- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#153
Awal Juli 2019
First Lady, second lady…
Aku melangkah pasti keluar dari lift menuju area lobby. Aku semakin mempercepat langkahku ketika melihat Oscar sedang duduk menunduk, sedang melihat ke layar ponselnya.
“Sudah lama?” tanyaku berdiri di depannya.
Oscar mengangkat wajahnya dan tersenyum padaku.
“Ngga, kok,” sahutnya sambil berdiri.
“Ayo.”
Kami berjalan keluar gedung dan menuju ke area parkir terbatas yang ada di depan.
“Alesya tahu?” tanyaku ketika kami sudah melintasi jalan Jakarta yang padat.
“Tahu apa?” tanyanya sambil menyetel musik dan kemudian mengalunlah sebuah lagu instrumental yang terdengar tidak asing di telingaku.
“Tahu kalau kamu ngajakin aku diner.”
“Ngga tahu.”
“Kasi tahu dong, nanti kalau ketemu dia gimana?”
“Tahu dari mana kita bakalan ketemu sama dia?”
“Ya siapa tahu, besar resikonya kalau jalan sama cowok yang sudah punya cewek, aku ngga mau dikira ngerusak hubungan orang.”
Oscar tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa ketewa?” tanyaku heran melihatnya malah menertawaiku
“Kamu itu lucu deh!”
“Apanya yang lucu! Kamu yang aneh!”
“Kebanyakan nonton sinetron.”
“Aku ngga pernah nonton sinetron!”
Dia tidak menjawab tapi malah tersenyum lebar mendengar bantahanku.
Dia mengarahkan mobilnya menuju lokasi restoran yang pernah kami kunjungi sebelumnya. Begitu memasuki restoran seorang lelaki berjas rapi menghampiri kami dan menghantarkan kami ke meja yang sepertinya telah di pesan oleh Oscar.
Tapi di meja itu sudah duduk seorang wanita. Wanita itu duduk membelakangi kami, yang dapat kulihat adalah wanita itu memakai blouse coklat muda dan berambut hitam lurus di atas bahu.
Oscar berjalan ke depan wanita itu dan menyapanya.
“Udah lama, Ma?”
Tiba-tiba aku merasa gugup. Ini mamanya Oscar.
Wanita itu berdiri dan memeluk Oscar. Oscar menunduk dan menyambut pelukan wanita itu yang harus sedikit menjinjit karena tinggi mereka yang tidak sepadan.
“Udah lumayan lama, tumben tadi meeting di Kemenkes ngga terlalu lama jadi mama langsung ke sini aja daripada terlambat. Tumben-tumben kamu ngajakin makan bareng masak mama telat datengnya. Mana Vio?”
“Woi, sini!” panggil Oscar padaku yang seperti terbius oleh kehadiran wanita itu.
Aku berjalan mendekati mereka. Melihat wajah wanita itu lebih dekat. Wajah wanita yang berusia sekitaran 50 tahunan, terlihat jelas wajahnya mendapatkan perawatan karena di usianya yang separuh abad masih sangat segar dan minim kerutan. Terlebih lagi senyuman ramah yang mengembang di wajahnya membuat wibawa dan kesan keibuan terpancar jelas.
Dia menyambutku, menyalami, bahkan memberikan pelukan dan ciuman hangat di kedua pipiku.
“Ayo silakan duduk,” ujarnya padaku kemudian.
Aku masih tidak bisa berkata-kata. Aku tidak mengerti bagaimana mungkin seorang lelaki bisa berpaling dari wanita yang sedemikian lembut ini dan tega menyakitinya.
Aku juga wanita yang telah di sakiti oleh lelaki yang pernah menjadi suaminya dan kini aku berhadapan dengannya, apa yang akan aku katakan. Kenapa Oscar tidak bilang kalau mamanya akan datang. Atau, apa dia sengaja?
“Gimana kondisi kamu sekarang?” tanyanya padaku dengan ramah.
“E… saya baik-baik aja Tante,” sahutku tersenyum
“Kerjaan lancar? Kata Oscar kamu mau ke Surabaya ya, tugas lagi?”
Tanpa sadar aku melirik kea rah Oscar yang tampak acuh melihat buku menu.
“Iya, tugas audit lagi di Surabaya.”
“Kapan berangkatnya?”
“Hmm…kalau ngga ada perubahan tanggal 10 ini.”
“Tanggal 10 Juli?” tanya Oscar tiba-tiba.
“Iya,” sahutku
“Tanggal 10 berangkat apa sudah mulai kerja?” tanyanya lagi
“Berangkat dari Jakarta.”
“Aku ada seminar tanggal 9 sampai tanggal 13 di Hotel Shangrila. Kamu tinggal di mana?”
“Udah di cariin kost sama Om aku.”
“Kost putri kan?” kali ini Mamanya yang bertanya padaku.
“Iya, Tante, kostan putri.”
“Kamu hati-hati selama di sana, Surabaya sebelas duabelas sama Jakarta, pilih transportasi yang aman biarpun mahal sedikit yang penting kamu ngerasa aman dan nyaman.”
Oscar tertawa.
Aku dan mamanya kompak menoleh padanya.
“Kamu kenapa tiba-tiba ketawa?” Mamanya Oscar bertanya sambil memandang heran.
“Ngga apa-apa,” sahutnya menahan tawa.
Dua orang pelayan datang membawakan pesanan kami. Dan setelah itu mereka sibuk mencicipi dan memberikan komentar pada makanan masing-masing.
“Saya ngga diberitahu Oscar kalau Tante juga datang sekarang,” ujarku ketika semua membisu.
Wanita itu menoleh dan tersenyum padaku.
“Saya yang ingin ketemu dengan kamu. Saya ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati kamu dan juga Mama kamu. Saya tidak bisa berbuat atau memberikan apa pun, hanya doa yang bisa saya panjatkan semoga hidup kamu ke depan jauh lebih baik dan selalu di berkati.”
Aku tidak bisa berkata hanya senyuman yang bisa aku berikan sebagai respon dari ungkapan hatinya yang tulus mendoakan aku.
“Oscar bilang ada seseorang yang menyukai kamu di Bali, benar?”
Refleks aku melihat pada Oscar yang ternyata juga sedang menatapku. Aku menatap kembali pada mamanya yang masih menungguku menjawab pertanyaannya.
“Iya,” sahutku akhirnya.
“Cobalah memberinya kesempatan, tanya pada hatimu, pada dirimu sendiri, apa yang kamu inginkan. Tidak ada hal yang paling membahagiakan selain bisa menjalani hidup dengan orang yang kamu cintai.”
“Tapi, apa cinta saja cukup?” pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku.
Lalu aku sendiri terkejut dan memandang ragu-ragu pada wanita itu yang kini tersenyum padaku.
“Cukup, sangat cukup,” sahutnya dengan senyum mengembang, “Saya orang yang percaya dengan kekuatan cinta.”
Dia kemudian beralih pada makanan di depannya. Memasukan sesuap ke mulut dengan anggun.
“Saya selalu bilang sama Oscar dan juga sama orang-orang yang saya sayangi, kamu harus percaya dengan hatimu, jangan pernah ragu.”
Aku terdiam. Begitu pun dengan Oscar.
“Bagaimana kalau hati saya salah?” tanyaku kemudian
“Ngga ada yang salah, pun ngga ada yang benar. Jalani saja semua, karena apa yang telah terjadi pasti memang seharusnya terjadi. Rasa takut dalam diri kamu yang harus kamu kalahkan. Itu musuh kamu yang sebenarnya.”
Beliau meneguk habis minumannya, mengelap pelan bibirnya, kemudian memandangku dengan lekat.
“Kamu wanita kuat, saya yakin kamu pasti bisa melewati setiap tahap dalam hidup kamu.”
Dia tersenyum sebelum kemudian mengalihkan pandangannya pada Oscar.
“Os, Mama ada meeting lagi,” katanya kemudian.
“Tante tinggal dulu ya, kamu mau dianter ke mana aja setelah ini bilang aja ke Oscar, dia ngga boleh nolak karena kamu yang minta,” ujarnya padaku dengan mengedipkan sebelah matanya dan melemparkan senyuman pada Oscar yang hanya menganggapinya dengan senyuman.
***
“Mama pengen ketemu kamu, jadi aku atur makan malam hari ini, sorry aku ngga bilang sebelumnya,” kata Oscar padaku setelah Mamanya pergi.
“Ngga apa-apa, aku malah seneng bisa kenal sama mama kamu,” sahutku lalu meneguk minumanku, “Apa mama kamu indigo?”
Oscar tertawa kecil. “Ngga lah, tapi instingnya kuat.”
“Oh…”
Aku melirik sekilas pada Oscar yang tampak serius menatap ke satu arah.
Aku megikuti ke mana arah pandangannya dan mataku menangkap sesosok wanita yang wajahnya sepertinya pernah aku lihat, tengah duduk berhadapan dengan seorang lelaki. Mereka tampak asyik mengobrol sambil sesekali tertawa.
“Itu Alesya, bukan?” tanyaku pada Oscar yang kini tampak santai menikmati makanannya
“Iya,” sahutnya dengan tenang.
“Kamu ngga samperin?”
“Ngga usah. Dia juga lagi sama temennya.”
“Kamu kenal?”
Dia menggeleng sambil tersenyum, membuatku kesal.
“Lalu kamu tau darimana itu temannya?”
“Ya tau aja, instingku kan ngga pernah salah.”
“Gimana kalau kali ini salah?”
“Ya biarin aja, berarti memang salah.”
“Ish, kamu itu. Kamu beneran suka ngga sih sama dia?”
Dia tersenyum.
“Kalian pacaran?”
“Ngga.”
Aku kaget mendenger jawabannya.
“Tapi kamu bilang kamu ngajakin dia nikah?”
“Iya, tapi dia ngga mau.”
“Berarti kamu ngga ada hubungan apa pun sama dia?”
“Ngga ada.”
“Kok bisa?”
“Ya bisa aja.”
Dia tersenyum.
“Mama kamu tahu?”
“Tentang kamu aja mamaku tahu, apalagi dia.”
“Trus, beliau bilang apa?”
“Sama seperti nasihatnya ke kamu tadi.”
“Trus, kamu sendiri gimana?”
Dia menoleh dan memandangku
“Masih sanggup bersabar,” ujarnya tersenyum.
Aku hanya terdiam memandangnya, dalam hati mengagumi kesabarannya.
Pelayan datang membersihkan meja kami dan kemudian kembali membawakan makanan penutup.
“Seminggu aja aku makan seperti ini terus, asli bulan depan baju-bajuku ngga akan muat semua,” ujarku lalu menyantap banana split dengan tampilan yang sungguh menggoda.
“Kamu di sini?”
Sebuah suara terdengar tegas tapi lembut masuk ke ruang pendengaranku.
Dan Alesya sudah berdiri di sana, di depanku dan Oscar.
“Kamu di sini juga?” Oscar balik bertanya sambil memamerkan senyumannya, bersikap sangat tenang.
“Iya, aku ketemuan sama temen kuliahku, kamu ngga ketemu Dokter Mira? Aku tadi liat beliau keluar, mau aku samperin tapi ngga keburu.”
“Tadi aku makan sama mama kok,” sahut Oscar, “Dia duluan katanya ada meeting lagi.”
Aku merasa sedang diperhatikan, karena itu aku mengangkat wajahku dan memandang wanita yang berdiri di depanku ini. Benar saja, mataku langsung bersitatap dengan matanya.
Aku melemparkan senyum kepadanya, bersopan santun.
“Ya udah kalau gitu,” dia berbalik dan melangkah pelan tapi baru beberapa langkah dia berbalik lagi.
“Kamu mau gabung ngga?” tanyanya pada Oscar.
“Ngga usah, ini juga mau udahan kok,” tolak Oscar dengan suara yang halus disertai dengan senyuman.
“Ok,” sahut Alesya dan kali ini melangkah dengan pasti meninggalkan meja kami.
“Kenapa ditolak?” tanyaku kemudian pada Oscar.
“Males aja,” sahutnya tersenyum
“Kamu cemburu?” tanyaku menyelidik
Dia tertawa memandangku.
“Bisa ngga kamu ngga sejujur ini kalau ngomong,” ujarnya di sela-sela tawanya
“Berarti benar kamu cemburu,” sahutku
“Sedikit,” katanya sambil memperlihatkan ujung jari kelingkingnya.
“Berarti bagus, itu artinya kamu memang bener-bener suka, tapi kenapa harus jaga image gitu? Kalau kamu cemburu kenapa ngga terima aja tawarannya tadi?”
Dia diam saja.
“Trus, kenapa ngga ngenalin aku ke dia?”
Dia melihat ke arahku.
“Biar dia penasaran ya?” tebakku, “kamu juga mau buat dia jealous ya?”
“Ngga, bukan itu.”
“Lalu?”
“Aku hanya akan memperkenalkan kamu dengan wanita yang sudah menjadi istriku nanti.”
Aku terkejut dengan perkataannya.
“Kenapa?”
“Mama aku adalah first lady, dan second ladynya adalah kamu.”
Aku tidak mengerti dengan perkataannya.
“Maksud kamu apaan sih?”
“Artinya, kalau aku punya pacar, dan misal di saat aku lagi bareng sama cewekku dan tiba-tiba kamu minta tolong ke aku, yang aku utamakan adalah kamu. Juga, misal, kalau seandainya kamu dan cewekku dalam bahaya, jika aku ngga bisa selamatin kalian berdua dan aku harus milih salah satu, yang aku pilih untuk diselamatkan adalah kamu.”
Aku mengerutkan keningku.
“Kenapa?”
“Itu wasiat papaku, yang disetujui oleh mamaku.”
“Ngga bisa!” tolakku keras, “Mana ada yang kayak gituan.”
“Kamu denger kan tadi mama kamu bilang apa, follow your heart, kalau hati kamu bilang kamu harus mengutamakan orang yang kamu sayang, berarti kamu harus mengikuti hati kamu kan!? Aku ngga mau kamu kaya gitu, aku menolak!”
Dia tertawa kecil.
'Tapi, itu juga yang hati aku bilang.'
First Lady, second lady…
Aku melangkah pasti keluar dari lift menuju area lobby. Aku semakin mempercepat langkahku ketika melihat Oscar sedang duduk menunduk, sedang melihat ke layar ponselnya.
“Sudah lama?” tanyaku berdiri di depannya.
Oscar mengangkat wajahnya dan tersenyum padaku.
“Ngga, kok,” sahutnya sambil berdiri.
“Ayo.”
Kami berjalan keluar gedung dan menuju ke area parkir terbatas yang ada di depan.
“Alesya tahu?” tanyaku ketika kami sudah melintasi jalan Jakarta yang padat.
“Tahu apa?” tanyanya sambil menyetel musik dan kemudian mengalunlah sebuah lagu instrumental yang terdengar tidak asing di telingaku.
“Tahu kalau kamu ngajakin aku diner.”
“Ngga tahu.”
“Kasi tahu dong, nanti kalau ketemu dia gimana?”
“Tahu dari mana kita bakalan ketemu sama dia?”
“Ya siapa tahu, besar resikonya kalau jalan sama cowok yang sudah punya cewek, aku ngga mau dikira ngerusak hubungan orang.”
Oscar tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa ketewa?” tanyaku heran melihatnya malah menertawaiku
“Kamu itu lucu deh!”
“Apanya yang lucu! Kamu yang aneh!”
“Kebanyakan nonton sinetron.”
“Aku ngga pernah nonton sinetron!”
Dia tidak menjawab tapi malah tersenyum lebar mendengar bantahanku.
Dia mengarahkan mobilnya menuju lokasi restoran yang pernah kami kunjungi sebelumnya. Begitu memasuki restoran seorang lelaki berjas rapi menghampiri kami dan menghantarkan kami ke meja yang sepertinya telah di pesan oleh Oscar.
Tapi di meja itu sudah duduk seorang wanita. Wanita itu duduk membelakangi kami, yang dapat kulihat adalah wanita itu memakai blouse coklat muda dan berambut hitam lurus di atas bahu.
Oscar berjalan ke depan wanita itu dan menyapanya.
“Udah lama, Ma?”
Tiba-tiba aku merasa gugup. Ini mamanya Oscar.
Wanita itu berdiri dan memeluk Oscar. Oscar menunduk dan menyambut pelukan wanita itu yang harus sedikit menjinjit karena tinggi mereka yang tidak sepadan.
“Udah lumayan lama, tumben tadi meeting di Kemenkes ngga terlalu lama jadi mama langsung ke sini aja daripada terlambat. Tumben-tumben kamu ngajakin makan bareng masak mama telat datengnya. Mana Vio?”
“Woi, sini!” panggil Oscar padaku yang seperti terbius oleh kehadiran wanita itu.
Aku berjalan mendekati mereka. Melihat wajah wanita itu lebih dekat. Wajah wanita yang berusia sekitaran 50 tahunan, terlihat jelas wajahnya mendapatkan perawatan karena di usianya yang separuh abad masih sangat segar dan minim kerutan. Terlebih lagi senyuman ramah yang mengembang di wajahnya membuat wibawa dan kesan keibuan terpancar jelas.
Dia menyambutku, menyalami, bahkan memberikan pelukan dan ciuman hangat di kedua pipiku.
“Ayo silakan duduk,” ujarnya padaku kemudian.
Aku masih tidak bisa berkata-kata. Aku tidak mengerti bagaimana mungkin seorang lelaki bisa berpaling dari wanita yang sedemikian lembut ini dan tega menyakitinya.
Aku juga wanita yang telah di sakiti oleh lelaki yang pernah menjadi suaminya dan kini aku berhadapan dengannya, apa yang akan aku katakan. Kenapa Oscar tidak bilang kalau mamanya akan datang. Atau, apa dia sengaja?
“Gimana kondisi kamu sekarang?” tanyanya padaku dengan ramah.
“E… saya baik-baik aja Tante,” sahutku tersenyum
“Kerjaan lancar? Kata Oscar kamu mau ke Surabaya ya, tugas lagi?”
Tanpa sadar aku melirik kea rah Oscar yang tampak acuh melihat buku menu.
“Iya, tugas audit lagi di Surabaya.”
“Kapan berangkatnya?”
“Hmm…kalau ngga ada perubahan tanggal 10 ini.”
“Tanggal 10 Juli?” tanya Oscar tiba-tiba.
“Iya,” sahutku
“Tanggal 10 berangkat apa sudah mulai kerja?” tanyanya lagi
“Berangkat dari Jakarta.”
“Aku ada seminar tanggal 9 sampai tanggal 13 di Hotel Shangrila. Kamu tinggal di mana?”
“Udah di cariin kost sama Om aku.”
“Kost putri kan?” kali ini Mamanya yang bertanya padaku.
“Iya, Tante, kostan putri.”
“Kamu hati-hati selama di sana, Surabaya sebelas duabelas sama Jakarta, pilih transportasi yang aman biarpun mahal sedikit yang penting kamu ngerasa aman dan nyaman.”
Oscar tertawa.
Aku dan mamanya kompak menoleh padanya.
“Kamu kenapa tiba-tiba ketawa?” Mamanya Oscar bertanya sambil memandang heran.
“Ngga apa-apa,” sahutnya menahan tawa.
Dua orang pelayan datang membawakan pesanan kami. Dan setelah itu mereka sibuk mencicipi dan memberikan komentar pada makanan masing-masing.
“Saya ngga diberitahu Oscar kalau Tante juga datang sekarang,” ujarku ketika semua membisu.
Wanita itu menoleh dan tersenyum padaku.
“Saya yang ingin ketemu dengan kamu. Saya ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati kamu dan juga Mama kamu. Saya tidak bisa berbuat atau memberikan apa pun, hanya doa yang bisa saya panjatkan semoga hidup kamu ke depan jauh lebih baik dan selalu di berkati.”
Aku tidak bisa berkata hanya senyuman yang bisa aku berikan sebagai respon dari ungkapan hatinya yang tulus mendoakan aku.
“Oscar bilang ada seseorang yang menyukai kamu di Bali, benar?”
Refleks aku melihat pada Oscar yang ternyata juga sedang menatapku. Aku menatap kembali pada mamanya yang masih menungguku menjawab pertanyaannya.
“Iya,” sahutku akhirnya.
“Cobalah memberinya kesempatan, tanya pada hatimu, pada dirimu sendiri, apa yang kamu inginkan. Tidak ada hal yang paling membahagiakan selain bisa menjalani hidup dengan orang yang kamu cintai.”
“Tapi, apa cinta saja cukup?” pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku.
Lalu aku sendiri terkejut dan memandang ragu-ragu pada wanita itu yang kini tersenyum padaku.
“Cukup, sangat cukup,” sahutnya dengan senyum mengembang, “Saya orang yang percaya dengan kekuatan cinta.”
Dia kemudian beralih pada makanan di depannya. Memasukan sesuap ke mulut dengan anggun.
“Saya selalu bilang sama Oscar dan juga sama orang-orang yang saya sayangi, kamu harus percaya dengan hatimu, jangan pernah ragu.”
Aku terdiam. Begitu pun dengan Oscar.
“Bagaimana kalau hati saya salah?” tanyaku kemudian
“Ngga ada yang salah, pun ngga ada yang benar. Jalani saja semua, karena apa yang telah terjadi pasti memang seharusnya terjadi. Rasa takut dalam diri kamu yang harus kamu kalahkan. Itu musuh kamu yang sebenarnya.”
Beliau meneguk habis minumannya, mengelap pelan bibirnya, kemudian memandangku dengan lekat.
“Kamu wanita kuat, saya yakin kamu pasti bisa melewati setiap tahap dalam hidup kamu.”
Dia tersenyum sebelum kemudian mengalihkan pandangannya pada Oscar.
“Os, Mama ada meeting lagi,” katanya kemudian.
“Tante tinggal dulu ya, kamu mau dianter ke mana aja setelah ini bilang aja ke Oscar, dia ngga boleh nolak karena kamu yang minta,” ujarnya padaku dengan mengedipkan sebelah matanya dan melemparkan senyuman pada Oscar yang hanya menganggapinya dengan senyuman.
***
“Mama pengen ketemu kamu, jadi aku atur makan malam hari ini, sorry aku ngga bilang sebelumnya,” kata Oscar padaku setelah Mamanya pergi.
“Ngga apa-apa, aku malah seneng bisa kenal sama mama kamu,” sahutku lalu meneguk minumanku, “Apa mama kamu indigo?”
Oscar tertawa kecil. “Ngga lah, tapi instingnya kuat.”
“Oh…”
Aku melirik sekilas pada Oscar yang tampak serius menatap ke satu arah.
Aku megikuti ke mana arah pandangannya dan mataku menangkap sesosok wanita yang wajahnya sepertinya pernah aku lihat, tengah duduk berhadapan dengan seorang lelaki. Mereka tampak asyik mengobrol sambil sesekali tertawa.
“Itu Alesya, bukan?” tanyaku pada Oscar yang kini tampak santai menikmati makanannya
“Iya,” sahutnya dengan tenang.
“Kamu ngga samperin?”
“Ngga usah. Dia juga lagi sama temennya.”
“Kamu kenal?”
Dia menggeleng sambil tersenyum, membuatku kesal.
“Lalu kamu tau darimana itu temannya?”
“Ya tau aja, instingku kan ngga pernah salah.”
“Gimana kalau kali ini salah?”
“Ya biarin aja, berarti memang salah.”
“Ish, kamu itu. Kamu beneran suka ngga sih sama dia?”
Dia tersenyum.
“Kalian pacaran?”
“Ngga.”
Aku kaget mendenger jawabannya.
“Tapi kamu bilang kamu ngajakin dia nikah?”
“Iya, tapi dia ngga mau.”
“Berarti kamu ngga ada hubungan apa pun sama dia?”
“Ngga ada.”
“Kok bisa?”
“Ya bisa aja.”
Dia tersenyum.
“Mama kamu tahu?”
“Tentang kamu aja mamaku tahu, apalagi dia.”
“Trus, beliau bilang apa?”
“Sama seperti nasihatnya ke kamu tadi.”
“Trus, kamu sendiri gimana?”
Dia menoleh dan memandangku
“Masih sanggup bersabar,” ujarnya tersenyum.
Aku hanya terdiam memandangnya, dalam hati mengagumi kesabarannya.
Pelayan datang membersihkan meja kami dan kemudian kembali membawakan makanan penutup.
“Seminggu aja aku makan seperti ini terus, asli bulan depan baju-bajuku ngga akan muat semua,” ujarku lalu menyantap banana split dengan tampilan yang sungguh menggoda.
“Kamu di sini?”
Sebuah suara terdengar tegas tapi lembut masuk ke ruang pendengaranku.
Dan Alesya sudah berdiri di sana, di depanku dan Oscar.
“Kamu di sini juga?” Oscar balik bertanya sambil memamerkan senyumannya, bersikap sangat tenang.
“Iya, aku ketemuan sama temen kuliahku, kamu ngga ketemu Dokter Mira? Aku tadi liat beliau keluar, mau aku samperin tapi ngga keburu.”
“Tadi aku makan sama mama kok,” sahut Oscar, “Dia duluan katanya ada meeting lagi.”
Aku merasa sedang diperhatikan, karena itu aku mengangkat wajahku dan memandang wanita yang berdiri di depanku ini. Benar saja, mataku langsung bersitatap dengan matanya.
Aku melemparkan senyum kepadanya, bersopan santun.
“Ya udah kalau gitu,” dia berbalik dan melangkah pelan tapi baru beberapa langkah dia berbalik lagi.
“Kamu mau gabung ngga?” tanyanya pada Oscar.
“Ngga usah, ini juga mau udahan kok,” tolak Oscar dengan suara yang halus disertai dengan senyuman.
“Ok,” sahut Alesya dan kali ini melangkah dengan pasti meninggalkan meja kami.
“Kenapa ditolak?” tanyaku kemudian pada Oscar.
“Males aja,” sahutnya tersenyum
“Kamu cemburu?” tanyaku menyelidik
Dia tertawa memandangku.
“Bisa ngga kamu ngga sejujur ini kalau ngomong,” ujarnya di sela-sela tawanya
“Berarti benar kamu cemburu,” sahutku
“Sedikit,” katanya sambil memperlihatkan ujung jari kelingkingnya.
“Berarti bagus, itu artinya kamu memang bener-bener suka, tapi kenapa harus jaga image gitu? Kalau kamu cemburu kenapa ngga terima aja tawarannya tadi?”
Dia diam saja.
“Trus, kenapa ngga ngenalin aku ke dia?”
Dia melihat ke arahku.
“Biar dia penasaran ya?” tebakku, “kamu juga mau buat dia jealous ya?”
“Ngga, bukan itu.”
“Lalu?”
“Aku hanya akan memperkenalkan kamu dengan wanita yang sudah menjadi istriku nanti.”
Aku terkejut dengan perkataannya.
“Kenapa?”
“Mama aku adalah first lady, dan second ladynya adalah kamu.”
Aku tidak mengerti dengan perkataannya.
“Maksud kamu apaan sih?”
“Artinya, kalau aku punya pacar, dan misal di saat aku lagi bareng sama cewekku dan tiba-tiba kamu minta tolong ke aku, yang aku utamakan adalah kamu. Juga, misal, kalau seandainya kamu dan cewekku dalam bahaya, jika aku ngga bisa selamatin kalian berdua dan aku harus milih salah satu, yang aku pilih untuk diselamatkan adalah kamu.”
Aku mengerutkan keningku.
“Kenapa?”
“Itu wasiat papaku, yang disetujui oleh mamaku.”
“Ngga bisa!” tolakku keras, “Mana ada yang kayak gituan.”
“Kamu denger kan tadi mama kamu bilang apa, follow your heart, kalau hati kamu bilang kamu harus mengutamakan orang yang kamu sayang, berarti kamu harus mengikuti hati kamu kan!? Aku ngga mau kamu kaya gitu, aku menolak!”
Dia tertawa kecil.
'Tapi, itu juga yang hati aku bilang.'
Diubah oleh drupadi5 12-03-2021 07:26
JabLai cOY dan 4 lainnya memberi reputasi
5