Ayi menepati janjinya untuk kembali. Bukan harum kopi atau jahe yang kini diantara kami. Tapi hanyalah rebusan singkong dan teh tawar yang tersaji.
Sebuah teras dimana Ayi tinggal kini, entahlah ini rumah siapa. Ia hanya tertawa tanpa jawab saat kutanya.
Selanjutnya, saya todong ia dengan kisah Dinda yang tertunda. Ayi mengelak dan lebih menceritakan kelanjutan Denis saat itu, namun saya memaksa. Meski harus menahan nafsu membunuhnya agar saya tak mati sebelum dapat menulis cerita ini, Ayi mengalah dengan seribu syarat.
Tak berapa lama Dinda kerasan di ranjang Rumah Sakit. Ia memahami kondisi tubuhnya sendiri dan memutuskan untuk pulang lebih awal.
"Abah duluan ke rumah ya?"
Dinda meminta.
Abah terdiam sambil menatap wajahnya cukup dalam.
"Selama ini, abah selalu menuruti kamu. Sekarang ngga. Kamu pulang dulu bareng abah. Setelah 2 hari silahkan lanjutkan lagi urusanmu."
Selepas abah menjawab seperti itu, ia berjalan mendahului Dinda ke parkiran.
Dinda tersentak, ia mungkin banyak berfikir tentang betapa ia kurang memperhatikan sikap abah akhir-akhir ini yang membuatnya khawatir. Dengan perasaan yang menggantung, Dinda menuruti keinginan abahnya kali ini.
Rumah kenangan yang ia rindukan, kini tepat di hadapan. Dinda pulang membawa rindu dan tanya yang menggema. Istirahat selama 2 hari, demi menghapus keraguan dan kekhawatiran abah yang melanda tanpa henti.
Hubungan mereka bukan sedarah, tapi terikat takdir dan hubungan yang lebih dalam dari nafas itu sendiri.
2 hari Dinda habiskan dengan singkat, ia mengemasi barangnya dalam satu tas punggung dan berpamitan pada abah dengan enggan. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, dan berusaha ia tutupi. Abah menjawab pamitannya dengan senyum mengembang membuat keraguan sirna. Dinda kini melangkah dengan lebih pasti.
Ia tahu, sebuah pesan terakhir dari ibunya harus dikuak. Sebuah pesan dengan ganjaran nyawa pastilah begitu berharga. Dinda bertekad ia harus mengetahui pesan itu, meski ada sedikit resiko berbahaya yang menanti.
Siapa tahu, ia harus menghadap Hyang Pura untuk hal ini?
Di dalam bis kota, menatap riuhnya terminal, berkali-kali kepalanya menggeleng, ia menepis pikiran yang tak penting. Masih ada cara selain menghadapi Hyang Pura. Dinda tanpa sadar memeluk erat tasnya dengan nanar.
Setelah turun di salahsatu halte bis, Dinda memesan sebuah ojek online untuk sampai ditujuan akhirnya. Sebuah rumah yang telah kosong lebih dari satu tahun berlantai 2 itu yang menjadi saksi bisu kematian ibunya sekaligus terhapusnya sejarah keluarga Han.
Temboknya masih berdiri megah, meski ilalang setinggi tubuhnya lebat mengitari, juga cat putih yang berkelupas dimakan waktu disana-sini, atau coretan-coretan tak jelas di dinding tak ayal membuat Dinda gentar.
Jam di tangannya menunjuk ke angka 3. Dinda berdiri ditengah ruangan, memastikan bahwa di titik inilah ibunya menghembuskan nafas terakhirnya. Dinda berlutut, menempatkan kedua telapak tangannya dan berdoa sejenak.
Lalu berdiri dan mengambil ilalang untuk diikat sembarangan agar dijadikan sapu darurat. Tampilannya (entah bagaimana saya menggambarkannya) cukup berbeda dari biasanya. Celana jeans hitam dengan robekan di lutut kiri, kaus tanpa lengan dan sebuah jaket yang digantung begitu saja di sudut ruangan, atau rambutnya yang biasanya digerai kini diikat rapi. Cahaya mentari menuju senja mengintip di balik celah ilalang menembus jendela tanpa kaca, membiaskan sosok Dinda dalam balutan misterius. Ia mempesona dengan caranya sendiri.
Dinda menyelesaikan persiapannya sebelum petang semakin larut dalam gelap. Barisan lilin diputari membentuk suatu lambang melingkar dengan corak aneh kecil setiap satu inci, di tengah-tengahnya ia letakkan kemenyan dan kembang tujuh rupa dibakar bersamaan. Ia menunggu waktu hingga rembulan tepat sejajar diatas kepala.
Dan ketika itu tiba, Dinda mengiris lengannya sedikit, mengucurkan darahnya pada kemenyan yang mengepul. Bau harum dan amis bercampur kental dibalut kesan mistis yang sanggup membuatku merinding hanya dengan membayangkannya.
Atmosfer di sekitarnya perlahan berubah-ubah, hangat dan dingin bergantian menyapu udara. Dinda sedang berusaha membaca jejak dari kematian ibunya.
Setiap tempat merekam kejadian apapun dalam ruang dimensi yang berbeda. Jika saya ibaratkan, mungkin tempat itu seperti sebuah proyektor dengan jejak-jejak disekitarnya sebagai isi film yang menyimpan kejadian-kejadian tertentu. Tak semua kejadian dapat terekam, hanya kejadian yang mampu menyimpan jejaknya dengan kuat, dengan kata lain, jika kejadian itu berdampak cukup besar pada sebuah tempat atau benda, maka rekamannya dapat tersimpan.
Yang jadi masalah selanjutnya, sulitnya mengakses rekaman itu menjadi nilai sendiri. Dinda kini sedang berusaha mengaksesnya dengan sebuah sajen dan lantunan mantra yang digaungkan untuk dimensi seberang.
Matanya tertutup, kakinya bersila, tangannya ditaruh didepan dada dengan kedua nadi bersentuhan, posisi jari dari kedua tangannya saling menghadap ke arah berlainan.
Semilir angin membawa aroma yang tak nyaman, daun ilalang yang saling beradu seolah mengikuti irama detak jantung untuk berpacu, setelah beberapa bait, Dinda mulai melihat sesuatu.
Kejadian saat jiwa ibunya dilahap oleh Hyang Pura secara perlahan, mata teh Yuyun memandangi mayat anggota keluarga Han dan jalur pelarian Yudha yang saat itu jiwa ki Kala berada di dalamnya.
Lalu matanya tersentak, wajahnya menengang, emosi kesal dan amarah terlukis jelas. Dinda menyaksikan itu, namun tak ada suara yang dapat didengar. Satu-satunya cara yang dapat ia lakukan hanyalah menahan tangis dan membaca gerak bibir ibunya.
"... Penjara ... "
" ... Raga ... "
Hanya 2 kata itu yang mampu Dinda cerna, sebelum pada akhirnya jiwa ibunya lenyap dan Hyang Pura kembali ke alamnya.
Dinda terbangun, ia membuka matanya memuntahkan segumpal darah pekat yang jatuh tepat diatas kemenyan. Nafasnya kacau, ia memegangi dadanya, dan terus batuk diiringi percikan darah yang terus keluar. Sesaat setelah ia selesai, Dinda berjalan dan duduk bersandar tembok. Ia mengusap bekas darah di bibirnya dengan sembarangan. Menatap rembulan sabit yang bertengger seolah menyaksikan kesedihan Dinda yang dalam. Dinda menangis, kerinduan pada ibunya meledak tak tertahankan. Ia menenangkan diri sekali lagi, mencerna 2 kata yang dengan susah payah ia cari.
Lalu tiba-tiba atmosfer berkumpul di satu titik dilantai 2. Seolah sesuatu sedang menarik semua udara kesana. Perlahan kabut putih muncul, udara dingin menyelimuti seisi ruangan membuat siapapun dapat menggertakkan gigi, lalu kabut itu perlahan menjadi lumpur berkumpul dan membentuk suatu sosok.
Dinda berdiri, ia bersiap melawan atau lari tergantung situasi.
Sesosok yang membentuk seorang kakek tua bungkuk telanjang dada. Tulang-tulang punggungnya mencuat seperti duri besar menggaris dari belakang kepala hingga pinggang. Ia memakai tongkat dengan warna putih kusam, Dinda semakin awas saat menyadari tongkat itu adalah tulang paha manusia dengan hiasan tengkorak bayi diatasnya.
Sosok itu, bagaimanapun kau melihatnya, seperti lemah dan ringkih. Namun hawa disekitarnya membuatmu bertanya, sosok itu menyeramkan dan kasihan dalam berbagai arti.
"Aku Hyang Sanggah, putra Loka penjaga gerbang."
Kata-katanya serak, menyeramkan namum berwibawa.
Dinda berlutut, dengan kepalan tangan kanannya diatas lantai.
"Kula Dinda, Putri Cadas Ayu."
Dinda menjawab dengan ketakutan.
"Oh, pantas saja. Baumu begitu kukenal. Kau melanggar hukum fana, jelaskan mengapa."
Sosok itu merubah nada bicaranya dengan mengancam.
"Maaf beribu maaf gusti, bila kula lancang. Ibunda meninggalkan pesan, kula mencarinya."
Dinda masih menjawab dengan kepala tertunduk dan ketakutan yang merayapi tubuhnya.
"Yang mati tetaplah mati, yang hidup dilarang mencampuri urusan kematian. Sebutkan pesan yang kau cari, bila itu layak untuk melanggarku, kau kubebaskan."
Sosok itu kembali mengancam, pasukan tengkorak mulai bermunculan dari segala sisi mengepung Dinda dan siap untuk mengulitinya hidup-hidup.
"Ampun gusti, pesannya berisi memusnahkan Kala dari muka bumi."
Dinda menjawab dengan gemetaran.
Hyang Sanggah terdiam, ia sedang memutuskan apa yang pantas untuk Dinda.
"Aku mengerti, namun pelanggaran tetap pelanggaran, saat ini kau kuampuni dengan tanda kutuk. Jika berani sekali lagi kau mencampuri urusan kematian, maka jiwamu akan menjadi santapan para rongkang."
Setelah menurunkan titahnya, Hyang Sanggah dan pasukan tengkorak menghilang sama seperti ia muncul.
Lalu, tulang dipunggung Dinda tepat dibawah leher belakangnya mencuat satu hingga 1 cm. Ini adalah tanda kutukan yang Hyang Sanggah tadi katakan.
Dinda merabanya dan melemaskan tubuhnya. Pertemuan itu sungguh tak terduga.
"Ira benar, kau entah bagaimana pasti kemari. Luar biasa dengan kondisimu kau bisa berhadapan dengan penguasa seberang tanpa terbunuh."
Sebuah tepuk tangan perlahan dan langkah kaki terdengar berirama. Seorang pria tegap tinggi memasuki ruangan.
"Maludra."
Dinda membalas pelan sambil berusaha berdiri.
"Kita belum berkenalan secara pribadi, dan kau mengenalku? Sungguh terhormat diriku dikenali oleh putri Cadas Ayu."
Maludra berhenti disebuah tangga di tengah ruangan.
Cahaya temaram merangsek masuk, cahaya lilin berpendar membantu mereka untuk dapat melihat satu sama lain.
"Aku menangkap maksud kedatanganmu, namun jika kau tak mundur secara baik-baik. Maka aku hanya perlu memaksamu."
Dinda mengancam.
"Hahahaha! Kau? Memaksaku mundur? Dengan apa?!"
Maludra berlari menghampiri Dinda dengan cepat.
Dinda tersenyum tipis bergumam pelan, sebelum pada akhirnya lolongan dari sekawanan anjing bersahutan.
Sebelum tinju Maludra mengenai Dinda, lengannya terlebih dahulu dapat ditangkap dengan sebuah gigitan.
"Kuperkenalkan malaikat mautmu, para Geni."
Dinda berkata dengan gerakan mempersilahkan pada kawanan anjing yang berkumpul di sekitarnya.
Para Geni menggonggong menyerang dengan mengigiti Maludra dari berbagai sisi. Meskipun tubuhnya tangguh, terlihat ia kerepotan karenanya. Maludra mundur selangkah demi selangkah, saat ia tersadar bagaimana mereka bekerja untuk menjatuhkannya. Maludra merangsek maju sambil membanting para Geni yang menyerang. Meskipun hal itu hanya memberinya sedikit waktu, yang pada akhirnya walaupun Dinda tetap berdiri di tempatnya, Maludra tak dapat mendekat.
"Mau sampai kapan kau terdiam disana, jalang?!"
Maludra berteriak disela-sela nafasnya yang terganggu.
Dinda sedikit terhenyak, ia tahu makian itu bukan untuk dirinya. Pandangannya ia edarkan ke segala penjuru, namun kosong yang didapat. Tak ada siapapun, atau apapun yang terlihat.
Lalu Dinda berhenti, menghela dan kembali mencari lebih seksama.
Dan sensasi dingin aneh di pergelangan kakinya tuntaskan kecemasannya sedari tadi.
Sebuah tangan panjang berlumur lendir dan darah menggenggam kaki Dinda. Tubuh Dinda diangkat ke udara, lalu dibanting sekali dengan keras kemudian digantung terbalik. Darah menetes cukup deras dari kepalanya karena bantingan itu.
Samar, dari penglihatannya yang kabur, seorang wanita dengan rambut panjang menutupi wajah dan perut besar sedang berdiri disana. Tangan-tangan besar panjang berlendir dengan darah keluar dari pusarnya seolah pemilik tangan-tangan itu tinggal di perutnya.
Entah bagaimana para Geni bekerja, dengan tak sadarnya Dinda, mereka juga perlahan memudar. Tubuh para Geni mulai berubah menjadi asap hitam dan hilang tertiup angin malam.
"Tahan dia."
Maludra memberi perintah, lalu berjalan menghampiri Dinda yang tergantung dengan kesal.
"Kau ... Jalang ..."
Setiap satu kata, Maludra melepaskan pukulan telak di perut Dinda.
Maludra yang mulai kelelahan karena menghadapi para Geni ingin mengakhiri tugasnya sesegera mungkin. Sebuah belati ia keluarkan dari balik bajunya.
Ujung belati yang memantulkan rembulan dan pendaran lilin, ditempatkam tepat dileher Dinda yang sedang tergantung.
Sebuah sayatan siap dilepaskan, ia tekan pisaunya, namun sebelum dapat menyayat, sebuah sayatan lain memotong lengan yang menggantung Dinda, menjatuhkan tubuh Dinda yang segera ia tangkap dengan tangkas.
Kemudian, tubuhnya ia bawa ke lantai dua dengan sekali lompatan. Membaringkan Dinda dengan lembut dan membalikkan badannya menghadapi Maludra dan Juru Demung.
"Sialan! Siapa itu yang berani mengganggu?"
Maludra keras berteriak.
"Tidakkah kurang ajar jika melawan seorang wanita harus 2 orang?"
Suara serak dan senyuman yang melintang aneh dari kedua ujung telinga terlihat.
"Tak kusangka, kau datang juga kemari. Si makhluk pengecut yang bahkan tak mengingat wajahnya sendiri."
Maludra berkata sinis.
"Begitukah? Coba bilang sekali lagi!"
Ayi berdiri diam, alih-alih ia maju, selusin tangan keluar dari punggungnya, memanjang dan menyerang Maludra dan Juru Demung.
"Dasar hina!"
Maludra mendengus kesal sambil menghindar, sementara Juru Demung membalas serangan Ayi dengan tangan-tangan miliknya.
"Hahaha! Mari kita mulai pesta malam ini!"
Ayi tersenyum lebih lebar menampilkan gigi-giginya yang kesemuanya taring, lidahnya terjulur menjilati bibirnya yang basah karena air liurnya yang keluar saat memandangi perut Juru Demung yang terlihat lezat.