Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

uclnAvatar border
TS
ucln 
Karma : Hurt No One


Quote:





I never meant to hurt no one
Nobody ever tore me down like you
I think you knew it all along
And now you'll never see my face again
I never meant to hurt nobody
And will I ever see the sun again?
I wonder where the guilt had gone
I think of what I have become
And still
I never meant to hurt nobody
Now I'm taking what is mine

Letting go of my mistakes
Build a fire from what I've learned
And watch it fade away
Because I have no heart to break
I cannot fake it like before
I thought that I could stay the same
And now I know that I'm not sure
I even love me anymore

I never meant to hurt no one
Sometimes you gotta look the other way
It never should've lasted so long
Ashamed you'll never see my face again
I never meant to hurt nobody
I know I'll never be the same again
Now taking back what I have done
I think of what I have become
And still
I never meant to hurt nobody
Now I'm taking what is mine

Letting go of my mistakes
Build a fire from what I've learned
And watch it fade away
Because I have no heart to break
I cannot fake it like before
I thought that I could stay the same
And now I know that I'm not sure
I even love me anymore

I never meant to hurt nobody
Nobody ever tore me down like you
I never meant to hurt no one
Now I'm taking what is mine..




<< Cerita sebelumya



Quote:


Diubah oleh ucln 30-09-2020 12:48
qthing12
sukhhoi
jalakhideung
jalakhideung dan 55 lainnya memberi reputasi
-12
84.4K
610
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Tampilkan semua post
angchimoAvatar border
angchimo
#478
Part 95

Seusai jam kerja di hari pertama itu gue sempat berencana untuk segera meninggalkan kantor dan mampir ke rumah Liana. Untuk numpang makan, istirahat sambil berantem-berantem ga jelas, baru kemudian pulang setelah mengakhiri pertengkaran kecil dengan meminta maaf sambil mencium pipi gemasnya Liana.

Namun rencana itu ga terealisasi ketika Ko Hendri meminta gue ke ruangannya saat gue baru saja mematikan komputer di meja kerja Gue. Dengan rasa malas gue akhirnya mendatangi ruangan Ko Hendri sementara si Bagas cengengesan pamit pulang dengan nada mengejek.

Gue mengetuk pintu ruangan Ko Hendri lalu membukanya ketika dipersilahkan. Di dalam ruangan ternyata juga ada Heri yang duduk di sofa yang berada di sisi jendela ruangan yang kini tengah dibiarkan terbuka.

"Tutup lagi pintunya, terus kunci." Ucap Ko Hendri.

Gue menuruti ucapan Ko Hendri dan segera mendekat ke meja besar dimana Ko Hendri duduk santai diatasnya. Dia mempersilahkan gue duduk di kursi dihadapannya dengan gestur tangan yang kemudian gue ikuti.

"Gue to the point aja ya sama Lu orang." Ucap Ko Hendri dan gue jawab dengan anggukan.

"Si Bagas akhir bulan ini cabut. Jadi gue harap Lu orang bisa cepet belajar dan beradaptasi sama kerjaan disini. Pelajarin kerjaan-kerjaan yang penting, bukan sibuk robek-robekin pinggiran kertas. Paham Lu?"

"Maaf Pak, Saya tadi lagi bantu siapin dokumen yang mau di scan. Cuma emang Bapak Liatnya pas saya lagi robek-robekin kertas doang." Jawab Gue.

"Panggil Koh aja, Gus. Ga usah Pak. Ntar Lo bakal ga betah juga dimari dah kalo manggil dia Pak." Saut Heri dari sofa sambil tertawa kecil. Gue menoleh kearahnya sambil ikut tersenyum.

"Ya apa lah alesannya. Pokoknya Lu orang harus cepet adaptasi." Ucap Ko Hendri.

"Iya siap, Pak. Eh, Koh."

"Lo tau ga Ko, gimana cara cepet ajarin orang yang ga bisa berenang biar langsung bisa berenang?" Tanya Heri ke Ko Hendri.

"Kagak. Gimana emang?" Ko Hendri bertanya balik.

"Ceburin ke laut. Naluri manusia buat bertahan hidup bakal bikin orang itu berusaha buat berenang." Jawab Heri yang kemudian disusul tawa oleh Ko Hendri.

"Iya juga. Siap-siap deh Lu orang gue 'ceburin di laut.' ya." Ucap Ko Hendri ke Gue.

"Saya ngerti maksudnya Ko. Tapi kalo bisa ga usah pake 'diceburin' segala lah. Ajarin pelan-pelan aja." Jawab gue karna memahami maksud obrolan mereka.

"Oh No, My friend. No. It's not even an option. It’s an order." Ucap Ko Hendri sambil bangkit dari duduknya diatas meja dan menepuk pundak gue.
"Sekarang Lu ke pantry, bikin kopi tiga gelas. Cepet." Ucap Ko Hendri sambil berjalan ke sofa untuk duduk bersama Heri.

Gue pun kemudian menuruti perintahnya meski merasa hina karna bekerja disini malah disuruh buatin kopi buat atasan Gue.

Setelah membuatkan kopi di pantry, gue kemudian masuk kembali ke ruangan Ko Hendri setelah mengunci pintunya. Heri dan Ko Hendri tengah ngobrol santai di sofa sambil merokok. Gue jadi merasa sedikit senang. Setidaknya gue merasa dimana lagi gue kerja bisa ngerokok diruangan atasan gue sendiri? Namun setelah meletakkan gelas kopi di meja, gue ga langsung duduk di sofa bersama mereka. Gue berbasa-basi menanyakan apakah ada hal lain yang ingin disampaikan pada gue atau gue boleh segera pulang. Namun Ko Hendri mempersilahkan gue untuk duduk dan bergabung bersama mereka.

"Lu gila kali mau pulang gini hari. Maghrib aja belom." Ucap Ko Hendri.

"Udah Ko barusan. Sok tau dah Lo." Saut Heri.

"Ya baru banget maghrib. Duduk sini dulu. Masih banyak yang perlu kita bahas." Ucap Ko Hendri.
"Itu kopinya kan tiga, ya buat Lu satu." Lanjutnya.

"Saya ga biasa ngopi kalo ga ngerokok, Ko." Jawab gue sambil duduk di sofa kecil dihadapan mereka.

"Ya kalo Lu mau ngerokok duduknya disini, deket jendela." Jawab Ko Hendri sambil menggeser posisi duduknya memberikan selah di tengah antara dia dan Heri.

"Basi banget Lo Gus. Bilang aja mau ngerokok tapi ga enak, pengen dipersilahkan dulu." Ucap Heri sambil menoyor kepala Gue saat gue duduk diantara mereka.

"Et ets, tunggu. Gue tau Lu orang lulusan kampus mana. Pasti Lu orang doyan ini." Ucap Ko Hendri menyela saat gue mau menyulut rokok.

Ko Hendri mengeluarkan bungkusan rokok bekas dan mengeluarkan isinya. Gue kaget saat mendapati beberapa lintingan g**** yang ia keluarkan.

"Satu aja ya, jangan banyak-banyak, ntar ga bisa diem." Ucap Ko Hendri sambil memberikan selinting pada gue.

Gue tentu ga langsung menerimanya. Selain karna sungkan, gue juga ga menyangka akan bertemu benda sialan ini lagi setelah sekian lama gue tinggalkan demi menata ulang hidup gue.

“Yah, dia bengong.” Ucap Ko Hendri saat gue ga menerima pemberiannya.

“Mengheningkan cipta kayanya, Ko.” Saut Heri.

“Gue udah lama banget ga kena beginian Ko.” Ucap Gue menolak pemberian Ko Hendri.

“Ya sesekali gapapa lah. Baks udah.” Jawab Heri bermaksud menyuruh gue membakar rokok setan ini.

“Oke gini Gus. Ini cara gue menyambut orang baru di tim gue. Tapi kalo Lo emang gamau, jangan diterima. Jangan ada paksaan.” Ucap Ko Hendri sambil memasukkan kembali rokok setan yang ia sempat ingin berikan ke gue.

“Yailah udah lah baks aja dulu.” Heri menimpali lagi.
“Baks aja Bags.” Lanjutnya

“Eh iya, cakep tuh. Baks lah Bags.” Saut Ko Hendri.

Gue kemudian hanya bisa tertawa kecil dan akhirnya meladeni acara penyambutan ini dengan membakar sebatang rokok setan dari Ko Hendri. Akhirnya, kami bertiga larut dalam tawa dan menghabiskan berbatang-batang hingga hampir tengah malam. Dan sejak saat itu Gue ga lagi dipanggil dengan akhiran nama Gue; Gus. Tapi jadi dipanggil dengan awalannya dan ditambah huruf s; Bags. Yang kemudian diikuti oleh teman-teman lain di kantor ini.


***

Gue ga butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi ditempat kerja baru gue. Baik secara pekerjaan maupun lingkungannya. Orang-orang di tiim kerja Gue juga sangat seru. Ko Hendri sebagai atasan tertinggi Gue, memiliki karakter yang sebenernya menyenangkan meski kadang menyebalkan. Namun dia seorang yang professional. Jika dalam pekerjaan gue melakukan kesalahan, dia ga akan ragu untuk menegur gue dengan keras meski setelah itu di sore harinya kami ngobrol santai menikmati kopi dan rokok diruangannya.

Heri juga masih masuk kedalam tim kerja gue, yang mana masih dipimpin Ko Hendri. Heri adalah salah satu orang yang sering memberi gue masukan dan arahan dalam memahami pekerjaan gue. Dan juga ada Rini, supervisor gue yang lebih berasa kaya temen biasa. Dia ga oeduki dengan apa yang gue kerjakan. Dia ga peduli kalo gue datang terlambat. Dia ga peduli dengan tumpukkan kerjaan yang dilimpahkan ke Gue dari Ko Hendri. Tapi kapanpun gue butuh bantuan dia dalam pekerjaan, dia akan selalu mendampingi gue untuk menyelesaikan semua tumpukkan itu.

Berjalannya waktu, dunia kerja di tempat baru ini membuat gue semakin nyaman dengan lingkungannya. Orang-orang asik ga cuma ada di tim gue, tapi juga dari divisi lain. Baik Accounting, Finance, Audit, sampai ke bagian GA, messenger, dan driver. Gue dengan sangat mudah diterima sebagai bagian dari mereka hingga akhirnya gue dianggap sebagai bagian dari keluarga 'Spartan.' Yang berisi para karyawan yang selalu dateng pagi, pulang pagi demi bisa menikmati "Work hard, Play harder."

Kebiasaan datang pagi pulang pagi itu membuat gue makin terbiasa tanpa Liana. Bahkan gue yang selama ini ga pulang ke rumah tapi ke basecamp pun jadi makin jarang berinteraksi sama Kak Canda yang tidur di kamar yang sama dengan gue di Basecamp. Kadang dia sudah tidur saat gue pulang kesana hingga gue biasanya memilih tidur diluar kamar. Kadang juga Kak Canda masih tidur saat gue berangkat kerja. Hal itu membuat Kak Canda jadi khawatir akan kesehatan gue yang dia pikir bekerja begitu keras hingga larut, padahal gue main atau nongkrong sama temen-temen kantor. Ko Hendri, Heri, dan kehadiran Rendi seorang karyawan dari divisi Audit membuat gue jadi makin terbiasa menunda kepulangan gue.

Tentu saja semua itu juga berdampak pada hubungan gue dengan Liana. Bagaimanapun Liana tetaplah Liana, yang kalo kangen pasti jadi uring-uringan. Dia tau bahwa Gue lagi ga tinggal dirumah. Dan dia tau bahwa Kak Canda di Basecamp bersama gue. Hal itu tentu selalu menjadi alasan baginya untuk meributkan hal sekecil apapun dengan Gue. Termasuk perihal jarangnya pertemuan kami.

Disuatu malam, saat gue ga nongkrong sampai larut sama temen-temen kantor, gue mampir kerumah Liana. Waktu itu dia lagi ngambek karna laptop gue dari jaman kuliah yang kini dia gunakan untuk main game atau internetan itu mulai menua dan lemot. Dia ngambek minta ganti laptop. Ditambah lagi dia juga uring-uringan karna kangen. Lengkaplah semua itu membuat kehadiran gue kerumahnya jadi terabaikan. Dari sejak gue datang justru dia ga keluar kamar sama sekali. Alasannya lagi ga enak badan. Sampai Nyokapnya yang membuatkan gue minum bahkan menyiapkan Gue makan meski gue sudah menolaknya karna merasa sungkan. Saat gue makan, Nyokapnya Liana pamit untuk ke lantai dua karna mau menemani Bokapnya Liana yang katanya sedang kurang sehat juga. Akhirnya gue hanya sendirian di ruang tengah di depan kamarnya Liana, menikmati makanan sambil menyalahkan tv tanpa gue tonton.

Ga lama saat gue makan, Liana keluar dari kamarnya. Dia hanya menoleh sejenak kearah gue kemudian berlalu ke bagian dalam rumahnya menuju ke dapur. Beberapa menit kemudian dia kembali dari dapur membawa segelas teh kemudian meletakkannya di meja yang gue gunakan untuk makan, dimana juga sudah ada segelas teh yang tadi dibuatkan oleh Nyokapnya Liana. Gue hanya diam dan melihat Liana meletakkan gelas teh itu lalu duduk di samping gue.

"Ini teh buat siapa?" Tanya gue ke Liana yang duduk disamping gue sambil menaikkan kedua kakinya duduk bersila diatas sofa dan menatap tv.

"Ya buat kamu lah." Jawab Liana tanpa menatap gue.

"Ini kan aku udah ada, dibikinin sama Ibu tadi."

"Siapa suruh minta bikinin sama Ibu. Kan Aku yang biasanya bikinin buat kamu."

"Ya Kamu tadi dikamar aja, jadi Ibu bikinin buat Aku. Bukan aku yang minta juga."

"Ya ga usah diminum. Minum yang aku bikinin."

Gue hanya menghela napas dan memilih untuk ga melanjutkan perdebatan ga penting karna gue juga masih lagi makan. Gue ga suka saat gue lagi makan malah diinterupsi dengan perdebatan atau harus mendengar ocehan orang lain. Liana tau hal itu. Sangat tau. Bahwa ketika gue makan, gue ga suka mendengar ocehan atau keributan apapun.

Gue mempercepat makan gue karna ga ingin makan disamping Liana yang sedang dalam mood ga enak. Sementara Liana menoleh kearah Gue yang terlihat tengah mempercepat cara makan gue.

"Pelan-pelan makannya." Ucap Liana.

Gue mengabaikannya dan tetap meneruskan makan.

"Ngapain sih buru-buru? Mau cepet-cepet pulang? Ke Basecamp? Berduaan sama cewek lain?"

Gue masih memilih mengabaikannya.

"Alesan aja nganggap Kakak. Keluarga sendiri malah ditinggal. Bahkan buat kesini aja nemuin Aku, nemuin keluarga Aku, selalu ada aja alesannya. Tapi kalo nemuin orang lain…."

Brakkk…

Gue meletakkan piring yang kini hanya tersisa sedikit makanan ke meja dengan kasar. Atau mungkin bahkan terlihat seperti membantinggnya, bukan meletakkannya. Gue benar-benar merasa sangat kesal karna gue ga suka makan sambil diocehin. Dan apa yang gue lakukan itu kemudian membuat Liana menghentikan ocehannya karna merasa kaget. Dan tentu saja takut.

Gue membereskan berantakan yang gue hasilkan dari tindakan gue tadi, kemudian membawa piring dan gelas itu ke dapur, lalu segera kembali ke ruang tengah mengambil jaket dan tas gue karna ingin segera pulang.

"Apa lagi? Mau pulang? Bener-bener mau buru-buru ketemu sama KAKAK kamu itu?" Ucap Liana dengan menekankan nada saat mengucapkan kata Kakak, ketika ia melihat gue bergegas.

Gue masih memilih mengabaikannya kemudian segera keluar dari ruang tengah menuju ke arah pintu keluar.

"Gus! Aku lagi ngomong!" Ucap Liana kini dengan nada makin meninggi.
"Kalo kamu tetep pergi sekarang, jangan pernah kesini lagi. Jangan pernah temuin aku lagi!" Lanjut Liana saat gue hanya tinggal beberapa langkah melewati pintu depan rumahnya.

Gue menangguhkan langkah dan berbalik badan menghadap kearah Liana. Gue melihat genangan air di sudut matanya.

Sejak beberapa bulan terakhir ini kami emang sering ribut untuk hal yang ga jelas. Tapi gue ga pernah melihat Liana menangis. Kali ini sepertinya ada sesuatu yang berbeda.

"Kamu mau apa, Li? Aku harus gimana?" Tanya Gue ke Liana dengan berusaha meredam kekesalan Gue akan sikapnya.

"Aku mau kamu! Aku mau waktu kamu! Aku mau semuanya tentang kamu! Aku gamau kamu lebih banyak abisin waktu sama orang lain! Aku mau Kamu!" Ucap Liana dengan irama cepat namun dengan nada yang begitu kesal. Sampai genangan air di sudut matanya kini ga lagi memiliki banyak tempat hingga akhirnya tumpah ke pipinya.

Gue menghela napas dan menundukkan wajah.

"Aku mau kamu pulang. Ga usah tinggal disana lagi. Aku ga pernah larang kamu ketemu Kak Canda. Aku cuma gamau kamu selalu ada disana dan ketemu sama Nia kapan aja saat dia dateng." Lanjut Liana dengan isak tangisnya.
"Aku mau kamu pulang ke rumah."

"Aku ga akan pulang ke rumah buat waktu deket ini Li. Aku ga akan…"

"Kenapa? Kamu terlanjur nyaman disana sama orang lain?!" Potong Liana.

Gue menatap Liana yang terlihat berusaha melawan tangisnya sendiri meski ia jelas kalah. Sepertinya luapan emosinya saat ini adalah kumpulan dari kekesalan-kekesalan yang selama ini berusaha ia simpan. Gue memang ga pernah menjelaskan padanya alasan gue meninggalkan rumah. Gue ga menceritakan padanya tentang rencana Bokap gue untuk menikah lagi, yang membuat gue kini membenci Bokap gue dan memutuskan meninggalkan rumah. Bahkan tiap kali kedua orang tua Liana bertanya kabar tentang Bokap gue, selalu gue jawab dengan berbohong karna gue ga pernah tau gimana kabarnya. Gue hanya sesekali berkomunikasi dengan Adam yang juga sudah meninggalkan rumah.

"Gue ga akan pulang ke rumah, Li.." Ucap gue sambil kembali menatap Liana.
"Karna gue benci dengan keputusan Bokap gue yang akan nikah lagi." Lanjut gue.

Liana gagal menyembunyikan ekspresi kaget ketika ia mendengar ucapan Gue.

"Gue juga gamau kok seterusnya tinggal di Basecamp. Udah seminggu ini gue cari-cari kostan di deket kantor, cuman emang belom dapet yang cocok." Lanjut gue lagi.

Liana masih diam namun gue tau dia tengah berusaha meredam tangis dan emosinya. Gue juga merasa ga ingin terlalu banyak lagi mengucapkan apapun. Gue merasa percuma, karna pada akhirnya dia juga ga akan peduli. Dia cuma peduli dengan keinginannya sendiri. Dia cuma melihat sisi buruk dari diri Gue ketika gue melakukan kesalahan. Dia ga akan pernah peduli apa yang sebenernya gue rasakan.

"Kenapa kamu ga pernah cerita? Kenapa kamu.."

"Buat apa? Buat kamu ceritain lagi ke cowok yang selama ini jadi temen kamu berbagi cerita? Cowok yang selama ini kamu anggap bisa nemenin kamu kapanpun? Cowok yang bisa bikin kamu bohongin aku dengan bilang lembur kerja padahal kamu jalan sama dia pulang kerja?" Gue menyela pertanyaan Liana dengan melempar lebih banyak pertanyaan padanya.

Liana lebih kaget lagi kali ini. Mungkin dia berpikir Gue gatau apa yang terjadi dalam hari-harinya selama ini karna dia merasa gue tengah mengabaikannya.

"Kita sama, Li. Kita sekarang sama-sama nyari sesuatu ke orang lain atas apa yang ga kita dapatkan dari satu sama lain. Kita sama. Kita sama-sama memilih buat berbagi hari dengan orang lain ketimbang menjalani hari berdua dengan keributan-keributan kecil."

"Kamu tau dari mana?" Tanya Liana dengan nada yang telah lebih tenang.

"Aku pernah liat kamu keluar kantor dan jalan sama cowok itu waktu Aku mau jemput kamu."

"Tapi aku ga ada apa-apa sama dia. Cuma temen." Ucap Liana.

Gue tertawa kecil dan menggelengkan kepala, kemudian kembali berbalik badan kearah pintu depan.

"Aku belom selesai ngomong Gus." Ucap Liana saat gue kembali melangkah.
"Pokoknya kalo kamu tetep beneran pergi.."

"Tenang aja. Gue ga akan pernah balik lagi." Ucap gue tanpa menoleh kearahnya dan keluar dari pintu rumahnya..




Spoiler for Diary of Jane:

oktavp
mmuji1575
jenggalasunyi
jenggalasunyi dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.