- Beranda
- Stories from the Heart
Aku Mencintai Bandot Tua
...
TS
blackgaming
Aku Mencintai Bandot Tua
Aku Mencintai Bandot Tua


Spoiler for Update Chapter:
Chapter 1
"AYAH JAHAT, GAK PUNYA HATI!" Kuhentakkan kaki sebagai tanda perlawanan atas keputusan sepihak lelaki paruh baya yang egois, setelah itu aku segera berlalu meninggalkan ruang tengah di mana ayah dan ibu sedang duduk termangu dan lesu.
Pintu kamar kubanting dengan kencang, hingga menciptakan suara yang membahana dan tentu mengagetkan siapa saja yang berada di rumah ini. Rumah yang dahulu bak surga, kini berubah seperti neraka yang panas dan selalu membuat aku muak.
Tangisku luruh bersama dengan harapanku yang kandas karena keadaan yang tidak berpihak, kubenamkan wajah dalam bantal sehingga lengkingan sedu sedan yang tercipta dapat teredam dan hanya dapat didengar olehku saja.
Malam ini adalah malam terakhirku berstatus sebagai single, karena besok aku akan menikah dengan seorang pria yang sama sekali tidak aku kenal, apalagi aku cintai.
Pernikahan yang mendadak dan tiba-tiba ini membuat batinku terguncang, serasa dijatuhkan dari atas langit menimpa tanah menembus ke lapisan yang terakhir, sangat sakit dan merasa terhina. Karena lelaki itu bukan menikahi, tapi membeli.
Aku benci dengan takdir dan nasib, mengapa Tuhan memberi aku keluarga yang seperti ini?
Usiaku baru akan menginjak 19 tahun bulan Mei nanti, teman-temanku semua melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Aku apa? Malah menikah dengan bandot tua yang lebih pantas aku panggil dengan sebutan 'Om', karena usianya tidak jauh dari ayah.
Aku ingin berontak rasanya tak mungkin, pacarku si Bagas pun angkat tangan saat aku mengajaknya kimpoi lari. "Aku masih mau kuliah, kalau nikah nanti, kamu ... maksudku, kita mau makan apa? Dan siapa yang akan ngebiayain kuliah aku? Bunda aku pasti murka disangkanya aku ngehamilin kamu, duh aku gak sanggup. Maaf ya, Sayang!"
Dasar pengecut! Gak punya nyali! Kepentingan sendiri yang dia pikirin, janji suci yang selama ini dia ikrarkan ternyata cuma isapan jempol belaka. Aku benci Bagas, aku benci Ayah, aku benci si Bandot Tua yang bakalan jadi suamiku besok. Aku benci makhluk Tuhan yang berjenis kelamin lelaki, aku benciiiii!
Pernah aku coba bernego dengan Ayah tentang keputusan ini, aku coba membujuk beliau agar aku diizinkan untuk bekerja demi bisa menopang perekonomian keluarga yang mulai carut marut. Dan, daebak! Ayah menolak mentah-mentah niat mulia itu. Alhasil aku gondok dan mau tidak mau harus manut, tidak boleh tidak.
Dengan berat hati aku pun menurut, semuanya kulakukan semata-mata demi membahagiakan orang tua dan adik-adikku.
Calon suamiku, maksudku si Bandot Tua itu adalah seorang pengusaha yang bisa dibilang sukses, dia banyak menolong keluarga ini terutama dalam masalah keuangan. Usaha restoran ayah bangkrut setelah ibu ketahuan memiliki banyak hutang, hutang di bank, rentenir, beberapa tagihan kartu kredit dengan limit di masing-masing kartunya lumayan besar dan koperasi simpan pinjam.
Alfian Wijaya, si Bandot Tua yang besok akan menjadi suamiku itu adalah seorang pelanggan setia restoran Ayah, dia sering sekali memesan catering dan tumpeng apabila sedang ada event di perusahaannya.
Hubungan si Bandot Tua dengan Ayah sangat erat, maka sewaktu Ayah gulung tikar dan terpaksa menjual semua asetnya demi membayar hutang Ibu yang jumlahnya sampai ratusan juta, dia datang lalu menawarkan bantuan finansial yang jumlahnya tidak main-main, asalkan Ayah tidak menutup usahanya.
Ayah menolak mentah-mentah bantuan dari si Bandot Tua, beliau tidak mau punya hutang budi. Alhasil kami pun jatuh miskin, tinggal di rumah minimalis di pemukiman padat penduduk yang kumuh.
Tapi saat kami sudah melarat, Ayah tidak bisa lagi menolak apa yang diberikan oleh Bandot Tua tersebut. Sehingga hutang budi itu benar-benar tercipta, dan aku menjadi pelunasnya.
Ibu hanya bisa menangis dan meminta maaf, saat aku dan adik-adik menderita terkena imbasnya . Waktu itu, aku ingin sekali membencinya tapi aku tidak bisa.
Aku hanya bisa mengelus dada serta meratapi nasib yang malang ini, sering aku berpikir keras akankah kisahku bak sinetron ikan asin terbang? Berawal tragis tapi berakhir manis, ah entahlah! Cuma Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi nanti.
Aku merasa sepi di dalam kamar ini, padahal di luar sana sedang ramai. Banyak orang sedang mempersiapkan acara untuk besok. Saudara jauh, tetangga dan kerabat dekat berdatangan untuk membantu. Samar-samar kudengar suara tawa mereka, begitu lepas dan tanpa beban.
Aku tidak bersemangat dan masa bodoh dengan semua ritual yang harus dijalani sebelum pernikahan. Peduli amat dengan puasa dan juga tradisi pingit, aku bebas jalan dan nongkrong dengan teman-teman, Ayah dan Ibu tidak bisa melarang karena itu syarat sebelum aku mau menuruti permintaan mereka.
š¤š¤š¤
Dalam kamar yang indah ini hatiku merasa terkoyak, wajah yang telah dipoles riasan tebal ini terasa bagai topeng badut saat aku lihat di cermin. Kebaya mewah nan cantik yang si Bandot Tua pesan khusus dari butik ternama pun kurasa gerah dan tidak nyaman, sama seperti perasaan yang bergejolak ini.
Telinga seketika terasa panas dan memerah saat MC memberitahu kalau romongan calon mempelai pria sudah tiba, perias pengantin yang tidak tahu perihal isi hati ini pun menepuk bahuku sembari bersorak gembira. Aku meresponnya dingin, cuma tersenyum kecut, sekecut ketek tukang becak yang baru selesai ngegenjot di tanjakan.
Wanita yang berperan sebagai MUA itu kembali mengecek riasan wajahku, usai sapu sana-sini senyumnya mengembang. "Perfect!" katanya.
Aku memandang wajah yang menurutku seperti pemain lenong yang akan tampil di panggung.
Kebaya modern putih, rambut disanggul yang dihiasi mahkota gold dan kembang goyangnya, dirasa bagai atribut pemain barongsai saat perayaan imlek.
Tok ... tok ... tok ....
Pintu kamar diketuk oleh seseorang yang hendak menjemputku, dia Vina, sepupuku.
"Mel, yuk ke depan!" ajaknya mengulurkan tangannya padaku.
Tanpa menjawab, aku meraih uluran tangannya dan berjalan menuju teras rumah yang dijadikan tempat untuk ijab kabul.
Kulihat sekilas wajah calon suamiku, ia tersenyum ramah tapi aku pura-pura tidak melihatnya.
"Kepada calon pengantin wanita kami persilahkan duduk di samping sang pangeran yang telah bersiap mengikrarkan janji suci di hadapan kita semua," ucap MC membuatku ingin muntah.
Semua orang kecuali aku tersenyum mendengar ucapan MC itu. 'Pangeran apaan? Pangeran kodok kali,' sungutku dalam hati.
Setelah melewati beberapa rangkaian prosesi maka tibalah saatnya pengucapan ijab kabul. Setelah dipandu oleh pak penghulu, maka si Bandot Tua itu dengan lantang mengucapkan kalimat sakral di depan semua orang yang hadir disini.
"Saya terima nikah dan kimpoinya Amelia Gentari Permadi binti Dodi Permadi dengan mas kimpoi satu set perhiasan emas seberat 50 gram dibayar tunai."
Para saksi, tamu undangan dan keluarga mengucap syukur karena prosesi utama berjalan dengan lancar dan sukses. Bagai tersengat listrik bertegangan tinggi saat mendengar penghulu dan semua orang berkata 'SAH', itu berarti per hari ini aku akan hidup dengan si Tua Bangka ini. Tidaaaaaak!
Mengapa aku sebut dia tua bangka? Itu karena usianya sudah 40 tahun, ia seorang perjaka tua alias bujang lapuk. Entah kenapa dia belum menikah sampai usianya setua itu, hanya Tuhan dan dia yang tahu.
Acara resepsi kami diadakan secara sederhana, aku malu kalau harus pesta meriah. Teman-teman sekolah, tidak ada satu pun yang aku undang, apa kata dunia seorang Amelia yang jadi rebutan cowok-cowok populer dan terkenal sebagai play girl di sekolah dulu tiba-tiba nikah muda, sama bandot tua lagi.
Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, lalu kemudian mengusirnya dari sisi ini. Sumpah aku muak, benci, dan enek harus duduk berdekatan di pelaminan dengannya.
Apalagi saat dia sok perhatian menawari aku mau makan atau tidak, ih benar-benar menyebalkan. Apalagi aku sempat melirik dengan ujung mata, dia sering mencuri pandang kepadaku, ingin rasanya aku tusuk matanya pakai gembang goyang yang menancap di sanggul palsu ini.
Saat duhur menjelang acara resepsi pun usai, aku dan dia dipersilahkan untuk masuk beristirahat. Si Bandot Tua sok manis, mengulurkan tangan berniat menuntunku. Tapi dengan tegas aku tolak, beralasan tidak kuat ingin buang air kecil, secepatnya aku ngacir duluan.
Sejenak aku berdiam diri di dalam kamar mandi, berjalan mondar-mandir dengan pakaian lengkap. Konyol memang, tapi semua ini aku lakukan agar alasanku tadi tidak sekadar hoax.
Hingga lima menit lamanya, aku pun keluar dan melangkah masuk ke dalam kamar pengantin. Segera aku kunci pintu, agar dia tidak masuk tiba-tiba di saat aku lagi buka baju.
Kuhempaskan tubuh di ranjang, menghela napas panjang memindai kamar ini. Mencebik dan merutuk, meski sia-sia tapi itu bisa membuatku lega dan merasa lebih baik.
Kemudian aku berdiri, sudah saatnya menanggalkan 'pakaian lenong' ini, aku ingin mandi dan istirahat dengan tenang dan damai.
Saat pakaian dan semua atribut tanggal, pintu diketuk. "Pasti itu si Batu alias Bandot Tua," sungutku geram.
Dengan wajah masam aku membuka pintu, tanpa menegurnya aku kembali masuk menyambar handuk kimono yang tergantung di paku. Tanpa menoleh kepada dia, aku bergegas pergi meninggalkannya.
Sesampainya didalam kamar mandi, aku segera membersihkan diri. Hampir 2 jam lamanya aku semedi didalam kamar mandi, karena kewalahan mengurai rambut setelah disasak tadi.
Setelah berhasil mengurai rambut yang kusut, aku pun segera membasuh seluruh tubuh. Segar rasanya, apalagi setelah keramas kepala ini jadi enteng sekali.
Di dalam kamar, aku pakai baju kebesaran emak-emak yaitu daster. Usai mengoleskan pelembab muka, aku pun langsung berbaring di atas spring bed yang empuk dan nyaman. Si Bandot Tua tidak ada di sini, membuatku sangat damai dan tenteram tentunya.
Namun ketika akan terlelap, pintu kamar kembali diketuk dan terdengar suara derap langkah si Bandot Tua memanggil namaku.
"Dek, ini Mas Fian tolong buka pintunya!"
Aarrrgghh!
Aku merutuk dalam hati, dengan wajah kesal segera kubuka kunci pintu. Setelah itu kembali ke formasi awal tadi.
Suara sepatunya membuat telinga ini sakit, dia menggantungkan jasnya di kastop dekat lemari pakaian.
Kuintip dengan mata yang pura-pura dipejamkan, dia sedang celingukan seperti sedang mencari sesuatu.
"Dek, bisa minta tolong ambilkan handuk?" Tangannya mengusap pundakku.
Tanpa menjawab aku bangun dan beranjak membuka lemari, untuk mengambilkan benda yang dia butuhkan.
'Uh beneran ya nih si Bandot Tua ini, ngeganggu ketenangan gue aja!' Kedua kalinya aku merutuk dalam hati.
"Makasih ya, Dek. Mas mandi dulu," ucapnya sok imut.
'Mandi aja sono, kaya gue nungguin lo aja dasar 'Batu' alias Bandot Tua.'
Aku tersenyum dan mengangguk, berusaha tidak menunjukkan rasa kesalku padanya, semuanya kulakukan demi keluarga.
Sepeninggal dia, aku pun pulas tertidur. Beberapa kali dia membangunkan aku untuk salat, tapi aku tak menggubrisnya. Aku beralasan aku sedang haid.
Selepas isya setelah selesai makan malam bersama, dia mencoba mengajakku bicara berdua di dalam kamar sebelum kami terlelap.
"Mas tahu, Dek Amel belum siap dengan pernikahan ini. Tapi mas minta, Dek Amel harus mulai belajar menerimanya ya," ucapnya pelan tapi tegas.
"Om Fian, eh ... Mas Fian jangan bicara kaya gitu, dengan aku bersedia menikah, itu artinya aku sudah menerima Mas Fian. Suka gak suka, toh aku gak punya pilihan."
"Alhamdulillah kalau begitu, mas lega dengarnya. Mudah-mudahan saja pernikahan kita ini bisa membawa kebaikan untuk kita dan diberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat ya, Dek."
"Aamiin," jawabku tampak penuh harap, padahal penuh rutukan.
Beberapa saat kemudian Mas Fian meraih dan mencium punggung tangan ini dengan lembut, rambutku ia usap perlahan. Tanpa menunggu izin, dia mendaratkan ciuman di kening, lalu turun ke pipi dan bibir.
Aku tidak memberi respon, bukan tidak bisa berciuman tapi aku merasa jijik ketika bibirnya menyentuh dan mamagut bibirku. Tiba-tiba ia melepaskan bibirnya dan menatap wajah ini.
"Kok diam, Dek? Kamu belum siap ya?"
"Eng-enggak, Mas. Aku gak tahu cara berciuman, aku bingung harus bagaimana," kilahku bohong. Padahal waktu pacaran dengan Bagas, sering aku berciuman alias baik.
"Maaf Mas Fian, aku belum bisa malam ini." Tanganku mendorong dada bidang itu pelan, menghentikan aksinya.
"Kenapa, Sayang?" Kata 'sayang' yang dia ucapkan barusan, benar-benar bikin aku gumoh, huweekk!
"Aku sedang ada tamu bulanan, Mas. Makanya tadi aku gak salat." Harap-harap cemas berharap ia percaya, dan tidak meraba apakah aku memakai pembalut atau tidak.
Ia tersenyum dan kemudian mengangguk. "Iya mas tahu, tadinya mas kepingin mesra-mesraan aja gitu." Kulihat ada gurat kecewa di wajahnya, tapi aku gak peduli yang penting aku berhasil-berhasil horeeee.
Itu artinya aku harus bersandiwara mendapat tamu bulanan selama seminggu lamanya, hal itu tidak membuatku aman tapi setidaknya aku bisa mengulur waktu.
Hari ini, adalah hari pernikahan kami yang kelima, dan sesuai dengan perjanjian awal aku akan meninggalkan rumah dan ikut bersama Mas Fian ke rumahnya.
Rasanya sangat berat aku berpamitan dengan orang tua dan kedua adikku, air mata ini tumpah. Aku tidak kuasa harus berpisah dengan mereka.
Walaupun aku bisa setiap saat bertemu dengan mereka, karena rumah Mas Fian dan orang tuaku hanya berjarak kurang lebih 100km. Namun, tetap saja itu suatu hal yang membuatku sangat bersedih.
"Ingat ya, Nak, pesan ayah! Harus hormat dan patuh pada suami, ayah selalu berdoa yang terbaik untukmu," bisik Ayah ketika memelukku.
Kujawab petuah Ayah dengan anggukan, lelaki paruh baya itu tahu betul seperti apa perasaanku saat ini. Tapi, Ayah tidak mau tahu dan terkesan tidak peduli. Aku merasa dijual pada si Bandot Tua, diri ini tak ubahnya seperti budak pemuas nafsu yang dipersembahkan untuk pejabat pada masa kerajaan dulu.
Aku dan mas Fian memasuki mobil, tak kuasa menahan tangis saat besi yang mewah yang ditumpangi meninggalkan rumah yang selama kurang lebih tiga tahun ini aku tempati.
Aku menangis sesegukan didalam mobil, lambaian tangan mereka tidak bisa hilang dari ingatan.
Mas Fian yang duduk di sebelah memeluk erat, hal itu tidak berarti apa-apa. Tidak juga bisa membuatku luluh untuk mencintainya.
"Jangan sedih lagi, Dek, setiap saat Adek ingin ke rumah Ayah bilang saja, mas akan antar."
Aku mengangguk dan terus menangis, di sepanjang perjalanan menuju rumah mas Fian.
Lebih satu jam kemudian, kami tiba di rumah mewah yang begitu asri dan nyaman. Aku dan mas Fian turun dari mobil, Pak Zaki, sang supir segera membuka bagasi dan menurunkan koper-koper.
"Asslamualaikum," ucap Fian ketika memasuki rumahnya.
"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya bersanggul, dengan wajah menor yang sedang asik membaca majalah di sofa ruang tengah.
Wanita bergaya bak ibu sosialita itu adalah ibu mertuaku, Ibu Siska namanya. Dari raut wajahnya sepertinya ia tidak suka padaku, terbukti pada saat pernikahan dulu dan sekarang tatapannya tetap sama, sinis.
Ah, tapi aku tidak mau ambil pusing. Bodo amat lah, toh aku juga nikah karena terpaksa. Seandainya wanita itu mengusirku suatu hari nanti, hal itu akan jadi senjata ampuh untuk bisa lepas dari belenggu pernikahan ini.
Mas Fian mencium punggung tangan ibunya dengan takzim, kemudian ia memeluknya dengan penuh rasa sayang.
Aku bersikap sama, mencium tangan mertuaku yang sebelumnya menatapku dari atas sampai bawah, seperti aneh melihatku. Padahal jelas-jelas dia yang menurutku aneh.
Kami berbincang sebentar dengan Bu Siska, setelah itu Mas Fian mengajakku untuk beristirahat di kamarnya.
Tangan ini dituntun masuk, menuju ruangan pribadi yang terletak di dekat ruang tengah. Sesampainya di dalam, aku takjub dengan kamar tidurnya, begitu nyaman dan wangi sekali. Mataku berkeliling menatap ke setiap sudut ruangan yang dipenuhi dengan perabotan modern dan tentunya mahal.
Dahulu, kehidupanku juga bisa dibilang mampu. Tapi rumah masa kecilku tidak semewah rumah Mas Fian, haruskah aku merasa beruntung karena mempunyai suami tajir?
"Dek, lemari pakaian yang tiga pintu itu baru. Mas sengaja belikan untuk menyimpan semua pakaianmu. Karena lemari Mas sudah penuh, hehe."
"I-iya Mas, terima kasih." Aku merasa kikuk dan canggung di rumah mewah ini.
"Mas, aku mau mandi dan ganti baju dulu ya," ucapku memecahkan kecanggungan dengannya.
Mas Fian mengangguk dan mengeret koper kami kedekat lemari pakaian. Segera aku membuka dan mengambil pakaian santai juga handuk, membawanya ke kamar mandi yang lagi-lagi membuat aku takjub dibuatnya.
Usai mandi, aku duduk di tepi ranjang. Menggosok rambut yang basah dengan handuk kecil. Mas Fian tidak mau jauh dariku, ia duduk menemani dan menawarkan diri untuk membantu mengeringkan mahkota indah ini.
Jujur, aku merasa risih dan tidak nyaman dengan perlakuannya. Bulu romaku merinding saat wajahnya mendekat, dari pantulan cermin aku lihat matanya terpejam saat menghidu bau harum yang menguar dari rambutku. Embusan napasnya membuat tengkuk meremang, adegan tidak senonoh pun terbayang dalam benak.
Tidak tahan dengan perasaan jijik yang menguasai, aku bangkit dan menyibukkan diri menyusun pakaian dari dalam koper ke lemari.
"Bibik saja nanti yang ngerjain, Dek," katanya sembari menatapku lekat.
Aku menggeleng dan tersenyum sok manis. "Aku bisa sendiri, Mas. Gak puas kalau barang pribadi, orang lain yang ngerjain."
Mas Fian mengangguk, lama kelamaan dia merasa bosan melihatku tak memberikan kesempatan sedikit pun padanya untuk menghabiskan waktu berduaan, dia berpamitan untuk keluar kamar setelah sebelumnya bertanya aku mau makan apa saat makan malam nanti.
"Apa aja, aku makan, Mas."
"Baik, mas keluar ya."
"Iya."
Sepeninggal Mas Fian, aku berhenti bersandiwara. Kuhempaskan bokong ini, melepas lelah setelah berusaha lolos dari cengkeraman singa tua, hehe.
Saat jam makan malam tiba, aku duduk di depan meja makan malam yang mewah dan indah. Berbagai macam menu masakan lezat tersaji di atasnya, lengkap dengan makanan penutup dan buah-buahan.
Diubah oleh blackgaming 07-03-2021 14:59
sormin180 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
21K
51
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThreadā¢52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
blackgaming
#23
Chapter 14
Mas Fian melepaskan genggaman tangannya dan memelukku erat. Lalu membawa tubuhku untuk berjalan keluar bersamanya.
Ibu yang tidak terima, berteriak-teriak seperti orang gila, tidak lama Desi datang menghampiri dan memeluknya.
Mas Fian menyuruhku masuk ke dalam mobil. "Duduk didepan saja, Dek! Mas yang menyetir."
Aku mengangguk dan bergegas masuk.
"Pak Asep di sini saja, untuk sementara Pak Asep menjaga Ibu dan Desi."
Pak Asep mengangguk, lalu ia menyerahkan kunci mobil. Tidak lama Mas Fian masuk dan mengemudikan kuda besinya entah akan ke mana, aku pun tidak tahu.
š¤š¤š¤
Di sepanjang perjalanan kami tidak saling bicara, aku pusing dan syok memikirkan kemelut yang menimpa. Hatiku berkecamuk hebat, sikap Mas Fian membuat pendirianku sedikit goyah. Rasa iba dan khawatir menghantui jika memang aku tetap nekat membicarakan perihal masalah perceraian, siapa yang akan mengurusnya bila aku pergi dari sisinya nanti? Tapi jika aku bungkam, maka aku akan merasa bersalah pada Dimas, biar bagaimana aku mencintai dia. Tuhan, kenapa ini terjadi?
Kenapa tadi Mas Fian semarah itu? Seandainya dia bersikap seperti biasa, pasti langkahku untuk meninggalkannya akan ringan serta berjalan mulus. Sikap beraninya membuatku terharu sekaligus sedih.
Suara-suara aneh yang berasa dari dalam hatiku mulai berdengung, aku memejamkan mata berharap telinga dan pikiran ini menjadi tenang dan tidak terganggu dengan pergolakan batin yang terjadi.
'Ini takdir Tuhan, Mel. Pertanda bahwa Mas Fian adalah lelaki yang terbaik untukmu.'
'Buka hatimu, Mel! Jalani dan syukuri semua yang terjadi di dalam hidupmu, niscaya cinta akan hadir dengan sendirinya.'
'Kamu wanita baik, Mel. Maka Tuhan mengirimkan lelaki yang baik juga di dalam kehidupanmu, ingatlah pengorbanan Mas Fian kali ini, dia berani meninggalkan ibunya demi membelamu.'
'Apakah Dimas akan mencintai kamu seperti Mas Fian, Mel? Mustahil, Mel. Mustahil.'
'Selama ini kamu menganggap Mas Fian jahat setali tiga uang dengan ibunya, tapi dengan kejadian ini semoga kamu sadar bahwa semua yang ia lakukan dulu tidak lain hanyalah suatu bentuk rasa bakti dan hormat seorang anak kepada orang tua.'
'Tidak salah Ayah dulu ngotot ingin menikahkan kamu dengannya, sekarang terbukti kan Mas Fian benar-benar seseorang yang berhati malaikat, selalu berusaha memuliakan istrinya.'
'Kamu akan menjadi manusia terjahat bila sampai meneruskan niat gilamu, Mel. Jangan sampai Tuhan murka dan mencabut semua nikmat dalam hidupmu, karena jika sampai itu terjadi maka penyesalan yang akan kamu rasakan pasti luar biasa.'
Dadaku sesak, serasa dihimpit. Tidak ada yang bisa kulakukan, selain menangis. Aku yang terbawa suasana pun tiba-tiba saja merasa menyesal, karena pernah berburuk sangka kepadanya selama ini.
Mas Fian menoleh ke arahku, tanpa bicara ia mengusap puncak kepala ini dengan lembut, perlakuannya ini membuat perasaan bersalahku semakin menggunung.
Sikap lelaki sederhana yang tidak pernah bicara dan selalu mengalah ini, pun selalu lembut sehingga membuatku terharu.
Antara sadar dan tidak, aku meraih serta merta langsung merengkuh tangan kekar kirinya sembari sesenggukan meminta maaf.
"Jangan merasa bersalah, Dek. Sudah saatnya kita hidup mandiri, Ibu di sana gak sendiri. Ada Desi, Bik Nani, Pak Asep, dan pekerja lainnya."
Mas Fian ... aku bukan menangisi kepergian kita, Mas. Air mata ini adalah sebuah bentuk penyesalan, atas kebodohan dan dosa yang aku telah aku lakukan di belakangmu.
Ya Allah maafkan aku, aku telah berperasangka buruk terhadap rencana indah-Mu untuk hidupku.
Ucapan Ricca terngiang kembali di telingaku, meski baru mengenal selintas tapi begitu hebat dan tepat dia menilai suamiku. Berkali-kali aku diingatkan olehnya, tapi nafsu yang menguasai melumpuhkan akal sehatku.
Mas Fian menepikan mobil, dengan penuh cinta ia membujukku agar tenang. Begitu sabar ia menentramkan hati ini, sama seperti Ayah yang selalu meredam kemarahan Ibu yang meledak-ledak.
"Makasih, Mas," isakku.
"Untuk apa?" tanyanya halus seraya mendekatkan wajahnya, lalu menyingkirkan helaian rambut yang menjuntai di depan hidungku.
"Semuanya, aku banyak dosa sama Mas Fian, a-aku selama ini sudah menyakiti Mas Fian. Aku ... aku-"
"Ssstt, sudah! Manusia tempatnya salah dan khilaf, kita ini suami istri, dua orang dengan isi kepala yang berbeda sudah barang tentu perbedaan dan perdebatan silang pendapat akan terjadi, wajar dan manusiawi. Semoga kejadian ini membawa kebaikan untuk kita bersama, apa pun akan Mas lakukan demi kebahagiaan Dek Amel."
Ya Allah, akankah Mas Fian tetap lembut jika dia tahu aku telah menduakan hati ini dengan pria lain?
"Dek Amel jangan banyak pikiran, ya!"
Aku mengangguk, lalu kemudian menyeka air mata ini. Dan, memintanya untuk kembali melanjutkan perjalanan tanpa jadi membuat pengakuan dosa yang telah aku lakukan.
"Tidur saja, Dek. Nanti Mas bangunkan," serunya saat melihatku menguap berkali-kali.
"Iya, Mas."
Kuatur kemiringan sandaran kursi, setelah itu aku menghempaskan tubuh ini di sana, dalam hitungan menit aku pun terlelap.
"Dek, bangun!"
Aku terkesiap lalu mengerjap, saat Mas Fian membangunkanku. Mobil menepi di halaman sebuah rumah dua lantai bercat orange. Sebuah hunian bergaya minimalis yang luas dan bagus, tapi sayang kurang terurus. Sepertinya sudah lama kosong.
"Ini rumah siapa, Mas?" tanyaku heran.
Ia tersenyum padaku. "Rumah ini yang akan kita tempati nanti, tentunya setelah dibersihkan," jawabnya sangat antusias.
Aku tersenyum sekilas, lalu segera turun saat Mas Fian mengajakku untuk melihat ke dalam.
Aku melihat ke sekeliling dalam rumah yang sudah dilengkapi dengan perabotan, ditutup dengan kain putih.
Tanpa bicara, kami berkeliling. Mas Fian mengajakku ke ruangan kamar utama, ukuran ruangannya tidak sebesar kamar di rumah lama Mas Fian. Ia menyibak satu persatu kain penutup barang yang ada, sama mewahnya. Mulai dari ranjang berukuran king, sofa kecil, meja kerja, televisi layar datar komplit dengan home theatrenya, dan lainnya.
"Dek, ini kamar kita. Tapi masih kotor dan berdebu. Kayanya malam ini kita nginep dulu di apartemen ya, besok Mas suruh orang untuk bersih-bersih supaya secepatnya kita bisa menempati rumah ini."
"Kenapa kita gak tinggal di apartemen Mas saja?"
"Mas gak kerasan di apartemen, Dek Amel kurang suka rumah ini?"
"Bukan begitu, aku hanya bertanya."
"Tapi Dek Amel suka dengan rumah ini?"
"S-suka, Mas."
"Syukurlah," jawabnya lega. "Mau lihat lantai dua, atau kita ke apartemen sekarang?"
"Langsung aja, gak apa-apa ya? Aku lelah."
Tidak berlama-lama kami pun pergi meninggalkan rumah tersebut. Namun, di tengah perjalanan Mas Fian mengajakku untuk makan dulu. Mobil menepi di lesehan pinggir jalan yang menjual berbagai macam makanan.
"Makan di sini gak apa-apa?"
Mas Fian rupanya merasa tidak enak hati saat harus mengajakku makan di pinggir jalan seperti ini, padahal aku sudah biasa dan sama sekali tidak keberatan.
"Gak, Mas. Makanan emperan kaya gini, rasanya gak kalah kok dengan rumah makan."
"Mau makan apa, Dek?"
"Apa saja, Mas."
"Mas mau makan bubur ayam aja, perut Mas mulai mual lagi nih."
"Maag Mas kambuh lagi, ini!" Kurogoh tas dan kusodorkan obat maag yang harus diminum sebelum perut terisi.
Mas Fian mengambil obat maag kunyah, dengan rasa mint yang segar dan menghangatkan lambung tersebut.
"Makasih ya, Dek."
"Nanti setelah makan, minum obat yang harus diminum setelah makan ya, Mas."
"Baik, Dek. Mas gak tahu tanpa Dek Amel, Mas masih punya semangat untuk hidup atau enggak. Mas cinta kamu, Dek."
Mendengar hal itu aku tersenyum getir, apalagi kini dia hidup tanpa ibu dan adiknya, cuma aku yang dia punya saat ini. Dan, rasanya aku tidak sampai hati membuatnya sedih atas apa yang telah dilakukannya padaku.
"Jangan ngelamun, yuk kita turun makan!"
Mas Fian mencolek hidungku, tawa kecil pun tercipta. Kami akhirnya memutuskan makan malam dengan menyantap bubur ayam.
"Mau nambah, Dek?"
"Enggak Mas, ini aja aku gak habis."
"Oke, mau pergi sekarang atau santai dulu di sini?"
"Langsung aja, aku pengen istirahat."
Setelah membayar kami pun melanjutkan perjalanan menuju apartemen milik Mas Fian, yang jaraknya sudah tidak jauh lagi.
Sesampainya di sana, aku lebih dulu membersihkan diri setelah itu baru giliran Mas Fian. Saat ia berada di dalam kamar mandi, segera aku mengecek ponsel yang selalu aku silent tanpa getar setiap kali pulang dari kampus.
Benar dugaanku, puluhan pesan serta panggilan tidak terjawab dari Dimas masuk. Aku panas dingin membuka pesan whatsapp yang berderet itu, Dimas sepertinya kesal karena aku tidak jua memberi kabar dan merespon.
Ya Allah, aku harus jawab apa? Peluh tiba-tiba mengucur di tengah sejuknya mesin pendingin ruangan, aku yang tidak enak perasaan pun diam termangu untuk beberapa saat.
Adilkah untuk Dimas jika aku memberi keputusan bahwa aku akan meneruskan rumah tangga dengan Mas Fian? Aku yang memintanya untuk mempertahankan cinta kami, tapi aku juga yang memintanya untuk melupakan cinta itu.
Air mataku kembali menggenang, di tengah kegamangan itu tiba-tiba wajah Ricca melintas di benak. Tanpa pikir panjang aku pun menghubunginya.
"Mau ngapain lo telepon gue?" jawabnya ketus.
"Tolongin gue, Ric ...." Aku menceritakan apa yang terjadi denganku saat ini, termasuk pergolakan batin yang sedang aku alami.
Mendengar penyesalanku sikap Ricca langsung melunak, ia terisak memberiku nasihat baik untuk mempertahankan rumah tangga dengan Mas Fian.
"Gue gak bilang Pak Dimas itu gak baik, tapi buat lo Mas Fian-lah yang terbaik. Dia suami berhati mulia, Mel. Lo harus sadar itu, apalagi sekarang dia nekat keluar dari zona nyamannya dia, dia sendiri Mel, dia cuma punya lo. Masa iya lo mau jadi manusia berhati iblis? Lo punya hati kan, Mel?"
"Iya, Ric. Tapi bagaimana dengan Dimas? Janji gue?"
"Bicara baik-baik, tapi nanti setelah semua sudah tenang."
"Terus, apa gue harus ngaku pernah selingkuh kepada Mas Fian?"
"Untuk yang itu, terserah lo, Mel. Kalau lo siap dengan segala resikonya, silahkan. Yang jelas lo harus tahu, kalau gue selalu ada buat lo. Lo gak sendiri, Mel." Ungkapan tulus Ricca, membuat tangisku menjadi, sehingga ponsel yang sedang kupegang terjatuh.
Mas Fian yang bertelanjang dada langsung menghampiri sesaat setelah keluar dari kamar mandi, menangkup wajahku lalu menenggelamkannya di atas dada.
"Ada apa, Dek?"
"Aku menyesal, Mas. Maafin aku, maafin." Aku melingkarkan tangan di pinggang Mas Fian, memeluknya erat penuh dengan rasa bersalah.
"Sssst, sudah, Dek." Mas Fian mengusap-usap punggung dan kemudian mengecup puncak kepalaku.
š¤š¤š¤
Diluar perkiraan, hunian yang akan kami tempati ternyata banyak yang harus diperbaiki, beberapa fasilitas rumah banyak yang sudah tidak berfungsi. Seperti mesin air, kebocoran akibat genting yang bergeser, dan lainnya
"Berapa hari kira-kira selesai, Pak?" tanya mas Fian kepada petukang yang bertugas membersihkan dan memperbaiki rumah tersebut.
"Dua hari Pak, hari ini proses perbaikan dan besok proses pembersihan."
"Baik kalau gitu, pembersihannya dobel ya Pak, pertama dengan cara manual dan dilanjut dengan memakai vacum cleaner. Saya ingin semua bersih, mesin vacum cleanernya saya simpan di dalam gudang."
"Baik, Pak."
"Oh iya ini uang untuk membeli cat dan keperluan perbaikan, kalau kurang bilang saja nanti saya transfer."
"Baik, Pak Fian. Kami akan segera mengerjakannya sebaik mungkin."
"Oke, kalau begitu kami pamit dulu ya, Pak!"
"Iya Pak, Bu. Hati-hati di jalan."
Aku dan Mas Fian pergi meninggalkan rumah yang masih harus diperbaiki.
"Kita mau langsung pulang atau jalan-jalan dulu?"
"Terserah Mas saja," jawabku sungkan.
"Nonton, mau?"
Aku mengangguk pelan, aneh ada apa denganku? Mengapa sikap serta ucapku jadi berubah begini? Jantung ini berdebar-debar, getaran yang luar biasa menjalar. Seperti yang baru saja aku berduaan dengan Mas Fian.
Setelah sepakat, mobil melaju menuju ke sebuah pusat perbelanjaan, sesampainya di sana kami berjalan menuju bioskop sambil cuci mata, melihat-lihat barang yang bagus dan diskon.
"Mau itu, Dek?" Menunjuk sebuah gaun cantik yang dipakai manekin hitam di balik kaca sebuah gerai butik ternama.
Aku menggeleng.
"Kenapa?"
"Tidak penting, Mas sudah keluar uang banyak untuk memperbaiki rumah Mas Fian, jangan buang-buang uang untuk hal yang konsumtif seperti itu."
"Bukan rumah Mas, Dek. Tapi rumah Dek Amel, rumah itu atas nama Dek Amel."
Mata ini terbelalak tidak percaya, bibirku bergetar terbata ingin bertanya lebih lanjut tapi tidak bisa.
"Tadinya rumah itu mau Mas berikan pada Ayah Dek Amel, di saat usaha Ayah bangkrut dan harus menjual semua asetnya. Tapi, Ayah menolak. Katanya untuk hunian kita saja saat sudah menikah nanti. Saat itu Ayah meyakinkan Mas, bahwa Dek Amel akan bersedia Mas nikahi. Itulah sebabnya Mas memilih rumah itu untuk kita tempati."
Langkahku terhenti, lagi-lagi bulir bening menggenangi pelupuk mata. Hidung pun memerah dan kembang kempis menahan haru yang tidak terkira.
"Loh kok nangis?"
Tidak peduli sedang berada di tempat umum yang ramai pengunjung, aku menghambur memeluk Mas Fian.
"Jangan tinggalkan aku, Mas." Bibir ini spontan berucap, tentunya hal itu membuat Mas Fian terkejut.
"Dek Amel kenapa? Ada hal yang ingin Dek Amel sampaikan pada Mas?"
Aku bergeming dan mempererat pelukan.
"Mas gak akan pernah meninggalkan Dek Amel, justru Mas yang takut Dek Amel yang akan ninggalin Mas."
Tangisan ini semakin tak terkendali, aku menggeleng berkali-kali memberinya isyarat bahwa ketakutannya itu tidak akan pernah terjadi.
"Makasih ya, Dek. Mas bahagia, sangat bahagia."
Kami saling mengeratkan pelukan, di tengah hiruk pikuk keramaian pengunjung mal yang memperhatikan apa yang kami lakukan.
Mas Fian melerai pelukan saat tangisanku mereda, ia mengusap kedua pipi yang basah ini. Lalu tersenyum sembari memandang wajahku, seketika dada ini berdesir. Sorot mata itu sangat teduh dan hangat, kenapa aku baru menyadarinya?
"Jadi nonton gak?" Pertanyaannya menciptakan tawa kecil dalam sedu sedan.
Aku mengangguk sembari menunduk, entah mengapa aku jadi gugup dan salah tingkah dibuatnya.
"Syukurlah, sebab kalau tidak ... pasti kita yang akan ditonton orang, hehe." Si kaku yang selama ini kukenal ternyata bisa berkelakar juga.
Aku yang tergugu pun meninju dadanya pelan, dengan cepat ia meraih kepalanku dan kemudian menariknya hingga tubuh ini kembali masuk di dalam dekapannya.
Kami berjalan tanpa melepaskan pelukan, aku tidak merasa risih atau malu sedikit pun, percaya atau tidak hatiku merekah berbunga-bunga saat ini, hingga bibir ini maunya tersenyum terus.
"Kita mau nonton film apa?" tanyanya memecah kesunyian di antara kami.
"Terserah, asal jangan film action."
"Kenapa?"
"Aku gak suka."
"Pantas dulu waktu kita nonton, Dek Amel malah tidur sampai mendengkur," serunya sembari tertawa kecil, hal itu membuatku jadi malu.
"Mau beli popcorn gak, Dek? Takutnya Dek Amel gak doyan, karena di apartemen gak ada Bik Nani, yang siap nampung."
Pipiku semakin menghangat, pastinya bersemu merah karena tidak tahan dengan sindirannya.
"Kok diam, Dek? Beli jangan?"
"I-iya beli, ukuran medium saja satu."
"Soft drinknya juga satu ya? Biar romantis," kelakarnya lagi menggodaku hingga semakin salah tingkah.
"Kalau diam, berarti setuju." Tawa kami berderai.
Sesampainya di lobi bioskop, Mas Fian berpamitan untuk membeli tiket. Setelah melihat iklan film yang akan tayang, kami pun sepakat memilih genre romance Indonesia.
Sementara Mas Fian antri di kasir, aku melangkah menuju sofa merah yang berada di pojok ruangan. Untuk mengisi waktu sendiri, aku mengambil ponsel berniat untuk memberi kabar pada Ricca.
[Ric, gue minta maaf ya, kemarin dulu sempat berbuat kasar sama lo.]
[Iya, Mel. Yang lalu jangan dibahas dan diingat lagi, yang penting sekarang lo udah sadar.] Ricca yang sedang online pun segera membalas pesanku.
[Lo masih mau jadi sahabat gue?]
[Tentu, dong. Kalau sudah tenang, kita ketemu ya.]
Aku tersenyum lega membaca pesan balasan itu, ternyata aku tidak kehilangan sahabat terbaikku.
[Thanks, Ric.]
[Kabari kalau sudah pindah ke rumah baru.]
[Pasti, Ric.]
[Sip, baik-baik ya sama Mas Fian.]
[Iya, Ric. Akan gue coba.]
[Jangan akan, tapi harus.]
[Iya, Ric. Thank you so much.]
Chat ditutup oleh Ricca yang mengirimkan emoticon hati, hal itu membuatku senyum-senyum sendiri.
Tapi beberapa saat kemudian senyum di wajahku pudar, saat melihat sosok yang sedang berdiri memperhatikan di luar sembari melipat kedua tangannya di dada.
rinandya dan 6 lainnya memberi reputasi
7