Kaskus

Story

drupadi5Avatar border
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.

Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu




Kota Kenangan1

Kota Kenangan 2

Ardi Priambudi

Satrya Hanggara Yudha

Melisa Aryanthi

Made Brahmastra Purusathama

Altaffandra Nauzan

Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden

Altaffandra Nauzan : Patah Hati

Altaffandra Nauzan : the man next door

Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah

Expired

Adisty Putri Maharani

November Rain

Before Sunset

After Sunrise

Pencundang, pengecut, pencinta

Pencundang, pengecut, pencinta 2

Time to forget

Sebuah Hadiah

Jimbaran, 21 November 2018

Lagi, sebuah kebaikan

Lagi, sebuah kebaikan 2

Perkenalan

Temanku Malam Ini

Keluarga

03 Desember 2018

Jimbaran, 07 Desember 2018

Looking for a star

Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin

Pertemuan

BERTAHAN

Hamparan Keraguan

Dan semua berakhir

Fix you

One chapter closed, let's open the next one

Deja Vu

Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun

Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...

Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...

Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...

Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...

Damar Yudha

I Love You

Perjanjian...

Perjanjian (2)

Christmas Eve

That Day on The Christmas Eve

That Day on The Christmas Eve (2)

That Day on The Christmas Eve (3)

Di antara

William Oscar Hadinata

Tentang sebuah persahabatan...

Waiting for me...

Kebohongan, kebencian, kemarahan...

Oh Mama Oh Papa

Showing me another story...

Menjelajah ruang dan waktu

Keterikatan

Haruskah kembali?

Kematian dan keberuntungan

The ambience of confusing love

The ambience of love

Kenangan yang tak teringat...

Full of pressure

Persahabatan tidak seperti kepompong

Menunggu, sampai nanti...

Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji

Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak

Menjaga jarak, menjaga hati

First lady, second lady...

Teman

Teman?

Saudara

Mantan

Mantan (2)

Pacar?

Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
lengzhaiiiAvatar border
manik.01Avatar border
JabLai cOYAvatar border
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
drupadi5Avatar border
TS
drupadi5
#155
Teman
 
Kemacetan sore di Kota Surabaya menyambut kedatanganku. Lain halnya dengan Bali, kenangan di kota ini lebih banyak melekat di kepalaku. Kenangan masa kanak-kanak yang konyol dan terkadang aneh.

Aku ingat aku bersekolah di sini dari taman kanak-kanak dan baru pindah ke Jakarta ketika kenaikan kelas 4 Sekolah Dasar. Selama tinggal di kota ini, aku dan mama tinggal menumpang di rumah nenek yang sekarang ditempati oleh adik mamaku yang paling kecil, Om Andre.

Dia adalah Om favoriteku. Mungkin karena usianya masih muda dibandingkan dengan tante-tanteku yang lain, jadi dia lebih gampang berbaur dengan keponakan-keponakannya.

Omku ini adalah laki-laki satu-satunya di antara saudara mama, tidak heran dia agak dimanja oleh nenek dan kakekku dan tante-tanteku yang lain. Mungkin saking nyamannya dia dengan kehidupan singlenya sampai saat ini dia belum juga menikah. Apalagi jabatannya sebagai seorang seorang sales manager di sebuah perusahaan farmasi terbilang sangat menjanjikan kehidupan yang lebih dari cukup untuk ukuran seorang lelaki lajang yang hidup di kota besar. Sepertinya dia sangat nyaman dengan hidup singlenya yang bebas.

Aku turun setelah membayar taxi yang membawaku dari bandara ke rumah nenekku. Pak sopir taksi, seorang lelaki paruh baya berpeci hitam membantu menurunkan koperku dari bagasi mobil. Setelah mengucapkan terima kasih dan taksi meluncur pergi, aku termenung sendiri menatap pintu gerbang yang terbuat dari kayu dan tertutup rapat di depanku ini. Suasana sekitar begitu sepi, di kejauhan sana tampak beberapa anak kecil dan pengasuh mereka sedang bermain sepeda di depan rumah.

Rumah nenekku ini terletak di sebuah perumahan yang akses masuknya dijaga ketat dan dimonitor oleh seorang satpam di depan kompleks. Aku berhasil masuk karena Om Andre sudah menitipkan pesan pada satpam yang berjaga bahwa dia akan kedatangan keponakannya yang cantik ini.

Aku mendekati gerbang dan memencet sebuah tombol yang masih kuingat ini adalah bel. Kupencet dua kali dan sekarang tinggal menunggu siapakah yang akan membukakan pintu ini untukku.

Samar aku mendengar langkah kaki mendekat dan terdengar gerendel pintu yang dibuka. Tak lama sesosok wanita paruh baya muncul di depanku. Aku tidak mengenalnya.

“Sore, Bu, saya Vio, ponakannya Om Andre,” kataku begitu dia melihatku. 

Tanpa berkata, pintu dibuka lebih lebar dan aku langsung masuk dengan menyeret koperku.

“Om Andre ada di rumah?” tanyaku padanya yang berjalan di depanku.

“Pak Andre belum pulang kerjo,” sahutnya dengan Bahasa Jawa khas Suroboyoan.

Aku meletakkan koperku di teras dan duduk di kursi santai yang ada di sana.  Sedangkan wanita tadi sudah masuk lagi ke dalam rumah setelah menyarankan aku supaya menunggu di dalam rumah saja. Dia juga memberitahuku bahwa kamarku pun sudah disiapkannya.

Rumah ini sudah banyak berubah. Ini adalah rumah model lama dengan halaman depan yang lumayan luas.  Bangunan rumah sepertinya sudah banyak yang di renovasi. Dulu dinding luar ini berwarna merah muda pucat tapi kini sudah berganti warna menjadi biru muda dan di bagian bawahnya di cat biru tua.

Ada sebuah tempat duduk ayunan di bagian samping halaman dekat dengan kolam ikan, di bawah pohon alpukat yang menjulang tinggi. Aku ingat area itu adalah spot favorite kalau sedang ngumpul dengan keluarga.

Ponselku berbunyi tanda pesan masuk. Aku melihat siapa yang mengirimiku pesan. Ternyata ada dua pesan yang tidak terbaca.

Aku membuka pesan masuk dari Fandra. Ada dua pesan yang masuk darinya.

emoticon-mail Hari ini berangkat Surabaya kan?
emoticon-mail Sudah di Surabayakah?

Aku mengetik balasan.
emoticon-mail Sudah sampai dengan selamat, sekarang lagi di rumah Om.
Kuklik tombol send. 

Terakhir aku bertemu dengan Fandra adalah ketika dia datang ke rumahku dulu. Setelah itu dia benar-benar menuruti keinginanku agar kami tidak bertemu lagi sebelum tanggal pertemuan yang sudah ditentukan. Dan dia pun belakangan ini mulai jarang menelponku, pun aku berusaha sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menghubunginya. Paling hanya pesan singkat seperti ini komunikasi yang kami jalani.

Jujur saja, aku sangat merindukannya. Iya, aku rindu, benar-benar rindu dan aku ingin merasakan apakah rindu ini akan bertahan.

Pesan kedua dari Oscar yang baru saja kuterima.
emoticon-mail Sudah sampai?
emoticon-mail Aku masih seminar, malam baru kelar. Nanti aku telpon klo dah free ya.

Aku mengetik balasan.
emoticon-mail Ok 👍

Aku meletakkan ponselku di atas meja dan berjalan-jalan di halaman, aku duduk di kursi ayunan sambil menikmati gemercik air dari mini waterfall yang ada di kolam ikan di sampingnya.

Jam tangan di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul enam sore. Sejurus kemudian aku dikejutkan dengan suara klakson mobil yang sepertinya berhenti tepat di depan gerbang.

Aku melihat seorang lelaki keluar dari pintu belakang yang ada di samping kiriku dan segera membukakan gerbang yang ada di depan garasi mobil.

‘Siapa lagi laki-laki itu?’ pikirku.

Sebuah mobil type city car berwarna putih memasuki garasi. Aku tidak bisa melihat siapa yang ada di dalamnya karena kaca mobil yang benar-benar dibuat gelap.

Baru sesaat kemudian aku melihat Om Andre keluar dari garasi dan tersenyum sumringah ketika melihatku. Tidak hanya dia, seorang wanita juga ikut keluar dari dalam mobil bersamanya.

Siapa dia? Apa dia juga tinggal di sini bersama Om Andre? Apa Om Andre sudah berani tinggal serumah dengan pacarnya tanpa menikah dan tante-tanteku bahkan mamaku pun tidak tahu ini?

Aku mendekati mereka, dan menyambut pelukan dari Om Andre.

“Sehat lo?” tanyanya berbasa basi

“Kalo ngga sehat gw ngga akan di sini Om.”

Dia tertawa lalu menoyor kepalaku, “Jangan panggil Om, panggil mas aja,” bisiknya di telingaku

“Cewek lo ya Om?” aku balik berbisik padanya

“Am om am om, mas, gitu dong!” lagi-lagi dia menoyor kepalaku.

Aku melirik wanita yang hanya diam sambil senyam senyum di sampingnya.

“Mbak pacarnya Om saya ya?” tanyaku padanya yang membuat senyumannya semakin manis menghias wajah sawo matangnya yang bersih. Mbak ini hitam manis.

“Bukan pacar, calon istri,” sahut Om Andre membuat senyuman malu-malu muncul di wajah wanita itu

“Kok mau sih mbak sama Om saya ini?”

Tiba-tiba tanganku di tarik sama Om Andre sehingga hampir membuatku kehilangan keseimbangan

“Andre, awas!” wanita itu setengah berteriak ketika melihatku limbung hendak jatuh.

“Tuh, kasar dia mbak,” aku masih berusaha menggoda sepasang sejoli ini.

Pletak! Om Andre benar-benar memukul kepalaku dengan map plastik yang dia pegang.

“Diam, cepetan masuk!” perintahnya sambil menyeret koperku yang tadi kuletakkan di teras.

“Masuk May,” ajaknya juga pada wanita itu.

Kami masuk ke ruang tengah, ke ruang keluarga.

“Om, lo apain ini rumah kok jadi keren?” tanyaku ketika kami masuk ke ruang tengah, ke ruang keluarga.

Om Andre tidak menjawab malah masuk ke salah satu kamar sambil membawa koperku.

“Lo tidur di kamar lo yang dulu ya,” ujarnya lalu menuju dapur.

“Mau teh, May, pake gula apa tawar?” tanyanya berteriak dari dapur yang terletak di samping ruang keluarga dan hanya bersekat dengan partisi berbentuk rak yang berisi tanaman-tanaman hias.

Wanita itu berdiri dan menyusul Om Andre ke dapur. Aku hanya melihat gerak geriknya dan sepertinya dia sudah sangat familiar dengan rumah ini.

“Gw kan mau ngekost, lo dah janji nyariin kostan khusus cewek, udah dapet blom?” tanyaku begitu Om Andre muncul dari dapur.

“Ngga usah ngekost lo tinggal di sini aja.”

“Kejauhan Om,” bantahku, “Gw juga males kalo mesti naik angkot segala, mending jalan kaki aja.”

“Gw yg anter jemput lo.”

“Ogah, ah, pokoknya gw mau ngekost.”

“Bandel amat sih lo!”

“Lebih baik sih ngga usah ngekost deh, mending tinggal di sini aja, kamu cariin sopir aja Dre, kalau Vio ngga mau pake mobil, bisa pake motor, Andre kan ada motor nganggur,” suara lembut wanita itu terdengar dan kemudian orangnya datang sambil membawa tiga cangkir teh dari dapur.

Dia tahu namaku, batinku, pasti Om Andre udah cerita tentang aku padanya.

“Mau lo kaya gitu?” tanya Om Andre padaku.

“Iya deh, good idea, gw coba,” sahutku

“Oya, kenalin ini Amaya, temen gw,” kata Om Andre kemudian.

Mungkin dia baru ingat kalau dia belum memperkenalkan wanita itu padaku, padahal wanita itu sudah tahu namaku.

“Halo Mbak Amaya, aku Vio, ponakannya Om ini, gw ponakannya yang paling cantik,” sahutku berkelakar sambil menjabat tangan Mbak Amaya.

“Iya dia paling cantik, paling bandel, paling nyebelin, paling nyusahin,” celetuk Om Andre yang di sambut oleh senyuman Mbak Amaya

“Panggil Maya aja, ya Vio,” katanya padaku

“Mbak kok udah tahu namaku, pasti Om ku ini ngomongin aku ya?” aku melirik sinis ke arah Om Andre.

“Iya kamu diomongin dia dari seminggu yang lalu,” sahutnya Mbak Maya tersenyum pada Om Andre yang di sambut oleh tatapan penuh arti dari Om Andre.

“Ish… mata lo itu Om,” semprotku padanya

“Apaan sih lo? Makanya cepetan nikah, cowok lo kenapa ngga pernah diajak main ke sini lagi?”

Aku menatapnya dengan sebal. Dia memang paling suka ngerecoki ponakan-ponakannya dengan pertanyaan ini, ‘kapan nikah?’ padahal dialah yang seharusnya nikah lebih dulu

“Lo yang harusnya nikah duluan, kenapa harus gw!”

“Hei, cewek itu mesti liat usia, nah, kalo cowo kan kapan aja bisa nikah. Cowo lo ngga mau diajak nikah ya?”

“Gw udah putus!” sahutku ketus

“ck…ck…ck…makanya cari yang serius jangan cuma main-main.”

“Lo sendiri kapan nikah?” aku bertanya menantangnya

“Yang mau diajak nikah belum mau nikah, masa gw mau nikah sendiri,” dia menjawab seakan-akan sedang menyindir seseorang, pastinya yang kutebak adalah Mbak Maya yang disindirnya.

“Mbak kenapa blom mau nikah?” tanyaku padanya langsung

“Eh….” Mbak Maya melihatku dengan terkejut. Sepertinya dia tidak menyangka aku akan bertanya seperti itu padanya.

Blugh!!! Sebuah bantal terlempar dan tepat mengenai mukaku.

***

Sehabis mandi dan berberes kamar, aku berjalan-jalan sebentar di halaman depan. Hari sudah sepenuhnya gelap. Pencahayaan datang dari arah teras dan satu lampu taman yang di letakkan di pojok tembok pagar di dekat tempat duduk ayunan.

Entah kenapa ketika tadi aku berberes kamar, perasaan tidak enak datang menyergap di dadaku. Aku tidak mengerti kenapa aku merasakan seperti ini.

Jika ini disebabkan karena suasana yang baru, tapi ini adalah rumahku sendiri, dan aku tidak asing dengan tempat ini.
Untuk menghilangkan rasa tidak nyaman ini, makanya aku berusaha menenangkan diri di luar ruangan.

Om Andre sepeninggal Mbak Maya mendapat telpon dari kantornya dan kini sedang sibuk dengan laptopnya di ruang tengah.

Om Andre dan Mbak Maya sama halnya seperti Oscar dan Alesya. Bener-benar sama. Menjalin hubungan yang tidak pasti. Di php-in oleh si wanita. Mbak Maya adalah seorang model. Ah, selera Om ku itu tidak pernah di bawah rata-rata. Aku akui Mbak Maya itu cantiknya beda. Hm, lebih tepatnya eksotis. Berwajah sangat Indonesia, manis, dan bersahabat. Itu kesan pertamaku.
Om Andre belum sempat cerita banyak keburu seseorang menelponnya dan dia langsung menjadi sok sibuk.
Ponselku berdering dan terpampang nama Oscar sebagai pemanggil.

“Ya, halo,” sapaku

“Kamu di mana?” terdengar suara Oscar di seberang sana dilatarbelakangi oleh suara yang terdengar riuh rendah.

“Aku di rumah Om ku,” sahutku

“Share lokasi ya, aku ke sana sekarang.”

“Ngapain?”

“Ketemuanlah, cari makan. Cepetan share lokasinya, aku udah di taksi ini.”

Belum sempat aku menjawab, telpon sudah di putus oleh Oscar. Aku mengirimkan lokasiku kepadanya. Sekitar 30 menit kemudian kembali Oscar menelponku.

“Halo?”

“Rumah no 15 ya, yang pagar kayu? Aku udah di depan.”

“Sebentar,” sahutku lalu berdiri dan berjalan ke pintu gerbang.

Begitu pintu terbuka Oscar berdiri di sana dengan senyum mengembang di wajahnya.

“Hai,” sapanya tersenyum.

“Masuk dulu,” ajakku.

“Hm… taksinya mau disuruh nunggu apa gimana?” tanyanya padaku. 

“Nanti aja cari taksi lagi atau bawa motor Omku aja,” sahutku ketika tiba-tiba teringat ucapan Mbak Maya kalau Om Andre ada motor nganggur.

Aku mempersilakan Oscar masuk dan menunggu di ruang tamu sedangkan aku masuk ke dalam untuk berganti pakaian.

Setelah itu aku mengetuk pintu kamar Omku yang sepertinya sudah masuk ke kamarnya karena tidak kudapati dia di ruang tengah.

Pintu terbuka dan Om Andre muncul dengan bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana pendek. Aku terkejut dan buru-buru memalingkan wajah. Dadaku berdegup kencang dan ada rasa yang tidak nyaman menyelusup di pikiranku.

“Kenapa?” tanya Om Andre heran melihat tingkahku.

“Lo pake baju dong, Om!” sahutku ketus.

“Emang kenapa?  Dulu juga biasa aja liat gw ngga pake baju.”

“Itu kan dulu, gw masih bocah, lo juga masih ingusan!” 

“Ribet lo. Apaan sih?” gumam Om Andre masuk kembali ke dalam kamarnya.

Sesaat kemudian Oscar muncul dari balik dinding ruang tamu.

“Kenapa?” tanya Oscar padaku.

“Ini siapa?” tanya Om Andre yang kudengar suaranya saja karena aku masih memunggunginya

“Temanku Om, lo pake baju dulu, ngga sopan tau!” sahutku.

“Gw udah pake baju, Vio!”

Aku melirik Oscar yang menatapku, dan kemudian membalikkan badan.

“Sorry,” ucapku lirih.

Dia tersenyum.

“Gw mau ijin keluar sama temen, ini temen gw, Oscar,” ujarku ketika matanya bertemu dengan mataku

Om Andre menatap Oscar dengan wajah serius. Kemudian beralih menatapku

“Lo punya temen di Surabaya?”

“Bukan, Oscar ini temen aku di Jakarta, dia juga dokter aku waktu kecelakaan dulu di Bali.”

“Lo ke Bali? Kapan? Nyokap lo tau? Trus lo kecelakaan kenapa?” dia mencecarku dengan pertanyaan dengan ekspresi wajahnya yang terkejut.

“Nanti gw ceritain, sekarang boleh kan gw keluar dulu?”

“Mau ke mana?” tanyanya pada Oscar, “Oh ya, saya Andre.”

“Oscar.” Oscar menjabat tangan Om Andre lalu menyahut, “mau cari makan aja Om,” sahut Oscar

“Jangan panggil Om, panggil mas aja.”

“Ih, kelakuan lo ya om, tetep aja ngaku-ngaku muda,” celetukku

“Emang gw masih muda. Ya udah, sana keluar. Tapi, kamu tahu jalan ngga?”

“Tenang kan ada applikasi,” sahutku, “Sama itu, boleh pinjem motor ngga atau mobil?” aku tersenyum cengengesan ketika Om Andre melotot padaku. Lalu dia beralih menatap Oscar

“Bisa naik motor? Ada sim C?” tanyanya pada Oscar

Wuih, si Om pake nanya sim segala.

“Bisa, saya juga ada sim C kok,” sahut Oscar tersenyum.

“Good, bentar.” Om Andre masuk ke kamar dan kemudian keluar dengan membawa sebuah kunci dan memberikannya pada Oscar.

“Hati-hati, jam 10 lo udah harus nyampe rumah!”

“Iya Om, eh…mas,” sahut Oscar gelagapan membuatku tersenyum geli.

***

Aku berboncengan dengan Oscar menuju tempat makan yang sudah diincarnya. Aku pasrah saja karena aku sama sekali tidak tahu menahu tempat tongkrongan di Surabaya. Di Jakarta saja aku tidak tahu apalagi di kota yang tidak pernah aku tinggali.

Dia berhenti di sebuah ruko yang pelataran parkirnya dipenuhi oleh warung tenda.

“Kamu mau apa?” tanyanya ketika kami sudah memarkirkan motor dan siap memilih makanan

“Yang enak apa?’ tanyaku

“Tahu tek, bakso, tahu campur, hmm… apalagi ya?” dia tampak berpikir

“Tahu tek aja,” sahutku memilih.

“Ya udah ayo.”

Kami masuk ke salah satu warung tenda dan memesan dua porsi tahu tek.

“Enak?” tanya Oscar padaku ketika aku menyuapkan sendok pertama ke mulut.

Aku merasakan memang ada rasa yang berbeda yang kurasakan di dalam rasa bumbu tahu tek ini dibandingkan dengan tahu tek lain yang pernah aku makan.

“Enak, rasanya agak beda ya,” komentarku

“Mungkin petisnya yang beda kalau di sini,” sahut Oscar.

Aku tidak lagi mengomentarinya dan memilih menikmati makanan yang super enak ini.

“Kamu tadi kenapa?” tiba-tiba Oscar bertanya padaku setelah cukup lama terdiam.

“Kapan?” aku balik bertanya karena tidak mengerti dengan maksudnya

“Waktu kamu marah sama om kamu,” sahutnya

“Oh, itu…aku ngga suka aja, entah… aku ngerasa…ngga nyaman.”

“Kamu tidur di rumah itu? Berdua sama Om kamu?”

“Iya,” sahutku mengangguk

“Katanya mau ngekost, ngga jadi?”

Aku memanyunkan mulutku, “Ngga, Omku ngga mau nyariin, katanya biar aku tinggal di sana aja.”

“Kamu mau?”

Aku menatapnya sejenak lalu kemudian kembali menekuri piring di depanku, menyuapkan sesendok tahu dan kerupuk yang telah layu karena terkena bumbu kacang.

“Kalau kamu ngga mau, bilang aja sejujurnya, nanti aku bantuin cari kostan, kebetulan aku ada temen di sini, coba nanti aku tanya-tanya.”

“Iya, nanti aku ngomong sama omku.”

Aku menatapnya dan tersenyum, “makasi ya.”

Dia balas tersenyum dan meneguk es teh tawarnya.

“Gimana seminarnya, seru?” tanyaku berbasa basi

Dia tertawa kecil, “Apanya yang seru.”

“Membosankan ya?”

“Ngga juga,” sahutnya sambil mengunyah makanan yang baru saja dia suapkan ke mulutnya.

“Seminar apaan sih?”

“Update terbaru di kedokteran terutama di spesialis yang aku ambil, yah… kaya belajar gitu.”

“Besok udah mulai kerja?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk. “Iya, aku selalu deg-degan kalau dapet audit kayak gini.”

“Kenapa?”

“Mungkin karena mau ketemu orang-orang baru, ngobrak-abrik keuangan mereka.”

“Pernah ketemu sama yang nyebelin ngga?”

“Syukurnya sih belum,” sahutku tersenyum, “rata-rata semua orangnya mau bekerja sama.”

“Pernah di sogok?” Oscar tersenyum penuh arti

“Nggalah! Ngga boleh itu!” sahutku tegas membuatnya tersenyum lebar.

Aku mengira Oscar akan mengatakan sesuatu ketika ponselnya berbunyi. Seseorang menelponnya.

Dia tampak berbicara dengan senyuman mengembang di wajah, sesekali tawanya berderai diakhir kalimat yang dilontarkannya pada si penelpon. Aku tidak lagi memperhatikannya ketika di suatu kalimat dia memanggil nama Alesya. Sepertinya si wanita idaman hati yang menelpon pantas saja wajahnya tampak bersemangat dan senyuman tidak pernah terlepas dari bibirnya.

“Sorry, tadi Alesya yang telpon,” katanya ketika akhirnya pembicaraan lewat telpon itu berakhir.

“Iya, tahu, wajah kamu keliatan happy banget,” sahutku padanya.  Dia hanya tersenyum.

“Kenapa dia ngga sekalian aja ikutan seminar di sini?”

“Kan spesialisasinya beda. Lagian bulan ini dia udah sempet seminar di sini juga.”

“Oh iya ya, lupa aku.”

“Oscar?” panggilku

Dia yang sedang memperhatikan layar ponselnya, mengalihkan pandangannya kepadaku, menatapku dan matanya seperti bertanya apa yang ingin aku katakan.

“Itu… aku masih kepikiran soal… apa yang kamu bilang dulu, tentang aku…yang jadi prioritas kamu. Aku masih merasa berkeberatan. Aku rasa itu ngga adil buat kamu.”

Dia tersenyum.

“Kenapa ngga adil?”

“Ya ngga adil aja, kenapa justru kamu yang harus menanggungnya? Itu bukan kesalahan kamu, kamu seharusnya ngga menanggung sesuatu yang bukan perbuatan kamu.”

“Tapi aku mau dan tidak berkeberatan.”

“Aku yang ngga mau! Aku ngga mau diperlakukan seperti itu!”

Dia tampak menghela nafas.

“Kalau mau kamu seperti itu, ya, aku ngga akan memaksa.”

***
zhabyi
disya1628
JabLai cOY
JabLai cOY dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.