” Tanya gue begitu Rico tiba di lantai atas.
“Nganterin Dinda ke tempat bimbelnya dulu tadi gue.” Lah, kirain tadi Dinda langsung balik begitu kita cabut. Terus nunggu dimana tuh orang. Au dah, bukan urusan gue, wkwkwk.
“Pantesan, terus gimana?”
“Gimana apannya?” Sambil mengambil rokok yang tergeletak, Rico duduk bersender pada tepi balkon.
“Lo sama cewek lo?”
“Sutup gue.” Jawabnya santai.
“Hah?” Gue dan anak-anak yang lain yang sebelumnya pada sibuk urusan masing-masing gak bisa untuk gak kaget mendengar pernyataan Rico.
“Ga usah lebay deh lo pada, udah denger juga kan dari Dinda.”
“Yaaa kan ga tau kalau bakal sampe putus.” Timpal Bobby. “Emangnya kenapa?”
“Gak tau, udah gak jelas juga hubungan kita.”
“Lo kebanyakan main kali, sampe ga ada waktu buat dia.” Kata Iman.
“Gue juga main sama lo lo pada nyet.”
Sampe malam hari dan kita nanya-nanya seputar hubungan Rico sama Mantannya, Rico masih ngejelasin alesan putusnya dengan alesan ambigu, ngawang, klise. Entah dia males ceritain kejadian aslinya atau masih ngejaga privasi mantan ceweknya. Dan itu sepertinya patut kita hargai.
“Nonton yuk, bt nih gue.”
“Tumben-tumbenan, nonton apaan?”
“Bebas dah paan aja, horror tapi. Gue lagi pengen nonton film horror.” Kebetulan film dengan tema exorcism mulai marak pada saat itu.
“Gue cabut duluan yaaa.” Sam tiba-tiba berdiri dan udah megang tasnya.
“Dih najis, kagak kagak kagak.” Halang Rico pas Sam mau cabut, kabur sih sebenernya, wkwkwk.
“Kaga ada duit gue.” Jelas Sam.
“Kita ptpt buat bayarin lo.”
“Bukan itu masalahnya.” Disini muka Sam udah pucet.
“Takut kan lo? Yaelah lebay banget lo Sam.”
“Lagi lo ada-ada aja, baru putus malah ngajakin nonton horror.”
“Biar gue bisa ngeliat orang yang lebih menderita dari gue sekarang.” Kata Rico gak merasa berdosa. “Dah yuk, cabs, jalan jalan.”
Tanpa persetujuan lagi dari Sam, kita jalan ke PIM dan mengambil jam nonton yang paling malem. Bisa ditebak selama pertunjukan Sam lebih sering nutup mata dibanding nonton filmnya, dan udah jelas kita semua malah ngisengin dia sambil narik-narik tangannya yang nutupin muka pas adegan mencekamnya keluar.
Malam itu ditutup dengan obrolan yang dibuka oleh Rico. “Hati-hati lo Sam, nanti balik ada yang nebeng.”
“Anjing lo Co, gue balik ke sawangin nih. Naro batu juga nih gue di jok belakang.”
“Lebay lo anjing, si ngaruh banget naro batu.”
Kita emang cuman ketawa-ketawa, padahal aslinya gue juga ketar-ketir, wkwkwk. Dari PIM ke rumah gue di sektor sembilan gue tempuh dalam waktu kurang lebih sepuluh menit. Ditambah gue yang masukin motor dengan suara grabak grubuk, setelah itu gue ngurung diri di kamar, dan tidur dengan posisi semua badan ditutupin selimut.
Satu minggu sudah berjalan di masa-masa gue menjadi agit. Semuanya berjalan dengan lancar, atau bisa dibilang tidak terjadi hal apapun yang bisa dibilang berarti. Pagi hari gue berangkat ke sekolah dengan waktu yang lebih mepet dari biasanya. Kadang lima belas menit sebelum bel, kadang juga sepuluh menit.
Gue udah tau sekarang celahnya, gerbang sekolah ga mungkin langsung ditutup begitu bel tanda masuk berbunyi, emang bukan gue doang yang dateng di waktu yang mepet, banyak siswa-siswa lainnya yang dateng di saat-saat mepet, entah karena kesiangan atau sengaja. alasan gue kenapa berangkat mepet sederhana, supaya gampang ngeluarin motor.
Selain itu kesibukan gue yang bertambah sekarang adalah bimbel. Ya, karena sekarang gue udah kelas tiga gue memutuskan buat ikut bimbel, meskipun sebenernya belom tau jurusa mana yang bakal gue ambil kedepannya. Yang jelas karena SMA gue jurusan IPA maka kemungkinan besar gue juga akan ngambil jurusan yang ada di bidang IPA, meskipun gue belum terlalu yakin.
Gue bimbel di kawasan sambas deket barito. Tadinya gue pengen bimbel di tempat yang ga terlalu jauh dari rumah, tapi pikiran gue saat itu adalah gue males kalau ga ada temennya. Tapi itu juga yang gue sedikit sesalkan karena gue malah ga terlalu fokus bimbel dan kebanyakan main. Tapi yang terjadi biarlah terjadi, udah berlalu juga.
Di tempat bimbel itu gue barengan sama Bobby, Iman, Rian, dan Anda. Udah dipastikan kita menunggu jam sebelum bimbel di rumah Bobby. Sementara itu Rico, Sam, dan Gedak bimbel di tempat lain, dan juga yang berbeda-beda. Gue ga tau mereka punya target tertentu atau merasa tempat bimbel yang mereka pilih lebih bagus, yang jelas mereka tetep main ke rumah Bobby sebelum kita atau mereka berangkat.
Seperti yang gue katakan di awal, tidak ada hal penting yang terjadi dengan gue di minggu-minggu awal sekolah. Tapi, berbeda dengan gue, berbeda juga dengan sahabat gue, Rico.
Pagi itu, seperti biasa, gue dateng dengan waktu yang ngepas, beberapa menit sebelum bel. Gue masuk kelas dan suasana kelas adem ayem aja. Tapi justru hal ini yang ngebuat gue ngerasa jadi aneh, biasanya saat gue dateng bagian pojok kelas alias deket meja gue udah ribut ngomongin hal-hal yang sebenernya ga terlalu penting. Gue kadang sampe ngomel sendiri, sampe bilang ‘bacot anjing, masih pagi.’ Dan teman-teman di sekitar gue pada ketawa.
Kenapa pagi-pagi udah berisik, tidak lain dan tidak bukan alesannya adalah temen sebangku gue sendiri, Rico. Entah topik apa yang selalu dia bawa pas pagi-pagi udah ngebikin suasana kelas jadi berisik. Tapi pagi itu, ketika gue masuk gue ga melihat keberadaan dia di meja. Eh, salah, bukannya ga ngeliat, tapi ga keliatan. dia lagi rebahan pake empat kursi yang dijadiin satu. Dua meja sebelah kita emang kosong karena jumlah muridnya ga nyampe empat puluh.
Gue tiba di sebelah meja gue yang otomatis ga bisa dipake buat duduk. Gue ngeliat Rico lagi rebahan sambil nutupin matanya pake lengan kirinya.
“Awas nyet, gue mau duduk.” Kata gue sambil menggoyangkan kaki dia.
“Berisik lo Tre.” Yeee anak setan, kursi kursi gue, gue juga yang diusir.
Gue melihat ke arah Iman dan dari tatapan kedua mata kita seolah terjadi percakapan. Gue ngeliat Iman terus mengarahkan ke Rico seolah-olah bertanya ‘kenapa nih bocah?’ sementara itu Iman hanya menaikan kedua pundaknya dan menatap ke arah gue seolah berkata ‘kaga tau.’
Gue menarik dan mengeluarkan nafas dengan berat, haduh ini bocah kenapa lagi. Akhirnya gue meletakkan tas gue di atas meja gue dan mau gak mau duduk di atas meja sebelah meja gue yang kosong.
“Din….” Gue memanggil Dinda yang emang duduk di meja yang ada di depan meja gue. “Temen lo kenapa itu?”
“Biasa lah.” Jawab Dinda enteng.
“Biasa apaan?”
“Perlu gue ceritain?”
“Berisik lo Din.” Rico yang lagi diem tiba-tiba bersuara seolah mencegah Dinda untuk bersuara.
Mendengar omongan Rico barusan ketika menanggapi ucapan Dinda, bisa diasumsikan kalau Rico udah cerita sama Dinda. Ya, satu hal yang gue jarang ceritain kalau Rico emang deket sama Dinda. Mereka berdua udah saling kenal dari SD dan SMP, dan ketemu lagi di SMA. Jadi emang wajar kalau terkadang Rico lebih deket ke DInda dibanding temen-temennya yang lain, meskipun hanya berada di dalam kondisi tertentu.
Misalnya kaya sekarang, kemungkinan besar Rico lagi ada masalah sama ceweknya, Nadia. Sejak jadian hubungan mereka emang gak akur-akur amat. Mereka satu sekolah, tapi hampir ga pernah nunjukin kemesraan di sekolah. Mulai dari ribut-ribut kecil sampe ribut gede yang sepertinya terjadi saat ini, Rico emang lebih sering cerita ke Dinda.
Gue, dan temen-temen yang lain, bahkan lebih sering ngeliat Rico berdua sama Dinda kalau lagi di sekolah dibanding sama ceweknya. Terkadang Dinda juga nebeng balik sama Rico kalau misalkan kita lagi nongkrong di rumah Bobby. Tapi itu tadi, hanya di beberapa kesempatan dan kondisi. Sisanya Rico emang lebih sering nongkrong sama kita-kita.
Sampai sini gue dan anak-anak berasumsi kalau mereka berdua emang punya hubungan spesial. Atau paling engga salah satu dari mereka ada yang suka sama salah satunya. Entah Dinda yang suka sama Rico, atau Rico yang suka sama Dinda tapi lebih memilih alasan klise ga mau merusak hubungan pertemanan. Tapi sekali lagi, itu cuman sebuah asumsi.
Sebagai temen, kita semua udah cukup ngerti, kalau si Rico lagi diem gini berarti lagi ada masalah. Tapi yang namanya mulut emang paling ga bisa ditahan banget kalau masalah basa-basi dan gosip baru. Pada akhirnya kita lebih memilih diam sampe Rico yang emang mau cerita. Atau kita bisa nanya Dinda nanti si Rico kenapa pas lagi ga ada orangnya.
Jam terus berjalan sampai istirahat kesatu dan istirahat kedua terlewati. Di saat itu juga Rico kita ajak ke kantin tapi dia selalu bilang ‘males’. Entah karena beneran males atau males kalau nanti harus papasan sama ceweknya. Di jam istirahat kedua Rico cuman nitip makanan, yauds kita pada cabut buat nongkrong di kantin bentar.
Saat balik dan mau masuk ke kelas, kita semua ngeliat dari luar jendela kelas kalau Rico sama Dinda lagi ngobrolin sesuatu. Kayaknya sih Rico lagi curhat, entah masalah apaan. Akhirnya kita memutuskan buat nunggu dulu di luar, biarin mereka berdua ngobrol.
Sampai jam istirahat selesai dan bel tanda masuk berbunyi baru kita semua beranjak ke dalam kelas. Disitu mereka berdua udah selesai ngobrol.
“Lama banget lo nyet.” Omel Rico begitu gue nyampe di kelas.
“Rame bre kantinnya.” Jawab gue beralibi.
“Kipak.”
Gue pun memberikan bungkusan nasi dan sate yang sebelumnya dipesen Rico, dia nerima sambil ngomel-ngomel kalau perutnya kelaperan. Sambil makan juga masih ngegerutu. Oke, temen gue udah balik lagi seperti sedia kala.
“Ngapa sih nyet lo tadi pagi?”
“Entar aja udah, gue kemek dulu bentar.” Yauds lah, yang penting temen gue udah balik seperti dulu.
Saat bel pulang sekolah berbunyi, Rico mendadak buru-buru merapikan semua alat catet dan alat tulisnya, yaitu buku tulis dan pulpen yang dipenjem dari DInda, wkwkwk. Gue ama dia emang ga pernah bawa barang banyak-banyak, paling banter buku catetan dua sampe tiga di mata pelajaran yang udah pasti nyatet, sementara buku paket sama lks semuanya ditinggal di laci.
“Mau kemana lo nyet?” Tanya gue ke Rico yang langsung berdiri dari tempat duduknya.
“Bentar-bentar, ada urusan gue.”
“Ke rumah Bobby ga?”
“Iyaaa, duluan aja pada.” Sedetik kemudian Rico udah hilang dari pandangan kita semua. Gue, Bobby, Iman dan Rian saling berpandangan satu sama lain secara bergantian, tanpa berbicara satu sama lain. Tapi dari pandangan itu seolah kita bertanya satu hal yang sama, ‘ini bocah kenapa?’
Sejurus kemudian, seperti mendapat ide yang sama secara bersamaan, kita semua langsung ngerubungin mejanya Dinda buat nanyain apa yang terjadi pada Rico.
“Eh Din, itu temen lo kenapa? Dari pagi diem mulu.” Tanya kita bergantian bertubi-tubi.
“Biasa lah, emangnya dia ga cerita sama kalian?”
“Mana pernah si Rico cerita.” Jelas Iman, emang Rico jarang cerita masalah pribadi kita, atau lebih tepatnya kita semua emang ga terlalu sering cerita masalah pribadi masing-masing.
“Berantem lagi sama Nadia, cuman gatau deh nanti bakal gimana.”
“Maksudnya?”
Menurut Dinda berdasarkan cerita yang disampaikan Rico, masalahnya sama seperti kejadian-kejadian sebelumnya, yaitu orang ketiga. Rico katanya nemuin bukti chat ceweknya sama cowok lain sayang-sayangan. Setelah dia selidiki ternyata temen bimbel cewenya dari sekolah lain. Sementara itu alasan yang dibuat Nadia selalu klise, entah itu temennya lah, atau emang cara ngobrolnya gitu lah. Jujur, masalah si Rico ini juga sebenernya klise, karena beberapa kali pernah terjadi juga, cuman gue ga tau apa yang ngebuat Rico masih mempertahankan hubungannya.
Gue ga terlalu ngerti selama ini cowok yang deket sama ceweknya Rico siapa aja, dan Dinda juga sepertinya hanya menceritakan secara garis besar, atau emang Rico yang nyeritain ke Dinda secara garis besar aja.
“Terus sekarang si Rico maunya gimana?” Tanya gue ke Dinda.
“Gak tau, mangkanya dia lagi nemuin ceweknya dulu.”
Pada akhirnya kita nungguin Rico di rumah Bobby seperti biasa. Gue lupa, tapi sepertinya hari itu gue lagi ga ada kelas bimbel, begitu juga dengan temen-temen gue yang lain yang berada di tempat bimbel yang sama. Gak tau gimana dengan Sam yang ada di situ yang beda tempat bimbel sama yang lain.
Menjelang jam lima Rico akhirnya sampe di rumah Bobby, lama juga nih bocah ngobrolnya, hampir dua jam baru dateng. Ga ada keanehan yang terlihat pas Rico dateng, ga ada tampang-tampang murung dan ga ada tampang-tampang ceria.
“Kemana aja lo? lama amat?” Tanya gue begitu Rico tiba di lantai atas.
“Nganterin Dinda ke tempat bimbelnya dulu tadi gue.” Lah, kirain tadi Dinda langsung balik begitu kita cabut. Terus nunggu dimana tuh orang. Au dah, bukan urusan gue, wkwkwk.
“Pantesan, terus gimana?”
“Gimana apannya?” Sambil mengambil rokok yang tergeletak, Rico duduk bersender pada tepi balkon.
“Lo sama cewek lo?”
“Sutup gue.” Jawabnya santai.
“Hah?” Gue dan anak-anak yang lain yang sebelumnya pada sibuk urusan masing-masing gak bisa untuk gak kaget mendengar pernyataan Rico.
“Ga usah lebay deh lo pada, udah denger juga kan dari Dinda.”
“Yaaa kan ga tau kalau bakal sampe putus.” Timpal Bobby. “Emangnya kenapa?”
“Gak tau, udah gak jelas juga hubungan kita.”
“Lo kebanyakan main kali, sampe ga ada waktu buat dia.” Kata Iman.
“Gue juga main sama lo lo pada nyet.”
Sampe malam hari dan kita nanya-nanya seputar hubungan Rico sama Mantannya, Rico masih ngejelasin alesan putusnya dengan alesan ambigu, ngawang, klise. Entah dia males ceritain kejadian aslinya atau masih ngejaga privasi mantan ceweknya. Dan itu sepertinya patut kita hargai.
“Nonton yuk, bt nih gue.”
“Tumben-tumbenan, nonton apaan?”
“Bebas dah paan aja, horror tapi. Gue lagi pengen nonton film horror.” Kebetulan film dengan tema exorcism mulai marak pada saat itu.
“Gue cabut duluan yaaa.” Sam tiba-tiba berdiri dan udah megang tasnya.
“Dih najis, kagak kagak kagak.” Halang Rico pas Sam mau cabut, kabur sih sebenernya, wkwkwk.
“Kaga ada duit gue.” Jelas Sam.
“Kita ptpt buat bayarin lo.”
“Bukan itu masalahnya.” Disini muka Sam udah pucet.
“Takut kan lo? Yaelah lebay banget lo Sam.”
“Lagi lo ada-ada aja, baru putus malah ngajakin nonton horror.”
“Biar gue bisa ngeliat orang yang lebih menderita dari gue sekarang.” Kata Rico gak merasa berdosa. “Dah yuk, cabs, jalan jalan.”
Tanpa persetujuan lagi dari Sam, kita jalan ke PIM dan mengambil jam nonton yang paling malem. Bisa ditebak selama pertunjukan Sam lebih sering nutup mata dibanding nonton filmnya, dan udah jelas kita semua malah ngisengin dia sambil narik-narik tangannya yang nutupin muka pas adegan mencekamnya keluar.
Malam itu ditutup dengan obrolan yang dibuka oleh Rico. “Hati-hati lo Sam, nanti balik ada yang nebeng.”
“Anjing lo Co, gue balik ke sawangin nih. Naro batu juga nih gue di jok belakang.”
“Lebay lo anjing, si ngaruh banget naro batu.”
Kita emang cuman ketawa-ketawa, padahal aslinya gue juga ketar-ketir, wkwkwk. Dari PIM ke rumah gue di sektor sembilan gue tempuh dalam waktu kurang lebih sepuluh menit. Ditambah gue yang masukin motor dengan suara grabak grubuk, setelah itu gue ngurung diri di kamar, dan tidur dengan posisi semua badan ditutupin selimut.
Diubah oleh gitartua24 30-03-2021 00:19
japraha47 dan 18 lainnya memberi reputasi
19