- Beranda
- Stories from the Heart
Aku Mencintai Bandot Tua
...
TS
blackgaming
Aku Mencintai Bandot Tua
Aku Mencintai Bandot Tua


Spoiler for Update Chapter:
Chapter 1
"AYAH JAHAT, GAK PUNYA HATI!" Kuhentakkan kaki sebagai tanda perlawanan atas keputusan sepihak lelaki paruh baya yang egois, setelah itu aku segera berlalu meninggalkan ruang tengah di mana ayah dan ibu sedang duduk termangu dan lesu.
Pintu kamar kubanting dengan kencang, hingga menciptakan suara yang membahana dan tentu mengagetkan siapa saja yang berada di rumah ini. Rumah yang dahulu bak surga, kini berubah seperti neraka yang panas dan selalu membuat aku muak.
Tangisku luruh bersama dengan harapanku yang kandas karena keadaan yang tidak berpihak, kubenamkan wajah dalam bantal sehingga lengkingan sedu sedan yang tercipta dapat teredam dan hanya dapat didengar olehku saja.
Malam ini adalah malam terakhirku berstatus sebagai single, karena besok aku akan menikah dengan seorang pria yang sama sekali tidak aku kenal, apalagi aku cintai.
Pernikahan yang mendadak dan tiba-tiba ini membuat batinku terguncang, serasa dijatuhkan dari atas langit menimpa tanah menembus ke lapisan yang terakhir, sangat sakit dan merasa terhina. Karena lelaki itu bukan menikahi, tapi membeli.
Aku benci dengan takdir dan nasib, mengapa Tuhan memberi aku keluarga yang seperti ini?
Usiaku baru akan menginjak 19 tahun bulan Mei nanti, teman-temanku semua melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Aku apa? Malah menikah dengan bandot tua yang lebih pantas aku panggil dengan sebutan 'Om', karena usianya tidak jauh dari ayah.
Aku ingin berontak rasanya tak mungkin, pacarku si Bagas pun angkat tangan saat aku mengajaknya kimpoi lari. "Aku masih mau kuliah, kalau nikah nanti, kamu ... maksudku, kita mau makan apa? Dan siapa yang akan ngebiayain kuliah aku? Bunda aku pasti murka disangkanya aku ngehamilin kamu, duh aku gak sanggup. Maaf ya, Sayang!"
Dasar pengecut! Gak punya nyali! Kepentingan sendiri yang dia pikirin, janji suci yang selama ini dia ikrarkan ternyata cuma isapan jempol belaka. Aku benci Bagas, aku benci Ayah, aku benci si Bandot Tua yang bakalan jadi suamiku besok. Aku benci makhluk Tuhan yang berjenis kelamin lelaki, aku benciiiii!
Pernah aku coba bernego dengan Ayah tentang keputusan ini, aku coba membujuk beliau agar aku diizinkan untuk bekerja demi bisa menopang perekonomian keluarga yang mulai carut marut. Dan, daebak! Ayah menolak mentah-mentah niat mulia itu. Alhasil aku gondok dan mau tidak mau harus manut, tidak boleh tidak.
Dengan berat hati aku pun menurut, semuanya kulakukan semata-mata demi membahagiakan orang tua dan adik-adikku.
Calon suamiku, maksudku si Bandot Tua itu adalah seorang pengusaha yang bisa dibilang sukses, dia banyak menolong keluarga ini terutama dalam masalah keuangan. Usaha restoran ayah bangkrut setelah ibu ketahuan memiliki banyak hutang, hutang di bank, rentenir, beberapa tagihan kartu kredit dengan limit di masing-masing kartunya lumayan besar dan koperasi simpan pinjam.
Alfian Wijaya, si Bandot Tua yang besok akan menjadi suamiku itu adalah seorang pelanggan setia restoran Ayah, dia sering sekali memesan catering dan tumpeng apabila sedang ada event di perusahaannya.
Hubungan si Bandot Tua dengan Ayah sangat erat, maka sewaktu Ayah gulung tikar dan terpaksa menjual semua asetnya demi membayar hutang Ibu yang jumlahnya sampai ratusan juta, dia datang lalu menawarkan bantuan finansial yang jumlahnya tidak main-main, asalkan Ayah tidak menutup usahanya.
Ayah menolak mentah-mentah bantuan dari si Bandot Tua, beliau tidak mau punya hutang budi. Alhasil kami pun jatuh miskin, tinggal di rumah minimalis di pemukiman padat penduduk yang kumuh.
Tapi saat kami sudah melarat, Ayah tidak bisa lagi menolak apa yang diberikan oleh Bandot Tua tersebut. Sehingga hutang budi itu benar-benar tercipta, dan aku menjadi pelunasnya.
Ibu hanya bisa menangis dan meminta maaf, saat aku dan adik-adik menderita terkena imbasnya . Waktu itu, aku ingin sekali membencinya tapi aku tidak bisa.
Aku hanya bisa mengelus dada serta meratapi nasib yang malang ini, sering aku berpikir keras akankah kisahku bak sinetron ikan asin terbang? Berawal tragis tapi berakhir manis, ah entahlah! Cuma Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi nanti.
Aku merasa sepi di dalam kamar ini, padahal di luar sana sedang ramai. Banyak orang sedang mempersiapkan acara untuk besok. Saudara jauh, tetangga dan kerabat dekat berdatangan untuk membantu. Samar-samar kudengar suara tawa mereka, begitu lepas dan tanpa beban.
Aku tidak bersemangat dan masa bodoh dengan semua ritual yang harus dijalani sebelum pernikahan. Peduli amat dengan puasa dan juga tradisi pingit, aku bebas jalan dan nongkrong dengan teman-teman, Ayah dan Ibu tidak bisa melarang karena itu syarat sebelum aku mau menuruti permintaan mereka.
🖤🖤🖤
Dalam kamar yang indah ini hatiku merasa terkoyak, wajah yang telah dipoles riasan tebal ini terasa bagai topeng badut saat aku lihat di cermin. Kebaya mewah nan cantik yang si Bandot Tua pesan khusus dari butik ternama pun kurasa gerah dan tidak nyaman, sama seperti perasaan yang bergejolak ini.
Telinga seketika terasa panas dan memerah saat MC memberitahu kalau romongan calon mempelai pria sudah tiba, perias pengantin yang tidak tahu perihal isi hati ini pun menepuk bahuku sembari bersorak gembira. Aku meresponnya dingin, cuma tersenyum kecut, sekecut ketek tukang becak yang baru selesai ngegenjot di tanjakan.
Wanita yang berperan sebagai MUA itu kembali mengecek riasan wajahku, usai sapu sana-sini senyumnya mengembang. "Perfect!" katanya.
Aku memandang wajah yang menurutku seperti pemain lenong yang akan tampil di panggung.
Kebaya modern putih, rambut disanggul yang dihiasi mahkota gold dan kembang goyangnya, dirasa bagai atribut pemain barongsai saat perayaan imlek.
Tok ... tok ... tok ....
Pintu kamar diketuk oleh seseorang yang hendak menjemputku, dia Vina, sepupuku.
"Mel, yuk ke depan!" ajaknya mengulurkan tangannya padaku.
Tanpa menjawab, aku meraih uluran tangannya dan berjalan menuju teras rumah yang dijadikan tempat untuk ijab kabul.
Kulihat sekilas wajah calon suamiku, ia tersenyum ramah tapi aku pura-pura tidak melihatnya.
"Kepada calon pengantin wanita kami persilahkan duduk di samping sang pangeran yang telah bersiap mengikrarkan janji suci di hadapan kita semua," ucap MC membuatku ingin muntah.
Semua orang kecuali aku tersenyum mendengar ucapan MC itu. 'Pangeran apaan? Pangeran kodok kali,' sungutku dalam hati.
Setelah melewati beberapa rangkaian prosesi maka tibalah saatnya pengucapan ijab kabul. Setelah dipandu oleh pak penghulu, maka si Bandot Tua itu dengan lantang mengucapkan kalimat sakral di depan semua orang yang hadir disini.
"Saya terima nikah dan kimpoinya Amelia Gentari Permadi binti Dodi Permadi dengan mas kimpoi satu set perhiasan emas seberat 50 gram dibayar tunai."
Para saksi, tamu undangan dan keluarga mengucap syukur karena prosesi utama berjalan dengan lancar dan sukses. Bagai tersengat listrik bertegangan tinggi saat mendengar penghulu dan semua orang berkata 'SAH', itu berarti per hari ini aku akan hidup dengan si Tua Bangka ini. Tidaaaaaak!
Mengapa aku sebut dia tua bangka? Itu karena usianya sudah 40 tahun, ia seorang perjaka tua alias bujang lapuk. Entah kenapa dia belum menikah sampai usianya setua itu, hanya Tuhan dan dia yang tahu.
Acara resepsi kami diadakan secara sederhana, aku malu kalau harus pesta meriah. Teman-teman sekolah, tidak ada satu pun yang aku undang, apa kata dunia seorang Amelia yang jadi rebutan cowok-cowok populer dan terkenal sebagai play girl di sekolah dulu tiba-tiba nikah muda, sama bandot tua lagi.
Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, lalu kemudian mengusirnya dari sisi ini. Sumpah aku muak, benci, dan enek harus duduk berdekatan di pelaminan dengannya.
Apalagi saat dia sok perhatian menawari aku mau makan atau tidak, ih benar-benar menyebalkan. Apalagi aku sempat melirik dengan ujung mata, dia sering mencuri pandang kepadaku, ingin rasanya aku tusuk matanya pakai gembang goyang yang menancap di sanggul palsu ini.
Saat duhur menjelang acara resepsi pun usai, aku dan dia dipersilahkan untuk masuk beristirahat. Si Bandot Tua sok manis, mengulurkan tangan berniat menuntunku. Tapi dengan tegas aku tolak, beralasan tidak kuat ingin buang air kecil, secepatnya aku ngacir duluan.
Sejenak aku berdiam diri di dalam kamar mandi, berjalan mondar-mandir dengan pakaian lengkap. Konyol memang, tapi semua ini aku lakukan agar alasanku tadi tidak sekadar hoax.
Hingga lima menit lamanya, aku pun keluar dan melangkah masuk ke dalam kamar pengantin. Segera aku kunci pintu, agar dia tidak masuk tiba-tiba di saat aku lagi buka baju.
Kuhempaskan tubuh di ranjang, menghela napas panjang memindai kamar ini. Mencebik dan merutuk, meski sia-sia tapi itu bisa membuatku lega dan merasa lebih baik.
Kemudian aku berdiri, sudah saatnya menanggalkan 'pakaian lenong' ini, aku ingin mandi dan istirahat dengan tenang dan damai.
Saat pakaian dan semua atribut tanggal, pintu diketuk. "Pasti itu si Batu alias Bandot Tua," sungutku geram.
Dengan wajah masam aku membuka pintu, tanpa menegurnya aku kembali masuk menyambar handuk kimono yang tergantung di paku. Tanpa menoleh kepada dia, aku bergegas pergi meninggalkannya.
Sesampainya didalam kamar mandi, aku segera membersihkan diri. Hampir 2 jam lamanya aku semedi didalam kamar mandi, karena kewalahan mengurai rambut setelah disasak tadi.
Setelah berhasil mengurai rambut yang kusut, aku pun segera membasuh seluruh tubuh. Segar rasanya, apalagi setelah keramas kepala ini jadi enteng sekali.
Di dalam kamar, aku pakai baju kebesaran emak-emak yaitu daster. Usai mengoleskan pelembab muka, aku pun langsung berbaring di atas spring bed yang empuk dan nyaman. Si Bandot Tua tidak ada di sini, membuatku sangat damai dan tenteram tentunya.
Namun ketika akan terlelap, pintu kamar kembali diketuk dan terdengar suara derap langkah si Bandot Tua memanggil namaku.
"Dek, ini Mas Fian tolong buka pintunya!"
Aarrrgghh!
Aku merutuk dalam hati, dengan wajah kesal segera kubuka kunci pintu. Setelah itu kembali ke formasi awal tadi.
Suara sepatunya membuat telinga ini sakit, dia menggantungkan jasnya di kastop dekat lemari pakaian.
Kuintip dengan mata yang pura-pura dipejamkan, dia sedang celingukan seperti sedang mencari sesuatu.
"Dek, bisa minta tolong ambilkan handuk?" Tangannya mengusap pundakku.
Tanpa menjawab aku bangun dan beranjak membuka lemari, untuk mengambilkan benda yang dia butuhkan.
'Uh beneran ya nih si Bandot Tua ini, ngeganggu ketenangan gue aja!' Kedua kalinya aku merutuk dalam hati.
"Makasih ya, Dek. Mas mandi dulu," ucapnya sok imut.
'Mandi aja sono, kaya gue nungguin lo aja dasar 'Batu' alias Bandot Tua.'
Aku tersenyum dan mengangguk, berusaha tidak menunjukkan rasa kesalku padanya, semuanya kulakukan demi keluarga.
Sepeninggal dia, aku pun pulas tertidur. Beberapa kali dia membangunkan aku untuk salat, tapi aku tak menggubrisnya. Aku beralasan aku sedang haid.
Selepas isya setelah selesai makan malam bersama, dia mencoba mengajakku bicara berdua di dalam kamar sebelum kami terlelap.
"Mas tahu, Dek Amel belum siap dengan pernikahan ini. Tapi mas minta, Dek Amel harus mulai belajar menerimanya ya," ucapnya pelan tapi tegas.
"Om Fian, eh ... Mas Fian jangan bicara kaya gitu, dengan aku bersedia menikah, itu artinya aku sudah menerima Mas Fian. Suka gak suka, toh aku gak punya pilihan."
"Alhamdulillah kalau begitu, mas lega dengarnya. Mudah-mudahan saja pernikahan kita ini bisa membawa kebaikan untuk kita dan diberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat ya, Dek."
"Aamiin," jawabku tampak penuh harap, padahal penuh rutukan.
Beberapa saat kemudian Mas Fian meraih dan mencium punggung tangan ini dengan lembut, rambutku ia usap perlahan. Tanpa menunggu izin, dia mendaratkan ciuman di kening, lalu turun ke pipi dan bibir.
Aku tidak memberi respon, bukan tidak bisa berciuman tapi aku merasa jijik ketika bibirnya menyentuh dan mamagut bibirku. Tiba-tiba ia melepaskan bibirnya dan menatap wajah ini.
"Kok diam, Dek? Kamu belum siap ya?"
"Eng-enggak, Mas. Aku gak tahu cara berciuman, aku bingung harus bagaimana," kilahku bohong. Padahal waktu pacaran dengan Bagas, sering aku berciuman alias baik.
"Maaf Mas Fian, aku belum bisa malam ini." Tanganku mendorong dada bidang itu pelan, menghentikan aksinya.
"Kenapa, Sayang?" Kata 'sayang' yang dia ucapkan barusan, benar-benar bikin aku gumoh, huweekk!
"Aku sedang ada tamu bulanan, Mas. Makanya tadi aku gak salat." Harap-harap cemas berharap ia percaya, dan tidak meraba apakah aku memakai pembalut atau tidak.
Ia tersenyum dan kemudian mengangguk. "Iya mas tahu, tadinya mas kepingin mesra-mesraan aja gitu." Kulihat ada gurat kecewa di wajahnya, tapi aku gak peduli yang penting aku berhasil-berhasil horeeee.
Itu artinya aku harus bersandiwara mendapat tamu bulanan selama seminggu lamanya, hal itu tidak membuatku aman tapi setidaknya aku bisa mengulur waktu.
Hari ini, adalah hari pernikahan kami yang kelima, dan sesuai dengan perjanjian awal aku akan meninggalkan rumah dan ikut bersama Mas Fian ke rumahnya.
Rasanya sangat berat aku berpamitan dengan orang tua dan kedua adikku, air mata ini tumpah. Aku tidak kuasa harus berpisah dengan mereka.
Walaupun aku bisa setiap saat bertemu dengan mereka, karena rumah Mas Fian dan orang tuaku hanya berjarak kurang lebih 100km. Namun, tetap saja itu suatu hal yang membuatku sangat bersedih.
"Ingat ya, Nak, pesan ayah! Harus hormat dan patuh pada suami, ayah selalu berdoa yang terbaik untukmu," bisik Ayah ketika memelukku.
Kujawab petuah Ayah dengan anggukan, lelaki paruh baya itu tahu betul seperti apa perasaanku saat ini. Tapi, Ayah tidak mau tahu dan terkesan tidak peduli. Aku merasa dijual pada si Bandot Tua, diri ini tak ubahnya seperti budak pemuas nafsu yang dipersembahkan untuk pejabat pada masa kerajaan dulu.
Aku dan mas Fian memasuki mobil, tak kuasa menahan tangis saat besi yang mewah yang ditumpangi meninggalkan rumah yang selama kurang lebih tiga tahun ini aku tempati.
Aku menangis sesegukan didalam mobil, lambaian tangan mereka tidak bisa hilang dari ingatan.
Mas Fian yang duduk di sebelah memeluk erat, hal itu tidak berarti apa-apa. Tidak juga bisa membuatku luluh untuk mencintainya.
"Jangan sedih lagi, Dek, setiap saat Adek ingin ke rumah Ayah bilang saja, mas akan antar."
Aku mengangguk dan terus menangis, di sepanjang perjalanan menuju rumah mas Fian.
Lebih satu jam kemudian, kami tiba di rumah mewah yang begitu asri dan nyaman. Aku dan mas Fian turun dari mobil, Pak Zaki, sang supir segera membuka bagasi dan menurunkan koper-koper.
"Asslamualaikum," ucap Fian ketika memasuki rumahnya.
"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya bersanggul, dengan wajah menor yang sedang asik membaca majalah di sofa ruang tengah.
Wanita bergaya bak ibu sosialita itu adalah ibu mertuaku, Ibu Siska namanya. Dari raut wajahnya sepertinya ia tidak suka padaku, terbukti pada saat pernikahan dulu dan sekarang tatapannya tetap sama, sinis.
Ah, tapi aku tidak mau ambil pusing. Bodo amat lah, toh aku juga nikah karena terpaksa. Seandainya wanita itu mengusirku suatu hari nanti, hal itu akan jadi senjata ampuh untuk bisa lepas dari belenggu pernikahan ini.
Mas Fian mencium punggung tangan ibunya dengan takzim, kemudian ia memeluknya dengan penuh rasa sayang.
Aku bersikap sama, mencium tangan mertuaku yang sebelumnya menatapku dari atas sampai bawah, seperti aneh melihatku. Padahal jelas-jelas dia yang menurutku aneh.
Kami berbincang sebentar dengan Bu Siska, setelah itu Mas Fian mengajakku untuk beristirahat di kamarnya.
Tangan ini dituntun masuk, menuju ruangan pribadi yang terletak di dekat ruang tengah. Sesampainya di dalam, aku takjub dengan kamar tidurnya, begitu nyaman dan wangi sekali. Mataku berkeliling menatap ke setiap sudut ruangan yang dipenuhi dengan perabotan modern dan tentunya mahal.
Dahulu, kehidupanku juga bisa dibilang mampu. Tapi rumah masa kecilku tidak semewah rumah Mas Fian, haruskah aku merasa beruntung karena mempunyai suami tajir?
"Dek, lemari pakaian yang tiga pintu itu baru. Mas sengaja belikan untuk menyimpan semua pakaianmu. Karena lemari Mas sudah penuh, hehe."
"I-iya Mas, terima kasih." Aku merasa kikuk dan canggung di rumah mewah ini.
"Mas, aku mau mandi dan ganti baju dulu ya," ucapku memecahkan kecanggungan dengannya.
Mas Fian mengangguk dan mengeret koper kami kedekat lemari pakaian. Segera aku membuka dan mengambil pakaian santai juga handuk, membawanya ke kamar mandi yang lagi-lagi membuat aku takjub dibuatnya.
Usai mandi, aku duduk di tepi ranjang. Menggosok rambut yang basah dengan handuk kecil. Mas Fian tidak mau jauh dariku, ia duduk menemani dan menawarkan diri untuk membantu mengeringkan mahkota indah ini.
Jujur, aku merasa risih dan tidak nyaman dengan perlakuannya. Bulu romaku merinding saat wajahnya mendekat, dari pantulan cermin aku lihat matanya terpejam saat menghidu bau harum yang menguar dari rambutku. Embusan napasnya membuat tengkuk meremang, adegan tidak senonoh pun terbayang dalam benak.
Tidak tahan dengan perasaan jijik yang menguasai, aku bangkit dan menyibukkan diri menyusun pakaian dari dalam koper ke lemari.
"Bibik saja nanti yang ngerjain, Dek," katanya sembari menatapku lekat.
Aku menggeleng dan tersenyum sok manis. "Aku bisa sendiri, Mas. Gak puas kalau barang pribadi, orang lain yang ngerjain."
Mas Fian mengangguk, lama kelamaan dia merasa bosan melihatku tak memberikan kesempatan sedikit pun padanya untuk menghabiskan waktu berduaan, dia berpamitan untuk keluar kamar setelah sebelumnya bertanya aku mau makan apa saat makan malam nanti.
"Apa aja, aku makan, Mas."
"Baik, mas keluar ya."
"Iya."
Sepeninggal Mas Fian, aku berhenti bersandiwara. Kuhempaskan bokong ini, melepas lelah setelah berusaha lolos dari cengkeraman singa tua, hehe.
Saat jam makan malam tiba, aku duduk di depan meja makan malam yang mewah dan indah. Berbagai macam menu masakan lezat tersaji di atasnya, lengkap dengan makanan penutup dan buah-buahan.
Diubah oleh blackgaming 07-03-2021 14:59
sormin180 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
21K
51
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
blackgaming
#32
Chapter 16
"Aku talak kamu, Dek," ungkapnya dengan sorot mata yang tajam.
"Maafin aku, Mas, aku khilaf."
"Sudah habis kesabaranku, Dek. Kurang apa selama dua tahun pernikahan ini sikapku padamu?"
"Tidak ada yang kurang, Mas. Memang akunya yang salah dan tidak tahu diri."
"Maka dari itu, demi kebaikan bersama lebih baik kita berpisah saja."
Aku maju beberapa langkah, bermaksud akan memeluk lengannya, tapi lagi-lagi ditepisnya. Sebenci itukah Mas Fian padaku?
Air mataku luruh, dada sesak bergemuruh, aku hancur sehancur-hancurnya. Karena nafsu sesaat, penyesalan yang aku rasakan tidak dapat ditebus dengan apa pun.
🖤🖤🖤
Rasa panas menyeruak secara mendadak. Membuat peluh membanjir di seluruh tubuh, mataku terbuka membelalak sempurna bersamaan dengan tubuh yang menggelinjang saat diguncang pelan oleh seseorang.
Tangis menjadi, manakala lelaki yang berada di sisi menghadap ke arahku menatap sendu itu Mas Fian.
"Mas," isakku lirih, langsung menghambur memeluknya kuat.
"Mas, tolong maafin aku."
Lelaki kalem itu mengelus punggung ini dengan penuh kelembutan, kemudian ia melerai pelukan dan menangkup wajah sembapku. Tatapannya tetap hangat meski nanar, tidak ada sedikit pun kulihat sorot tajam yang menyiratkan kemarahan.
"Mas, aku bukan istri yang baik, aku ini istri durhaka, istri yang tidak diri dan tidak tahu diuntung. Mas boleh silahkan hukum aku, silahkan pukul aku, silahkan tampar aku, tapi jangan tinggalkan aku, aku-"
"Mas sudah maafkan," jawabnya singkat tetapi sanggup membuat kepingan hati yang hancur bersatu kembali.
Benarkah yang aku dengar barusan?
Dan ucapan talak tadi? Apakah aku bermimpi? Atau jangan-jangan yang sekarang adalah mimpi, aku yang ketakutan pun serta merta menepuk-nepuk pipi. Ini bukan mimpi, ini nyata. Alhamdulillah.
Allah masih sayang padaku ternyata, kesempatan baik yang diberikan ini tidak akan aku sia-siakan, aku berjanji.
Mas Fian mengusap kedua pipiku, lalu kemudian ia berkata, "Maafin Mas karena gak temani Dek Amel sewaktu pulang dari rumah sakit, Mas harus memenuhi panggilan dari pihak kepolisian. Mas memperkarakan Dimas, orang itu harus dihukum atas perbuatannya kepada Dek Amel."
Mendengar hal itu, aku kembali tersedu. Rasa malu, sedih, dan haru bersarang dalam kalbu.
"Jadi, Mas-"
"Sudah jangan dibahas lagi ya, Dek. Dalam setiap rumah tangga tentu ada pasang surut dan ujian, beruntung semua belum terlambat."
Mas Fian mengecup keningku dan menahannya cukup lama, kurasakan dia terisak dalam diamnya. Aku tahu jauh di dalam lubuk hatinya ia merasakan kecewa yang teramat sangat padaku.
Tapi itulah Mas Fian yang berhati malaikat bisa dengan mudahnya memaafkan aku -wanita sekaligus seorang istri berhati iblis-.
"Tapi aku udah buat Mas kecewa."
"Tapi, Mas udah maafin Dek Amel."
"Semudah itu Mas maafin aku?"
"Iya, semudah Dek Amel mengiyakan rencana pernikahan kita."
Pernyataan Mas Fian barusan menohok hatiku, betapa bodohnya aku selama ini menyia-nyiakan lelaki baik dan hebat sepertinya.
Mas Fian, belum terlambatkah bila kini aku mengatakan, 'Aku mulai mencintaimu?'.
🖤🖤🖤
Dua minggu berlalu ....
Kondisiku sudah pulih, Mas Fian yang telaten dan sigap tidak pernah lelah dalam menjaga serta merawatku. Sampai ia rela mengerjakan pekerjaan kantor di rumah, sesekali sekretarisnya datang untuk mengantarkan berkas yang harus ditandatangan olehnya.
Rasanya hati ini sangat malu, perhatiannya sungguh luar biasa padaku. Terlebih saat aku harus bolak-bolak ke kantor polisi untuk memberikan keterangan, Mas Fian tidak pernah tidak menemaniku.
Pihak keluarga Dimas mengajukan damai saja, tapi dengan tegas Mas Fian menolaknya.
Suamiku tetap bersikeras membawa perbuatan dosen sableng itu ke meja hijau, meski sempat bersitegang karena orang tua Dimas ngotot bahwa anaknya tidak sepenuhnya salah, mereka sempat memaki dan mengatai katanya aku juga harus ikut bertanggung jawab.
Mas Fian yang kalem tidak terpancing sedikit pun, ia membelaku sepenuhnya.
Mas Fian tetap teguh pada pendiriannya, ingin memenjarakan Dimas dengan tujuan memberikan pelajaran agar lelaki itu tidak lagi berbuat kasar pada wanita.
"Terima kasih ya, Mas."
Aku yang duduk di tepi meja kerjanya, mencondongkan tubuh mendekat bibir ini ke telinga Mas Fian.
"Untuk apa?" tanyanya santai sembari menutup laptop.
"Untuk semuanya. Perhatian, pembelaan, kasih sayang, cin-"
Mas Fian tidak membiarkan aku banyak bicara, lelaki itu dengan nakal memagut bibir ini.
Dadaku berdesir hebat, ciuman yang kesekian kalinya di dalam rumah tangga kami itu terasa sangat berbeda. Sensasinya sungguh luar biasa, membuat jantung berdebar hebat dan hasrat bergejolak dahsyat. Aku sangat menikmatinya, meski masih malu-malu.
"Jam berapa ini, Dek?" tanyanya menjeda ciuman.
"Hampir jam sembilan, kenapa?"
"Waduh, jam sebelas kita harus sampai di rumah yang kita tempati. Kurir dari toko furniture mau datang," katanya sembari menepuk jidatnya. "Kita siap-siap, Sayang."
Aku yang kecewa pun menegakkan tubuh, kemudian berlalu dengan wajah yang masam.
Pukul setengah sepuluh kami bergegas berangkat menuju rumah yang belum sempat ditempati, karena mengingat kesehatanku kemarin-kemarin belum pulih. Dan kemarin, Mas Fian memesan perabotan untuk mengisi ruangan di lantai atas yang terdiri dari dua buah kamar dan satu buah ruang serbaguna yang nantinya akan kami jadikan ruang keluarga kedua, berjaga-jaga jika ada tamu yang menginap jadi bisa duduk bersantai sembari menonton di sana.
Tepat pada pukul sebelas kurang sepuluh, mobil yang kami tumpangi sampai di tempat tujuan. Aku segera turun dan masuk.
Tidak lama kemudian dua buah mobil pickup datang di depan rumah, satu persatu perabotan pun mulai diturunkan.
Pengangkutan dan penempatan barang berlangsung kurang lebih dua jam lamanya, aku dan Mas Fian menaiki lantai dua untuk melihat semuanya.
"Suka?" tanyanya padaku.
"Suka, tapi Mas jadi keluar uang banyak."
"Demi kenyamanan kita juga, Sayang. Biar kalau ada Ayah dan Ibu datang, juga adik-adik, mereka akan betah."
"Makasih ya, Mas."
"Apa, sih? Makasih-makasih terus," godanya sembari memeluk pinggangku dari belakang.
Aku memejamkan mata saat bibirnya menyentuh tengkuk ini, lenguhanku membuat Mas Fian membalikkan tubuh ini.
Akhirnya kami saling berhadapan hingga tiada jarak, dua pasang mata pun bersitatap sekejap lalu memejam saat pautan kembali tercipta.
Suasana syahdu yang terjadi segera terhenti saat ponsel milikku berdering, dengan tidak enak hati aku menjawab panggilan dari Ricca.
"Sorry ya, Ric."
"Rencananya mau ke rumah Ayah dulu."
"Iya nih, udah lama aku dan Mas Fian gak nengok Ayah dan Ibu."
"Ok, nanti dikabari."
"Bye."
Mas Fian yang duduk di atas sofa baru pun bertanya, "Kenapa dengan Ricca, Dek?"
"Dia ke apartemen, bawain masakan mamanya."
"Ya ampun kasihan."
"Hehe, iya, Mas. Tapi gak apa-apa, nanti dia minta dikabari kalau kita sudah balik dari rumah Ayah."
"Kalau gitu, kita berangkat sekarang?"
"Boleh."
Kami pun bergegas pergi, tujuan selanjutnya adalah rumah Ayah.
"Dek, mampir sebentar ke supermarket, ya?"
"Mas mau beli apa memangnya?"
"Beli yang bisa dijadikan buah tangan."
Aku mengangguk, dan mobil pun berbelok ke sebuah pusat perbelanjaan.
Niat hati yang semula hanya akan membeli buah dan kue pun, seketika khilaf saat melihat promo koran diskon lumayan untuk beberapa kebutuhan pokok.
Mas Fian sangat bersemangat mengambil trolly, dan dalam waktu sekejap trolly yang kosong pun menjadi penuh.
Beras, daging, dan bahan makanan lainnya mulai discan barcodenya oleh kasir.
Setelah membayar, kami bergegas ke area pelataran parkir, dengan bantuan seorang trolly boy seluruh belanjaan telah berpindah ke dalam bagasi mobil.
Kurang dari lima belas menit, kami tiba di tempat tujuan. Ayah dan Ibu menyambut kedatanganku juga Mas Fian dengan gembira, kedua adikku juga sangat bahagia melihat kami datang.
Ibu anak dan menantunya yang sudah hampir tiga bulan, tidak datang bertandang untuk menjenguk mereka.
"Maafkan kami ya, Bu. Saya sibuk di kantor dan Dek Amel sibuk dengan kuliahnya." Mas Fian melirikku memberi kode.
Kami merahasiakan semua kejadian yang tidak baik dari Ayah dan Ibu, semata-mata itu untuk kebaikan bersama.
Usai menyalami Ayah, aku dan Ibu melangkah masuk ke dalam dapur. Di sana, Ibu mencecarku dengan banyak pertanyaan. Pertanyaan yang muncul saat melihatku berjalan beriringan sembari menggamit tangan Mas Fian. Tidak seperti biasanya, begitu turun dari mobil aku masuk dengan kusut bersungut.
"Apa yang Ibu lihat tadi, apakah itu bukan sandiwara?"
"Emang Ibu lihat apa?" jawabku berbalik tanya, sambil tersenyum.
"Itu tadi kamu jalan menggamit tangan Nak Fian."
"Ya aku gamit tangan Mas Fian, Bu. Wajar kan? Kalau aku gamit kakinya baru gak wajar."
Ibu yang gemas aku goda pun mencubit kecil perut ini, sontak hal itu membuatku meringis lalu tertawa.
"Jawab Ibu! Ibu serius, Mel."
"Hehe, maaf, Bu. Amel mau serius ini. Ya sok, Ibu mau nanya apa?"
"Apakah kamu dan Nak Fian?"
Aku mengangguk dan melingkarkan tangan ke pundak Ibu.
"Betul apa kata Ayah, Mas Fian adalah lelaki yang hebat. Pernikahan yang semula aku anggap musibah, ternyata sebuah anugerah yang luar biasa. Maafin aku ya, Bu. Dahulu sempat merutuk dan menganggap Ibu juga Ayah menjualku pada Mas Fian yang aku sebut sebagai Bandot Tua. Aku menyesal, Bu."
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya Engkau mengabulkan doa-doa hamba. Semoga kamu dan Nak Fian berbahagia selalu, Ibu terharu mendengarnya. Ayah juga pasti akan merasakan hal yang sama."
"Iya, Bu. Oh iya, Bu. Ini," kataku mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam tasku.
"Baru kemarin kamu kasih uang, belum dipakai juga masa sekarang mau kasih lagi. Kan kamu sudah mulai kuliah, jadi simpan saja uang itu untuk keperluanmu," tolak Ibu.
"Ibu jangan dipikirin masalah itu, alhamdulillah Mas Fian menambah uang bulananku. Jadi aku pun punya lebihan banyak yang bisa aku kasih untuk Ibu."
Ibu memelukku, ia terisak menangis terharu.
"Maafin Ibu ,ya, Nak. Seandainya Ibu dulu tidak terjerumus ke pergaulan sosialita yang membuat Ibu sampai terlilit hutang di mana-mana, mungkin hidup kita tidak akan seperti ini."
"Jangan bilang gitu Bu, aku jadi sedih nanti. Kan Ibu yang bilang semua sudah ditentukan Allah, dan kita harus menjalaninya dengan sabar dan ikhlas."
Ibu kembali memeluk dan menciumi pipiku.
"Ibu jangan nangis lagi."
"Ibu sangat terharu, terima kasih banyak ya, Nak!"
"Apa yang aku lakukan, belum ada seujung kukunya Ibu dalam mengandung, melahirkan, dan membesarkan aku juga adik-adik."
Mendengar hal itu, Ibu kian mempererat rangkulannya.
"Sudah ya, Bu."
Ibu melerai pelukan, lalu dengan cepat kuseka kedua pipinya yang basah.
"Bu, kita ke depan, yuk!"
"Buatkan dulu minum, baru kita ke depan."
Aku mengangguk, suguhan minuman sirup markisa dengan tambahan es batu pun sekejap kami buat untuk Ayah dan Mas Fian.
Kemudian, kami berjalan menuju ruang tengah, tampak Mas Fian sedang berbincang dengan Ayah, saling tertawa terlihat sangat akrab. Aku dan ibu kemudian bergabung berbincang bersama mereka.
Saat waktu sudah hampir larut malam, kami pun berpamitan kepada Ayah dan Ibu. Kulihat rona bahagia di wajah kedua orang tuaku, mereka berbahagia atas kebahagiaanku.
Setelah mencium tangan dan berpelukan dengan mereka, kami pun pergi meninggalkan rumah yang penuh kenangan itu.
Kami sampai di apartemen hampir pukul 01.00 pagi. Aku yang sudah mengantuk tadinya ingin langsung tidur, tapi Mas Fian seperti biasa menyuruhku untuk berganti pakaian, gosok gigi, mencuci kaki, tangan dan wajah dulu sebelum tidur.
Meski enggan, aku pun menurut. Sebab kalau tidak dituruti, akibatnya Mas Fian akan ceramah sampai subuh.
Setelah melakukan ritual wajib sebelum tidur tersebut, aku membaringkan tubuhku di atas peraduan.
"Dek!" teriak mas Fian dari dalam toilet.
"Apa?" jawabku pelan dengan mata terpejam.
"Dek Amel?"
Tidak kujawab karena benar-benar sudah mengantuk.
"Dek Amel udah tidur, ya?" teriaknya lagi.
Tidak lama kemudian Mas Fian muncul dan membaringkan tubuhnya di sampingku. Tangan kekarnya membalikkan posisi tubuhku yang sedari tadi memunggungi.
Lalu kemudian mengangkat kepalaku dan tangannya menyelusup kebawah leher. Lelaki hebat itu mendekapku, tangan kirinya membelai lembut rambutku hingga aku yang masih setengah sadar pun jadi keenakan.
"Selamat tidur, Sayang," bisiknya sembari mencium kening ini.
"Selamat tidur juga, Bandot Tua," jawabku sambil menahan tawa.
Matanya yang semula akan terpejam pun seketika terbuka dan mendelik tidak terima ke arahku. Habis lah aku dikelitikinya.
"Jahat banget sih, Dek!" sungutnya sambil terus mengelitik perutku.
"Haha ampun, Mas. Haha."
"Udah diganti belum nama kontak Mas di hp kamu? Readers pada penasaran tuh."
"Haha, ampun! Udahan dulu mah ngelitiknya baru aku jawab."
Mas Fian menurut, menarik tangannya lalu kembali bertanya, "Cepat jawab, Dek!"
"Sudah, Mas. Aku sudah ganti nama kontaknya Mas Fian. Udah buka 'Bandot Tua' lagi."
"Ganti nama apa?"
"Aku ganti jadi, BANDOT TUA I Love You."
"Astaga, Dek Amel."
Jemari Mas Fian kembali mengelitik perutku. Aku berontak tidak tahan, tangan kanannya yang melingkar di leher kugigit, Mas Fian mengaduh kesakitan dan menghentikan aksinya.
Tanpa dikomando, tawa pun berderai. Jadilah kami akhirnya berbincang seputar sejarah terciptanya nama Bandot Tua sampai waktu hampir memasuki waktu subuh.
nomorelies dan 6 lainnya memberi reputasi
7