Kaskus

Story

blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
Aku Mencintai Bandot Tua
Aku Mencintai Bandot Tua


Aku Mencintai Bandot Tua

Aku Mencintai Bandot Tua

Spoiler for Update Chapter:


Chapter 1


"AYAH JAHAT, GAK PUNYA HATI!" Kuhentakkan kaki sebagai tanda perlawanan atas keputusan sepihak lelaki paruh baya yang egois, setelah itu aku segera berlalu meninggalkan ruang tengah di mana ayah dan ibu sedang duduk termangu dan lesu.

Pintu kamar kubanting dengan kencang, hingga menciptakan suara yang membahana dan tentu mengagetkan siapa saja yang berada di rumah ini. Rumah yang dahulu bak surga, kini berubah seperti neraka yang panas dan selalu membuat aku muak.

Tangisku luruh bersama dengan harapanku yang kandas karena keadaan yang tidak berpihak, kubenamkan wajah dalam bantal sehingga lengkingan sedu sedan yang tercipta dapat teredam dan hanya dapat didengar olehku saja.

Malam ini adalah malam terakhirku berstatus sebagai single, karena besok aku akan menikah dengan seorang pria yang sama sekali tidak aku kenal, apalagi aku cintai.

Pernikahan yang mendadak dan tiba-tiba ini membuat batinku terguncang, serasa dijatuhkan dari atas langit menimpa tanah menembus ke lapisan yang terakhir, sangat sakit dan merasa terhina. Karena lelaki itu bukan menikahi, tapi membeli.

Aku benci dengan takdir dan nasib, mengapa Tuhan memberi aku keluarga yang seperti ini?

Usiaku baru akan menginjak 19 tahun bulan Mei nanti, teman-temanku semua melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Aku apa? Malah menikah dengan bandot tua yang lebih pantas aku panggil dengan sebutan 'Om', karena usianya tidak jauh dari ayah.

Aku ingin berontak rasanya tak mungkin, pacarku si Bagas pun angkat tangan saat aku mengajaknya kimpoi lari. "Aku masih mau kuliah, kalau nikah nanti, kamu ... maksudku, kita mau makan apa? Dan siapa yang akan ngebiayain kuliah aku? Bunda aku pasti murka disangkanya aku ngehamilin kamu, duh aku gak sanggup. Maaf ya, Sayang!"

Dasar pengecut! Gak punya nyali! Kepentingan sendiri yang dia pikirin, janji suci yang selama ini dia ikrarkan ternyata cuma isapan jempol belaka. Aku benci Bagas, aku benci Ayah, aku benci si Bandot Tua yang bakalan jadi suamiku besok. Aku benci makhluk Tuhan yang berjenis kelamin lelaki, aku benciiiii!

Pernah aku coba bernego dengan Ayah tentang keputusan ini, aku coba membujuk beliau agar aku diizinkan untuk bekerja demi bisa menopang perekonomian keluarga yang mulai carut marut. Dan, daebak! Ayah menolak mentah-mentah niat mulia itu. Alhasil aku gondok dan mau tidak mau harus manut, tidak boleh tidak.

Dengan berat hati aku pun menurut, semuanya kulakukan semata-mata demi membahagiakan orang tua dan adik-adikku.

Calon suamiku, maksudku si Bandot Tua itu adalah seorang pengusaha yang bisa dibilang sukses, dia banyak menolong keluarga ini terutama dalam masalah keuangan. Usaha restoran ayah bangkrut setelah ibu ketahuan memiliki banyak hutang, hutang di bank, rentenir, beberapa tagihan kartu kredit dengan limit di masing-masing kartunya lumayan besar dan koperasi simpan pinjam.

Alfian Wijaya, si Bandot Tua yang besok akan menjadi suamiku itu adalah seorang pelanggan setia restoran Ayah, dia sering sekali memesan catering dan tumpeng apabila sedang ada event di perusahaannya.

Hubungan si Bandot Tua dengan Ayah sangat erat, maka sewaktu Ayah gulung tikar dan terpaksa menjual semua asetnya demi membayar hutang Ibu yang jumlahnya sampai ratusan juta, dia datang lalu menawarkan bantuan finansial yang jumlahnya tidak main-main, asalkan Ayah tidak menutup usahanya.

Ayah menolak mentah-mentah bantuan dari si Bandot Tua, beliau tidak mau punya hutang budi. Alhasil kami pun jatuh miskin, tinggal di rumah minimalis di pemukiman padat penduduk yang kumuh.

Tapi saat kami sudah melarat, Ayah tidak bisa lagi menolak apa yang diberikan oleh Bandot Tua tersebut. Sehingga hutang budi itu benar-benar tercipta, dan aku menjadi pelunasnya.

Ibu hanya bisa menangis dan meminta maaf, saat aku dan adik-adik menderita terkena imbasnya . Waktu itu, aku ingin sekali membencinya tapi aku tidak bisa.

Aku hanya bisa mengelus dada serta meratapi nasib yang malang ini, sering aku berpikir keras akankah kisahku bak sinetron ikan asin terbang? Berawal tragis tapi berakhir manis, ah entahlah! Cuma Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi nanti.

Aku merasa sepi di dalam kamar ini, padahal di luar sana sedang ramai. Banyak orang sedang mempersiapkan acara untuk besok. Saudara jauh, tetangga dan kerabat dekat berdatangan untuk membantu. Samar-samar kudengar suara tawa mereka, begitu lepas dan tanpa beban.

Aku tidak bersemangat dan masa bodoh dengan semua ritual yang harus dijalani sebelum pernikahan. Peduli amat dengan puasa dan juga tradisi pingit, aku bebas jalan dan nongkrong dengan teman-teman, Ayah dan Ibu tidak bisa melarang karena itu syarat sebelum aku mau menuruti permintaan mereka.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Dalam kamar yang indah ini hatiku merasa terkoyak, wajah yang telah dipoles riasan tebal ini terasa bagai topeng badut saat aku lihat di cermin. Kebaya mewah nan cantik yang si Bandot Tua pesan khusus dari butik ternama pun kurasa gerah dan tidak nyaman, sama seperti perasaan yang bergejolak ini.

Telinga seketika terasa panas dan memerah saat MC memberitahu kalau romongan calon mempelai pria sudah tiba, perias pengantin yang tidak tahu perihal isi hati ini pun menepuk bahuku sembari bersorak gembira. Aku meresponnya dingin, cuma tersenyum kecut, sekecut ketek tukang becak yang baru selesai ngegenjot di tanjakan.

Wanita yang berperan sebagai MUA itu kembali mengecek riasan wajahku, usai sapu sana-sini senyumnya mengembang. "Perfect!" katanya.

Aku memandang wajah yang menurutku seperti pemain lenong yang akan tampil di panggung.

Kebaya modern putih, rambut disanggul yang dihiasi mahkota gold dan kembang goyangnya, dirasa bagai atribut pemain barongsai saat perayaan imlek.

Tok ... tok ... tok ....

Pintu kamar diketuk oleh seseorang yang hendak menjemputku, dia Vina, sepupuku.

"Mel, yuk ke depan!" ajaknya mengulurkan tangannya padaku.

Tanpa menjawab, aku meraih uluran tangannya dan berjalan menuju teras rumah yang dijadikan tempat untuk ijab kabul.

Kulihat sekilas wajah calon suamiku, ia tersenyum ramah tapi aku pura-pura tidak melihatnya.

"Kepada calon pengantin wanita kami persilahkan duduk di samping sang pangeran yang telah bersiap mengikrarkan janji suci di hadapan kita semua," ucap MC membuatku ingin muntah.

Semua orang kecuali aku tersenyum mendengar ucapan MC itu. 'Pangeran apaan? Pangeran kodok kali,' sungutku dalam hati.

Setelah melewati beberapa rangkaian prosesi maka tibalah saatnya pengucapan ijab kabul. Setelah dipandu oleh pak penghulu, maka si Bandot Tua itu dengan lantang mengucapkan kalimat sakral di depan semua orang yang hadir disini.

"Saya terima nikah dan kimpoinya Amelia Gentari Permadi binti Dodi Permadi dengan mas kimpoi satu set perhiasan emas seberat 50 gram dibayar tunai."

Para saksi, tamu undangan dan keluarga mengucap syukur karena prosesi utama berjalan dengan lancar dan sukses. Bagai tersengat listrik bertegangan tinggi saat mendengar penghulu dan semua orang berkata 'SAH', itu berarti per hari ini aku akan hidup dengan si Tua Bangka ini. Tidaaaaaak!

Mengapa aku sebut dia tua bangka? Itu karena usianya sudah 40 tahun, ia seorang perjaka tua alias bujang lapuk. Entah kenapa dia belum menikah sampai usianya setua itu, hanya Tuhan dan dia yang tahu.

Acara resepsi kami diadakan secara sederhana, aku malu kalau harus pesta meriah. Teman-teman sekolah, tidak ada satu pun yang aku undang, apa kata dunia seorang Amelia yang jadi rebutan cowok-cowok populer dan terkenal sebagai play girl di sekolah dulu tiba-tiba nikah muda, sama bandot tua lagi.

Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, lalu kemudian mengusirnya dari sisi ini. Sumpah aku muak, benci, dan enek harus duduk berdekatan di pelaminan dengannya.

Apalagi saat dia sok perhatian menawari aku mau makan atau tidak, ih benar-benar menyebalkan. Apalagi aku sempat melirik dengan ujung mata, dia sering mencuri pandang kepadaku, ingin rasanya aku tusuk matanya pakai gembang goyang yang menancap di sanggul palsu ini.

Saat duhur menjelang acara resepsi pun usai, aku dan dia dipersilahkan untuk masuk beristirahat. Si Bandot Tua sok manis, mengulurkan tangan berniat menuntunku. Tapi dengan tegas aku tolak, beralasan tidak kuat ingin buang air kecil, secepatnya aku ngacir duluan.

Sejenak aku berdiam diri di dalam kamar mandi, berjalan mondar-mandir dengan pakaian lengkap. Konyol memang, tapi semua ini aku lakukan agar alasanku tadi tidak sekadar hoax.

Hingga lima menit lamanya, aku pun keluar dan melangkah masuk ke dalam kamar pengantin. Segera aku kunci pintu, agar dia tidak masuk tiba-tiba di saat aku lagi buka baju.

Kuhempaskan tubuh di ranjang, menghela napas panjang memindai kamar ini. Mencebik dan merutuk, meski sia-sia tapi itu bisa membuatku lega dan merasa lebih baik.

Kemudian aku berdiri, sudah saatnya menanggalkan 'pakaian lenong' ini, aku ingin mandi dan istirahat dengan tenang dan damai.

Saat pakaian dan semua atribut tanggal, pintu diketuk. "Pasti itu si Batu alias Bandot Tua," sungutku geram.

Dengan wajah masam aku membuka pintu, tanpa menegurnya aku kembali masuk menyambar handuk kimono yang tergantung di paku. Tanpa menoleh kepada dia, aku bergegas pergi meninggalkannya.

Sesampainya didalam kamar mandi, aku segera membersihkan diri. Hampir 2 jam lamanya aku semedi didalam kamar mandi, karena kewalahan mengurai rambut setelah disasak tadi.

Setelah berhasil mengurai rambut yang kusut, aku pun segera membasuh seluruh tubuh. Segar rasanya, apalagi setelah keramas kepala ini jadi enteng sekali.

Di dalam kamar, aku pakai baju kebesaran emak-emak yaitu daster. Usai mengoleskan pelembab muka, aku pun langsung berbaring di atas spring bed yang empuk dan nyaman. Si Bandot Tua tidak ada di sini, membuatku sangat damai dan tenteram tentunya.

Namun ketika akan terlelap, pintu kamar kembali diketuk dan terdengar suara derap langkah si Bandot Tua memanggil namaku.

"Dek, ini Mas Fian tolong buka pintunya!"

Aarrrgghh!

Aku merutuk dalam hati, dengan wajah kesal segera kubuka kunci pintu. Setelah itu kembali ke formasi awal tadi.

Suara sepatunya membuat telinga ini sakit, dia menggantungkan jasnya di kastop dekat lemari pakaian.

Kuintip dengan mata yang pura-pura dipejamkan, dia sedang celingukan seperti sedang mencari sesuatu.

"Dek, bisa minta tolong ambilkan handuk?" Tangannya mengusap pundakku.

Tanpa menjawab aku bangun dan beranjak membuka lemari, untuk mengambilkan benda yang dia butuhkan.

'Uh beneran ya nih si Bandot Tua ini, ngeganggu ketenangan gue aja!' Kedua kalinya aku merutuk dalam hati.

"Makasih ya, Dek. Mas mandi dulu," ucapnya sok imut.

'Mandi aja sono, kaya gue nungguin lo aja dasar 'Batu' alias Bandot Tua.'

Aku tersenyum dan mengangguk, berusaha tidak menunjukkan rasa kesalku padanya, semuanya kulakukan demi keluarga.

Sepeninggal dia, aku pun pulas tertidur. Beberapa kali dia membangunkan aku untuk salat, tapi aku tak menggubrisnya. Aku beralasan aku sedang haid.

Selepas isya setelah selesai makan malam bersama, dia mencoba mengajakku bicara berdua di dalam kamar sebelum kami terlelap.

"Mas tahu, Dek Amel belum siap dengan pernikahan ini. Tapi mas minta, Dek Amel harus mulai belajar menerimanya ya," ucapnya pelan tapi tegas.

"Om Fian, eh ... Mas Fian jangan bicara kaya gitu, dengan aku bersedia menikah, itu artinya aku sudah menerima Mas Fian. Suka gak suka, toh aku gak punya pilihan."

"Alhamdulillah kalau begitu, mas lega dengarnya. Mudah-mudahan saja pernikahan kita ini bisa membawa kebaikan untuk kita dan diberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat ya, Dek."

"Aamiin," jawabku tampak penuh harap, padahal penuh rutukan.

Beberapa saat kemudian Mas Fian meraih dan mencium punggung tangan ini dengan lembut, rambutku ia usap perlahan. Tanpa menunggu izin, dia mendaratkan ciuman di kening, lalu turun ke pipi dan bibir.

Aku tidak memberi respon, bukan tidak bisa berciuman tapi aku merasa jijik ketika bibirnya menyentuh dan mamagut bibirku. Tiba-tiba ia melepaskan bibirnya dan menatap wajah ini.

"Kok diam, Dek? Kamu belum siap ya?"

"Eng-enggak, Mas. Aku gak tahu cara berciuman, aku bingung harus bagaimana," kilahku bohong. Padahal waktu pacaran dengan Bagas, sering aku berciuman alias baik.

"Maaf Mas Fian, aku belum bisa malam ini." Tanganku mendorong dada bidang itu pelan, menghentikan aksinya.

"Kenapa, Sayang?" Kata 'sayang' yang dia ucapkan barusan, benar-benar bikin aku gumoh, huweekk!

"Aku sedang ada tamu bulanan, Mas. Makanya tadi aku gak salat." Harap-harap cemas berharap ia percaya, dan tidak meraba apakah aku memakai pembalut atau tidak.

Ia tersenyum dan kemudian mengangguk. "Iya mas tahu, tadinya mas kepingin mesra-mesraan aja gitu." Kulihat ada gurat kecewa di wajahnya, tapi aku gak peduli yang penting aku berhasil-berhasil horeeee.

Itu artinya aku harus bersandiwara mendapat tamu bulanan selama seminggu lamanya, hal itu tidak membuatku aman tapi setidaknya aku bisa mengulur waktu.

Hari ini, adalah hari pernikahan kami yang kelima, dan sesuai dengan perjanjian awal aku akan meninggalkan rumah dan ikut bersama Mas Fian ke rumahnya.

Rasanya sangat berat aku berpamitan dengan orang tua dan kedua adikku, air mata ini tumpah. Aku tidak kuasa harus berpisah dengan mereka.

Walaupun aku bisa setiap saat bertemu dengan mereka, karena rumah Mas Fian dan orang tuaku hanya berjarak kurang lebih 100km. Namun, tetap saja itu suatu hal yang membuatku sangat bersedih.

"Ingat ya, Nak, pesan ayah! Harus hormat dan patuh pada suami, ayah selalu berdoa yang terbaik untukmu," bisik Ayah ketika memelukku.

Kujawab petuah Ayah dengan anggukan, lelaki paruh baya itu tahu betul seperti apa perasaanku saat ini. Tapi, Ayah tidak mau tahu dan terkesan tidak peduli. Aku merasa dijual pada si Bandot Tua, diri ini tak ubahnya seperti budak pemuas nafsu yang dipersembahkan untuk pejabat pada masa kerajaan dulu.

Aku dan mas Fian memasuki mobil, tak kuasa menahan tangis saat besi yang mewah yang ditumpangi meninggalkan rumah yang selama kurang lebih tiga tahun ini aku tempati.

Aku menangis sesegukan didalam mobil, lambaian tangan mereka tidak bisa hilang dari ingatan.

Mas Fian yang duduk di sebelah memeluk erat, hal itu tidak berarti apa-apa. Tidak juga bisa membuatku luluh untuk mencintainya.

"Jangan sedih lagi, Dek, setiap saat Adek ingin ke rumah Ayah bilang saja, mas akan antar."

Aku mengangguk dan terus menangis, di sepanjang perjalanan menuju rumah mas Fian.

Lebih satu jam kemudian, kami tiba di rumah mewah yang begitu asri dan nyaman. Aku dan mas Fian turun dari mobil, Pak Zaki, sang supir segera membuka bagasi dan menurunkan koper-koper.

"Asslamualaikum," ucap Fian ketika memasuki rumahnya.

"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya bersanggul, dengan wajah menor yang sedang asik membaca majalah di sofa ruang tengah.

Wanita bergaya bak ibu sosialita itu adalah ibu mertuaku, Ibu Siska namanya. Dari raut wajahnya sepertinya ia tidak suka padaku, terbukti pada saat pernikahan dulu dan sekarang tatapannya tetap sama, sinis.

Ah, tapi aku tidak mau ambil pusing. Bodo amat lah, toh aku juga nikah karena terpaksa. Seandainya wanita itu mengusirku suatu hari nanti, hal itu akan jadi senjata ampuh untuk bisa lepas dari belenggu pernikahan ini.

Mas Fian mencium punggung tangan ibunya dengan takzim, kemudian ia memeluknya dengan penuh rasa sayang.

Aku bersikap sama, mencium tangan mertuaku yang sebelumnya menatapku dari atas sampai bawah, seperti aneh melihatku. Padahal jelas-jelas dia yang menurutku aneh.

Kami berbincang sebentar dengan Bu Siska, setelah itu Mas Fian mengajakku untuk beristirahat di kamarnya.

Tangan ini dituntun masuk, menuju ruangan pribadi yang terletak di dekat ruang tengah. Sesampainya di dalam, aku takjub dengan kamar tidurnya, begitu nyaman dan wangi sekali. Mataku berkeliling menatap ke setiap sudut ruangan yang dipenuhi dengan perabotan modern dan tentunya mahal.

Dahulu, kehidupanku juga bisa dibilang mampu. Tapi rumah masa kecilku tidak semewah rumah Mas Fian, haruskah aku merasa beruntung karena mempunyai suami tajir?

"Dek, lemari pakaian yang tiga pintu itu baru. Mas sengaja belikan untuk menyimpan semua pakaianmu. Karena lemari Mas sudah penuh, hehe."

"I-iya Mas, terima kasih." Aku merasa kikuk dan canggung di rumah mewah ini.

"Mas, aku mau mandi dan ganti baju dulu ya," ucapku memecahkan kecanggungan dengannya.

Mas Fian mengangguk dan mengeret koper kami kedekat lemari pakaian. Segera aku membuka dan mengambil pakaian santai juga handuk, membawanya ke kamar mandi yang lagi-lagi membuat aku takjub dibuatnya.

Usai mandi, aku duduk di tepi ranjang. Menggosok rambut yang basah dengan handuk kecil. Mas Fian tidak mau jauh dariku, ia duduk menemani dan menawarkan diri untuk membantu mengeringkan mahkota indah ini.

Jujur, aku merasa risih dan tidak nyaman dengan perlakuannya. Bulu romaku merinding saat wajahnya mendekat, dari pantulan cermin aku lihat matanya terpejam saat menghidu bau harum yang menguar dari rambutku. Embusan napasnya membuat tengkuk meremang, adegan tidak senonoh pun terbayang dalam benak.

Tidak tahan dengan perasaan jijik yang menguasai, aku bangkit dan menyibukkan diri menyusun pakaian dari dalam koper ke lemari.

"Bibik saja nanti yang ngerjain, Dek," katanya sembari menatapku lekat.

Aku menggeleng dan tersenyum sok manis. "Aku bisa sendiri, Mas. Gak puas kalau barang pribadi, orang lain yang ngerjain."

Mas Fian mengangguk, lama kelamaan dia merasa bosan melihatku tak memberikan kesempatan sedikit pun padanya untuk menghabiskan waktu berduaan, dia berpamitan untuk keluar kamar setelah sebelumnya bertanya aku mau makan apa saat makan malam nanti.

"Apa aja, aku makan, Mas."

"Baik, mas keluar ya."

"Iya."

Sepeninggal Mas Fian, aku berhenti bersandiwara. Kuhempaskan bokong ini, melepas lelah setelah berusaha lolos dari cengkeraman singa tua, hehe.

Saat jam makan malam tiba, aku duduk di depan meja makan malam yang mewah dan indah. Berbagai macam menu masakan lezat tersaji di atasnya, lengkap dengan makanan penutup dan buah-buahan.
Diubah oleh blackgaming 07-03-2021 14:59
ichigame16Avatar border
ciptorosoAvatar border
sormin180Avatar border
sormin180 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
21K
51
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
#24
Chapter 15


[Kabari kalau sudah pindah ke rumah baru.]

[Pasti, Ric.]

[Sip, baik-baik ya sama Mas Fian.]

[Iya, Ric. Akan gue coba.]

[Jangan akan, tapi harus.]

[Iya, Ric. Thank you so much.]

Chat ditutup oleh Ricca yang mengirimkan emoticon hati,hal itu membuatku senyum-senyum sendiri.

Tapi beberapa saat kemudian senyum di wajahku pudar, saat melihat sosok yang sedang berdiri memperhatikan di luar sembari melipat kedua tangannya di dada.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Sorot mata lelaki itu sangat tajam menghujam, membuat sekujur tubuhku menegang ketakutan. Tatapannya menyiratkan tuntutan padaku, sebuah tuntutan atas janji yang aku ucapkan mengenai perasaan dan masa depan.

Aku yang panik pun berdiri dan menoleh ke tempat di mana Mas Fian berada, lalu kembali kepada lelaki yang tidak lain adalah Dimas.

Daripada Dimas membuat onar di sini, akhirnya aku putuskan untuk pergi secepatnya tanpa pamit kepada Mas Fian.

Aku pergi bukan untuk meninggalkan suamiku, melainkan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di antara aku dan Dimas. Di sini, aku yang salah, karena aku yang memintanya untuk tetap mendampingi meski aku tahu statusku sudah bersuami.

Mas Fian yang sedang berbicara kepada kasir pun tidak sadar saat aku menghilang dari tempat di mana aku sedang duduk menunggunya.

Sesampainya di luar, aku cepat-cepat mengajak Dimas untuk pergi meninggalkan tempat itu. Kutarik tangannya menuju lift dengan tujuan yang belum aku tentukan akan kemana.

Dimas yang sempat menolak untuk kuajak pergi, sempat melakukan perlawanan dengan menepis tangan ini, tapi lirikan para pengunjung pada kami membuatnya kalah dan mengikuti kemana langkahku membawanya.

Kutekan tombol yang menempel pada samping pintu besi, menuju ke basemant. Aku berpikir ada baiknya jika aku bicara dengan Dimas di dalam mobilnya, supaya tidak dilihat Mas Fian.

Kami memasuki mobil Dimas, sengaja aku tidak menutup rapat pintu kuda besi berwarna biru metalik itu, agar di saat terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti Dimas mengamuk atau bahkan hendak membawaku kabur, aku bisa segera keluar walaupun dengan resiko cedera karena nekat terjun

Rahang si dosen muda yang terkenal ramah dan disukai banyak mahasiswi di kampus itu, pun mengeras. Napasnya tersengal tidak teratur, menandakan bahwa ia sedang menahan amarahnya agar tidak meledak.

"Kenapa, Mel? KENAPA?" Teriakan Dimas yang disusul pukulan keras pada stir mobil, membuatku ketakutan setengah mati.

Aku coba menyentuh pundaknya tapi dengan kasar ia menepis, dan secepat kilat ia meraih pergelangan tanganku dan kemudian mencengkramnya dalam-dalam hingga aku meringis kesakitan.

"Lepas, Dim, sakit!"

"Apa? Sakit? Sakit katamu? Lebih sakit aku yang kamu khianati, aku diperlakukan kaya sampah, dibuang begitu saja karena kamu sudah gak butuh. Tega kamu, Mel. TEGA!"

"Ya, aku salah, Dim. Aku mengaku salah, karena sudah ingkar janji, aku gak bisa ninggalin Mas Fian. Aku-"

"Aku apa? Mencintainya? Gak bisa hidup tanpanya? Bahagia kamu hanya dengannya? Hah!"

Semakin kuat ia mencengkram tanganku, hingga tangisku menjadi histeris.

Melihatku seperti ini, Dimas bukannya iba, malah meremas kedua pipi ini dengan tangan sebelahnya.

Mata penuh amarah itu menyalak, bak singa jantan yang sedang menghadapi musuhnya di hutan.

"Kata-kata itu kamu ucapkan kemarin buat aku, Mel. Bukan buat Mas Fian," serunya mengingatkan aku untuk mengingat kembali apa yang sudah katakan kepada dirinya.

"M-maafin aku, Dim. M-mustahil aku m-meninggalkan Mas F-Fian, d-dia adalah su-a-miku."

Dimas yang tidak terima, mendorong kepalaku hingga terbentur kaca jendela, naas karena pintu tidak rapat akhirnya tubuhku terjungkal keluar berguling-guling hampir masuk ke dalam kolong mobil yang terparkir di sebelah.

Aku menangis menahan sakit di kepala, leher dan tangan, ingin segera bangkit tapi sulit, apa yang Dimas lakukan membuatku terpukul.

"Mas Fian," rintihku pilu.

Aku masih dalam posisi telungkup berusaha untuk beringsut dan bangkit, tapi tanpa kuduga Dimas datang menghampiri dan memaksaku untuk kembali masuk ke dalam mobil.

"Aku gak mau, kamu jahat, Dim. Psikopat," tolakku sekuat tenaga, meski sebenarnya tiada daya aku untuk melawannya.

"Aku jadi seperti ini gara-gara kamu, kamu memberi harapan, tapi kamu juga yang menghempaskan harapan itu."

"Lepasin aku, lepasin," isakku lirih.

Aku yang sulit untuk berdiri karena merasakan pusing akibat benturan, pun diseretnya menuju mobilnya yang berjarak kurang lebih dua meter. Dia tidak peduli pada tangisku.

Dimas berjalan mundur menuju mobilnya, sembari terus menarikku tanpa kasihan sedikit pun.

Di saat harapanku mulai sirna, sekonyong-konyong kulihat samar beberapa orang sedang berlari menuju ke tempatku. Mereka adalah dua orang security, seorang juru parkir, dan ... suamiku, Mas Fian ada bersama mereka.

Senyuman getir pun terulas dari bibirku, senang bercampur takut menyeruak dalam diri ini. Senang karena aku bisa selamat dan takut akan resiko yang aku terima bila Mas Fian mengetahui semuanya.

Cerai! Ya Mas Fian akan menceraikan aku, pasti dia akan membuang istri berdosa sepertiku.

Melihat ada orang lain berdatangan, Dimas pun ketakutan, ia segera menghempaskan tubuhku dan berjalan memutar lalu memasuk ke dalam mobilnya.

Dalam waktu singkat, deru mesinnya terdengar. Dimas memacu kendaraannya dengan cepat.

"Tahan mobil jazz biru metalik B 1234 BTI, yang melaju menuju gerbang keluar, pengemudi adalah tersangka penganiayaan seorang pengunjung mal, ganti." Sayup kudengar security berbicara lewat portofon atau walkie talkie.

"Dek Amel," panggil Mas Fian Cumiik, seraya mengangkat tubuh lemahku pergi memasuki mobilnya.

Aku direbahkan di kursi belakang. "Dek, sebentar ya, Mas mau pamitan dulu sama bapak-bapak yang sudah bantuin Mas."

Kuanggukan kepala sebagai tanda persetujuan.

Beberapa menit kemudian, Mas Fian kembali duduk di belakang kemudi dan melajukan mobilnya dengan cepat.

Aku yang merasa pusing hebat, pun diam saja saat tubuh ini diangkat keluar dan dibaringkan di atas blankar roda oleh Mas Fian.

Suaranya yang lantang meminta para perawat untuk segera menanganiku saja yang bisa aku dengar, sedangkan sosoknya tidak karena mata ini tidak kuasa aku buka karena rasa hebat yang menjalar.

"Bapak silahkan tunggu di luar," perintah sang perawat kepada Mas Fian.

"Lakukan yang terbaik untuk istri saya, Sus." Ucapannya barusan meremuk redamkan hati ini, bulir bening pun langsung mengucur deras di sudut mata.

"Mas Fian," isakku.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Perlahan kubuka mata, lalu memindai setiap sudut ruangan yang terasa sangat asing ini. Kosong, tidak siapa pun.

"Mas Fian," panggilku pelan.

Hening, tidak ada sahutan.

Aku mencoba untuk bangkit untuk duduk, keadaannku sudah agak membaik dari sebelumnya. Pusing tidak lagi terasa, hanya linu pada leher dan tangan yang tersisa.

Dalam kesendirian aku mencoba untuk menenangkan hati dan pikiran ini, apa yang terjadi antara aku dan Dimas sungguh sangat memalukan, ditambah dengan tragedi di parkiran.

Aku melamun, menatap kosong layar televisi yang menyala tanpa suara. Air mata kembali menggenang, rasa sesal pun datang bertandang.

Suara decitan pintu mengejutkanku, aku buru-buru mengusap lelehan air mata di pipi. Berharap itu Mas Fian, maka aku akan bersimpuh untuk meminta maaf dan mengakui semuanya tanpa ada yang ditutupi sedikit pun.

Kecewa pun menyeruak, tatkala sosok Bik Nani yang muncul. Wanita itu tergopoh menghampiri.

"Jangan banyak gerak, Neng. Udah, baring aja!"

"Aku sudah enakan kok, Bik. M-Mas Fian mana, Bik?"

"Mas Fian, sedang ...."

Bik Nani belum menuntaskan perkataannya tiba-tiba pintu kembali terbuka, dan masuk seseorang yang sudah lama tidak aku lihat.

"Assalamualaikum," sapanya sembari berlari menghambur memelukku.

"Waalaikumsalam."

"Mel, akhirnya lo siuman juga. Jahat banget si Dimas itu, dasar dosen sableng. Kurang ajar, awas aja kalau nanti ketemu di kampus, gue viralin biar tahu rasa manusia berhati iblis itu," cerocosnya sembari terisak.

"Gue baik-baik aja, Ric. Hanya luka memar dan lecet, tapi gak parah kok."

"Syukurlah, oh iya katanya dokter, lo udah bilang pulang sore nanti kalau memang sakit di kepala udah hilang."

"Iya udah gak sakit, kok. Cuma linu-linu aja."

Bik Nani menarikkan kursi untuk Ricca, lalu kemudian ia duduk menyendiri membaca majalah seputar kesehatan yang ada di meja sudut.

"Mas Fian mana, Ric?"

Ricca mengangkat bahu. "Gue juga belum ketemu sama Maf Fian, Mel. Tadi waktu di telepon dia cuma bilang tentang kabar lo masuk rumah sakit gara-gara Dimas."

"Pupus sudah harapanku, Ric. Pasti Mas Fian gak terima dan akan marah besar, Mas Fian udah gak sudi ketemu lagi sama aku. Makanya dia nyuruh kamu dan Bik Nani menungguiku di sini," isakku lirih.

"Jangan dulu menyimpulkan, siapa tau Mas Fian gak muncul karena ada urusan kantornya. Meeting misalkan, atau ada berkas yang harus ditanda tangani olehnya."

"Mas Fian biasanya gak kaya gini, Ric. Kalau gue lagi gak baik, apalagi gue sakit, pasti dia akan ada jagain gue."

"Sabar, Mel. Mungkin Mas Fian lagi menenangkan pikirannya sekarang."

"Gue mau pulang sekarang," pintaku.

"Nanti sore, Mel."

"Sekarang, aku mau pulang sekarang." Aku menangis histeris. Ketidakhadiran Mas Fian benar-benar membuatku sedih.

Lelaki itu sudah barang tentu sangat kecewa akan kenyataan yang ia temui tentangku, istrinya yang durhaka.

Ricca menoleh kepada Bik Nani yang bangkit menghampiri. "Bik, boleh minta tolong panggilkan dokter, Amel kepingjn pulang aja."

"Iya Neng Ricca, sebentar." Wanita bergamis batik itu bergegas keluar menuju ruang jaga perawat.

Tidak lama, perawat dan dokter masuk memeriksa kondisi terakhirku.

"Kepalanya masih pusing gak, Bu?" tanya dokter padaku.

"Enggak, Dok."

"Alhamdulillah, baik kalau begitu, Bu Amelia sudah boleh pulang. Tekanan darahnya normal," ucap wanita berhijab abu muda itu sembari tersenyum ramah padaku.

Perawat menghampiri dan langsung mencopot selang infus, ah lega rasanya tidak ada lagi yang mengganjal di tangan ini.

"Baik, Dok. Makasih," ujar Ricca mewakili.

Sepeninggal tim medis, Ricca berpamitan sebentar untuk mengecek biaya administrasi rawat inap agar bisa dengan mudah aku keluar, sementara aku mulau bersiap-siap.

Aku membawa sebotol facial foam dan sikat gigi beserta odolnya ke kamar mandi, biar tidak mandi minimal aku tampil segar tidak bau mulut. Aku juga mengganti pakaian yang dibawakan oleh Bik Nani dari rumah lama.

Setelah rapi aku yang dituntun oleh Ricca dan ditemani Bik Nani pun berjalan menuju beranda rumah sakit, di mana di sana sudah ada Pak Asep menunggu.

Saat masuk ke dalam mobil, hatiku mencelos karena tidak kudapati Mas Fian di sana. Kemana suamiku itu? Ya Allah mengapa aku sangat gusar dia tidak ada di sisiku? Aku sangat gelisah memikirkan apa dia marah sehingga bayangannya saja tidak bisa aku lihat.

Aku yang duduk bersebelahan dengan Bik Nani, karena Ricca berada di dalam mobilnya sendiri, pun banyak melamun di sepanjang perjalanan pulang menuju apartemen.

Setengah jam lebih kemudian, aku tiba. Bik Nani langsung membaringkanku di atas ranjang. Setelah itu ia pun berpamitan.

"Bik," panggilku menjeda langkah wanita berhijab ungu terong itu di ambang pintu.

"Ya, Neng?"

"Mas Fian?"

"Bibik juga kurang tahu, Neng. Pak Asep bilang Mas Fian pergi sedari tadi pagi, gak bilang mau ke mana, cuma titip pesan supaya Bibik dan Pak Asep standby di rumah sakit."

Aku menangkup wajah ini, kepergian Mas Fian yang tanpa kabar membuat aku merana.

"Coba Neng Amel telepon Mas Fian," bujuk Bik Nani.

Ponselku? Aku baru ingat, kalau tas beserta isinya tertinggal di dalam mobil si Dosen Sableng itu. Pikiranku makin kacau jadinya.

Tangisku semakin menjadi, Ricca yang baru tiba pun langsung masuk dan memelukku.

"Ada apa, Bik?" bisiknya pada Bik Nani.

"Mas Fian, Neng Amel sedih Mas Fian gak ada," jawab Bik Nani berbisik pula.

"Sudah, Mel. Mungkin Mas Fian lagi sibuk di kantor, atau ada urusan lain. Lo jangan mikir yang aneh-aneh dulu."

"Gimana gue gak mikir yang aneh-aneh, Ric. Tragedi itu terjadi di depan mata Mas Fian, Dimas yang dulu sempat datang bertandang mengaku dosen yang mau nengok gue, pas gue lagi sakit ternyata ... oh," isakku tidak kuasa melanjutkan karena tenggorokan ini merasa tercekat lagi.

"Sabar-sabar, Mel. Udah sekarang lo istirahat aja," bujuknya.

"Enggak, Ric. Gue mau duduk aja di ruang tengah, panas punggung gue tiduran terus, temani gue ke sana."

Ricca menurut, tanpa banyak bicara merangkul pundakku saat berjalan beriringan keluar dari kamar.

Di atas sofa panjang aku duduk selonjoran, menatap kosong layar televisi yang menyala.

"Udah, Mel! Jangan ngelamun." Ricca mengguncang lenganku pelan.

"Gue lagi nonton, Ric."

"Syukurlah, mau makan?"

Aku menggeleng.

"Tapi gue laper, hehe." Dasar Ricca, sikapnya yang cuek tidak berubah.

"Makan aja sono, Bik Nani kayanya lagi masak."

"Gue ke dapur dulu, ya!"

"Iya."

Sepeninggal Ricca ke dapur, aku kembali melamun. Menerka-nerka ke mana gerangan Mas Fian hingga mata ini terpejam, pulas memasuki alam mimpi.

"Mel." Ricca menepuk pahaku.

Aku mengerjap lalu melenguh pelan.

"Mas Fian, balik. Sekarang ada di kamar," katanya.

Mendengar kabar baik itu, aku semringah. Aku menurunkan kaki dan perlahan berdiri dan melangkah menuju kamar.

Namun, baru sampai di ambang pintu Mas Fian muncul dengan sebuah koper digeretnya. Wajah lelaki itu tidak bersahabat, matanya apalagi sangat dingin.

"Mas," panggilku seraya mengulurkan kedua tangan bermaksud untuk memeluknya.

Percaya tidak percaya, Mas Fian mendorong kedua bahu ini untuk menjauh darinya.

"Mas, maafin aku."

Lelaki itu bergeming, menatapku nyalang. Tidak ada lagi sorot hangat dan teduh. Lelaki yang berdiri di hadapanku sangat berbeda.

"Mas, jangan diam, jawab aku!"

"Gak ada lagi yang bisa kita bicarakan, Dek. Semua sudah jelas, aku kecewa padamu."

"Ya, aku mengaku salah. Tolong berikan aku kesempatan!"

"Apa? Kesempatan? Semua sudah terlambat, Dek. Seharusnya kamu berpikir sebelum melakukan tindakan bodoh itu."

"Ya, Mas. Aku khilaf, tolong maafkan aku. Aku ... aku-"

"Takut miskin ya? Tenang saja, Dek. Aku gak akan mengambil kembali rumah yang telah aku hadiahkan padamu, itu mutlak milikmu. Begitu pula dengan perhiasan dan uang yang ada padamu, semua milikmu."

"Bukan itu, Mas."

"Aku talak kamu, Dek," ungkapnya dengan sorot mata yang tajam.

"Maafin aku, Mas, aku khilaf."

"Sudah habis kesabaranku, Dek. Kurang apa selama dua tahun pernikahan ini sikapku padamu?"

"Tidak ada yang kurang, Mas. Memang akunya yang salah dan tidak tahu diri."

"Maka dari itu, demi kebaikan bersama lebih baik kita berpisah saja."

Aku maju beberapa langkah, bermaksud akan memeluk lengannya, tapi lagi-lagi ditepisnya. Sebenci itukah Mas Fian padaku?

Air mataku luruh, dada sesak bergemuruh, aku hancur sehancur-hancurnya. Karena nafsu sesaat, penyesalan yang aku rasakan tidak dapat ditebus dengan apa pun.
pulaukapok
rinandya
nomorelies
nomorelies dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Tutup
Ikuti KASKUS di
Ā© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.