Kaskus

Story

blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
Aku Mencintai Bandot Tua
Aku Mencintai Bandot Tua


Aku Mencintai Bandot Tua

Aku Mencintai Bandot Tua

Spoiler for Update Chapter:


Chapter 1


"AYAH JAHAT, GAK PUNYA HATI!" Kuhentakkan kaki sebagai tanda perlawanan atas keputusan sepihak lelaki paruh baya yang egois, setelah itu aku segera berlalu meninggalkan ruang tengah di mana ayah dan ibu sedang duduk termangu dan lesu.

Pintu kamar kubanting dengan kencang, hingga menciptakan suara yang membahana dan tentu mengagetkan siapa saja yang berada di rumah ini. Rumah yang dahulu bak surga, kini berubah seperti neraka yang panas dan selalu membuat aku muak.

Tangisku luruh bersama dengan harapanku yang kandas karena keadaan yang tidak berpihak, kubenamkan wajah dalam bantal sehingga lengkingan sedu sedan yang tercipta dapat teredam dan hanya dapat didengar olehku saja.

Malam ini adalah malam terakhirku berstatus sebagai single, karena besok aku akan menikah dengan seorang pria yang sama sekali tidak aku kenal, apalagi aku cintai.

Pernikahan yang mendadak dan tiba-tiba ini membuat batinku terguncang, serasa dijatuhkan dari atas langit menimpa tanah menembus ke lapisan yang terakhir, sangat sakit dan merasa terhina. Karena lelaki itu bukan menikahi, tapi membeli.

Aku benci dengan takdir dan nasib, mengapa Tuhan memberi aku keluarga yang seperti ini?

Usiaku baru akan menginjak 19 tahun bulan Mei nanti, teman-temanku semua melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Aku apa? Malah menikah dengan bandot tua yang lebih pantas aku panggil dengan sebutan 'Om', karena usianya tidak jauh dari ayah.

Aku ingin berontak rasanya tak mungkin, pacarku si Bagas pun angkat tangan saat aku mengajaknya kimpoi lari. "Aku masih mau kuliah, kalau nikah nanti, kamu ... maksudku, kita mau makan apa? Dan siapa yang akan ngebiayain kuliah aku? Bunda aku pasti murka disangkanya aku ngehamilin kamu, duh aku gak sanggup. Maaf ya, Sayang!"

Dasar pengecut! Gak punya nyali! Kepentingan sendiri yang dia pikirin, janji suci yang selama ini dia ikrarkan ternyata cuma isapan jempol belaka. Aku benci Bagas, aku benci Ayah, aku benci si Bandot Tua yang bakalan jadi suamiku besok. Aku benci makhluk Tuhan yang berjenis kelamin lelaki, aku benciiiii!

Pernah aku coba bernego dengan Ayah tentang keputusan ini, aku coba membujuk beliau agar aku diizinkan untuk bekerja demi bisa menopang perekonomian keluarga yang mulai carut marut. Dan, daebak! Ayah menolak mentah-mentah niat mulia itu. Alhasil aku gondok dan mau tidak mau harus manut, tidak boleh tidak.

Dengan berat hati aku pun menurut, semuanya kulakukan semata-mata demi membahagiakan orang tua dan adik-adikku.

Calon suamiku, maksudku si Bandot Tua itu adalah seorang pengusaha yang bisa dibilang sukses, dia banyak menolong keluarga ini terutama dalam masalah keuangan. Usaha restoran ayah bangkrut setelah ibu ketahuan memiliki banyak hutang, hutang di bank, rentenir, beberapa tagihan kartu kredit dengan limit di masing-masing kartunya lumayan besar dan koperasi simpan pinjam.

Alfian Wijaya, si Bandot Tua yang besok akan menjadi suamiku itu adalah seorang pelanggan setia restoran Ayah, dia sering sekali memesan catering dan tumpeng apabila sedang ada event di perusahaannya.

Hubungan si Bandot Tua dengan Ayah sangat erat, maka sewaktu Ayah gulung tikar dan terpaksa menjual semua asetnya demi membayar hutang Ibu yang jumlahnya sampai ratusan juta, dia datang lalu menawarkan bantuan finansial yang jumlahnya tidak main-main, asalkan Ayah tidak menutup usahanya.

Ayah menolak mentah-mentah bantuan dari si Bandot Tua, beliau tidak mau punya hutang budi. Alhasil kami pun jatuh miskin, tinggal di rumah minimalis di pemukiman padat penduduk yang kumuh.

Tapi saat kami sudah melarat, Ayah tidak bisa lagi menolak apa yang diberikan oleh Bandot Tua tersebut. Sehingga hutang budi itu benar-benar tercipta, dan aku menjadi pelunasnya.

Ibu hanya bisa menangis dan meminta maaf, saat aku dan adik-adik menderita terkena imbasnya . Waktu itu, aku ingin sekali membencinya tapi aku tidak bisa.

Aku hanya bisa mengelus dada serta meratapi nasib yang malang ini, sering aku berpikir keras akankah kisahku bak sinetron ikan asin terbang? Berawal tragis tapi berakhir manis, ah entahlah! Cuma Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi nanti.

Aku merasa sepi di dalam kamar ini, padahal di luar sana sedang ramai. Banyak orang sedang mempersiapkan acara untuk besok. Saudara jauh, tetangga dan kerabat dekat berdatangan untuk membantu. Samar-samar kudengar suara tawa mereka, begitu lepas dan tanpa beban.

Aku tidak bersemangat dan masa bodoh dengan semua ritual yang harus dijalani sebelum pernikahan. Peduli amat dengan puasa dan juga tradisi pingit, aku bebas jalan dan nongkrong dengan teman-teman, Ayah dan Ibu tidak bisa melarang karena itu syarat sebelum aku mau menuruti permintaan mereka.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Dalam kamar yang indah ini hatiku merasa terkoyak, wajah yang telah dipoles riasan tebal ini terasa bagai topeng badut saat aku lihat di cermin. Kebaya mewah nan cantik yang si Bandot Tua pesan khusus dari butik ternama pun kurasa gerah dan tidak nyaman, sama seperti perasaan yang bergejolak ini.

Telinga seketika terasa panas dan memerah saat MC memberitahu kalau romongan calon mempelai pria sudah tiba, perias pengantin yang tidak tahu perihal isi hati ini pun menepuk bahuku sembari bersorak gembira. Aku meresponnya dingin, cuma tersenyum kecut, sekecut ketek tukang becak yang baru selesai ngegenjot di tanjakan.

Wanita yang berperan sebagai MUA itu kembali mengecek riasan wajahku, usai sapu sana-sini senyumnya mengembang. "Perfect!" katanya.

Aku memandang wajah yang menurutku seperti pemain lenong yang akan tampil di panggung.

Kebaya modern putih, rambut disanggul yang dihiasi mahkota gold dan kembang goyangnya, dirasa bagai atribut pemain barongsai saat perayaan imlek.

Tok ... tok ... tok ....

Pintu kamar diketuk oleh seseorang yang hendak menjemputku, dia Vina, sepupuku.

"Mel, yuk ke depan!" ajaknya mengulurkan tangannya padaku.

Tanpa menjawab, aku meraih uluran tangannya dan berjalan menuju teras rumah yang dijadikan tempat untuk ijab kabul.

Kulihat sekilas wajah calon suamiku, ia tersenyum ramah tapi aku pura-pura tidak melihatnya.

"Kepada calon pengantin wanita kami persilahkan duduk di samping sang pangeran yang telah bersiap mengikrarkan janji suci di hadapan kita semua," ucap MC membuatku ingin muntah.

Semua orang kecuali aku tersenyum mendengar ucapan MC itu. 'Pangeran apaan? Pangeran kodok kali,' sungutku dalam hati.

Setelah melewati beberapa rangkaian prosesi maka tibalah saatnya pengucapan ijab kabul. Setelah dipandu oleh pak penghulu, maka si Bandot Tua itu dengan lantang mengucapkan kalimat sakral di depan semua orang yang hadir disini.

"Saya terima nikah dan kimpoinya Amelia Gentari Permadi binti Dodi Permadi dengan mas kimpoi satu set perhiasan emas seberat 50 gram dibayar tunai."

Para saksi, tamu undangan dan keluarga mengucap syukur karena prosesi utama berjalan dengan lancar dan sukses. Bagai tersengat listrik bertegangan tinggi saat mendengar penghulu dan semua orang berkata 'SAH', itu berarti per hari ini aku akan hidup dengan si Tua Bangka ini. Tidaaaaaak!

Mengapa aku sebut dia tua bangka? Itu karena usianya sudah 40 tahun, ia seorang perjaka tua alias bujang lapuk. Entah kenapa dia belum menikah sampai usianya setua itu, hanya Tuhan dan dia yang tahu.

Acara resepsi kami diadakan secara sederhana, aku malu kalau harus pesta meriah. Teman-teman sekolah, tidak ada satu pun yang aku undang, apa kata dunia seorang Amelia yang jadi rebutan cowok-cowok populer dan terkenal sebagai play girl di sekolah dulu tiba-tiba nikah muda, sama bandot tua lagi.

Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, lalu kemudian mengusirnya dari sisi ini. Sumpah aku muak, benci, dan enek harus duduk berdekatan di pelaminan dengannya.

Apalagi saat dia sok perhatian menawari aku mau makan atau tidak, ih benar-benar menyebalkan. Apalagi aku sempat melirik dengan ujung mata, dia sering mencuri pandang kepadaku, ingin rasanya aku tusuk matanya pakai gembang goyang yang menancap di sanggul palsu ini.

Saat duhur menjelang acara resepsi pun usai, aku dan dia dipersilahkan untuk masuk beristirahat. Si Bandot Tua sok manis, mengulurkan tangan berniat menuntunku. Tapi dengan tegas aku tolak, beralasan tidak kuat ingin buang air kecil, secepatnya aku ngacir duluan.

Sejenak aku berdiam diri di dalam kamar mandi, berjalan mondar-mandir dengan pakaian lengkap. Konyol memang, tapi semua ini aku lakukan agar alasanku tadi tidak sekadar hoax.

Hingga lima menit lamanya, aku pun keluar dan melangkah masuk ke dalam kamar pengantin. Segera aku kunci pintu, agar dia tidak masuk tiba-tiba di saat aku lagi buka baju.

Kuhempaskan tubuh di ranjang, menghela napas panjang memindai kamar ini. Mencebik dan merutuk, meski sia-sia tapi itu bisa membuatku lega dan merasa lebih baik.

Kemudian aku berdiri, sudah saatnya menanggalkan 'pakaian lenong' ini, aku ingin mandi dan istirahat dengan tenang dan damai.

Saat pakaian dan semua atribut tanggal, pintu diketuk. "Pasti itu si Batu alias Bandot Tua," sungutku geram.

Dengan wajah masam aku membuka pintu, tanpa menegurnya aku kembali masuk menyambar handuk kimono yang tergantung di paku. Tanpa menoleh kepada dia, aku bergegas pergi meninggalkannya.

Sesampainya didalam kamar mandi, aku segera membersihkan diri. Hampir 2 jam lamanya aku semedi didalam kamar mandi, karena kewalahan mengurai rambut setelah disasak tadi.

Setelah berhasil mengurai rambut yang kusut, aku pun segera membasuh seluruh tubuh. Segar rasanya, apalagi setelah keramas kepala ini jadi enteng sekali.

Di dalam kamar, aku pakai baju kebesaran emak-emak yaitu daster. Usai mengoleskan pelembab muka, aku pun langsung berbaring di atas spring bed yang empuk dan nyaman. Si Bandot Tua tidak ada di sini, membuatku sangat damai dan tenteram tentunya.

Namun ketika akan terlelap, pintu kamar kembali diketuk dan terdengar suara derap langkah si Bandot Tua memanggil namaku.

"Dek, ini Mas Fian tolong buka pintunya!"

Aarrrgghh!

Aku merutuk dalam hati, dengan wajah kesal segera kubuka kunci pintu. Setelah itu kembali ke formasi awal tadi.

Suara sepatunya membuat telinga ini sakit, dia menggantungkan jasnya di kastop dekat lemari pakaian.

Kuintip dengan mata yang pura-pura dipejamkan, dia sedang celingukan seperti sedang mencari sesuatu.

"Dek, bisa minta tolong ambilkan handuk?" Tangannya mengusap pundakku.

Tanpa menjawab aku bangun dan beranjak membuka lemari, untuk mengambilkan benda yang dia butuhkan.

'Uh beneran ya nih si Bandot Tua ini, ngeganggu ketenangan gue aja!' Kedua kalinya aku merutuk dalam hati.

"Makasih ya, Dek. Mas mandi dulu," ucapnya sok imut.

'Mandi aja sono, kaya gue nungguin lo aja dasar 'Batu' alias Bandot Tua.'

Aku tersenyum dan mengangguk, berusaha tidak menunjukkan rasa kesalku padanya, semuanya kulakukan demi keluarga.

Sepeninggal dia, aku pun pulas tertidur. Beberapa kali dia membangunkan aku untuk salat, tapi aku tak menggubrisnya. Aku beralasan aku sedang haid.

Selepas isya setelah selesai makan malam bersama, dia mencoba mengajakku bicara berdua di dalam kamar sebelum kami terlelap.

"Mas tahu, Dek Amel belum siap dengan pernikahan ini. Tapi mas minta, Dek Amel harus mulai belajar menerimanya ya," ucapnya pelan tapi tegas.

"Om Fian, eh ... Mas Fian jangan bicara kaya gitu, dengan aku bersedia menikah, itu artinya aku sudah menerima Mas Fian. Suka gak suka, toh aku gak punya pilihan."

"Alhamdulillah kalau begitu, mas lega dengarnya. Mudah-mudahan saja pernikahan kita ini bisa membawa kebaikan untuk kita dan diberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat ya, Dek."

"Aamiin," jawabku tampak penuh harap, padahal penuh rutukan.

Beberapa saat kemudian Mas Fian meraih dan mencium punggung tangan ini dengan lembut, rambutku ia usap perlahan. Tanpa menunggu izin, dia mendaratkan ciuman di kening, lalu turun ke pipi dan bibir.

Aku tidak memberi respon, bukan tidak bisa berciuman tapi aku merasa jijik ketika bibirnya menyentuh dan mamagut bibirku. Tiba-tiba ia melepaskan bibirnya dan menatap wajah ini.

"Kok diam, Dek? Kamu belum siap ya?"

"Eng-enggak, Mas. Aku gak tahu cara berciuman, aku bingung harus bagaimana," kilahku bohong. Padahal waktu pacaran dengan Bagas, sering aku berciuman alias baik.

"Maaf Mas Fian, aku belum bisa malam ini." Tanganku mendorong dada bidang itu pelan, menghentikan aksinya.

"Kenapa, Sayang?" Kata 'sayang' yang dia ucapkan barusan, benar-benar bikin aku gumoh, huweekk!

"Aku sedang ada tamu bulanan, Mas. Makanya tadi aku gak salat." Harap-harap cemas berharap ia percaya, dan tidak meraba apakah aku memakai pembalut atau tidak.

Ia tersenyum dan kemudian mengangguk. "Iya mas tahu, tadinya mas kepingin mesra-mesraan aja gitu." Kulihat ada gurat kecewa di wajahnya, tapi aku gak peduli yang penting aku berhasil-berhasil horeeee.

Itu artinya aku harus bersandiwara mendapat tamu bulanan selama seminggu lamanya, hal itu tidak membuatku aman tapi setidaknya aku bisa mengulur waktu.

Hari ini, adalah hari pernikahan kami yang kelima, dan sesuai dengan perjanjian awal aku akan meninggalkan rumah dan ikut bersama Mas Fian ke rumahnya.

Rasanya sangat berat aku berpamitan dengan orang tua dan kedua adikku, air mata ini tumpah. Aku tidak kuasa harus berpisah dengan mereka.

Walaupun aku bisa setiap saat bertemu dengan mereka, karena rumah Mas Fian dan orang tuaku hanya berjarak kurang lebih 100km. Namun, tetap saja itu suatu hal yang membuatku sangat bersedih.

"Ingat ya, Nak, pesan ayah! Harus hormat dan patuh pada suami, ayah selalu berdoa yang terbaik untukmu," bisik Ayah ketika memelukku.

Kujawab petuah Ayah dengan anggukan, lelaki paruh baya itu tahu betul seperti apa perasaanku saat ini. Tapi, Ayah tidak mau tahu dan terkesan tidak peduli. Aku merasa dijual pada si Bandot Tua, diri ini tak ubahnya seperti budak pemuas nafsu yang dipersembahkan untuk pejabat pada masa kerajaan dulu.

Aku dan mas Fian memasuki mobil, tak kuasa menahan tangis saat besi yang mewah yang ditumpangi meninggalkan rumah yang selama kurang lebih tiga tahun ini aku tempati.

Aku menangis sesegukan didalam mobil, lambaian tangan mereka tidak bisa hilang dari ingatan.

Mas Fian yang duduk di sebelah memeluk erat, hal itu tidak berarti apa-apa. Tidak juga bisa membuatku luluh untuk mencintainya.

"Jangan sedih lagi, Dek, setiap saat Adek ingin ke rumah Ayah bilang saja, mas akan antar."

Aku mengangguk dan terus menangis, di sepanjang perjalanan menuju rumah mas Fian.

Lebih satu jam kemudian, kami tiba di rumah mewah yang begitu asri dan nyaman. Aku dan mas Fian turun dari mobil, Pak Zaki, sang supir segera membuka bagasi dan menurunkan koper-koper.

"Asslamualaikum," ucap Fian ketika memasuki rumahnya.

"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya bersanggul, dengan wajah menor yang sedang asik membaca majalah di sofa ruang tengah.

Wanita bergaya bak ibu sosialita itu adalah ibu mertuaku, Ibu Siska namanya. Dari raut wajahnya sepertinya ia tidak suka padaku, terbukti pada saat pernikahan dulu dan sekarang tatapannya tetap sama, sinis.

Ah, tapi aku tidak mau ambil pusing. Bodo amat lah, toh aku juga nikah karena terpaksa. Seandainya wanita itu mengusirku suatu hari nanti, hal itu akan jadi senjata ampuh untuk bisa lepas dari belenggu pernikahan ini.

Mas Fian mencium punggung tangan ibunya dengan takzim, kemudian ia memeluknya dengan penuh rasa sayang.

Aku bersikap sama, mencium tangan mertuaku yang sebelumnya menatapku dari atas sampai bawah, seperti aneh melihatku. Padahal jelas-jelas dia yang menurutku aneh.

Kami berbincang sebentar dengan Bu Siska, setelah itu Mas Fian mengajakku untuk beristirahat di kamarnya.

Tangan ini dituntun masuk, menuju ruangan pribadi yang terletak di dekat ruang tengah. Sesampainya di dalam, aku takjub dengan kamar tidurnya, begitu nyaman dan wangi sekali. Mataku berkeliling menatap ke setiap sudut ruangan yang dipenuhi dengan perabotan modern dan tentunya mahal.

Dahulu, kehidupanku juga bisa dibilang mampu. Tapi rumah masa kecilku tidak semewah rumah Mas Fian, haruskah aku merasa beruntung karena mempunyai suami tajir?

"Dek, lemari pakaian yang tiga pintu itu baru. Mas sengaja belikan untuk menyimpan semua pakaianmu. Karena lemari Mas sudah penuh, hehe."

"I-iya Mas, terima kasih." Aku merasa kikuk dan canggung di rumah mewah ini.

"Mas, aku mau mandi dan ganti baju dulu ya," ucapku memecahkan kecanggungan dengannya.

Mas Fian mengangguk dan mengeret koper kami kedekat lemari pakaian. Segera aku membuka dan mengambil pakaian santai juga handuk, membawanya ke kamar mandi yang lagi-lagi membuat aku takjub dibuatnya.

Usai mandi, aku duduk di tepi ranjang. Menggosok rambut yang basah dengan handuk kecil. Mas Fian tidak mau jauh dariku, ia duduk menemani dan menawarkan diri untuk membantu mengeringkan mahkota indah ini.

Jujur, aku merasa risih dan tidak nyaman dengan perlakuannya. Bulu romaku merinding saat wajahnya mendekat, dari pantulan cermin aku lihat matanya terpejam saat menghidu bau harum yang menguar dari rambutku. Embusan napasnya membuat tengkuk meremang, adegan tidak senonoh pun terbayang dalam benak.

Tidak tahan dengan perasaan jijik yang menguasai, aku bangkit dan menyibukkan diri menyusun pakaian dari dalam koper ke lemari.

"Bibik saja nanti yang ngerjain, Dek," katanya sembari menatapku lekat.

Aku menggeleng dan tersenyum sok manis. "Aku bisa sendiri, Mas. Gak puas kalau barang pribadi, orang lain yang ngerjain."

Mas Fian mengangguk, lama kelamaan dia merasa bosan melihatku tak memberikan kesempatan sedikit pun padanya untuk menghabiskan waktu berduaan, dia berpamitan untuk keluar kamar setelah sebelumnya bertanya aku mau makan apa saat makan malam nanti.

"Apa aja, aku makan, Mas."

"Baik, mas keluar ya."

"Iya."

Sepeninggal Mas Fian, aku berhenti bersandiwara. Kuhempaskan bokong ini, melepas lelah setelah berusaha lolos dari cengkeraman singa tua, hehe.

Saat jam makan malam tiba, aku duduk di depan meja makan malam yang mewah dan indah. Berbagai macam menu masakan lezat tersaji di atasnya, lengkap dengan makanan penutup dan buah-buahan.
Diubah oleh blackgaming 07-03-2021 14:59
ichigame16Avatar border
ciptorosoAvatar border
sormin180Avatar border
sormin180 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
21K
51
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
#21
Chapter 12


"Neng!" panggil Bik Nani di ambang pintu, membuatku menjeda suapan kedua.

Aku menoleh ka arahnya dan menjawab, "Iya, Bik?"

"Itu di ruang tamu ada temannya datang cari," katanya membuatku penasaran.

"Ricca?"

Bik Nani menggeleng. "Laki-laki, Neng. Dia lagi bicara sama Mas Fian."

"Laki-laki? Siapa?" Aku mulai tidak enak perasaan.

"Namanya kalau gak salah dengar itu, Dimas, Neng."

Mangkuk yang aku pegang seketika jatuh ke lantai, serasa langit runtuh menimpa dan menghancurkan tubuh ini.

Kiamat besar pasti akan terjadi.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Bik Nani lari tergopoh menghampiri lalu memunguti pecahan mangkuk.

"Maaf, Bik. Kepala aku tiba-tiba pusing lagi."

Belum sempat Bik Nani menjawab, Mas Fian datang tergesa dengan wajah yang khawatir. Lalu ia merangkak ke atas ranjang, memeriksa aku yang berlagak pusing memejam mata dan menutupnya dengan telapak tangan.

"Dek Amel pusing lagi?"

"Iya, Mas." Aku yang tidak ingin Mas Fian kembali lagi ke ruang tamu untuk menemui Dimas, pun langsung memeluknya erat bersikap seolah-olah aku kesakitan dan butuh dia.

"Pusing sekali, Mas," isakku sangat meyakinkan.

Mas Fian mencium puncak kepala ini, itu suatu tanda kalau di antara dirinya dan Dimas belum ada percakapan yang menjurus ke titik yang bisa menyudutkan aku.

Lega kurasa, sekarang tinggal mencari cara untuk membuat Dimas segera pulang dari sini. Biar nanti saja aku yang menghubungi dia, dengan alasan utama meminta maaf karena hari ini aku tidak bisa menemuinya.

Meski aku tidak bisa bertemu dengannya, tapi hatiku tidak lagi gundah gulana karena aku tahu dia ada usaha untuk memperbaiki hubungan kami yang retak dengan datang meski hampir saja membunuhku.

"Mas, aku mau istirahat tapi ditemani sama Mas," pintaku memelas di dalam pelukannya.

"Baik, tapi bagaimana dengan dosen Dek Amel di depan? Beliau mau menjenguk Dek Amel kata-"

Aku merengek dan kembali terisak. "Suruh Bik Nani bilangin si dosen nyebelin itu untuk pulang aja, bilang aja akunya belum bisa dijenguk."

Mas Fian tidak menjawabku, tapi ia meminta Bik Nani untuk melaksanakan permintaanku barusan.

Usai menyelesaikan tugasnya, Bik Nani segera berpamitan keluar.

"Jangan lupa sampaikan salam maaf dari Dek Amel ya, Bik," ucap Mas Fian diiyakan oleh Bik Nani.

Saat pintu ditutup, aku melerai pelukan. Lalu mendongak memandang wajah Mas Fian yang tenang, membuat aku semakin yakin bahwa Dimas belum sempat bicara apa-apa.

"Mas, dosen rese itu bicara apa?" selidikku.

"Katanya beliau mau menjenguk Dek Amel, karena tidak masuk tanpa keterangan."

"Aku mahasiswi, bukan lagi anak sekolah. Ketahuan dia itu ngerasa gak enak habis marahin aku beberapa hari yang lalu," seruku.

"Ada masalah apa, Sayang? Coba cerita sama Mas!"

"Aku begini gara-gara dia, Mas. Dia sentimen ke aku, gara-gara Ricca menolak cintanya, aku sebagai sahabatnya ikut jadi kebawa-bawa. Makanya aku jadi sakit, aku malas bertemu Ricca dan juga dosen itu."

"Jadi karena itu Dek Amel menolak kedatangan Ricca kemarin."

"Iya, Mas."

"Kenapa Dek Amel gak cerita sama Mas? Mas khawatir sekali, karena Dek Amel gak biasanya begini," ungkapnya langsung percaya, dasar bodoh!

"Maafin aku ya, Mas. Akunya gak mau bikin Mas khawatir tadinya, tapi ternyata aku gak sanggup menahannya sendiri, nyesek Mas. Kenapa dosen itu sentimen ke aku, sampai gak ngebolehin aku ikut kelasnya karena telat masuk beberapa menit saja."

"Sudah, Sayang. Sepertinya Pak Dimas sudah menyadari kesalahannya, buktinya dia ke sini mau menjenguk Dek Amel."

"Iya, Mas. Mas bilang gak kalau Mas suami aku? Supaya dia jadi segan dan gak berani macam-macam lagi sama aku nanti besok-besok," pancingku ingin tahu garis besar perbincangan mereka tadi di ruang tamu.

"Belum sempat memperkenalkan diri, Mas keburu pamit masuk saat dengar mangkuk yang pecah."

Hmmm, syukurlah. Tuhan masih berpihak kepadaku, aku selamat sodara-sodara. Dimas mengaku dosen, dan Mas Fian pun belum memperkenalkan dirinya siapa, sehingga itu berarti Dimas tahunya Mas Fian adalah kakakku.

Kakak yang selama ini aku ceritakan galak dan otoriter, sempurna.

"Ibu dan Desi, Mas?"

"Ibu dan Desi lagi ke salon," jawab Mas Fian semakin melegakan hatiku.

"Syukurlah, sebab kalau tidak pasti Ibu dan Desi akan sewot aku jatuhkan mangkuk."

"Sudah, ya. Sekarang Dek Amel minum obatnya."

"Iya, Mas."

"Eh tapi, belum makan kan?"

"Iya, Mas. Tadi keburu jatuh mangkuknya."

"Mas ambilin lagi ya."

Aku tersenyum dan mengangguk. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini nafsu makanku membaik dan perut ini mendadak lapar.

Plong sekali, benar-benar plong. Aku selamat dari bencana yang hampir saja melanda, nanti saat situasi aman aku akan menghubungi Dimas. Dan, aku yakin hubunganku dengannya akan kembali membaik.

Bukan aku over percaya diri, tapi kedatangannya tadi itu menunjukkan rasa cinta di dalam hatinya sangat besar kepadaku. Oh, Dimas, terima kasih Sayang.

Segera kusembunyikan senyum bahagia ini saat Mas Fian masuk, membawa nampan berisi sepiring nasi yang lengkap dengan lauk dan sayur bening.

Lalu ia duduk di tepi ranjang, menaruh nampan di atas pahaku.

"Makan ya, Sayang. Tiga hari Dek Amel makannya gak bagus, Mas sedih banget lihatnya."

Aku yang tidak dapat menyembunyikan rasa bahagia ini pun langsung menjawab, "Mas suapin aku, ya!"

Seakan tak percaya, Mas Fian mengulangi ucapanku. "Mas suapin aku ... maksudnya?"

"Iya, Mas. Aku mau Mas suapin aku, kenapa? Masnya gak mau ya?"

"Asalkan itu bisa bikin Dek Amel makan banyak, Mas bersedia. Mas mau Dek Amel sembuh," jawabnya semringah.

Jadilah siang ini aku makan lahap disuapi, kami sangat bahagia. Mas Fian bahagia karena keadaan aku yang tiba-tiba membaik, sedangkan aku bahagia karena aku dan Dimas akan segera baikan kembali.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Aku memeluk Mas Fian dari belakang, bukan karena hatiku yang telah luluh dan jatuh cinta padanya. Aku berbuat ini untuk mendapatkan izinnya agar untuk kuliah tanpa diantar oleh Pak Asep.

"Beneran sudah kuat?"

"Iya, Mas. Aku udah sehat, makan aku udah normal kembali."

"Tapi kalau nanti ada apa-apa, Dek Amel cepat hubungi Mas, ya!"

"Iya Mas." Kukecup punggungnya dengan mesra. Hal itu membuatnya sangat bahagia, ia membalikkan tubuhnya lalu memagut bibirku lembut.

"Mas mau pagi ini?" Aku menawarkan diri kepadanya.

Mas Fian tertawa kecil lalu mencolek hidungku. "Mas ini sudah pakai baju kerja, ada meeting satu jam lagi, jangan macam-macam!"

"Haha, siapa tau Mas mau, aku udah fit."

"Nanti malam ya, Sayang!"

"Ok."

Dengan hati bahagia kuantar kepergian Mas Fian sampai di ambang pintu, ia mencium kening ini sesaat sebelum masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu di depan.

"Mas berangkat ya, Dek. Assalamualaikum," pamitnya.

"Waalaikumsalam," jawabku mengulas senyum riang. Bukan untuknya, tapi untuk dia, lelaki yang sebentar lagi akan aku temui.

Setelah mobil sedan hitam yang membawa Mas Fian menghilang dari pandangan, aku kembali masuk untuk bersiap.

Dua jam kemudian, aku sudah rapi dan wangi. Taksi online yang aku pesan pun sudah menghubungi bahwa dia sudah standby di depan rumah.

Tanpa berpamitan kepada si Nenek Gambreng yang sedang sendiri di ruang tengah, aku melenggang dengan santai.

"Mantu gak tahu sopan santun," sungutnya dengan intonasi tinggi.

Karena hari ini aku sedang bahagia, maka aku menganggap makiannya itu sebagai suara penyiar radio yang menyapa pendengarnya dan aku tanggapi dengan senyuman.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Dimas yang muncul saat pintu terbuka, membuat hatiku sangat bahagia. Apalagi saat dirinya menyambut baik kedatanganku, aku sangat senang seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan baru.

"Masuk, Mel."

Aku mengangguk, lalu duduk di atas karpet bulu yang empuk. Usai menutup pintu, dia bersila di hadapanku.

"Maafin waktu itu," kataku tertunduk.

Dimas meraih tanganku. "Aku yang harusnya minta maaf, karena melanggar kesepakatan untuk yang kedua kalinya. Kamu pasti dimarahi sama Mas Fian, ya?"

Aku mendongak lalu menggeleng. "Kamu kan ngakunya dosen aku, jadi Mas Fian hanya bertanya kenapa bisa dosen punya perhatian lebih sampai datang menengok."

"Syukurlah kalau memang Mas Fian gak marah, aku sempat resah mikirin nasib kamu setelah asisten rumah tangga di rumah kakakmu nyuruh aku untuk pulang."

"Aku baik-baik saja, makasih ya kamu masih peduli padaku, padahal aku udah marah dan mutusin kamu."

"Aku tersiksa dan gak tahan, Mel. Tadinya aku yang kecewa dengan keputusan sepihakmu itu sudah bertekad ingin melupakanmu saja, dengan gak menghubungi kamu lagi. Tapi, ternyata aku gak sanggup, Mel. Aku sangat mencintai kamu, aku-"

Aku menghambur memeluk Dimas, tangisku pecah penuh penyesalan. "Aku juga cinta kamu, Dim. Maafin aku ya."

"Kita baikan, ya?"

Aku mengangguk dan kemudian mengeratkan pelukan.

"I love you, Honey," katanya mencium tengkuk ini dengan lembut, membuat aku sangat terharu sekaligus berbunga-bunga.

"I love you too." Aku melerai pelukan lalu memandang wajah sendunya lekat.

"Jangan pernah lagi ucapin kata putus ya, Mel. Aku gak sanggup kehilangan kamu, aku mau hubungan kita berakhir di pelaminan, sampai tua, sampai maut memisahkan kita. Seandainya Mas Fian mengizinkan, aku ingin sekali melamar dan menikahimu, Mel."

Bulir bening kembali menggenang di pelupuk mata, saat harapan tulus terucap dari bibirnya. Antara senang dan sedih, seandainya aku masih single tentu saja aku akan menyambut baik keinginannya itu.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Hubunganku dengan Dimas kembali membaik malah semakin mesra, tapi tidak dengan Ricca. Aku masih bersitegang, perang dingin dengannya.

Ricca tidak suka dan mengutuk keras hubungan terlarangku dengan Dimas, tapi aku bisa apa? Aku tidak bisa menyingkirkan rasa cinta yang hadir dan semakin lama semakin bertumbuh ini.

Perseteruan kami kembali memanas, saat Ricca meneriakiku istri durhaka di hadapan Dimas.

Aku yang kala itu hendak masuk ke dalam mobil Dimas pun tidak terima dengan ucapannya, segera aku hampiri dia dan kemudian menariknya menjauhi Dimas.

"Urus aja urusan lo, Ric. Dosa ini gue yang tanggung, sedikit pun kagak akan berimbas ke lo. Please, gue mohon hargai keputusan gue ini."

"Kata siapa gue gak ikutan dosa? Jelas gue juga berdosa, Mel. Secara gue tahu status lo, wajar gue selalu mengingatkan lo. Sudahi hubungan kalian, Mel. Kasihan Mas Fian, dia suami yang baik."

"Lo suka sama Mas Fian? Ambil saja, Ric. Demi Tuhan, gue ikhlas."

"Jaga ucapan lo, Mel. Dua tahun menikah, masa iya gak bisa numbuhin rasa cinta di hati lo?"

"Itulah yang terjadi, Dimas adalah cinta gue."

"Bullshit, cinta di atas dosa itu namanya nafsu, dan dengan nafsu itu yang akan membawa lo dalam kehancuran."

Gue muak, Ric. Sorry gue pamit," pungkasku meninggalkan Ricca yang masih merasa belum puas.

"Ayo, Dim!" ajakku pada Dimas yang diam termangu.

"Ayo, ih. Kok malah bengong, sih."

"Emh, iya."

Kami memasuki mobil dan segera berlalu. Setelah beberapa kilometer melaju, Dimas tiba-tiba menepikan mobilnya. Wajahnya yang serius menghadap padaku.

"Apa? Kenapa?" tanyaku heran.

"Apa maksud ucapan Ricca?"

"Ucapan apa? Yang mana?"

"Jangan pura-pura gak tahu, Sayang. Aku mau kamu jujur!"

"Jujur apa, sih? Si Ricca itu cemburu, karena sekarang aku lebih dekat sama kamu dibanding dia."

"Mustahil hanya karena gara-gara cemburu, Ricca mengatai kamu dengan sebutan 'istri durhaka'."

"Dia cuma mengatai aku, sudahlah."

"Jujur padaku, Mel! Aku ini mencintai kamu apa adanya, tapi tolong ... kamu jujur!"

"Aku sudah jujur! Kamu kenapa, sih?"

"Kamu bohong! Kamu sudah menikah?"

"Kamu jangan kemakan omongan ngaco Ricca, Dim. Masa iya aku sudah-"

"Aku akan mencari tahu di rumah Mas Fian," ancamnya membuatku lemas.

Aku menangkup wajah, tangisku pecah seketika. Tidak mungkin aku berkelit, aku khawatir Dimas nekat mendatangi rumah Mas Fian untuk mencari tahu. Namun mustahil juga aku jujur, apa yang akan dia perbuat seandainya dia tahu kalau aku adalah istri dari Mas Fian?

Aku kalut dan bingung, pupus sudah harapanku untuk bisa hidup dalam ikatan suci pernikahan dengan Dimas. Menghabiskan waktu bersama sampai tua, sampai maut memisahkan
bonita71
pulaukapok
rinandya
rinandya dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Ikuti KASKUS di
Ā© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.