- Beranda
- Stories from the Heart
Desa Tumbal Misterius Di Pedalaman Kalimantan
...
TS
benbela
Desa Tumbal Misterius Di Pedalaman Kalimantan
Salam lekum agan sista semua.
Setelah hampir 10 tahun hiatus, akhirnya ane bikin thread lagi di kaskus. Agak canggung juga, karena sudah 1 dekade cuman sesekali berkunjung. Cuman kali ini ane mau bikin cerita, tentang pengalaman seorang kawan yang menemukan hal ganjil ketika ada project di salah satu desa di pedalaman Kalimantan.
Jadi ceritanya bakal ane jabarin satu-satu di bawah
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak meng Copy Paste cerita ini. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 18-07-2021 06:49
adolfsbasthian dan 295 lainnya memberi reputasi
288
298K
Kutip
5.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
TS
benbela
#234
Quote:
Original Posted By benbela►
"Yang benar pak?"tanyaku penasaran.
"Kata penduduk sini, dahulu sekolah ini ramai. Bahkan muridnya lebih dari 200an orang." ujar pak Kasno memulai ceritanya.
"Kejadiannya sekitar 10 tahun lalu, sebelum aku bertugas disini. Dahulu ada wabah penyakit yang menyerang anak-anak. Banyak anak kecil yang meninggal mendadak karena sakit misterius. Anak kecil dari bayi hingga awal remaja, meninggal tanpa sebab."
"Dalam satu minggu, bisa ada 2 hingga 4 orang yang meninggal. Bahkan, dalam satu hari pernah ada 3 orang yang meninggal sekaligus. Warga desa geger, tidak tahu kejadian apa yang terjadi di desa mereka.Petugas puskesmas juga gak tahu penyakitnya apa. Beberapa dirujuk ke rumah sakit di kota, tapi meninggal di dalam perjalanan. Tidak sedikit yang baru beberapa langkah dari gerbang desa, lansung meregang nyawa."
Pak Kasno memandang wajahku dengan tatapan datar. Asap rokok mengepul dari mulut dan hidungnya secara bergantian.
"Terus pak? tanyaku lagi ingin tahu.
"Hanya dalam beberapa bulan, ratusan anak kecil meninggal. Yang ngeri, bayi dalam kandungan juga meninggal. Banyak ibu yang keguguran. Yang melahirkan, usia bayinya hanya bertahan beberapa hari. Tidak sedikit ibu yang hamil atau melahirkan, juga turut jadi korban."
Aku duduk terpaku mendengar cerita pak Kasno. Membayangkan kematian massal di desa ini, membuat aku bergidik. Untung saja istriku sedang di belakang, jadi dia tidak tahu ada kejadian kelam di desa ini.
Pak Kasno bangkit dari duduknya, lalu menoleh ke jendela. Kepalanya celingak celinguk, lalu kembali lagi ke tempat duduknya.
"Kenapa pak?" tanyaku heran.
"Gak apa-apa. Takut ada yang nguping, kan ga enak. Nanti dikira kita menjelek-jelekan desa ini, kan bisa repot." kata pak Kasno tertawa. Aku hanya senyum-senyum saja, mengusir ketegangan.
"Kamu lihat kan, penduduk disini rata-rata udah tua. Tahu kenapa?"
"Gak tahu pak. Memang ada apa pak?" jawabku sambil menggeleng.
"Penduduknya banyak yang ngungsi. Kabur. Yang anaknya masih hidup, pergi terburu-buru meninggalkan kampung ini. Takut jadi korban."
Pak Kasno menghela nafasnya sejenak, menikmati tiap isapan rokoknya lalu kembali melanjutkan cerita.
"Kemudian pada suatu malam, banjir bandang menyapu desa ini. Banjir datang tiba-tiba, menghancurkan rumah-rumah penduduk. Banyak yang tewas seketika, sebagian besar para pemuda yang tengah berkumpul. Yang lainnya, meninggal beberapa hari kemudian."
"Setelah itu, desa ini jadi sepi. Sekolah juga sempat tutup, karena gak ada muridnya. Guru-guru banyak yang pindah. Pegawai puskesmas juga gak mau bertahan, apalagi beberapa orang rekannya turut jadi korban banjir."
"Kemudian, lima tahun lalu sekolah ini kembali dibuka atas permintaan kepala desa. Dan...beginilah nasibku sekarang, terdampar di desa terpencil, jauh dari keluarga."
Suasana hening seketika. Aku dan pak Kasno sama-sama memandang langit-langit rumah, memikirkan entah seperti apa nasib kami di desa ini kedepan.
Istriku telah selesai dengan kerjaannya. Setelah mengucapkan terima kasih, aku dan istriku lalu pamit. Masih ada beberapa hal yang harus kami bereskan di rumah dinas kami yang baru.
Senja berganti malam, tidak terdengar kumandang adzan magrib di desa ini.
Hari berubah jadi gelap, aku membantu pak Kasno menyalakan mesin genset yang terletak di samping rumah dinas. Karena dibuatkan ruang khusus, suara mesin yang berisik tidak terlalu terdengar.
Dari arah hutan, suara jangkrik dan binatang malam saling bersahutan.
Suara burung hantu yang terus memanggil-manggil dari belakang rumah juga tidak kalah lantang. Andai di kota, suara hutan di malam hari pastilah menenangkan. Tapi di desa yang sepi seperti ini, suara-suara itu begitu mencekam.
Pak Kasno mengajak kami sholat Magrib dan Isya berjamaah di tempatnya. Ujar pak Kasno, hanya kami bertiga yang muslim, sedangkan lainnya menganut agama Hindu Kaharingan.
Pak Kasno yang jadi imam, sedangkan aku jadi muadzin. Istriku tersenyum melihat aku tidak bisa menolak, soalnya ia tahu aku jarang sholat.
Usai sholat, kami nyantai di ruang tamu pak Kasno. Sambil mengobrol, kami menonton tv yang siarannya dari parabola di depan rumahnya. Tentu saja, juga ada hidangan kopi dan teh serta roti kering.
Pak Kasno sempat menawarkan kami untuk makan malam, namun karena masih kenyang kami tolak dengan halus.
Obrolan kami kesana kemari tentang kegiatan sekolah, tentang masa muda pak Kasno dan sebagainya.
"Pak, apa jenengan gak takut tinggal sendiri?" tanya istriku.
"Seminggu pertama sih takut. Tapi lama-lama jadi biasa. Hanya saja, desa ini terlalu sepi, jadi kadang gak betah." ucap pak Kasno sembari menghisap dalam-dalam rokok kreteknya.
"Semoga saja, gak ada lagi yang mendaftar di sekolah ini. Jadi sekolah ini bisa tutup, dan kita tugas di kota." Kata pak Kasno sambil tertawa.
"Kalian tadi ketemu bue Alang dimana?" tanya pak Kasno.
"Di jalan pak, dekat pemakaman. Bue Alang tiba-tiba aja muncul dari hutan." jawabku.
Pak Kasno terlihat mangut-mangut saja, sambil sesekali menatap layar televisi.
"Pemakaman yang banyak ilalang itu kan? Itu raung anak-anak yang dulu meninggal saat wabah."
Istriku kaget, karena ia tidak mendengar cerita sebelumnya. Kulit dahinya mengkerut dan pupil matanya membesar. Aku melotot kearahnya, kode agar dia tidak bertanya lebih lanjut. Walau kesal, tapi ia menurut kemauanku.
"Aku prihatin dengan nasib bue Alang dan istrinya, tambi Nyai. Mereka dikucilkan oleh penduduk desa. Bukan dikucilkan, tapi takut."
Pak Kasno menatap kearahku dan istri bergantian,seakan sengaja membiarkan kami penasaran.
"Beredar desas desus, kalau segala hal buruk di desa ini, disebabkan ulah mereka.Bukan,bukan mereka...tapi.."ujar pak Kasno setengah berbisik.
"Tapi apa pak?" tanya istriku penasaran.
"Tapi istrinya, tambi Nyai."
Aku dan istri kembali saling pandang. Istriku menggeser duduknya agar lebih rapat denganku. Ingatan akan kemampuan tambi Nyai membakar wadah bambu tadi sore masih membekas. Jadi tidak heran kalau warga desa takut dengannya.
"Makanya, mereka lebih sering tinggal di pondok mereka di ladang. Sesekali pulang ke rumah, berharap anak mereka yang pergi akan kembali."
"Sebenarnya mereka juga korban. Tiga orang anaknya tewas terseret banjir 10 tahun lalu. Yang perempuan meninggal setelah melahirkan bersama bayinya. Yang masih hidup pergi entah kemana."
Pak Kasno menghentikan kalimatnya sejenak, menunggu respon kami. Karena tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami, pak Kasno melanjutkan cerita.
"akibat peristiwa itu, tambi Nyai seperti orang depresi. Tingkahnya aneh, dan penduduk desa semakin menjauhi. Padahal mereka orang baik. Bue Alang sering mengantarkan daging rusa hasil buruan. Kadang sayuran atau buah hasil kebun mereka."
"Sebagai ungkapan terima kasih, aku sering ngasih mereka beras, sarden atau mie instan."
Pak Kasno kembali menghisap rokoknya. Asap rokok yang mengepul segera pecah tertiup hembusan kipas angin di samping televisi.
" Aku gak tega melihat mereka. Membayangkan dua orang tua hidup di ladang di tengah hutan. Mencoba bertahan hidup dengan hasil kebun seadanya. Tanpa anak dan cucu."
"Di sisi lain, aku juga tidak bisa menyalahkan warga desa. Sikap tambi Nyai memang aneh. Bahkan kadang aku merasa ngeri. Beberapa kali ia muncul di sudut sekolah, mengamati anak-anak dari kejauhan. Anak-anak yang ketakutan langsung lari dan sembunyi di ruang guru. Tingkahnya bagai hewan buas yang mengintai mangsa."
Kami bertiga kembali terdiam. Siaran televisi berita yang membahas politik tidak menarik minat kami. Apapun kebijakan politik di Jakarta tidak akan berpengaruh pada kami, apalagi di daerah pelosok seperti ini.
Hari semakin malam, jam dinding di ruang tamu pak Kasno sudah menunjukkan pukul 9 malam. Aku dan istri kemudian pamit untuk istirahat.
Begitu tiba di rumah, aku dan istri menyalakan lampu minyak yang menempel di dinding papan.
Lampu itu kami nyalakan di ruang tamu, dapur dan juga kamar.
Melihat keadaan ini, wajahku rasanya seperti ditampar. Betapa aku selama ini tidak pernah bersyukur. Ternya di belahan lain negeri ini, masih banyak yang belum bisa menikmati listrik.
Di dalam kamar, aku segera mengaitkan empat sisi kelambu pada paku yang tertancap pada di dinding kayu. Bau obat nyamuk bakar juga langsung menyebar ke segala sudut kamar. .
Tidak berapa lama, mesin genset yang tadi meraung di tempatnya telah mati.
Lampu listrik telah berganti dengan cahaya lampu minyak. Rumah yang tadinya terang, berubah jadi temaram.
Istriku yang kelelahan, sudah terlelap dalam mimpi. Tubuhnya mengkerut bagai udang. Meskipun hanya berbantal tas punggung yang ditutup sarung, ia masih bisa tidur nyenyak.
Ada rasa bersalah, karena sebagai suami aku belum bisa membahagiakannya.
Andaikan tidak ada denda ratusan juta, aku pasti sudah menyerah meski belum berjuang.
Malam semakin hening, suara burung hantu di belakang rumah dinas terus memanggil. Jujur saja, bulu kuduk ikut merinding mendengar suaranya yang tidak pernah berhenti. Ditambah suara jangkrik dan serangga yang ikut menyahut dari hutan, membuat keadaan makin terasa seram.
Aku memaksa memejamkan mata, mencoba menikmati segala kekurangan yang kami jalani saat ini.
Agar cepat terlelap, baju kaos kugunakan untuk menutup mata.
Yang tidak aku sadari, ada sosok yang sedari tadi mengawasi kami dari balik pepohonan. Sosok itu bersembunyi di pekatnya gelap malam. Sorot matanya penuh amarah dan kebencian, serta rasa lapar yang tidak terpuaskan.
Ditutupi kegelapan, sosok itu telah mengitari rumah kami tiga kali sambil menaburkan beras kuning. Dan, sebentar lagi ia akan datang menghampiri.
...bersambung...
Bab X : Wabah Misterius
"Yang benar pak?"tanyaku penasaran.
"Kata penduduk sini, dahulu sekolah ini ramai. Bahkan muridnya lebih dari 200an orang." ujar pak Kasno memulai ceritanya.
"Kejadiannya sekitar 10 tahun lalu, sebelum aku bertugas disini. Dahulu ada wabah penyakit yang menyerang anak-anak. Banyak anak kecil yang meninggal mendadak karena sakit misterius. Anak kecil dari bayi hingga awal remaja, meninggal tanpa sebab."
"Dalam satu minggu, bisa ada 2 hingga 4 orang yang meninggal. Bahkan, dalam satu hari pernah ada 3 orang yang meninggal sekaligus. Warga desa geger, tidak tahu kejadian apa yang terjadi di desa mereka.Petugas puskesmas juga gak tahu penyakitnya apa. Beberapa dirujuk ke rumah sakit di kota, tapi meninggal di dalam perjalanan. Tidak sedikit yang baru beberapa langkah dari gerbang desa, lansung meregang nyawa."
Pak Kasno memandang wajahku dengan tatapan datar. Asap rokok mengepul dari mulut dan hidungnya secara bergantian.
"Terus pak? tanyaku lagi ingin tahu.
"Hanya dalam beberapa bulan, ratusan anak kecil meninggal. Yang ngeri, bayi dalam kandungan juga meninggal. Banyak ibu yang keguguran. Yang melahirkan, usia bayinya hanya bertahan beberapa hari. Tidak sedikit ibu yang hamil atau melahirkan, juga turut jadi korban."
Aku duduk terpaku mendengar cerita pak Kasno. Membayangkan kematian massal di desa ini, membuat aku bergidik. Untung saja istriku sedang di belakang, jadi dia tidak tahu ada kejadian kelam di desa ini.
Pak Kasno bangkit dari duduknya, lalu menoleh ke jendela. Kepalanya celingak celinguk, lalu kembali lagi ke tempat duduknya.
"Kenapa pak?" tanyaku heran.
"Gak apa-apa. Takut ada yang nguping, kan ga enak. Nanti dikira kita menjelek-jelekan desa ini, kan bisa repot." kata pak Kasno tertawa. Aku hanya senyum-senyum saja, mengusir ketegangan.
"Kamu lihat kan, penduduk disini rata-rata udah tua. Tahu kenapa?"
"Gak tahu pak. Memang ada apa pak?" jawabku sambil menggeleng.
"Penduduknya banyak yang ngungsi. Kabur. Yang anaknya masih hidup, pergi terburu-buru meninggalkan kampung ini. Takut jadi korban."
Pak Kasno menghela nafasnya sejenak, menikmati tiap isapan rokoknya lalu kembali melanjutkan cerita.
"Kemudian pada suatu malam, banjir bandang menyapu desa ini. Banjir datang tiba-tiba, menghancurkan rumah-rumah penduduk. Banyak yang tewas seketika, sebagian besar para pemuda yang tengah berkumpul. Yang lainnya, meninggal beberapa hari kemudian."
"Setelah itu, desa ini jadi sepi. Sekolah juga sempat tutup, karena gak ada muridnya. Guru-guru banyak yang pindah. Pegawai puskesmas juga gak mau bertahan, apalagi beberapa orang rekannya turut jadi korban banjir."
"Kemudian, lima tahun lalu sekolah ini kembali dibuka atas permintaan kepala desa. Dan...beginilah nasibku sekarang, terdampar di desa terpencil, jauh dari keluarga."
Suasana hening seketika. Aku dan pak Kasno sama-sama memandang langit-langit rumah, memikirkan entah seperti apa nasib kami di desa ini kedepan.
Istriku telah selesai dengan kerjaannya. Setelah mengucapkan terima kasih, aku dan istriku lalu pamit. Masih ada beberapa hal yang harus kami bereskan di rumah dinas kami yang baru.
Senja berganti malam, tidak terdengar kumandang adzan magrib di desa ini.
***
Hari berubah jadi gelap, aku membantu pak Kasno menyalakan mesin genset yang terletak di samping rumah dinas. Karena dibuatkan ruang khusus, suara mesin yang berisik tidak terlalu terdengar.
Dari arah hutan, suara jangkrik dan binatang malam saling bersahutan.
Suara burung hantu yang terus memanggil-manggil dari belakang rumah juga tidak kalah lantang. Andai di kota, suara hutan di malam hari pastilah menenangkan. Tapi di desa yang sepi seperti ini, suara-suara itu begitu mencekam.
Pak Kasno mengajak kami sholat Magrib dan Isya berjamaah di tempatnya. Ujar pak Kasno, hanya kami bertiga yang muslim, sedangkan lainnya menganut agama Hindu Kaharingan.
Pak Kasno yang jadi imam, sedangkan aku jadi muadzin. Istriku tersenyum melihat aku tidak bisa menolak, soalnya ia tahu aku jarang sholat.
Usai sholat, kami nyantai di ruang tamu pak Kasno. Sambil mengobrol, kami menonton tv yang siarannya dari parabola di depan rumahnya. Tentu saja, juga ada hidangan kopi dan teh serta roti kering.
Pak Kasno sempat menawarkan kami untuk makan malam, namun karena masih kenyang kami tolak dengan halus.
Obrolan kami kesana kemari tentang kegiatan sekolah, tentang masa muda pak Kasno dan sebagainya.
"Pak, apa jenengan gak takut tinggal sendiri?" tanya istriku.
"Seminggu pertama sih takut. Tapi lama-lama jadi biasa. Hanya saja, desa ini terlalu sepi, jadi kadang gak betah." ucap pak Kasno sembari menghisap dalam-dalam rokok kreteknya.
"Semoga saja, gak ada lagi yang mendaftar di sekolah ini. Jadi sekolah ini bisa tutup, dan kita tugas di kota." Kata pak Kasno sambil tertawa.
"Kalian tadi ketemu bue Alang dimana?" tanya pak Kasno.
"Di jalan pak, dekat pemakaman. Bue Alang tiba-tiba aja muncul dari hutan." jawabku.
Pak Kasno terlihat mangut-mangut saja, sambil sesekali menatap layar televisi.
"Pemakaman yang banyak ilalang itu kan? Itu raung anak-anak yang dulu meninggal saat wabah."
Istriku kaget, karena ia tidak mendengar cerita sebelumnya. Kulit dahinya mengkerut dan pupil matanya membesar. Aku melotot kearahnya, kode agar dia tidak bertanya lebih lanjut. Walau kesal, tapi ia menurut kemauanku.
"Aku prihatin dengan nasib bue Alang dan istrinya, tambi Nyai. Mereka dikucilkan oleh penduduk desa. Bukan dikucilkan, tapi takut."
Pak Kasno menatap kearahku dan istri bergantian,seakan sengaja membiarkan kami penasaran.
"Beredar desas desus, kalau segala hal buruk di desa ini, disebabkan ulah mereka.Bukan,bukan mereka...tapi.."ujar pak Kasno setengah berbisik.
"Tapi apa pak?" tanya istriku penasaran.
"Tapi istrinya, tambi Nyai."
Aku dan istri kembali saling pandang. Istriku menggeser duduknya agar lebih rapat denganku. Ingatan akan kemampuan tambi Nyai membakar wadah bambu tadi sore masih membekas. Jadi tidak heran kalau warga desa takut dengannya.
"Makanya, mereka lebih sering tinggal di pondok mereka di ladang. Sesekali pulang ke rumah, berharap anak mereka yang pergi akan kembali."
"Sebenarnya mereka juga korban. Tiga orang anaknya tewas terseret banjir 10 tahun lalu. Yang perempuan meninggal setelah melahirkan bersama bayinya. Yang masih hidup pergi entah kemana."
Pak Kasno menghentikan kalimatnya sejenak, menunggu respon kami. Karena tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami, pak Kasno melanjutkan cerita.
"akibat peristiwa itu, tambi Nyai seperti orang depresi. Tingkahnya aneh, dan penduduk desa semakin menjauhi. Padahal mereka orang baik. Bue Alang sering mengantarkan daging rusa hasil buruan. Kadang sayuran atau buah hasil kebun mereka."
"Sebagai ungkapan terima kasih, aku sering ngasih mereka beras, sarden atau mie instan."
Pak Kasno kembali menghisap rokoknya. Asap rokok yang mengepul segera pecah tertiup hembusan kipas angin di samping televisi.
" Aku gak tega melihat mereka. Membayangkan dua orang tua hidup di ladang di tengah hutan. Mencoba bertahan hidup dengan hasil kebun seadanya. Tanpa anak dan cucu."
"Di sisi lain, aku juga tidak bisa menyalahkan warga desa. Sikap tambi Nyai memang aneh. Bahkan kadang aku merasa ngeri. Beberapa kali ia muncul di sudut sekolah, mengamati anak-anak dari kejauhan. Anak-anak yang ketakutan langsung lari dan sembunyi di ruang guru. Tingkahnya bagai hewan buas yang mengintai mangsa."
Kami bertiga kembali terdiam. Siaran televisi berita yang membahas politik tidak menarik minat kami. Apapun kebijakan politik di Jakarta tidak akan berpengaruh pada kami, apalagi di daerah pelosok seperti ini.
Hari semakin malam, jam dinding di ruang tamu pak Kasno sudah menunjukkan pukul 9 malam. Aku dan istri kemudian pamit untuk istirahat.
Begitu tiba di rumah, aku dan istri menyalakan lampu minyak yang menempel di dinding papan.
Lampu itu kami nyalakan di ruang tamu, dapur dan juga kamar.
Melihat keadaan ini, wajahku rasanya seperti ditampar. Betapa aku selama ini tidak pernah bersyukur. Ternya di belahan lain negeri ini, masih banyak yang belum bisa menikmati listrik.
Di dalam kamar, aku segera mengaitkan empat sisi kelambu pada paku yang tertancap pada di dinding kayu. Bau obat nyamuk bakar juga langsung menyebar ke segala sudut kamar. .
Tidak berapa lama, mesin genset yang tadi meraung di tempatnya telah mati.
Lampu listrik telah berganti dengan cahaya lampu minyak. Rumah yang tadinya terang, berubah jadi temaram.
Istriku yang kelelahan, sudah terlelap dalam mimpi. Tubuhnya mengkerut bagai udang. Meskipun hanya berbantal tas punggung yang ditutup sarung, ia masih bisa tidur nyenyak.
Ada rasa bersalah, karena sebagai suami aku belum bisa membahagiakannya.
Andaikan tidak ada denda ratusan juta, aku pasti sudah menyerah meski belum berjuang.
Malam semakin hening, suara burung hantu di belakang rumah dinas terus memanggil. Jujur saja, bulu kuduk ikut merinding mendengar suaranya yang tidak pernah berhenti. Ditambah suara jangkrik dan serangga yang ikut menyahut dari hutan, membuat keadaan makin terasa seram.
Aku memaksa memejamkan mata, mencoba menikmati segala kekurangan yang kami jalani saat ini.
Agar cepat terlelap, baju kaos kugunakan untuk menutup mata.
Yang tidak aku sadari, ada sosok yang sedari tadi mengawasi kami dari balik pepohonan. Sosok itu bersembunyi di pekatnya gelap malam. Sorot matanya penuh amarah dan kebencian, serta rasa lapar yang tidak terpuaskan.
Ditutupi kegelapan, sosok itu telah mengitari rumah kami tiga kali sambil menaburkan beras kuning. Dan, sebentar lagi ia akan datang menghampiri.
...bersambung...
Diubah oleh benbela 14-03-2021 12:02
itkgid dan 85 lainnya memberi reputasi
86
Kutip
Balas
Tutup