Berawal aku mengenalnya saat disuruh oleh Bosku untuk membelikan seblak buat istrinya yang tengah ngidam. Seorang wanita berumur sekitar 26 tahun anak penjual seblak itu bernama Meilita, cantik berperawakan tinggi dan tentunya ramah dan sopan. Siapapun laki-laki yang mengenalnya ingin dekat dengannya, tidak terkecuali aku.

Sebenarnya aku hanya menjadikan teman ngobrol saja. Awalnya juga aku sebel setiap kali bosku menyuruh aku untuk membeli seblak, kata istrinya seblak yang aku beli rasanya lebih enak dibandingkan seblak temanku yang beli, ya iyalah untuk beli seblak ini aku harus menghabiskan waktu 30 menit, sedangkan karyawan lain lebih memilih membeli seblak yang 5 menit sampai.

"Kok, melamun Mas, ngelamunin apa hayo?" tanya Meilita tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

"Nggak, aku nggak ngelamun kok."

"Tadi Sisi nanyain Mas Rizal, dia mau mengucapkan terima kasih atas kado yang diterimanya, dia suka sekali."

"Oh."

"Kok cuma oh sih."

"Memangnya aku harus bagaimana?"

Perasaan bersalah mulai menghantuiku, karena bagaimanapun aku seorang Ayah dari dua putra dan satu putri yang cantik.
Dan juga suami dari seorang istri yang luar biasa. Nggak pernah neko-neko apalagi meminta yang lebih dari aku.
Tapi semenjak aku mengenal Meilita dan putrinya aku jadi bisa berbohong, jadi pulang terlambat, semua itu karena aku tidak bisa membiarkan permintaan Meilita untuk mengantarkan putrinya berobat ke dokter. Waktu itu Sisi putri dari Meilita terkena penyakit demam berdarah, tak ada yang dapat dimintai bantuan selain aku katanya.

Sejak kejadian itu Meilita jadi sering meminta bantuanku, untuk menemani Sisi kontrol ke dokter. Aku jadi sering pulang terlambat, hingga suatu hari tanpa disangka sedikitpun putri bungsuku yang baru berumur lima tahun itu bertanya,

"Ayah selingkuh ya?"

Rasanya bagai tersengat listrik, dari mana bocah sekecil itu tahu kata-kata selingkuh? Keringat dingin mulai mengucur dari tubuhku, aku tidak pernah menyangka dia akan bertanya seperti itu. Ameera dengan mata bulatnya terus mengawasiku, meminta jawaban dari pertanyaannya barusan. Aku menghela nafas berat, mencoba untuk menjelaskan pada putriku itu.

"Ayah nggak selingkuh, sayang."

"Ayah bohong, kalau bohong itu dosa lho."

"Ayah nggak bohong, sayang."

"Ayah bohong, Ameera tahu kok."

"Tahu dari mana?"

"Teman Ameera pernah melihat Ayah, di Rumah Sakit bersama dengan perempuan dan itu bukan Mamah."

"Oh itu temen Ayah."

"Kata Raffa, Ayah selingkuh."

"Teman aku yang melihat Ayah di Rumah Sakit."

"Raffa salah Nak, Ayah nggak ...."

"Dulu Ayah Raffa juga gitu, pergi dengan perempuan lain, waktu itu Raffa dengar Ayah dan ibunya bertengkar, kata Ibunya Ayahnya selingkuh, terus nangis gitu."

Ameera menceritakan kejadian keluarga Raffa temannya, kenapa aku yang jadi ketakutan begini, padahal aku hanya mengantarkan Meilita dan anaknya tidak lebih.
Bersamaan dengan itu Safit istriku tiba-tiba muncul dan berkata,

"Sudah sore Ameera, kamu belum mandi. Ayo buruan mandi, itu Mamah sudah bikin donat kesukaanmu."

Safit menggandeng Ameera menuju kamar mandi, tanpa bicara sepatah katapun denganku, dua hari ini dia jadi pendiam, walaupun semua kebutuhanku dia penuhi semuanya. Apakah dia tahu aku pernah pergi dengan Meilita? Kenapa aku jadi setakut ini?

Saat yang bersamaan terlihat chat WA dari Meilita

[Mas Rizal, bisa anterin Mei?]
[Maaf tidak bisa]
[Kenapa?"]
[Ada hati yang harus kujaga]
[Siapa?]
[Istriku, tolong jangan pernah menghubungi aku]

Kututup sambungan ponsel, dengan pasti kublokir nomornya, sebelum semuanya terlanjur jauh, seharusnya aku tegas dari awal ....


Sumber gambar
Google