- Beranda
- Stories from the Heart
Cinderella Ngojek
...
TS
amyjk02
Cinderella Ngojek

Halo, mana nih yang demen romantis-romantisan dan baper-baperan? Kumpul sini! Kisah gadis cantik yang kecantol tukang ojek, padahal doinya cakep paripurna. Apa sih yang istimewa dari si tukang ojek? Kenapa juga si cewek kok gak betah sama doinya yang cakep?
Penasaran? Ikutin, yak!

Sc: pinterest
Edited: pixalleb
Komedi Romantis
Bagian Satu Perfect Meet
1. Perfect Meet
š¹š¹š¹
Bening meletakkan tas dan sepatunya di sembarang tempat. Lantas menghempaskan tubuh tinggi langsingnya di tepi ranjang. Jemari lentiknya mengurut kening, pening. Mata itu terpejam sesaat. Saat membuka mata, dia tertegun menatap kotak berukuran sedang di atas meja. Keningnya berkerut, tapi sesaat kemudian tersenyum semringah.
Kotak berwarna hitam berpita merah muda dengan cepat dibongkar. Mata Bening terbelalak.
"Ow, so beautifull!" Tangannya meraba kain sutra hitam dengan payet bunga mawar. Dia juga mengeluarkan sepatu hitam pekat berhak runcing dengan bagian jari yang terbuka.
Bening menoleh ketika ponselnya berdering. Nada spesial membuat gadis itu tertawa senang.
"Sayang? Sudah dilihat?" tanya suara lelaki di seberang sana. Bening menggangguk cepat, padahal dia tidak akan melihatnya.
"Makasih, Sayang. Aku suka!" ucap Bening antusias.
"Syukurlah! Aku jemput dua jam lagi, ya?"
"Kita mau ke mana?"
"Nggak kemana-mana, sih. Aku cuma mau lihat kamu aja."
Bening membenamkan wajah bersemunya di bantal. Degup jantungnya seolah berpacu dengan denting detik yang terasa melambat.
"Pokoknya dua jam lagi, oke?"
"Ehm, aku belum mandi, lho."
"Nggak apa-apa. Nungguin bidadari mandi nggak bosen, kok!"
Bening terkekeh.
"Sudah, ya, see you."
"Tapi aku masih kangen."
"Jangan kangen. Kangen itu sakit. Kamu nggak boleh sakit. Cukup aku saja!"
"Hehe. Sudah jadi Dilan, ya, sekarang?"
"Kok Dilan? Tetap Kevin, dong!"
"Hehe, iya deh."
Mereka saling diam untuk beberapa saat. Hingga ....
"Jangan diem aja! Nanti aku ketahuan."
"Ketahuan apa?"
"Ketahuan kalau detak jantungku bunyinya nama kamu."
Kali ini Bening menjerit. Tentu saja setelah menjauhkan ponselnya dari pipi. Gadis itu meredam jeritannya di balik bantal.
"Sayang? Kamu di mana?" Suara di ponsel menyadarkan Bening yang sibuk berbunga-bunga.
"Eh, iya. Di sini."
"Oh. Oke, see you, ya?"
Dengan berat hati Bening memutus sambungan telepon. Gadis itu tersenyum dengan memeluk bantal dan mata yang fokus menatap ponsel. Ada fotonya bersama Kevin sebagai wallpaper.
"I love you," bisiknya dengan mengerucutkan bibir membentuk kecupan. Lantas tertawa geli.
Tiga bulan menjalin kasih dengan Kevin membuat hidup Bening seolah di surga. Penuh cinta, selalu jatuh cinta, berbunga cinta, dan bertebaran cinta setiap hari.
Mereka bertemu di sebuah acara peresmian restoran Jepang di dekat rumah Bening. Kebetulan Bening saat itu diajak oleh temannya yang ternyata adalah relasi bisnis Kevib. Bening tidak sengaja menumpahkan minumannya ke dada pemuda kala itu.
Mereka lantas berbincang hangat, padahal hal itu bisa saja menjadi bahan pertengakaran, 'kan?
"Boleh aku minta nomor kamu?" tanya Kevin sebelum mereka berpisah. Acara akan dimulai. Kevin akan berada di deretan para pemilik acara, orang-orang penting. Sedangkan Bening hanya duduk di kursi tamu dan bisa pulang kapan saja tanpa menunggu acara selesai.
"Hm, no!"
Raut wajah kecewa Kevin jelas terbaca. Namun, Bening malah terkekeh.
"Beri aku alasan kenapa harus memberi nomorku padamu!"
"Pertama, aku mau kenal kamu. Kedua, aku mau kenal kamu. Ketiga, aku mau ... kenal dan dekat denganmu."
Bening tersenyum dan menunduk. Bukan malu atau tersipu, gadis itu hanya ingin menghindari tatapan mata tajam berkornea hijau lumut itu.
"Please!" Kevin memohon. Pemuda itu menangkupkan kedua telapak tangan di depan mulut.
"Kenapa kamu malah minta nomor. Padahal kita bahkan belum menyebut nama masing-masing." Bening mengingatkan. Memang, meski sudah berbincang sekian menit, tapi mereka bahkan belum berkenalan.
"Bagiku, nomor telepon kamu lebih penting." Bening mengerling. "Biar aku punya alasan untuk telepon kamu. Nanya nama, hehe."
Mereka tertawa. Ada debar dan getar berbeda di dada masing-masing.
"Can I?" tanya Kevin lagi. Bening pura-pura berpikir.
"Oke, tapi ... empat digit terakhir kuberikan kalau kita kembali bertemu." Bening meraih ponsel yang sejak tadi diulurkan Kevin. Lantas mengetik beberapa digit angka.
"Semoga kita bertemu kembali." Bening melambaikan tangan ke arah Kevin yang semringah menatap delapan digit angka yang ditinggalkan Bening.
"Kita pasti ketemu lagi," teriak Kevin yang hanya dibalas senyuman oleh Bening.
Siapa sangka keesokan harinya Kevin sudah nongkrong di taman depan butik milik Bening. Kevin yang hanya mengenakan kaus putih polos dengan jeans belel hitam tetap terlihat berkelas. Ya tentu saja karena mobil mewahnya yang diparkir di halaman butik.
"Hai?" sapa Kevin canggung. Lelaki atletis itu menggaruk rambut, menatap sekeliling. Entah kenapa dia mendadak grogi melihat Bening pagi itu.
"Oh, ha-hai." Bening tertular kegrogian Kevin. Gadis itu merapikan rambut sebahunya yang tergerai. Sesekali dia juga meremas tali tasnya sendiri, gemas.
"Boleh aku lihat koleksimu?" Bening mengangguk.
Kevin mengikuti langkah Bening memasuki butik. Aroma vanila dari tubuh Bening membuat dadanya berdebar. Sering bertemu banyak wanita cantik, tapi tetap saja dia masih canggung ketika bertemu Bening. Apakah ini ...?
Cukup lama mereka berbincang. Kevib mencari jas untuk acaranya di Jepang dan Bening dengan telaten menunjukkan koleksinya. Sayangnya, tubuh kekar Kevin tidak terdaftar dalam koleksi jasnya. Bening menyarankan untuk membuatkan jas untuk Kevin.
Acara ukur mengukur badan pun dimulai. Bening berdebar menempelkan pita pengukur ke tubuh Kevin. Begitupun Kevin tak kuasa menahan debar ketika jemari lentik dan harum milik Bening menempel di dada bidangnya.
"Apa empat digit yang tersisa bisa kuambil sekarang?" Bening mendongak, menatap mata tajam yang sedang menatap wajahnya. Tinggi badan Bening memang hanya sebatas leher Kevin, membuat gadis itu kesulitan menatap wajah lelaki itu
"Ehm, iya. Aku beri nanti." Bening mengalihkan pandangannya, menulis ukuran yang didapat di buku catatan.
Bening terkejut ketika berbalik. Kedua tangannya menabrak dada Kevin. Lelaki itu mendekatkan tubuhnya ke tubuh Bening.
"Aku hanya ingin memastikan jika kamu tidak salah menulis ukurannya. Jika benar, berati aku tidak punya alasan lagi untuk sedekat ini denganmu."
Bening menunduik, menyembunyikan wajah bersemu merahnya.
Pertemuan demi pertemuan lantas terjadi. Membuat kuncup merah muda perlahan merekah. Kevin memupuk benih cinta itu dengan perhatian dan pesonanya. Bening merawatnya dengan debar sama yang tak mampu lagi disembunyikan. Hampir setiap hari mereka selalu berkirim kabar. Hal kecil selalu menjadi bahan obrolan yang menyenangkan. Bagi Bening, Kevin adalah sosok idaman. Memahami betul bagaimana dunia dan perangai wanita. Sehingga Bening merasa diperlakukan dengan baik. Bagi Kevin, Bening selalu menyenangkan dan pintar. Gadis itu mampu mengimbangi pembicaraan Kevin yang memang suka membahas banyak hal.
š¹š¹
[Kamu di mana?]
Akhirnya Bening memberanikan diri mengirim pesan setelah dua hari Kevin tanpa kabar. Biasanya gadis itu akan gengsi memberi kabar terlebih dahulu. Namun, kali ini dia sudah tidak tahan. Dua hari tanpa suara dan kehadiran Kevin membuatnya kelimpungan.
Pesan itu hingga malam hanya centang satu. Bening menggerutu. Mood-nya mendadak berantakkan.
[Sudah punya yang baru, ya?]
Terkirim
[Aku nggak penting lagi, ya?]
Terkirim
"Please, Kevin!" Bening meremas rambutnya yang berantakkan. Mata lentiknya menatap layar ponsel.
"Ah, kenapa sih aku ini?" Dia menggeleng dengan cepat setelah membaca deretan pesannya yang masih centang satu.
"Kita kan cuma kenalan biasa, teman. Just friend!"
Jarinya dengan cepat menggeser layar, memilih opsi hapus pesan untuk semua.
Tok .... Tok ....
Bening menoleh. Setelah merapikan sedikit rambutnya dia menuju pintu.
"Paket, Mbak!" teriak suara lelaki di luar pintu.
"Sebentar!" Bening memang sedang menunggu paket kain dari teman bisnisnya.
Bening membuka pintu. Lelaki tinggi mengulurkan kotak kecil berwarna merah muda.
"Surprise!" Bening melongo setelah lelaki itu melepas topi yang menutup sebagian wajahnya.
"Kevin!" pekik Bening. Gadis itu refleks memeluk tubuh tinggi besar di depannya.
"Kangen, ya?" Bening tersadar lantas melepas pelukan. Wajahnya bersemu merah.
"I love you," ucap Kevin menunduk membuat wajahnya tepat berada di depan wajah Bening. Mata mereka beradu. Saling menyelami perasaan masing-masing.
"Aku tahu kamu mau jawab apa?" Kevin memainkan bola matanya, mengerling.
"Apa?"
"I love you too," ucap Kevin dengan gaya kemayu menirukan suara wanita. Bening tergelak.
"Ge er banget!"
"Terus?"
"Jadilah tujuan rinduku yang menggunung untuk berlabuh! Jadilah alasanku tersenyum setiap pagi!" ucap Bening pelan dengan tatapan yang tak beralih dari wajah Kevin.
Senyum Kevin merekah. Dia merentangkan tangan, menyambut pelukan dari Bening. Namun, gadis itu malah ngeloyor masuk setelah merebut kotak kecil dari tangannya. Pemuda itu melongo dan memeluk dirinya sendiri.
....
Bersambung
Diubah oleh amyjk02 03-06-2020 10:51
i4munited dan 24 lainnya memberi reputasi
25
2.2K
84
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThreadā¢51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
amyjk02
#14
Hurt and Smile

Sc pict: Pinterest
š¹š¹š¹
"Nih!" Tukang ojek itu mengulurkan sebotol air mineral kepada Bening. Gadis itu menatap botol dan wajah si pemberi bergantian.
"Buat apa?" tanya Bening yang mungkin menjadi pertanyaan terbodoh.
"Buat bikin hujan lagi," jawab si tukang ojek terkekeh. Bening tersenyum, tapi masih belum mau menerima benda yang terlihat menyegarkan itu.
"Tenang, nggak kukasih bius, kok. Cuma virus doang, hehe." Kali ini Bening tertawa. Mereka meneguk meniman itu bersamaan. Si tukang ojek lega karena hausnya hilang, sedangkan Bening lega karena air sejuk itu perlahan membuatnya sedikit membaik.
Mereka saling diam menikmati perasaan masing-masing. Hujan semakin reda, menyisakan hanya titik-titik kecil. Tukang ojek menadahkan tangan, memeriksa seberapa deras hujannya.
"Pulang, yuk! Sudah reda," ajaknya sembari mengeluarkan motor. Bening bangkit, merapatkan jaket dan mengenakan helmnya.
"Mamang nggak kedinginan?" Gadis itu melihat kaus tukang ojek yang masih basah. Akan sangat dingin jika dia berkendara dalam keadaan seperti itu.
"Nggak. Aku punya sedikit darah dari Aquaman, jadi ... amanlah." Bening terpaku menatap senyum gigi gingsul lelaki di depannya. Dia baru menyadari jika tukang ojek itu tak setua perkiraannya.
Motor melaju pelan. Menyusuri malam yang mulai menuju pertengahan.
"Rumahnya di mana?" Tukang ojek menoleh dan sedikit berteriak. Karena laju motor yang tidak terlalu kencang, Bening dengan jelas bisa mendengarnya.
"Terus aja, nanti kukasih tahu kalau sudah sampai."
"Oke!" Tukang ojek mengangkat tangan yang membentuk huruf O dari ibu jari dan jari telunjuknya.
"Mamang sudah lama ngojek?" tanya Bening mendekatkan wajah ke telinga tukang ojek.
"Hah?"
"Sudah lama ngojek?" tanya Bening sekali lagi dan lebih keras.
"Sudah. Dari jaman belum ada motor."
Bening terkekeh.
"Dulu ojek gendong, belum ada motor, haha."
Kali ini Bening sukses tertawa. Namun, kemudian tersenyum kecut menyadari bahwa beberapa saat yang lalu dia terisak. Tersenyum pun tak mampu.
š¹š¹
Bening menepuk pundak si tukang ojek ketika sampai. Perlahan dia turun.
"Sebentar, ya, aku ambil uangnya!" Bening berlalu memasuki rumah yang memang tidak pernah dikunci.
Gadis itu mengambil sejumlah uang dari laci meja. Tak lupa melepas helm dan jaket ojeknya. Namun, dia terkejut ketika tak mendapati tukang ojek tadi di tempat semula. Dia menoleh ke ujung gang, motor sang ojek sudah berbelok ke jalan raya. Seolah tahu jika sedang diperhatikan, lelaki itu mengangkat tangan kirinya dan melambaikan telapak tangannya, seolah mengucap da-da.
Bening tercenung. Menatap dua lembar seratusan ribu yang dia bawa. Lantas terpaku pada selembar kertas yang ditancapkan di atas pagar rumahnya. Kertas lusuh dengan tulisan yang sama sekali tidak rapi dan sedikit basah karena gerimis. Entah darimana tukang ojek itu mendapatkan kertas dan pena, begitu pikir Bening.
"Semoga hatinya lekas membaik. Bayar saja jika suatu saat nanti kita bertemu lagi.
Note: saya masih muda, belum jadi mamang-mamang
Ttd
Farhan alias Mamang ojek."
Ada yang menggelitik hatinya membaca selembar pesan dari lelaki asing. Oh, jadi namanya Farhan, gumamnya pada diri sendiri.
š¹š¹
Bening terpaku menatap bayangan dirinya di cermin. Rambut lepek dan berantakkan, riasan wajah yang hanya menyisakan maskara yang meleber hingga ke pipi, dan bibir pucat tanpa lipstik lagi. Gaun birunya sedikit basah. Jika tidak ada jaket ojek tadi, mungkin manik-manik dan kerlip di bajunya akan rusak, atau bahkan hilang karena hujan. Perih di kakinya baru dirasa. Bening meringis menatap telapak kakinya tergores sesuatu yang menyisakan sedikit darah dan memerah. Dia bahkan tidak ingat kemana dan di mana sepatu tingginya terjatuh.
Tangannya terangkat, menunjukkan tas tangannya yang masih tetap tergantung. Tali pengantungnya tetap terikat ke pergelangan tangan. Jika tidak begitu mungkin ponsel dan alat make-upnya sudah terjatuh juga. Bening meringis merasakan perih ketika melepas tas itu.
Iseng, dia membuka ponsel. Bukan sekedar iseng, tapi dia ingin mendapati konfirmasi dari Kevin bahwa lelaki itu menyesal, mencarinya, dan mengkhawatirkannya.
Bening hanya menemukan satu notif, satu pesan email dari kliennya. Gadis itu seolah tak bertulang. Tubuhnya lemas dan bersimpuh di lantai kamar. Dadanya sesak memaksa keluar. Membuat wajah dan matanya panas.
"Jahat kamu, Vin!" Tangisnya tak lagi mampu terbendung. Semua hal menyakitkan yang baru saja terjadi terulang lagi. Memukul dadanya dengan kuat, menyisakan nyeri di ujung sana. Di mana dia telah mengunci Kevin selamanya.
Bagaimana bisa lelaki yang baru saja membuatnya menangis di depan para tamu, tidak meminta maaf? Bahkan mengirimkan satu pesan pun tidak. Di mana perasaannya?
š¹š¹
Bening terbangun dengan badan yang pegal dan pusing hebat. Namun, ponsel adalah benda pertama yang dia cari. Berharap menemukan Kevin di sana, tapi nihil. Satu pun pesan tidak ada. Bening lantas segera bangun, dan menuju jendela. Bukankah Kevin sering memberinya kejutan?
Dia menyibak gorden dengan cepat dan bersiap untuk menerima kejutan dengan senyum yang nyaris terbentuk. Namun, wajah pucat itu perlahan kecewa. Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya deretan mawar yang tertunduk sebab hujan semalam. Bening bersandar di jendela, menangis lagi. Kepalanya terasa dihantam palu, sakit dan berdenyut. Namun, hatinya lebih sakit dari itu.
š¹š¹
Dengan tenaga yang tersisa setelah berjuang untuk mandi dan berdandan seadanya, Bening memutuskan ke dokter. Akibat hujan semalam memang ampuh membuatnya mulai demam. Dengan taksi akhirnya dia sampai di sebuah klinik. Seorang perawat segera mengambil tindakan medis. Bening dibaringkan di sebuah bangsal pemeriksaan. Perawat paruh baya itu dengan teliti memeriksa denyut nadi, mengukur tensi, dan memeriksa mulut serta matanya.
"Cuma efek kehujanan, kok. Banyak-banyak istirahat, ya!" ucap perawat itu tersenyum. "Sementara istirahat di sini dulu, sambil menunggu obatnya," lanjutnya lantas pergi.
Bening mengangguk. Aroma obat, suasana tenang, dan warna hijau yang menyejukkan, membuat gadis itu merasa mengantuk.
"Maaf, ya, ngajakin hujan-hujanan."
Bening terperanjat. Tirai di sampingnya terbuka, menampakkan wajah yang dikenalinya. Mereka saling tatap. Bening tidak mengangka jika tukang ojek semalam berada di klinik yang sama dengannya. Pasti juga dengan keadaan yang sama.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Farhan yang melihat Bening tetap diam.
"Eh, anu ... aku .... Iya, aku nggak apa-apa." Bening duduk dengan bersandar di tembok klinik, seperti yang dilakukan Farhan. Lelaki itu membuka tirai hingga ke ujung, membuat mereka tanpa penghalang lagi.
Keadaan mendadak canggung. Bening salah tingkah. Gadis itu baru menyadari jika memang lelaki semalam tidak setua perkiraannya. Bahkan mungkin mereka masih sebaya. Wajah tegas dengan cambang halus, rambut gondrong yang dikucir asal, dan gingsul itu mampu menyihirnya. Belum lagi otot tubuh yang tertutup kaus putih pas badan. Farhan memang tidak seatletis Kevin. Tubuhnya cenderung kurus, tapi cukup berisi dan liat.
Farhan pun canggung menatap Bening. Gadis semalam yang berantakkan, nyatanya tetaplah seorang putri. Hanya mengenakan jeans dan kaus putih, Bening tetap anggun. Apalagi rambut hitam panjangnya dikucir ekor kuda. Sisa anak rambutnya dibiarkan begitu saja.
"Kamu tinggal di sekitar sini?" tanya Bening memecah keheningan.
"Nggak, sih. Agak jauh. Tapi nggak jauh-jauh amat. Eh, iya sih, di sekitar sini."
Bening tersenyum.
"Eh, ini bayaran semalam." Bening mengambil sesuatu dari tasnya lantas mengulurkan pada Farhan. Lelaki itu menggeleng.
"Ngapain kamu bayar hal yang membuat kamu sakit?"
Bening terdiam. Entah kenapa kalimat itu seolah tepat menyerang hatinya. Iya, kenapa dia harus membayar sesuatu yang membuatnya sakit? Dalam hal ini Kevin. Dia rela melakukan apa saja, hingga sesakit itu hanya untuk mendapatkan sakit.
"Hei, kamu nggak apa-apa?" Farhan menggerakkan tangan di depan wajah Bening. Gadis itu tergagap.
"Nggak, kok. Ya sudah, aku bayari biaya obat kamu saja, ya." Tanpa sempat melihat penolakan Farhan, Bening sudah bangkit dan menuju ke depan. Farhan ikut bangkit dan membuntuti Bening. Gadis itu menyelesaikan pemabayaran untuk dirinya dan Farhan.
"Mau aku antar pulang?" Bening menoleh. Farhan ternyata menunggunya di taman klinik.
"Hhmm, tapi aku nggak mau pulang. Gimana kalau kamu antar ke tempat lain?" Farhan berpikir sejenak. Lantas mengangguk.
"Eh, tapi ... kamu nggak ngojek?"
"Oh, nggak! Hari ini jadi kuli panggul di pasar, hehe." Bening tersenyum salah tingkah.
Farhan lantas melajukan motornya pelan. Udara jam sepuluh pagi masih sangat segar. Apalagi karena hujan semalam. Aroma hujan bercampur dengan wangi bunga di sepanjang jalan seolah menjadi obat untuk mereka berdua.
"Kamu mau makan yang seger-seger, nggak?" tanya Farhan menoleh, agar didengar Bening.
"Boleh."
Farhan menepikan motor di depan sebuah restoran bergaya tradisional. Bening yang baru turun, malah fokus ke penjual di pinggir jalan. Dia mengira Farhan akan mengajaknya makan di sana, padahal Farhan sudah berjalan menuju restoran.
"Hei, kemana?"
"Kesini, kan?" Bening menunjuk penjual bakso. Farhan menggeleng. "Di sini!" Farhan menunjuk restoran di depannya.
"Aku makan di sini saja!"
Farhan mengalah. Dia mengikuti Bening yang sudah mendekati si penjual. Farhan memilih tempat duduk di pojok. Lelaki itu mengambil tisu, dan mengelap kursi plastik berwarna biru itu. Bening yang melihatnya tersenyum.
"Kamu sering makan di sini?" tanya Farhan. Bening menggeleng.
"Belum pernah."
"Yah, gimana, sih. Gimana kalo enak?"
"Kok?"
"Kalau aku ketagihan kamu tanggung jawab!"
"Haha."
Mereka berbicara banyak hal sembari makan. Bening menceritakan siapa dirinya, apa pekerjaannya, dan kehidupannya. Hanya saja dia tidak bercerita tentang Kevin. Juga tentang kejadian semalam.
Farhan hanya bercerita seadanya. Seorang tukang ojek online, juga ojek offline. Juga tentang dirinya yang merantau, jauh dari keluarga.
Setelah selesai makan, Farhan mengajak Bening membeli bunga. Rupanya, lelaki itu sama seperti Bening, penyuka bunga. Mereka membeli krisan dan mawar sebagai tambahan koleksi. Setelahnya mereka memutuskan pulang. Farhan mengantar Bening hingga ke rumah, sekalian mengambil jaket dan helmnya.
"Kamu nggak penasaran apa yang terjadi sama aku semalam?" tanya Bening ketika sampai di depan pagar rumahnya.
Farhan menggeleng. "Kalau kamu nggak cerita, itu tandanya hati kamu masih sakit atau semacamnya. Bukankah tidak baik mengorek sakit orang lain?"
Bening mengangguk. "Oke. Terima kasih, ya. Eh, ya, aku boleh minta nomor ponsel kamu? Siapa tahu aku butuh jasa kamu."
Farhan meraih ponsel Bening dan mencatat beberapa digit nomor miliknya. "Satu digit terakhir adalah keberuntungamu. Tebak saja!" Farhan lantas berlalu setelah mendapatkan jaket dan helmnya kembali. Sementara itu Bening mematung di depan pagar menatap kepergian si tukang ojek hingga menghilang di tikungan. Merasa diperhatikan, Farhan melambaikan tangan, tanpa menoleh. Membuat gadis itu tersenyum, dejavu.
Bertemu Farhan nyatanya membuat Bening membaik lebih cepat. Dia sudah tidak peduli dengan Kevin. Dia bahkan lupa jika ada luka di hatinya yang masih basah.
"Jangan dilupakan, jangan juga memaksa untuk tersenyum. Sibukkan dirimu dengan sesuatu, hingga kamu refleks tersenyum." Pesan Farhan selalu terngiang di telinganya.
....
Bersambung
ukhtyfit81 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Tutup