- Beranda
- Stories from the Heart
Aku Mencintai Bandot Tua
...
TS
blackgaming
Aku Mencintai Bandot Tua
Aku Mencintai Bandot Tua


Spoiler for Update Chapter:
Chapter 1
"AYAH JAHAT, GAK PUNYA HATI!" Kuhentakkan kaki sebagai tanda perlawanan atas keputusan sepihak lelaki paruh baya yang egois, setelah itu aku segera berlalu meninggalkan ruang tengah di mana ayah dan ibu sedang duduk termangu dan lesu.
Pintu kamar kubanting dengan kencang, hingga menciptakan suara yang membahana dan tentu mengagetkan siapa saja yang berada di rumah ini. Rumah yang dahulu bak surga, kini berubah seperti neraka yang panas dan selalu membuat aku muak.
Tangisku luruh bersama dengan harapanku yang kandas karena keadaan yang tidak berpihak, kubenamkan wajah dalam bantal sehingga lengkingan sedu sedan yang tercipta dapat teredam dan hanya dapat didengar olehku saja.
Malam ini adalah malam terakhirku berstatus sebagai single, karena besok aku akan menikah dengan seorang pria yang sama sekali tidak aku kenal, apalagi aku cintai.
Pernikahan yang mendadak dan tiba-tiba ini membuat batinku terguncang, serasa dijatuhkan dari atas langit menimpa tanah menembus ke lapisan yang terakhir, sangat sakit dan merasa terhina. Karena lelaki itu bukan menikahi, tapi membeli.
Aku benci dengan takdir dan nasib, mengapa Tuhan memberi aku keluarga yang seperti ini?
Usiaku baru akan menginjak 19 tahun bulan Mei nanti, teman-temanku semua melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Aku apa? Malah menikah dengan bandot tua yang lebih pantas aku panggil dengan sebutan 'Om', karena usianya tidak jauh dari ayah.
Aku ingin berontak rasanya tak mungkin, pacarku si Bagas pun angkat tangan saat aku mengajaknya kimpoi lari. "Aku masih mau kuliah, kalau nikah nanti, kamu ... maksudku, kita mau makan apa? Dan siapa yang akan ngebiayain kuliah aku? Bunda aku pasti murka disangkanya aku ngehamilin kamu, duh aku gak sanggup. Maaf ya, Sayang!"
Dasar pengecut! Gak punya nyali! Kepentingan sendiri yang dia pikirin, janji suci yang selama ini dia ikrarkan ternyata cuma isapan jempol belaka. Aku benci Bagas, aku benci Ayah, aku benci si Bandot Tua yang bakalan jadi suamiku besok. Aku benci makhluk Tuhan yang berjenis kelamin lelaki, aku benciiiii!
Pernah aku coba bernego dengan Ayah tentang keputusan ini, aku coba membujuk beliau agar aku diizinkan untuk bekerja demi bisa menopang perekonomian keluarga yang mulai carut marut. Dan, daebak! Ayah menolak mentah-mentah niat mulia itu. Alhasil aku gondok dan mau tidak mau harus manut, tidak boleh tidak.
Dengan berat hati aku pun menurut, semuanya kulakukan semata-mata demi membahagiakan orang tua dan adik-adikku.
Calon suamiku, maksudku si Bandot Tua itu adalah seorang pengusaha yang bisa dibilang sukses, dia banyak menolong keluarga ini terutama dalam masalah keuangan. Usaha restoran ayah bangkrut setelah ibu ketahuan memiliki banyak hutang, hutang di bank, rentenir, beberapa tagihan kartu kredit dengan limit di masing-masing kartunya lumayan besar dan koperasi simpan pinjam.
Alfian Wijaya, si Bandot Tua yang besok akan menjadi suamiku itu adalah seorang pelanggan setia restoran Ayah, dia sering sekali memesan catering dan tumpeng apabila sedang ada event di perusahaannya.
Hubungan si Bandot Tua dengan Ayah sangat erat, maka sewaktu Ayah gulung tikar dan terpaksa menjual semua asetnya demi membayar hutang Ibu yang jumlahnya sampai ratusan juta, dia datang lalu menawarkan bantuan finansial yang jumlahnya tidak main-main, asalkan Ayah tidak menutup usahanya.
Ayah menolak mentah-mentah bantuan dari si Bandot Tua, beliau tidak mau punya hutang budi. Alhasil kami pun jatuh miskin, tinggal di rumah minimalis di pemukiman padat penduduk yang kumuh.
Tapi saat kami sudah melarat, Ayah tidak bisa lagi menolak apa yang diberikan oleh Bandot Tua tersebut. Sehingga hutang budi itu benar-benar tercipta, dan aku menjadi pelunasnya.
Ibu hanya bisa menangis dan meminta maaf, saat aku dan adik-adik menderita terkena imbasnya . Waktu itu, aku ingin sekali membencinya tapi aku tidak bisa.
Aku hanya bisa mengelus dada serta meratapi nasib yang malang ini, sering aku berpikir keras akankah kisahku bak sinetron ikan asin terbang? Berawal tragis tapi berakhir manis, ah entahlah! Cuma Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi nanti.
Aku merasa sepi di dalam kamar ini, padahal di luar sana sedang ramai. Banyak orang sedang mempersiapkan acara untuk besok. Saudara jauh, tetangga dan kerabat dekat berdatangan untuk membantu. Samar-samar kudengar suara tawa mereka, begitu lepas dan tanpa beban.
Aku tidak bersemangat dan masa bodoh dengan semua ritual yang harus dijalani sebelum pernikahan. Peduli amat dengan puasa dan juga tradisi pingit, aku bebas jalan dan nongkrong dengan teman-teman, Ayah dan Ibu tidak bisa melarang karena itu syarat sebelum aku mau menuruti permintaan mereka.
š¤š¤š¤
Dalam kamar yang indah ini hatiku merasa terkoyak, wajah yang telah dipoles riasan tebal ini terasa bagai topeng badut saat aku lihat di cermin. Kebaya mewah nan cantik yang si Bandot Tua pesan khusus dari butik ternama pun kurasa gerah dan tidak nyaman, sama seperti perasaan yang bergejolak ini.
Telinga seketika terasa panas dan memerah saat MC memberitahu kalau romongan calon mempelai pria sudah tiba, perias pengantin yang tidak tahu perihal isi hati ini pun menepuk bahuku sembari bersorak gembira. Aku meresponnya dingin, cuma tersenyum kecut, sekecut ketek tukang becak yang baru selesai ngegenjot di tanjakan.
Wanita yang berperan sebagai MUA itu kembali mengecek riasan wajahku, usai sapu sana-sini senyumnya mengembang. "Perfect!" katanya.
Aku memandang wajah yang menurutku seperti pemain lenong yang akan tampil di panggung.
Kebaya modern putih, rambut disanggul yang dihiasi mahkota gold dan kembang goyangnya, dirasa bagai atribut pemain barongsai saat perayaan imlek.
Tok ... tok ... tok ....
Pintu kamar diketuk oleh seseorang yang hendak menjemputku, dia Vina, sepupuku.
"Mel, yuk ke depan!" ajaknya mengulurkan tangannya padaku.
Tanpa menjawab, aku meraih uluran tangannya dan berjalan menuju teras rumah yang dijadikan tempat untuk ijab kabul.
Kulihat sekilas wajah calon suamiku, ia tersenyum ramah tapi aku pura-pura tidak melihatnya.
"Kepada calon pengantin wanita kami persilahkan duduk di samping sang pangeran yang telah bersiap mengikrarkan janji suci di hadapan kita semua," ucap MC membuatku ingin muntah.
Semua orang kecuali aku tersenyum mendengar ucapan MC itu. 'Pangeran apaan? Pangeran kodok kali,' sungutku dalam hati.
Setelah melewati beberapa rangkaian prosesi maka tibalah saatnya pengucapan ijab kabul. Setelah dipandu oleh pak penghulu, maka si Bandot Tua itu dengan lantang mengucapkan kalimat sakral di depan semua orang yang hadir disini.
"Saya terima nikah dan kimpoinya Amelia Gentari Permadi binti Dodi Permadi dengan mas kimpoi satu set perhiasan emas seberat 50 gram dibayar tunai."
Para saksi, tamu undangan dan keluarga mengucap syukur karena prosesi utama berjalan dengan lancar dan sukses. Bagai tersengat listrik bertegangan tinggi saat mendengar penghulu dan semua orang berkata 'SAH', itu berarti per hari ini aku akan hidup dengan si Tua Bangka ini. Tidaaaaaak!
Mengapa aku sebut dia tua bangka? Itu karena usianya sudah 40 tahun, ia seorang perjaka tua alias bujang lapuk. Entah kenapa dia belum menikah sampai usianya setua itu, hanya Tuhan dan dia yang tahu.
Acara resepsi kami diadakan secara sederhana, aku malu kalau harus pesta meriah. Teman-teman sekolah, tidak ada satu pun yang aku undang, apa kata dunia seorang Amelia yang jadi rebutan cowok-cowok populer dan terkenal sebagai play girl di sekolah dulu tiba-tiba nikah muda, sama bandot tua lagi.
Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, lalu kemudian mengusirnya dari sisi ini. Sumpah aku muak, benci, dan enek harus duduk berdekatan di pelaminan dengannya.
Apalagi saat dia sok perhatian menawari aku mau makan atau tidak, ih benar-benar menyebalkan. Apalagi aku sempat melirik dengan ujung mata, dia sering mencuri pandang kepadaku, ingin rasanya aku tusuk matanya pakai gembang goyang yang menancap di sanggul palsu ini.
Saat duhur menjelang acara resepsi pun usai, aku dan dia dipersilahkan untuk masuk beristirahat. Si Bandot Tua sok manis, mengulurkan tangan berniat menuntunku. Tapi dengan tegas aku tolak, beralasan tidak kuat ingin buang air kecil, secepatnya aku ngacir duluan.
Sejenak aku berdiam diri di dalam kamar mandi, berjalan mondar-mandir dengan pakaian lengkap. Konyol memang, tapi semua ini aku lakukan agar alasanku tadi tidak sekadar hoax.
Hingga lima menit lamanya, aku pun keluar dan melangkah masuk ke dalam kamar pengantin. Segera aku kunci pintu, agar dia tidak masuk tiba-tiba di saat aku lagi buka baju.
Kuhempaskan tubuh di ranjang, menghela napas panjang memindai kamar ini. Mencebik dan merutuk, meski sia-sia tapi itu bisa membuatku lega dan merasa lebih baik.
Kemudian aku berdiri, sudah saatnya menanggalkan 'pakaian lenong' ini, aku ingin mandi dan istirahat dengan tenang dan damai.
Saat pakaian dan semua atribut tanggal, pintu diketuk. "Pasti itu si Batu alias Bandot Tua," sungutku geram.
Dengan wajah masam aku membuka pintu, tanpa menegurnya aku kembali masuk menyambar handuk kimono yang tergantung di paku. Tanpa menoleh kepada dia, aku bergegas pergi meninggalkannya.
Sesampainya didalam kamar mandi, aku segera membersihkan diri. Hampir 2 jam lamanya aku semedi didalam kamar mandi, karena kewalahan mengurai rambut setelah disasak tadi.
Setelah berhasil mengurai rambut yang kusut, aku pun segera membasuh seluruh tubuh. Segar rasanya, apalagi setelah keramas kepala ini jadi enteng sekali.
Di dalam kamar, aku pakai baju kebesaran emak-emak yaitu daster. Usai mengoleskan pelembab muka, aku pun langsung berbaring di atas spring bed yang empuk dan nyaman. Si Bandot Tua tidak ada di sini, membuatku sangat damai dan tenteram tentunya.
Namun ketika akan terlelap, pintu kamar kembali diketuk dan terdengar suara derap langkah si Bandot Tua memanggil namaku.
"Dek, ini Mas Fian tolong buka pintunya!"
Aarrrgghh!
Aku merutuk dalam hati, dengan wajah kesal segera kubuka kunci pintu. Setelah itu kembali ke formasi awal tadi.
Suara sepatunya membuat telinga ini sakit, dia menggantungkan jasnya di kastop dekat lemari pakaian.
Kuintip dengan mata yang pura-pura dipejamkan, dia sedang celingukan seperti sedang mencari sesuatu.
"Dek, bisa minta tolong ambilkan handuk?" Tangannya mengusap pundakku.
Tanpa menjawab aku bangun dan beranjak membuka lemari, untuk mengambilkan benda yang dia butuhkan.
'Uh beneran ya nih si Bandot Tua ini, ngeganggu ketenangan gue aja!' Kedua kalinya aku merutuk dalam hati.
"Makasih ya, Dek. Mas mandi dulu," ucapnya sok imut.
'Mandi aja sono, kaya gue nungguin lo aja dasar 'Batu' alias Bandot Tua.'
Aku tersenyum dan mengangguk, berusaha tidak menunjukkan rasa kesalku padanya, semuanya kulakukan demi keluarga.
Sepeninggal dia, aku pun pulas tertidur. Beberapa kali dia membangunkan aku untuk salat, tapi aku tak menggubrisnya. Aku beralasan aku sedang haid.
Selepas isya setelah selesai makan malam bersama, dia mencoba mengajakku bicara berdua di dalam kamar sebelum kami terlelap.
"Mas tahu, Dek Amel belum siap dengan pernikahan ini. Tapi mas minta, Dek Amel harus mulai belajar menerimanya ya," ucapnya pelan tapi tegas.
"Om Fian, eh ... Mas Fian jangan bicara kaya gitu, dengan aku bersedia menikah, itu artinya aku sudah menerima Mas Fian. Suka gak suka, toh aku gak punya pilihan."
"Alhamdulillah kalau begitu, mas lega dengarnya. Mudah-mudahan saja pernikahan kita ini bisa membawa kebaikan untuk kita dan diberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat ya, Dek."
"Aamiin," jawabku tampak penuh harap, padahal penuh rutukan.
Beberapa saat kemudian Mas Fian meraih dan mencium punggung tangan ini dengan lembut, rambutku ia usap perlahan. Tanpa menunggu izin, dia mendaratkan ciuman di kening, lalu turun ke pipi dan bibir.
Aku tidak memberi respon, bukan tidak bisa berciuman tapi aku merasa jijik ketika bibirnya menyentuh dan mamagut bibirku. Tiba-tiba ia melepaskan bibirnya dan menatap wajah ini.
"Kok diam, Dek? Kamu belum siap ya?"
"Eng-enggak, Mas. Aku gak tahu cara berciuman, aku bingung harus bagaimana," kilahku bohong. Padahal waktu pacaran dengan Bagas, sering aku berciuman alias baik.
"Maaf Mas Fian, aku belum bisa malam ini." Tanganku mendorong dada bidang itu pelan, menghentikan aksinya.
"Kenapa, Sayang?" Kata 'sayang' yang dia ucapkan barusan, benar-benar bikin aku gumoh, huweekk!
"Aku sedang ada tamu bulanan, Mas. Makanya tadi aku gak salat." Harap-harap cemas berharap ia percaya, dan tidak meraba apakah aku memakai pembalut atau tidak.
Ia tersenyum dan kemudian mengangguk. "Iya mas tahu, tadinya mas kepingin mesra-mesraan aja gitu." Kulihat ada gurat kecewa di wajahnya, tapi aku gak peduli yang penting aku berhasil-berhasil horeeee.
Itu artinya aku harus bersandiwara mendapat tamu bulanan selama seminggu lamanya, hal itu tidak membuatku aman tapi setidaknya aku bisa mengulur waktu.
Hari ini, adalah hari pernikahan kami yang kelima, dan sesuai dengan perjanjian awal aku akan meninggalkan rumah dan ikut bersama Mas Fian ke rumahnya.
Rasanya sangat berat aku berpamitan dengan orang tua dan kedua adikku, air mata ini tumpah. Aku tidak kuasa harus berpisah dengan mereka.
Walaupun aku bisa setiap saat bertemu dengan mereka, karena rumah Mas Fian dan orang tuaku hanya berjarak kurang lebih 100km. Namun, tetap saja itu suatu hal yang membuatku sangat bersedih.
"Ingat ya, Nak, pesan ayah! Harus hormat dan patuh pada suami, ayah selalu berdoa yang terbaik untukmu," bisik Ayah ketika memelukku.
Kujawab petuah Ayah dengan anggukan, lelaki paruh baya itu tahu betul seperti apa perasaanku saat ini. Tapi, Ayah tidak mau tahu dan terkesan tidak peduli. Aku merasa dijual pada si Bandot Tua, diri ini tak ubahnya seperti budak pemuas nafsu yang dipersembahkan untuk pejabat pada masa kerajaan dulu.
Aku dan mas Fian memasuki mobil, tak kuasa menahan tangis saat besi yang mewah yang ditumpangi meninggalkan rumah yang selama kurang lebih tiga tahun ini aku tempati.
Aku menangis sesegukan didalam mobil, lambaian tangan mereka tidak bisa hilang dari ingatan.
Mas Fian yang duduk di sebelah memeluk erat, hal itu tidak berarti apa-apa. Tidak juga bisa membuatku luluh untuk mencintainya.
"Jangan sedih lagi, Dek, setiap saat Adek ingin ke rumah Ayah bilang saja, mas akan antar."
Aku mengangguk dan terus menangis, di sepanjang perjalanan menuju rumah mas Fian.
Lebih satu jam kemudian, kami tiba di rumah mewah yang begitu asri dan nyaman. Aku dan mas Fian turun dari mobil, Pak Zaki, sang supir segera membuka bagasi dan menurunkan koper-koper.
"Asslamualaikum," ucap Fian ketika memasuki rumahnya.
"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya bersanggul, dengan wajah menor yang sedang asik membaca majalah di sofa ruang tengah.
Wanita bergaya bak ibu sosialita itu adalah ibu mertuaku, Ibu Siska namanya. Dari raut wajahnya sepertinya ia tidak suka padaku, terbukti pada saat pernikahan dulu dan sekarang tatapannya tetap sama, sinis.
Ah, tapi aku tidak mau ambil pusing. Bodo amat lah, toh aku juga nikah karena terpaksa. Seandainya wanita itu mengusirku suatu hari nanti, hal itu akan jadi senjata ampuh untuk bisa lepas dari belenggu pernikahan ini.
Mas Fian mencium punggung tangan ibunya dengan takzim, kemudian ia memeluknya dengan penuh rasa sayang.
Aku bersikap sama, mencium tangan mertuaku yang sebelumnya menatapku dari atas sampai bawah, seperti aneh melihatku. Padahal jelas-jelas dia yang menurutku aneh.
Kami berbincang sebentar dengan Bu Siska, setelah itu Mas Fian mengajakku untuk beristirahat di kamarnya.
Tangan ini dituntun masuk, menuju ruangan pribadi yang terletak di dekat ruang tengah. Sesampainya di dalam, aku takjub dengan kamar tidurnya, begitu nyaman dan wangi sekali. Mataku berkeliling menatap ke setiap sudut ruangan yang dipenuhi dengan perabotan modern dan tentunya mahal.
Dahulu, kehidupanku juga bisa dibilang mampu. Tapi rumah masa kecilku tidak semewah rumah Mas Fian, haruskah aku merasa beruntung karena mempunyai suami tajir?
"Dek, lemari pakaian yang tiga pintu itu baru. Mas sengaja belikan untuk menyimpan semua pakaianmu. Karena lemari Mas sudah penuh, hehe."
"I-iya Mas, terima kasih." Aku merasa kikuk dan canggung di rumah mewah ini.
"Mas, aku mau mandi dan ganti baju dulu ya," ucapku memecahkan kecanggungan dengannya.
Mas Fian mengangguk dan mengeret koper kami kedekat lemari pakaian. Segera aku membuka dan mengambil pakaian santai juga handuk, membawanya ke kamar mandi yang lagi-lagi membuat aku takjub dibuatnya.
Usai mandi, aku duduk di tepi ranjang. Menggosok rambut yang basah dengan handuk kecil. Mas Fian tidak mau jauh dariku, ia duduk menemani dan menawarkan diri untuk membantu mengeringkan mahkota indah ini.
Jujur, aku merasa risih dan tidak nyaman dengan perlakuannya. Bulu romaku merinding saat wajahnya mendekat, dari pantulan cermin aku lihat matanya terpejam saat menghidu bau harum yang menguar dari rambutku. Embusan napasnya membuat tengkuk meremang, adegan tidak senonoh pun terbayang dalam benak.
Tidak tahan dengan perasaan jijik yang menguasai, aku bangkit dan menyibukkan diri menyusun pakaian dari dalam koper ke lemari.
"Bibik saja nanti yang ngerjain, Dek," katanya sembari menatapku lekat.
Aku menggeleng dan tersenyum sok manis. "Aku bisa sendiri, Mas. Gak puas kalau barang pribadi, orang lain yang ngerjain."
Mas Fian mengangguk, lama kelamaan dia merasa bosan melihatku tak memberikan kesempatan sedikit pun padanya untuk menghabiskan waktu berduaan, dia berpamitan untuk keluar kamar setelah sebelumnya bertanya aku mau makan apa saat makan malam nanti.
"Apa aja, aku makan, Mas."
"Baik, mas keluar ya."
"Iya."
Sepeninggal Mas Fian, aku berhenti bersandiwara. Kuhempaskan bokong ini, melepas lelah setelah berusaha lolos dari cengkeraman singa tua, hehe.
Saat jam makan malam tiba, aku duduk di depan meja makan malam yang mewah dan indah. Berbagai macam menu masakan lezat tersaji di atasnya, lengkap dengan makanan penutup dan buah-buahan.
Diubah oleh blackgaming 07-03-2021 14:59
sormin180 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
21K
51
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThreadā¢52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
blackgaming
#20
Chapter 11
Kulihat Mas Fian sedang lekat menatapku, pasti saat aku masuk tadi, si Nenek Gambreng telah bercerita yang tidak-tidak tentangku.
Kira-kira hal apa yang ingin Mas Fian bicarakan denganku? Ya ampun aku deg-degan banget ini.
"Kenapa melamun, Dek? Duduk di sini, sebentar! Mas mau bicara," katanya lagi.
Akankah perselingkuhanku terbongkar?
š¤š¤š¤
"Hal p-penting apa itu, Mas?" tanyaku terbata.
Gigi putih terawat itu tampak saat bibirnya tersungging, aku mencoba membaca air mukanya pasti bukan persoalan aku yang sering pulang malam selama dirinya berada di luar kota.
Pasti ada hal lain yang ingin dia bicarakan padaku, mungkin soal ... ah aku gak mau menerka-nerka, lebih baik aku langsung dengar dari Mas Fian yang tampak serius.
"Soal Dek Amel, Mas-"
Dugaanku ternyata salah, beneran dia mau bahas tentang aduan si Nenek Gambreng tentangku. Kusela cepat agar masalah ini tidak berlarut-larut.
"Soal aku sering pulang malam ya, Mas? Maafin aku, habisnya aku bete di rumah kalau gak ada Mas Fian, gak perlu aku sebut Mas sudah tahu apa penyebabnya aku gak betah di rumah."
"Kok jadi soal itu?"
"Lantas soal apa?"
"Makanya kalau orang bicara jangan suka langsung disela," sungutnya sembari menjepit hidungku.
"Ya, maaf. Habisnya Mas ngomongnya lama banget, bikin orang salah paham jadinya."
"Ah memang dasar Dek Amel gak sabar dan gampang emosian."
"Hehe, iya maaf Mas."
"Mas kangen," katanya sembari memelukku erat, semakin erat sampai aku kewalahan untuk bernapas
Jreng ... jreng ... jreng, lebay banget sih. Aku kira mau apa, ternyata cuma bilang kangen. Dasar Bandot bucin! Hampir mati berdiri dibuat gugup, kukira Nenek Gambreng cari masalah lagi, sebab kalau sampai terjadi aku gak akan segan untuk melawan. Manusia bau tanah itu bakalan aku kerjain biar nyaho.
Aku tidak menginginkan adegan ini, niat hati ingin istirahat tapi apa daya harus kutuntaskan hasrat Mas Fian yang menggebu.
Lelaki di sampingku menghujaniku dengan ciuman bertubi-tubi, tidak ada celah untukku menghindar apalagi menolak keinginannya. Dia berhak atas raga ini, meski diri berkata tidak.
Di luar dugaan, Mas Fian menggendong tubuhku ala bridal style. Aku sempat terhenyak dan ingin marah.
Tapi saat melihat wajahnya yang berseri, aku tidak tega merusak suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga.
Akhirnya aku berlagak bahagia, tawaku berderai nyaring seiring tanganku yang melingkar erat di bahunya yang kokoh.
"Kita berendam sama-sama, Sayang!" ajaknya sembari mencium pipi ini mesra.
"Aku baru saja mandi, Mas. Masa-"
Dengan cepat bibir ini dipagutnya lembut, menolak segala alasan yang akan aku utarakan. Aku pasrah akhirnya, berpura-pura menikmati. Melaksanakan kewajiban seorang istri pada suami, meski dengan setengah hati.
š¤š¤š¤
"Gila, lu!" maki Ricca membanting tasnya dengan kasar.
"Kesambet setan apa, Lo?" tanyaku heran padanya yang bersungut kepadaku tanpa alasan yang jelas.
"Elo yang kesambet setan, Mel."
Dia mendekati dengan mata menyalak, aku yang bingung mengernyitkan dahi ini.
"Apaan sih, lo? Gak ada angin gak ada ujan, dateng-dateng langsung marah."
"Wajar gue marah, gue ini sahabat lo!"
"Iya marahnya kenapa? Yang jelas dong kalau ngomong," seruku mulai kesal.
"Dimas!"
Mataku terbelalak tak percaya, hubungan yang kututup rapat selama enam bulan terendus juga oleh Ricca.
"Kenapa dengan Pak Dimas?"
"Pak Dimas? Oh, pinter ya lo ngeles. Dasar cewek murahan," makinya membuat aku geram.
Aku menggebrak meja tidak terima, kutunjuk mukanya yang tidak ramah.
"Elo gak pernah ngerasain apa yang gue rasain, gue tersiksa dengan pernikahan itu, Ric. Coba lo ada di posisi gue, iris kuping gue kalau elo gak ngelakuin apa yang gue lakuin."
Aku bangkit hendak berlalu, tapi pergelangan tanganku ditarik Ricca dengan cepat.
"Kita harus bicara!" cegahnya.
"Ini bukan urusan lo, jangan ganggu hubungan gue sama Dimas. Gue cinta sama dia."
"Itu bukan cinta, tapi nafsu. Dimas cuma pelarian buat lo, lepaskan Mas Fian kalau memang lo mencintai Pak Dimas. Cinta itu sanggup mengambil segala resiko, bukan kaya lo ini. Manfaatin Mas Fian demi obsesi diri, dan manfaatin Pak Dimas demi hasrat hati. Jahat banget lo, Mel!"
Aku menarik tangan, lalu kemudian membalas sorot mata Ricca yang tajam menghujam. Dia benar-benar menyebalkan, menyesal aku pernah bercerita ihwal pernikahanku dengan Mas Fian.
"Udah gue bilang, INI BUKAN URUSAN LO!"
Dengan muak aku meninggalkan Ricca yang tak menyerah mencaci demi bisa menahanku untuk tidak pergi, aku masa bodoh saja. Biarlah kehilangan satu orang teman yang hobi mengatur hidupku, dia bukan siapa-siapa. Aku punya Dimas, pelipur lara dan pelita jiwa yang sangat aku cinta, dan selalu menghujani aku dengan cinta.
Aku dan Dimas saling mencintai.
"Jangan main api, Mel! Gue kaya gini karena gue peduli sama lo," teriaknya sayup kudengar dari kejauhan.
Emosi yang memuncak gara-gara ulah Ricca, membuatku muak dan malas untuk masuk ke dalam kelas. Aku berjalan menuju gerbang kampus, aku akan pergi ke kostannya Dimas saja. Kebetulan hari ini dia tidak ada jadwal mengajar.
Dengan taksi online aku menyambangi tempat kost Dimas yang tidak terlalu jauh jaraknya dari kampus, kurang lebih sekitar 10 km.
Mobil jazznya terparkir di halaman rumah besar yang bercanopi, aku mempercepat langkah menuju ke lantai dua di mana kamar Dimas berada. Langkah terhenti di depan daun pintu bernomor 202.
Sosok tampannya muncul tidak lama setelah aku mengetuk pintu, aku menerobos masuk tanpa mengucapkan salam. Kemudian duduk di tepi ranjang berukuran single sembari bersungut tak patut.
Dimas menutup pintu lalu menghampiriku dan duduk di samping. "Kenapa gak kuliah?" tanyanya.
Aku melirik, lalu menceritakan semuanya.
"Ricca tahu dari aku, Yang."
"Kamu udah ngelanggar janji," sungutku sembari bangkit, tapi Dimas dengan sigap menahan aku pergi.
"Ricca itu sahabatmu, Sayang. Kenapa harus merahasiakan hal bahagia ini darinya?"
"Siapa pun itu, aku udah bilang sama kamu, jangan ceritakan ya jangan ceritakan!"
"Iya, maaf."
"Kamu ceritain juga sudah berapa lama kita menjalin hubungan?" tanyaku penuh selidik pada Dimas yang terlihat serba salah.
"Ya gak sampai sedetail itu, aku cuma tanya soal persahabatan kalian sudah berapa lama. Akhirnya ya gitu, aku jadi cerita kalau aku lagi deket sama kamu."
"Aku tadinya ke sini mau nenangin pikiran, tapi ternyata malah kamu biang keroknya. Aku mau pergi aja," pungkasku dengan wajah tidak ramah.
"Ya gak gitu juga, Sayang. Aku hanya bilang dekat aja, kok."
"Sama aja, aku gak suka kamu ngelanggar kesepakatan."
"Ricca sahabatmu, Yang."
Dimas menarik tanganku dan mendudukkan aku di atas ranjangnya, aku mendeliknya sinis penuh dengan amarah.
"Sebenarnya, rahasia apa yang sedang kamu sembunyikan dariku?" Pertanyaan Dimas barusan menohok hati, membuat aku mati kutu.
Aku mengalihkan pandangan pada layar LCD yang menyala, tatapannya tak kuasa aku balas. Aku ini sedang berbohong, sudah jelas mustahil jika aku berani balik menatapnya.
"Jangan diam, Mel! Ada rahasia apa?" Dimas mengguncang bahuku.
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Dim! Aku lagi marah soal kamu yang udah ngelangggar kesepakatan, jangan lagi bertanya soal rahasia yang tidak jelas, aku punya rahasia apa? Rumah aku saja kamu tahu," jawabku diplomatis meski sebenarnya aku sangat ketakutan.
"Hanya tahu, tapi gak pernah bisa masuk. Gak kaya aku di sini, setiap saat kamu bebas datang tanpa aku larang."
"Kamu tahu alasannya, kenapa kok dipermasalahkan?"
"Bukan mempermasalahkan, tapi-"
"Udah ah, aku pusing! Mau pulang saja."
"Aku anterin kamu pulang!"
"Gak usah, aku bisa naik taksi."
"Aku anterin," katanya kukuh.
Dia bergegas memakai hoodie dan menyambar kunci mobil di atas meja kerjanya, kemudian menuntunku keluar dari kamar.
Di mobil kami saling diam, menahan emosi yang terpendam
"Aku antar kamu sampai di dalam," ucapnya membuat aku terkejut.
"Di tempat biasa aja," jawabku penuh penekanan.
"Jam segini kakak kamu gak ada, kan?"
"Jangan nekat, Dim! Di sana ada mertuanya kakak dan juga kakak iparku, jangan gila."
"Sejahat itukah mereka sama kamu, Mel? Sampai-sampai kamu dilarang punya pacar. Bilang saja aku ini temen kampus kamu, kebetulan satu arah jadi pulang sama-sama."
"Enggak!"
"Mel!" Dimas meneriakkan namaku.
"Kamu lama-lama nyebelin, Dim! Turunin aku di sini."
Dimas bergeming, ia tetap fokus pada jalanan yang lengang.
"Aku gak main-main," ancamku membuka pintu sedikit.
Dimas yang panik pun cepat menepikan kuda besinya, lalu keluar menyusulku.
"Mel, jangan kaya gini, malu!"
"Putus!"
"Apa?"
"Aku mau kita putus," seruku memperjelas.
"Aku cinta kamu, Mel. Aku mau menyulam masa depan sama kamu, jangan kaya gitu dong!"
"Kamu sudah melanggar kesepakatan kita, dan aku anggap itu adalah kesalahan yang sangat fatal."
"Jangan gitu, Mel!"
"Jangan ganggu aku lagi, kita putus," isakku.
"Maafin aku, Mel."
Aku memberhentikan sedan biru yang kebetulan melintas, secepatnya aku masuk ke dalam mobil taksi konvensional tersebut.
Aku menangis, merasa menyesal telah membuat keputusan sepihak yang berakibat fatal bagi hubunganku dengan Dimas.
Kurogoh ponsel, maksud hati ingin menghubungi Dimas, tapi karena gengsi aku mengurungkan niat itu.
"Bodoh, bodoh!" gumamku memaki diri sendiri yang begitu terbawa nafsu.
Harusnya aku tadi marah saja, tidak perlu mengucapkan kata putus segala. Dimas, hubungi aku segera! Kalau kamu menghubungi aku, maka aku akan minta maaf dan meralat ucapanku tadi.
Hingga mobil berhenti di depan pagar, Dimas tak kunjung meneleponku. Hati aku mencelos, serta raga ini terasa kehilangan daya untuk tegar. Aku yang frustasi pun tumbang, kehilangan kesadaran sesaat setelah turun dari mobil taksi.
š¤š¤š¤
Mataku perlahan terbuka, rasa pusing langsung menyergap kepala ini, semua yang aku lihat terasa melayang. Lenguhan pelan lolos dari mulutku, hal itu membuat Mas Fian tergopoh menghampiriku.
"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Dek."
Aku memijat dahi dan berkata, "Kepala aku pusing, Mas. Perutku mual."
"Tadi dokter sudah memeriksa, Dek Amel. Sudah diberikan obat juga, tapi harus diminum setelah Dek Amel makan."
"Jam berapa ini, Mas?"
"Jam tujuh," jawab Mas Fian dengan wajah sangat khawatir.
"Malam?"
"Iya, Sayang."
Aku yang terkejut pun bangkit untuk duduk, tapi tak kuat untuk membuka mata yang mulai memanas.
Hah? Tujuh jam aku pingsan, kenapa selama itu? Dimas? Aku mau ketemu Dimas? Tapi bagaimana caranya? Aku sudah memutuskan dia, oh tidak!
Aku menangis tersedu, pilu. Kurasakan hangat dekapan Mas Fian, lelaki itu mencoba menenangkan aku. Dia kira aku menangis karena rasa pusing ini, padahal yang sebenarnya terjadi adalah aku sedang patah hati.
"Nanti pusingnya akan berangsur hilang, kalau sudah minum obat."
Mendengar ucapannya yang ngelantur, aku bukannya tenang, malah semankin histeris.
Mas Fian mengelus-elus kepalaku, suaranya terus membujum diriku untuk tenang.
"Dek Amel makan ya, habis itu minum obat."
Ingin rasanya aku berteriak, bahwa yang aku butuhkan saat ini bukan obat, tapi Dimas. Lelaki yang sangat aku cintai, lelaki yang baru saja aku putuskan, dan kini aku terpuruk meratapi kebodohan diri.
'Dimas, aku ingin bertemu denganmu. Aku ingin minta maaf dan menarik kembali kata-kataku tadi, aku sangat mencintaimu, Dim. Please tolong hubungi aku!' Batinku menjerit, Tuhan tahu persis sekencang apa lengkingannya.
Dekapan Mas Fian tidak sanggup mengobati lara dalam dada.
Kehadiran Mas Fian tidak bisa meredakan kegundahan dalam hati.
Aku ingin Dimas, hanya Dimas. Hanya dia lelaki yang aku cintai, bukan Alfian yang sudah dua tahun kurang menjadi suamiku.
"Dek Amel jangan kaya gini, Mas jadi sedih."
Aku tidak menjawab ucapannya, aku terus terisak sembari memejamkan mata.
"Makan ya, Sayang! Sedikit saja untuk minum obat, Mas khawatir sakit Dek Amel bertambah parah kalau sampai telat makan," bujuknya lemah lembut di telinga ini.
Tak ingin membuatnya risau, aku pun mengangguk.
"Alhamdulillah," serunya mengecup kening.
Kemudian ia berpamitan sebentar ke dapur untuk mengambil makanan untukku, sepeninggal Mas Fian aku menyandarkan punggung di kepala ranjang. Air mata pun tak jua surut.
Mas Fian kembali, lalu mulai menyuapiku. Di suapan ketiga aku menolak, karena sayur sop dan kulit ayam crispy buatan Bik Nani terasa hambar di mulutku.
"Ya sudah, minum obatnya, ya!"
Aku mengangguk.
"Mas, tinggalin aku sendiri! Aku mau istirahat," usirku padanya. Masa bodoh dia mau merasa sakit hati juga dengan ucapanku barusan, yang jelas aku ingin sendiri. Untuk menenangkan hati ini.
"Iya, Sayang. Cepat sembuh ya," jawabnya tenang, tidak terdengar kesal atau marah. Sebelum pergi Mas Fian sempat mengecup keningku, sungguh manusia aneh.
š¤š¤š¤
Tiga hari aku terpuruk sendiri, tidak ada lagi semangat dalam diri untuk beraktifitas, aku yang murung terus berdiam diri di atas tempat tidur. Sering kali mengecek ponsel yang aku silent, berharap ada pesan atau telepon dari Dima, aku sangat kecewa karena lelaki itu tidak pernah sekali pun coba menghubungi aku.
Semudah itukah Dimas melupakan aku? Kenapa dia tidak berusaha untuk memperbaiki hubungan ini? Sedangkal itukah rasa cintanya padaku?
Dimas, aku tersiksa karena kebodohkanku. Maafkan aku, aku ingin kembali padamu tapi mustahil aku menghubungi duluan, karena pastinya nanti kamu akan mentertawaiku.
Hanya Ricca saja yang tak patah arang terus memberikan perhatian lewat pesan dan telepon, pernah juga ia datang ke rumah, tapi kutolak mentah-mentah kehadirannya.
Mas Fian yang selama aku sakit tidak pergi ngantor pun sempat kesal karena aku dengan kasar mengusir Ricca, kami sempat berdebat hebat. Tapi, seperti biasa dia akan mengalah di saat aku mengeluarkan jurus pamungkasku, menangis.
Selain Mas Mas Fian, ada orang lain yang baik hati memperhatikan aku, selalu membuatkan makanan kesukaanku, dia adalah Bik Nani.
Seperti pagi menjelang siang ini, Bik Nani masuk menemuiku dengan membawakan semangkuk miayam pangsit andalannya yang sangat lezat.
Wanita paruh baya itu duduk di tepi ranjang, kemudian membujukku untuk makan.
"Neng, yuk makan!"
"Gak selera, Bik."
"Bibik sedih, kalau Neng Amel gak mau makan masakan Bibik. Masakan Bibik gak enak, ya?"
Aku tidak sampai hati, pasti Bik Nani sedih. Aku yang tidak tega pun membalikkan tubuh dan duduk.
"Bibik suapin?"
"Makan sendiri, saja."
"Ya sudah kalau gitu, Bibik tinggal dulu ke dapur, ya!"
"Iya, Bik. Makasih ya," ucapku mengelus punggung tangannya.
"Iya, Neng."
Bik Nani bangkit dan berlalu, aku mengambil mangkuk berisi miayam yang sangat harum. Aku meraih garpu dan mulai menyantapnya.
"Neng!" panggil Bik Nani di ambang pintu, membuatku menjeda suapan kedua.
Aku menoleh ka arahnya dan menjawab, "Iya, Bik?"
"Itu di ruang tamu ada temannya datang cari," katanya membuatku penasaran.
"Ricca?"
Bik Nani menggeleng. "Laki-laki, Neng. Dia lagi bicara sama Mas Fian."
"Laki-laki? Siapa?" Aku mulai tidak enak perasaan.
"Namanya kalau gak salah dengar itu, Dimas, Neng."
Mangkuk yang aku pegang seketika jatuh ke lantai, serasa langit runtuh menimpa dan menghancurkan tubuh ini.
Kiamat besar pasti akan segera terjadi.
bonita71 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup