Kami berganti tempat untuk mencari suasana yang lebih lega. Malam sedang berada di puncaknya, semilir lembut angin menyapu wajah kami berdua. Kini, Ayi berwujud seperti seseorang seumuranku, terlihat seperti dua kawan sebaya yang sedang bertukar cerita.
Taman kota menjadi tempat kami selanjutnya, wangi jahe dan gula merah menghiasi cerita kami. Temaram dan tenang, aku bisa mendengar desahan nafas dan nada parau yang kadang terdengar dari kata-kata Ayi.
Saya akui, menceritakan Sri Kunti dalam persepsi utama tak sanggup saya lakukan lagi. Emosinya begitu kuat, gelap, dan dalam. Seringkali, saya ikut meragukan bagaimana takdir bertindak dan mengakui keadilannya. Maka, tolong biarkan saya kembali bercerita sebagaimana seseorang yang memperhatikan kecantikannya dan bagaimana hidupnya berjalan dari jauh.
Bangunan megah dengan corak coklat berdiri 3 lantai di sebuah sudut ibukota kerajaan kecil yang baru saja selesai melebarkan wilayahnya. Meski sejarah tentang ini hilang karena umurnya kejayaan kerajaan terlalu singkat untuk ditulis pada prasasti manapun.
Rumah ungkluk, sebutan untuk tempat yang menawarkan jasa birahi. Menjadi rahasia umum, para ungkluk menjadi alasan terpisahnya sepasang suami-istri. Demung Desa, penasihat, Prawiga kadang keluar dari sana dengan wajah puas dan badan lesu. Diiringi aroma arak kuat selaras dengan langkah kaki mereka yang kembali.
Dalam tatanannya, semakin tinggi lantai yang dipijak di rumah ungkluk, semakin berharga pula seorang ungkluk yang tinggal disana. Ada seorang wanita berparas cantik yang menjadi salahsatu ungkluk lantai tiga. Memakai kebaya ungu yang indah, berambut hitam dengan gelombang ayu, mempunyai senyum manis menggoda dan tatapan sayu yang menarik. Kulitnya putih bersih, aroma mawar bercampur melati menyelimuti tubuhnya yang anggun.
Dia dipanggil Sri Kunti. Seorang selir dari kerajaan yang kalah. Tingkahnya bermartabat karena kebiasaannya berada di lingkup kerajaan, meski menjadi seorang ungkluk menghilangkan harga dirinya, dia tetap menjadi primadona.
Harganya setara dengan kualitasnya, alasan lain yang mendasari hal ini karena 'batasan' yang biasanya ada pada seorang ungkluk, tidak terdapat padanya. Dia mandul, dan itu yang menaikkan harganya hingga 10 kali lipat dari yang lain. Hanya untuk satu malam.
Alhasil, para penikmat ungkluk ungu bukanlah pria sembarangan. Hanya para penasihat, Demung atau para pedagang kaya raya yang mampu menyentuh dan bermalam bersamanya. Kemudian, warna ungu menjadi lambang kecantikan yang ternodai di kemudian hari.
Ada satu larangan yang Sri Kunti pinta, ia tak dapat diganggu saat bulan purnama penuh. Jika dilanggar, seseorang yang telah bersamanya malam itu, akan mati dalam 40 hari kemudian dengan cara yang memalukan. Meski begitu, larangan yang menakutkan ini tak urung membuat harganya jatuh. Kecantikan telah mengalihkan semua ketakutan.
Saat malam purnama, yang terdengar dari kamarnya hanyalah irama lagu pupuh yang mengalun merdu. Sri Kunti bersenandung lirih sembari menyisiri rambutnya yang sepinggang sambil menatap rembulan yang sempurna dari kamarnya.
Hal ini terus berlanjut selama beberapa waktu. Yang kemudian, larangan ini dicabut oleh sang Sri Kunti sendiri. Ia menjelaskan bahwa larangan itu kini telah sirna seiring pupuhnya telah mencapai bait terakhir.
Orang-orang yang mengetahui ini, masih takut. Mereka mencari aman dan tak mengindahkan perkataan Sri Kunti. Hingga seorang pemuda yang bekerja sebagai prawiga penjaga gerbang datang di malam itu.
Orang-orang menatapnya heran, mereka mengetahui jelas berapa keping yang didapat seorang penjaga gerbang, dan dapat menghitung dengan tepat berapa puluh purnama telah ia kumpulkan hanya untuk satu malam ini.
Prawiga itu berjalan menaiki tangga hingga di lantai 3. Berbeda dengan lantai 1 yang marak orang-orang, lantai 3 begitu sepi namun membuat hati nyaman dan menenangkan. Seolah, seperti pasir hisap hangat yang membutakan indera dalam kenikmatan.
Prawiga membuka sebuah kamar di ujung ruangan, Sri Kunti menyambut dengan ramah. Senyumnya mengembang cantik, ia menyajikan teh yang masih mengepul dan arak setelahnya. Mereka berbincang hingga bosan kemudian berlari mencapai puncak kenikmatan hingga rembulan sirna dan ufuk timur berwarna jingga kemerahan.
Setelah malam itu, Sri Kunti akhirnya mengandung. Ia hamil, membuat seluruh pengasuh gempar. Tabib disalahkan, Sri Kunti dianggap berbohong. Namun cacian tak pernah sekalipun ia hiraukan.
Kamarnya berpindah di lantai 1, menempati ruangan kusam dengan bau amis keringat dan apak yang menganggu. Namun sikap martabatnya tidak berubah. Ia masih menarik entah bagaimana. Namun jelas, pelanggannya semakin berkurang dan hilang seiring besarnya janin yang ia kandung.
Kini, 10 bulan berlalu. Namun tak ada tanda-tanda Sri Kunti akan melahirkan. Tabib yang memeriksanya keheranan dengan sejuta tanya. Detak jantung janin terdengar, tubuhnya juga terlihat sehat, namun entah kenapa ia tak dapat memastikan kapan bayi itu akan lahir.
Di purnama berikutnya, kamar lusuh dan bau apak menggema pupuh yang biasa Sri Kunti lantunkan. Bercampur tawa dari arak, riuh canda tanpa makna, Sri Kunti telah mencapai puncak dendamnya.
Setiap satu bait, sesuatu bergerak dari perutnya. Setiap di akhir nada, sesuatu itu semakin bergerak lebih cepat, seolah ingin merobek perutnya dari dalam. Sri Kunti hanya tersenyum tipis dan terus melantunkan Pupuh tanpa henti.
Kemudian, pusarnya robek, sepasang tangan keluar dari sana, di susul dengan sepasang yang lain dan lain lagi. Hingga belasan tangan keluar meronta dari perut Sri Kunti. Ia berhenti melagu, mengusap perutnya yang masih besar, dan berbisik pelan.
"Mari nak, kita buat kolam darah malam ini."
Sri Kunti keluar dari kamarnya, berjalan pelan dan berdiri begitu saja. Orang-orang memperhatikan, lalu sedetik kemudian teriakan demi teriakan terdengar. Mereka berlarian kalang kabut berebutan untuk keluar dari rumah ungkluk.
Tangan-tangan itu membesar dan memanjang, meraih leher demi leher, mematahkan setiap tulang dan sendi siapapun yang disentuhnya. Ia terus berjalan pelan, seiring genangan darah menyapu lantai, teras dan tanah.
Ia terus keluar dari rumah ungkluk, terus membunuh tanpa henti. Tua-muda, anak-anak bahkan bayi merah, tak luput dari tangan-tangan maut Sri Kunti. Malam itu, ibukota kerajaan diwarnai merahnya darah dan tawa cekikikan samar terdengar diantara bau amis dan teriakan yang masih mengaum dibawah rembulan.
Sri Kunti berjalan menuju kediaman Raja, setiap serangan yang mengarah padanya, tangan-tangan itu akan menepis dan membalas serangan. Entah dari arah manapun. Depan, belakang, samping, seperti seekor lebah yang melindungi induk semangnya. Sri Ratih tak terkalahkan.
Penjaga istana, pengawal Raja, semuanya dibantai habis tanpa sisa malam itu. Saat Sri Kunti berdiri berhadapan dengan Raja, ia terdiam sementara tangan anak-anaknya masih meronta menggapai leher sang Raja.
Sementara Raja sujud tertunduk memohon ampun dan belas kasihan agar melepaskan dirinya atau setidaknya keturunannya. Ia entah bagaimana masih memikirkan nasib rakyat dan kerajaan yang ia pimpin.
Sri Kunti tak menggubris, kilasan kematian kekasih pertamanya dan kekalahan kerajaannya sendiri membayangi. Ia memantapkan hati dan berjalan mendekati sang Raja yang lehernya mulai tercekik hingga tubuhnya tergantung diudara. Mengejang sebentar dan bunyi tulang leher patah menjadi tanda kematiannya.
Seorang lelaki tua dengan umur hampir satu abad tergopoh berlari mendekatinya. Saat tubuh sang Raja terjatuh dari udara tanpa nyawa, ia memaki diri sendiri.
"Aku tak perlu meminta maaf karena mencabut nyawamu. Benar kan nyi?"
Lelaki tua itu berkata dengan tertahan.
Sri Kunti tersenyum dengan rembulan dibelakangnya.
"Tidak aki, anda tak perlu meminta maaf. Kita, entah bagaimana, akan saling menjemput maut pada akhirnya."
Selepas itu tangan anak-anak Sri Kunti memanjang, menggapai tubuh renta aki.
Aki menghindar, menghunuskan satu-satunya keris yang ia bawa. Mencoba melawan. Ajian demi ajian ia lemparkan, serangan demi serangan juga tak dapat menyentuh tubuh Sri Kunti yang dilindungi tangan anak-anaknya.
Aki yang mulai kelelahan karena usianya, merangsek masuk ke dalam pelukan Sri Kunti. Tangan anak-anaknya ia tebas satu persatu untuk memberinya waktu. Meski beberapa detik kemudian tangan-tangan baru muncul dan melakukan hal yang sama. Aki terus menerjang mendekat.
Saat ia berhasil, kerisnya ia tancapkan di perut Sri Kunti dengan telak. Meski dengan bayaran dada kirinya yang berlubang.
Sri Kunti kehilangan keseimbangan dan kesadarannya perlahan, ia mundur dengan sempoyongan dan jatuh terduduk dengan tembok sebagai sandaran.
Keris yang menancap mulai bercahaya putih kekuningan, lalu seperti energi yang mendorong perutnya yang besar, selusin bayi keluar dari rahimnya satu persatu.
Bayi-bayi merah dengan tangan sebesar betis orang dewasa, menangis sedetik kemudian menghembuskan nafasnya yang pertama dan terakhir. Sri Kunti tersenyum dalam mautnya. Ia terlampau puas akan balas dendam dan telah mentaati titah Raja yang ditujukan padanya.
Lalu seorang pemuda dengan lengan kanannya yang patah memasuki ruangan dengan susah payah. Ia melihat Aki terkapar dan Sri Kunti tak jauh darinya yang juga tak bernyawa.
"Ki, Aki, ini aku. Bertahanlah sebentar."
Pemuda itu menempatkan tangan kirinya di dada Aki. Seberkas cahaya hijau menguar lembut. Luka-luka yang Aki terima perlahan pulih.
"Hentikan...."
Aki mencengkeram lengan pemuda itu.
"Tapi..."
Pemuda itu enggan melanjutkan perkataannya.
"Tak apa, simpan tenagamu untuk mengobati yang lebih muda."
Aki berkata dengan pelan dan susah payah.
Pemuda itu tertunduk menahan tangisnya yang hampir pecah.
"Anak-anak Kunti, simpan mereka pada sebuah kendi. Pisahkan satu persatu, kubur mereka dengan cara tujuh ladang."
Aki mengatakan hal ini sambil menujuk ke arah Sri Kunti.
"Saya mengerti."
Pemuda itu menjawab singkat.
Dan hembusan nafas terakhir aki melepaskan nyawanya menyambut maut.
Pemuda itu, mengambil kendi di salahsatu sudut dapur istana. Memisahkan satu persatu anak-anak Sri Kunti dan menempatkannya pada sebuah peti.
Ia memanggul peti itu keluar istana, ada 11 orang disana yang bersiap melawan Sri Kunti.
Pemuda itu berdiri, memperhatikan mereka yang menurunkan senjatanya. Seolah mereka mengerti keadaan didalam Istana.
"Aki Antawirya telah meninggal tanpa sempat menyelesaikan moksanya. Ia menitipkan huru-hara agar dapat kita selesaikan. Dengan dikuburnya mayat-mayat bayi ini dengan cara berbeda. Kita akan menjaga pertiwi dari ancaman Kuntilanak di kemudian hari."
Pemuda itu menurunkan petinya, membuka 12 kendi dan membagikannya pada yang lain.
12 kendi yang berisi mayat anak sri Kunti harus dikubur dengan cara berbeda. Dibakar, ditenggelamkan, dikubur, semuanya harus dilakukan sambil menyeberangi sebuah sungai. Setiap tempat penguburan itu, diberi tanda dengan nama "Kuntilanak".
12 janin kutukan yang membawa ajian berbeda-beda dipencar satu persatu. Berharap tak ada lagi seorang lain yang membuka dan mencari. Karena satu saja janin itu terlepas dan dibangkitkan, tanah Pasundan sekali lagi akan menghadapi karma buruk lainnya.
Kisah 11 orang yang melenyapkan 12 kutukan tersebar dan dijaga keturunannya hingga zaman ini. Nama keramat Antawirya menjadi penanda betapa besar peran mereka dalam melindungi tanah Pasundan.
Kemudian pada akhirnya, Raden Niskala Antawirya, bertemu dengan seorang pemegang Kuntilanak di jaman ini. Entah bagaimana, ia harus memberi kabar pada 10 orang lainnya, menyiapkan diri sebelum Pasundan ditelan banjir darah sekali lagi.
Saya mengernyitkan dahi, menatap kosong bintang-bintang dan bulan sabit yang perlahan merangkak menuju timur. Sejuta pertanyaan menemui titik terang tentang satu orang yang saya yakini dia tak lebih dari orang bodoh.
Ayi merapikan bajunya dan berdiri, ia merogoh sakunya dan membayar minuman kami. Kepalanya ia tutupi hingga telinga dengan kain tebal. Ia pamit dan berjanji akan kembali dalam 3 hari. Kami berpisah, aku melihatnya berbelok ke sebuah gang, dan seekor kucing hitam melompat mendaki tembok tinggi itu. Diantara kerlip bintang, ia menghilang.