Kaskus

Story

blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
Sisa Bakwan Kemarin
Sisa Bakwan Kemarin


Spoiler for Update Chapter:


Chapter 1


POV DEWI

---------------------------

"Sayang, ini bakwannya. Kamu sarapan dulu baru ngerjain rumah. Aku berangkat kerja, ya," pamit Mas Jono padaku yang tengah mengurusi bayi berumur tiga bulan.

Hidup jauh di kota orang membuatku harus mengerjakan segalanya sendiri. Alhamdulillah, gaji Mas Jono cukup untuk membayar kontrakan, makan, dan jajan kami bertiga. Masalah menabung, tidak perlu kuceritakan karena selalu habis kucongkel menggunakan gunting atau berang lainnya tiap kali token listrik menjerit.

"Kamu udah sarapan, Mas?" tanyaku sambil menggendong Yumna ke dapur yang berukuran 1 meter x 4 meter.

"Udah, tadi aku makan lontong aja. Aku berangkat. Jangan lupa istirahat. Nanti pulangnya mau nitip apa?" tanya Mas Jono tanpa menoleh padaku. Dia sibuk menggoda Yumna yang sudah bertepungkan bedak bayi yang harum.

"Aku nitip langkahmu selalu lancar untuk ke warung bakso Pakde Kumis," kataku sambil tersenyum malu.

"Insyaallah. Assalamu'alaikum!" pamitnya setelah mengecup dahiku dan juga Yumna.

"Wa'alaikumsalam." Aku mendadah padanya. Kututup pintu kontrakan yang baru kutinggali sebulan ini.

Ya, kami baru saja pindah. Mas Jono mendapat pekerjaan baru sebagai kurir. Beruntung di masa pandemi seperti ini, Mas Jono masih mendapat pekerjaan.

Kuletakkan Yumna di atas kasur. Aku segera mengambil kresek berisi makanan kesukaanku. Entah apa penyebab pertama aku bisa mencintai bakwan dari semua jenis gorengan yang ada.

Aku duduk dan meneguk teh manis sisa Mas Jono tadi. Lalu kuangkat satu bakwan yang kuambil secara acak. Warnanya sudah cokelat gelap, terlalu berminyak, dan keras.

Aku menghela napas panjang. Bukan pertama kalinya ini terjadi. Terhitung ini ke tujuh kalinya aku mendapatkan gorengan bakwan kemarin. Jelas aku tahu ini bukan bakwan baru.

Sebagai pecinta bakwan, tentulah bisa kubedakan dari tampilan, rasa, dan juga teksturnya. Kubelah bakwan yang berada di tanganku, benang lendir tipis itu terputus saat kupotong menjadi dua. Rasanya asam.

Kukeluarkan semua isinya, hanya kutemukan satu saja yang berwarna kuning keemasan. Hilang kembali selera makanku. Aku sudah mengingatkan Mas Jono untuk mengambil bakwannya sendiri setelah kuberitahu perbedaan yang baru dan lama.

Sambil menggendong Yumna, aku mendatangi warung Bu Sayem yang lumayan ramai. Kutarik Bu Sayem agak ke dalam warungnya. Kugeletakkan kresek berisi bakwan di meja kecil miliknya.

"Bu, kenapa setiap suami saya beli gorengan selalu dikasih gorengan yang kemarin?" tanyaku lembut dan pelan.

"Ah, gorengan kemarin gimana? Kamu jangan ngada-ngada, Mbak. Mungkin aja suamimu enggak beli di sini," kilahnya dengan suara yang bisa di dengar oleh pembeli yang lain.

Sejenak warung menjadi senyap, tak ada lagi suara bising para ibu-ibu yang sibuk bercerita sembari belanja sayuran.

"Ya, pasti di sini, Bu. 'Kan, ini satu-satunya warung di desa ini yang jual gorengan. Ini udah ke tujuh kalinya suami saya dikasih gorengan kemarin, loh." Aku masih menahan nada suaraku agar tetap tidak tinggi.

"Eh, Mbak. Kamu jangan ngada-ngada. Jatuhnya fitnah." Bu Sayem malah membentakku.

Mulai terdengar bisik-bisik.

Kukeluarkan isi kresek, dan kuminta Bu Sayem untuk menyicipnya. Dia menolak keras.

"Suami saya beli sepuluh ribu, lontong dua, dan sisanya bakwan. Saya cuma nemuin 1 yang bisa saya makan karena ini bakwan baru hari ini."

"Alah, wong perkara sepuluh ribu doang, kok, dibesar-besarin. Lain kali enggak usah belanja di sini. Nah, uangmu," omel Bu Sayem sambil menyodorkan uang sepuluh ribu padaku.

Kudorong uang itu. "Bukan masalah uang sepuluh ribu atau enggak, Bu. Ini masalah kejujuran. Jujur itu perlu walaupun hanya tentang sebuah bakwan, Bu," tandasku tetap menjaga nada suara agar tidak terkesan marah.

"Wah, pantes kemarin pas nyuruh anak saya beli ... dapet kayak gini juga. Kalo khilaf, sih, cuma satu dan sekali, Bu Sayem. Kalo sebanyak ini, mah, kalap," timpal seorang Ibu berambut panjang sambil mengangkat bakwan milikku tadi.
Diubah oleh blackgaming 11-03-2021 16:36
miniprojectAvatar border
manik.01Avatar border
stealth.modeAvatar border
stealth.mode dan 20 lainnya memberi reputasi
19
7.3K
61
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
#38
Chapter 28


POV ARIN

----------------------------

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim, no. 6925)

***

"Kita ini pacaran, Rin. Enggak apa-apa," jawab Mas Damar.

Malam pun berlalu. Pukul 4 subuh. Kami bersiap-siap pulang. Harusnya kami pulang siang, tetapi ibunya Nani dan Mas Damar ada urusan mendadak. Setelah beberapa jam, kami tiba di kampung dan matahari sudah kelihatan.

Aku langsung menuju ke rumah saja dengan pakaian kemarin yang kupakai saat pergi dari rumah. Begitu tiba, Mama malah marah-marah padaku. Aku jadi makin kesal dengan Mama. Kuhempaskan saja daun pintu kamar sekuat-kuatnya.

Mama masih saja mengomel. Aku menutup telinga dengan bantal. Mataku terbayang-bayang wajah Mas Damar. Aku ingjn bertemu dengannya lagi.

Sejak kejadian aku tak pulang ke rumah, Mama terus memarahiku dan membuatku tak nyaman berada di rumah. Aku juga tidak boleh meminta uang. Setiap hari saat pulang sekolah, tidak! Aku sebenarnya tidak ke sekolah. Mas Damar menuliskan surat izin sakit untuk diantar ke sekolah.

Aku pergi bersama Mas Damar berjalan-jalan naik motor temannya. Setiap pulang berjalan-jalan di waktu pulangnya sekolah, Mas Damar memberiku uang jajan, lebih banyak dari yang Mama berikan. Aku bahagia. Mas Damar membelikanku pulsa, kami juga sering berjoget berdua dan di-upload ke aplikasi joget-joget itu.

Tepat dua minggu aku lebih banyak mengurung diri di kamar saat berada di rumah. Selama itu pulalah Mama terus memenuhi telingaku dengan omelan pedas. Hari ini aku berangkat lagi. Pura-pura ke sekolah. Aku malas bicara pada Mama. Aku hanya berpamitan pada Bapak.

Mama memanggilku. Aku bergeming dan terus melangkah saja. Aku marah pada Mama. Marah sekali.

Di sudut kampung, daerah yang jarang dikunjungi orang. Karena dekat dengan jurang. Ada sebuah gubuk kecil di sana. Mas Damar mengajakku.

"Aku mau ngasih kamu sesuatu, Rin. Sebagai hadiah pacaran kita," katanya. Dia selalu berbicara seolah kami sebaya. Dia membuatku berpikir layaknya orang dewasa.

Ponselku bergetar, ada pesan masuk dari Nani.

[Arin, pagi ini aku pindah rumah ke kota. Ibuku dapet kerja di sana. Kurasa kita enggak bisa ketemu lagi setelah kamu pulang sekolah nanti. Udah hampir dua minggu juga kita enggak ketemu. Aku berangkat, ya.] Nani.

Hah? Nani mau pindah? Artinya Mas Damar juga pindah. Berarti nanti aku dan Mas Damar putus?

"Ayo, Rin!" Mas Damar menarik tanganku.

"Mas, kata Nani mau pindah dan udah mau berangkat. Mas Damar juga mau pindah?" tanyaku sedih.

"Iya, Rin. Mas juga dipindahin kerja di sana. Temen-temen Mas juga."

Aku taktahu Mas Damar bekerja apa. Yang ku tahu, uangnga banyak. Dia juga tidak pelit padaku.

"Nanti gimana hubungan pacaran kita, Mas?"

"Nanti Mas sering mengunjungimu ke sini. Kamu tenang aja. Ini pesta perpisahan kita."

"Kita mau putus sampe ada pesta perpisahan, Mas?" tanyaku semakin sedih.

Mas Damar menggeleng sambil tersenyum. "Enggak, Rin. Kita enggak putus. Mas sayang sama kamu, mana mau Mas putusin kamu," jawabnya dan aku sangat percaya.

Akhirnya aku memasuki gubuk itu dan di sana sudah ada teman-teman Mas Damar. Aku taktahu mereka sedang minum apa. Mas Damar memberikan sedikit padaku.

"Enggak, ah, Mas. Baunya enggak enak," tolakku.

"Ayo! Sedikit aja," rengeknya.

Aku pun mengalah dan dipaksa menenggaknya berkali-kali. Kepalaku sedikit pusing. Bayangan dalam mataku ada banyak sekali.

"Arin, kita bikin video pacaran yang kayak waktu itu kita tonton di kamar penginapan, yuk! Kamu pengen terkenal, 'kan?" tanya Mas Damar.

Aku masih bisa mendengar perkataan Mas Damar dengan jelas. Bahkan tawa teman-temannya pun bisa kudengar. Hanya saja aku tidak kuat berdiri.

"Iya, Mas," jawabku sambil meringis senang.

Ya, aku mau terkenal.

Mas Damar memutar video yang sama, tetapi oramgnya berbeda. Dia dan teman-temannya membimbingku melakukan hal itu. Adegan demi adegan yang terpampang di dalam laptop Mas Damar kulakukan atas perintah dan bimbingan mereka.

Aku merasa sangat kesakitan sekali. Ya, Sangat sakit. Mereka bertubi-tubi melakukannya. Aku menjerit kesakitan, tetapi Mas Damar menutup mulutku dengan bibirnya. Hingga video itu selesai, aku dan mereka pun selesai.

"Arin, ini uang jajan untukmu. Nanti Mas dateng kesini kalo libur kerja," kata Mas Damar sambil memberiku uang yang sangat banyak. Aku mengangguk.

Aku tak bisa lagi berkata apa-apa. Aku lemas dan tak berdaya. Seragam batik sekolahku entah kemana.

"Arin, Mas berangkat kerja dulu, ya. Video kita sudah Mas kirim ke seseorang dan dibayar mahal. Nanti kamu pasti terkenal," tetang Mas Damar. Aku mengulas senyum lesu.

"Janji, ya, Mas!" pintaku penuh harap.

"Iya, Rin. Mas berangkat, ya! Dah, Arin!" Mas Damar pun pergi.

Aku segera memunguti pakaianku. Kupakai secara asal-asalan saja. Entah kemana perginya celana dalamku. Sudahlah, aku pulang saja tanpa celana dalam. Lima lembar uang seratusan ribu pemberian Mas Damar aku simpan ke dalam tas.

Dengan langkah yang sedikit mengangkang, aku menyusuri jalanan kampung. Panas terik sekali. Aku jadi semakin lesu saja. Sesekali aku mampir ke sisi jalan untuk beristirahat sebentar. Rasa perih di bagian jalan pipisku, membuatku tak tahan berjalan lama. Aroma tak sedap di tubuhku pun membuatku mual.

Ya, mereka berkali-kali menyiramnya padaku dan memaksaku menelan cairan yang keluar dari benda pusaka mereka. Baunya tidak enak, seperti detergen. Menjijikan.

Aku tiba di rumah, Mama menangis. Aku berdiri tepat di atas ponsel Mama. Ada videoku sedang berpacaran ala Mas Damar di sana. Aku viralkah? Aku sudah terkenalkah? Tetapi kenapa Mama menangis?

"Kenapa, Rin? Kenapa kamu kayak gini?" tanya Mama pelan sembari menangis.

Aku bergeming.

"Say, Arin, ada apa ini? Kenapa kalian? Say, kenapa kamu bersimpih di kaki Arin? Tolong jelasin ke aku!" Bapak bertanya-tanya.

Mama memeluk erat kakiku, Mama menangis di kakiku. Aku semakin bingung. Kenapa? Apa yang sudah kulakukan?

"Arin! Bilang ke Mama, kenapa kamu bikin kayak gini?" tanya Mama lagi.

Mas Aden menendang pintu kamar Mama. Mama menangis histeris. Mas Amir berteriak tak karuan. Itu membuat ceritaku berakhir.

"Arin!" sebut Mas Aden terdengar pilu.

"Mas, apa yang salah? Aku udah terkenal," kataku sambil ketakutan.

"Itu salah, Rin. Kamu enggak pantes melakukan hal itu. Hanya orang yang udah menikah yang boleh berbuat seperti itu dan itu juga enggak boleh dipertontonkan," kata Mas Aden, dia jatuh tersungkur di lantai.

Aku salah? Kata Mas Damar itu wajar kalau berpacaran? Siapa yang harus kupercaya?

"Mana hapemu?" tanya Mas Amir.

"Di kamar, Mas." Aku terisak ketakutan. Aku takut handphone itu dihancurkan.

Tak lama Mas Amir kembali. "Ah, nomornya udah enggak aktif," rutuk Mas Amir sambil menggenggam kuat ponselku.

"Mas, lapor ke polisi aja!" suruh Mas Amir kelada Mas Aden. Kakak sulungku mengangguk.

"Kenapa, Mas? Nanti Mas Damar ditangkep, dong?" Aku sedih sekali.

"Diam kamu, Rin! Mas Amir membentakku.
pulaukapok
namakuve
doelviev
doelviev dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.