Berbeda dari yang lain, Juru Demung adalah jenis pangkur yang tidak sembarangan orang dapat menguasainya. Jika tidak menghitung Durma yang memiliki sedikit kondisi khusus.

Kondisi yang menarik dari Juru Demung ada 2.
Pertama, pemegang tidak boleh laki-laki atau perempuan, harus keduanya atau tidak sama sekali.
Kedua, seorang Kanitih Natak.
Lebih jelasnya, kita akan berpetualang di masa ketika Kerajaan Sunda sedang berada di puncak, satu abad kurang lebih, sebelum kejadian Calagra.

Hutan pinus, jati dan cemara bercampur dalam satu wilayah luas. Daunnya seperti atap pertiwi, memberi perlindungan bagi desa-desa yang menggantungkan hidupnya dari hutan dan gunung. Kerajaan demi kerajaan, sibuk dalam politik mereka. Terkadang rakyat jelata hanya bersujud menunduk saat Para Demung atau Patih lewat. Bahkan saat Raja keluar istana, kami akan berdoa layaknya dewata turun dari kahyangan. Jika Raja menghendaki kami untuk mati, kami akan menggorok leher kami sendiri dengan senyum. Titah Raja adalah kehidupan itu sendiri.

Di sebuah desa terpencil yang dekat dengan perbatasan suatu kerajaan, aku lahir dan besar dari sebuah keluarga petani kelapa sawit. Ayah bekerja pada seorang Juragan Tanah, dan ibu membantunya. Kehidupan kami tidaklah sulit, juga tidak mudah. Secara garis besar, kami cukup dan dapat bertahan dengan baik.

Ada sebuah kekhawatiran mengenai desas-desus akan adanya peperangan yang melibatkan desa. Namun Demung Desa dan Juragan Tanah dapat meredamnya. Perompak dibabat habis oleh para prawiga kerajaan, juga sebuah pos didirikan tepat di ujungnya desa. Kami merasa aman.

Dan musim bunga mekar dengan indah, kelopaknya berhamburan ditiup angin, membawa harum dan kisah cinta seperti impian gadis lainnya.

Aku menikah.

Sejak pos didirikan, prawiga kerajaan kerap kali berganti untuk jaga selama setiap beberapa purnama. Dan kekasihku adalah salahsatu dari prawiga itu.

Namanya Surya, seorang pemuda gagah dengan senyum ramah. Namun sedikit pemalu, herannya jika tombaknya terhunus, matanya setajam ujung tombak itu. Aku jatuh cinta saat ia melemparkan senyum ragu nan manis saat kali pertama kali berpapasan. Akhirnya, aku diboyong ke ibu kota kerajaan saat ia harus kembali. Meninggalkan desa dan hidup sebagai seorang istri prawiga.

Kehidupan kami berjalan dengan baik seperti semestinya, hingga saat ia ditugaskan untuk berperang melawan jajahan dari kerajaan lain, cintaku gugur.

Aku menangis hampir selama satu minggu, anak kami yang sebentar lagi terlahir juga turut kena getah dari kesedihanku yang terlampau dalam. Makhluk tak berdosa itu, buah dari cintaku itu, harus meninggal jua. Aku sendirian di alam fana.

Tuak kutenggak, segelas dua gelas hingga aku lupa hitungan ke berapa. Aku mengutuk takdir dan semesta yang menyertainya. Jika Dewata diatas sana sedang memperhatikanku, akan kupancung ia dan kepalanya akan menjadi nisan sempurna untuk kekasih dan buah cinta kami.

Aku membenci hidupku dan kehidupan itu sendiri. Diantara riak purnama di danau kerajaan, perasaan indah pada pantulannya sungguh sebuah mahakarya untuk menjadi nisanku sendiri. Langkahku perlahan namun pasti, tangis dan tawaku bercampur, aku muak pada takdir, mengutuk setiap jenis keindahan yang sang Dewata ciptakan. Seiring langkahku semakin berat, seiring lumpur semakin menaiki lututku, seiring dingin menusuk semakin dalam dan jeratan malam semakin erat. Kutenggalamkan diriku, menyerahkan tubuh ini pada kematian, biarkan danau menjadi saksi bisu atas kebencianku pada takdir. Kuharap, Dewata yang memegangi takdir dapat terkutuk karena tumbalku sendiri.

Sesak, dingin, amarahku perlahan sirna berganti kedamaian dan rasa sakit yang menyiksa. Persetan, kecewaku pada hidup melebihi rasa sakit ini. Aku tenggelam dan sekarat perlahan. Damaiku semakin menyelimuti seiring kesadaranku hilang.

Namun, entah seberapa hinanya diriku, takdir tak ingin kucurangi, waktuku tak ingin ditinggalkan. Aku terbangun di sisi danau, dikelilingi pelayan kerjaan dan Raja yang sedang menangisiku sambil tersenyum. Ia bersyukur berkali-kali, mahkotanya lepas, bajunya basah, jubahnya ia letakkan diatas tubuhku yang dingin. Utusan Dewata menyelematkanku.

"Sungguh, meskipun kukatakan aku memahami kesedihan dinda, dinda takkan percaya bukan? Maka biarkan aku bertitah sebagai Raja, kau kularang untuk mati sebelum sang maut yang menjemputmu sendiri. Dan sebagai rakyatku, kau diwajibkan untuk menurutiku sebagai Rajamu. Benar?"
Kata-katanya lembut dan tegas.

Jika ini adalah aku beberapa tahun ke belakang, dipastikan aku akan langsung jatuh cinta. Meskipun itu akan menjadi selirnya yang ke seribu satupun, aku rela.

Aku tersenyum dan mengangguk, meskipun cacian dan kutukan pada Dewata masih lancar meluncur dalam jiwaku.

Entah Rajaku memang pribadi yang luar biasa bijak, atau bodoh. Beberapa tahun kemudian, aku dipersuntingnya sebagai selir. Kehidupan keduaku dimulai.

Tak ada cemburu atau iri pada permaisuri atau selir lainnya, aku melayani mereka dengan baik. Tersenyum setulus mungkin, dan berserah diri pada setiap keputusan yang mereka ambil. Aku masih harus mentaati kewajibanku pada titah yang diberikan padaku di pinggir danau tempo hari.

Berbeda dari selir lainnya, aku mandul. Tabib mengatakan bahwa rahimku rusak, hingga takkan bisa dibuahi meskipun Raja sedikit berharap mendapatkan anak dariku. Wajahnya, entah bagaimana aku tahu, dia menyimpan kekhawatiran pada hidupku.

Mungkin pada akhirnya, kutukan yang kugenggam didengar oleh salahsatu iblis mana. Rajaku mati, kerajaan ini hancur, dan aku dibawa sebagai tawanan.

Kemudian, lagi-lagi takdir menempatkan tangan busuknya pada diriku. Aku berakhir menjadi wanita pemuas nafsu di salahsatu rumah bordil kerajaan.

Kemudian, kehidupan ketiga sekaligus lembar terakhir dari langkah kutukanku dimulai.