Perlahan, aku mulai mengerti Denis. Kebodohannya beralasan. Ia hanya kesulitan mengendalikan emosi dan kemampuannya.
Dan Ayi terkekeh saat menceritakan tindakan Denis. Meski ia secara tidak langsung mengakui bahwa kondisi Dinda mulai menunjukkan tanda-tanda yang memperihatinkan.
Denis kembali dengan wajah lebih cerah dari sebelumnya, mendung yang mengganggu kini telah sirna seutuhnya. Menampilkan kembali raut kurang ajar dan lukisan kebodohan yang kentara dengan kemarahannya semalam.
Ia berjalan membawa 3 bungkus nasi kuning sebagai sarapan.
"Bangun... Bangun... Sarapan kita."
Denis membangunkan Ratih dan juga Ira yang masih tergantung.
"Ngapain beli 3?"
Ratih heran saat melihat apa yang dibawa Denis.
"Dia juga perlu makan dong."
Denis menunjuk Ira.
"Hah? Serius? Setelah semalam?"
Ratih keheranan sambil menyuapi dirinya.
"Semalam ya semalam, sekarang ya sekarang. Ini dan itu beda."
Denis melepaskan tali yang menggantung Ira.
Ira terjatuh lemas, sendi-sendinya masih patah. Ia membuka mata dengan sehidang makanan dihadapannya.
"Makanlah."
Kata Denis sembari menyodorkan makanan pada Ira.
Ira menatapnya tajam. Lengan dan kakinya terkulai tanpa daya. Dengan susah payah ia mengigit pinggiran piring lalu melemparkannya ke arah Denis dengan marah.
"Brengs*k! Bunuh saja aku! Berhenti menginjakku bajingan!"
Serapah keluar dari Ira.
Denis tak membalas perkataannya, ia hanya memungut makanan yang berserakan sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Tunggu tengah malam nanti, kuantar jiwamu menuju alam baka. Bersabarlah."
Ratih berkata dengan dingin.
Sementara Ira hanya terus tergeletak tanpa bisa bergerak.
Denis dengan perasaan serba salah keluar dari sana dan pergi entah kemana.
Perlahan waktu berlalu dengan tenang, hiruk pikuk semakin jarang di senja hari, lalu malam merangkak larut, menaikkan tirai bintang dan rembulan diatas sana. Kemudian babak kedua dimulai, hentakan musik koplo mulai mengalun memberi polusi baru, bau alkohol menguar, dan suara genit bersahutan dengan tawaran harga yang terus merendah dan meninggi bergantian.
Kemudian, pada akhirnya, malam telah sempurna naik ke singgasananya.
Denis kembali dengan raut wajah penuh arti, meringis kasihan dan acuh bercampur acak. Di sisi lain, ia tak pernah terlibat dengan nyawa manusia dengan cara yang ekstrim, namun ia pun mengerti bahwa Ira adalah musuhnya. Di titik ini, hukum rimba menjadi absolut. Membunuh atau dibunuh.
Orang waras mana yang ingin mati lebih cepat?
Berkali-kali ia tenggelam dalam pikirannya. Berkali-kali juga ia tegarkan hatinya.
"Apa yang akan kita lakukan?"
Denis membuka percakapan setelah mereka hening dalam beberapa saat.
"Ini."
Ratih merubah tangan kirinya seperti bilah pedang panjang.
Denis menelan ludah, meraba lehernya sendiri dan menatap Ira yang tak sadarkan diri.
"Tolong lakukan dengan cepat, kita tidak perlu memberinya penderitaan lebih dari ini."
Denis berkata sambil tak melepaskan pandangannya pada tubuh Ira.
"Cih! Katakan itu pada orang yang mematahkan lengan dan kakinya, menggantungnya dan malah memberikan dia sarapan."
Ratih menyindir keras.
Dan Denis hanya mengedarkan pandangannya berusaha menampik fakta tadi.
"Aku akan sangat amat berterima kasih sekali jika kau membantuku."
Ratih membalikkan tubuh Ira dan duduk diatas punggungnya sambil mengangkat kepala Ira dan tangan kirinya yang bersiap.
"Ugh..."
Dengan ragu, Denis mengangkat kepala Ira agar lehernya semakin jelas terlihat.
Bilah pedang perlahan merayap, mencari posisi diantara urat leher dan kerongkongan, menempatkan dirinya agar selesai dalam satu kali gerakan.
"Aku mulai."
Ratih memberi aba-aba.
Denis menutup mata.
'Brak! Bugh!'
Pintu yang terkunci ditendang keras hingga terbuka dengan paksa, lalu sebuah tendangan mendarat dengan tepat mengenai bahu Ratih membuatnya terlempar dan menghantam besi pinggiran ranjang.
Denis yang tersadarkan, membuka matanya hanya untuk menerima tendangan lain yang telak mengenai wajahnya.
Dan Denis tak bergeming. Ia melepaskan tangannya pada Ira dan mencengkeram kaki itu.
"Siapa sih?"
Denis membalikkan kaki itu dan memperhatikan wajah dari orang yang menyerangnya.
"Jangan katakan kau melupakanku."
Suara berat itu Denis mengenalnya.
"Ah.. orang besar yang bersama si kembar tempo hari! Madara!"
Denis menunjuknya dan berteriak.
"Namaku Maludra!"
Kakinya ia hentakkan, dan tendangan lain menyasar ke leher Denis.
Dan Denis masih tak bergeming, tak bergerak dari posisinya.
Denis lalu berdiri.
"Iya iya Maradra, mau ngapain kesini? Belum puas dilempar dari lantai 3?"
Denis berkacak pinggang dengan sombong.
"Si bodoh ini... Aku tak perlu menjawabmu."
Maludra berjalan dengan kasar, mencengkram kerah Denis berjongkok sedikit lalu mengambil tubuh Ira.
"Eh eh eh mau dibawa kemana?"
Denis berusaha menggapai Ira.
"Coba pikirkan, seorang teman penting sedang sekarat."
Maludra berkata dengan mendekatkan wajahnya.
"Terlalu dekat..... Menyelamatkannya?"
Denis meringis menjauh.
"Nah, tak kusangka otakmu akan sedikit berguna."
Maludra melepaskannya dan bersiap pergi.
"Tapi rencananya, wanita itu akan kami kirim ke alam baka."
Kini suara Denis datar dan dingin.
Maludra yang terdiam bergidik, ia membalikkan badannya dan menatap Denis yang kepalanya kini tertunduk.
Sebelum ia sempat bergerak lebih cepat, sesuatu mencengkeram lengan dan kaki Maludra. Empat lengan keriput muncul entah darimana. Lalu sebuah wajah nenek tua yang tersenyum menyeringai ke arahnya.
Setelah tubuhnya tertahan, sebuah untaian rambut mencekik lehernya.
"Serahkan wanita itu sebelum lehermu kupatahkan."
Denis berkata datar dan kepalanya mulai mendongkak perlahan.
Maludra yang tak berdaya menjatuhkan tubuh Ira. Ia ingin sekali bergerak, namun tubuhnya tak merespon, seperti sesuatu entah bagaimana menggerakkan tubuhnya mengikuti perkataan Denis.
"Berlutut."
Denis berkata lagi, dan dengan bantuan tangan-tangan keriput, Maludra dapat berlutut dengan sangat berat dan terpaksa.
Denis berjalan menghampirinya dengan perlahan, waktu satu detik seolah berjalan lambat bagi Maludra yang tak bisa bergerak.
Denis hanya melewati Maludra, menyeret tubuh Ira dan meletakkannya kembali ke tempat semula.
"Lempar dia sejauh mungkin."
Denis jelas memberikan perintah pada lelembutnya.
Dan secara ajaib, tubuh Maludra melayang terangkat di udara. Kombinasi lengan keriput dan untaian rambut mengangkat tubuhnya dan bersiap dilempar keluar jendela.
".... Sungguh kasar .... "
Suara lembut terdengar merdu, konteks menyindir tidak terasa sama sekali. Seperti bisikan halus yang memikat telinga.
Seorang perempuan berumur 25 tahun dengan perut buncitnya seperti tengah hamil tua berjalan pelan masuk. Rambutnya acak-acakan menutupi sebagian besar wajahnya, tangannya tak lepas dari perutnya yang besar.
Denis terdiam menatap tajam ke arah wanita itu.
"... Tolong bawa mereka nak ... "
Dengan sikap dingin yang menusuk, ia mengusap perutnya beberapa kali. Lalu seolah dari dalam perutnya sesuatu bergerak-gerak dengan jelas, seperti sesuatu memaksa keluar dari sana.
Sejurus kemudian, beberapa pasang tangan keluar tepat dari pusar wanita itu, merobek baju yang ia kenakan. Tangan besar gemuk, mirip tangan bayi-bayi namun dengan ukuran dan panjang yang tak masuk akal.
Tangan-tangan itu menggapai tubuh Ira, dan merebut Maludra. Lalu berjalan pelan menjauh pergi.
Denis masih mematung, tubuhnya gemetar, lalu darah mengucur pelan dari hidungnya, menetes perlahan dan jatuh ke lantai.
Setelah suasana kembali tenang, ia ambruk jatuh terduduk. Denis kehilangan keseimbangan dan keteraturan nafasnya.
Samar, Ratih tersadar dari pingsannya dan mendapati Denis sedang kesusahan mengatur nafasnya.
Ratih heran, dan saat ia melihat bahwa tubuh Ira telah lenyap. Ia panik sambil menahan sakit di tubuhnya.
"Apa yang terjadi?"
Ratih bertanya dengan cepat.
"Kuntilanak...."
Satu kata dari Denis sebagai jawaban yang tak menjawab pertanyaan Ratih sama sekali.
"Ah sialan, Jar lacak mereka."
Ratih memberi perintah, lalu jaketnya melayang terbang keluar dan hilang diterpa malam dan angin yang tak nyaman.
Ratih berdiri bersiap pergi, dengan cedera dan lokasi yang tak menguntungkannya saat ini, berdiam diri sama saja mati. Ia berjongkok dan meraih ponsel milik Ira yang tertinggal. Saat dinyalakan, sebuah wallpaper yang terpasang disana menyiratkan senyum licik Ratih yang manis.
"Kau urus dirimu sendiri, aku akan pergi. Entah bagaimana semuanya tidak berjalan dengan baik. Namun, aku punya sedikit ide yang sepertinya akan berhasil. Hubungi aku saat kau lebih tenang."
Ratih beranjak pergi meninggalkan Denis yang masih mematung.
Udara malam menembus jendela, menghembus dari pintu, membelai wajah Denis.
"Ah kampret, kok bisa-bisanya ketemu sama makhluk begituan sih?"
Ia merogoh ponselnya, mencari kontak dengan tulisan 'bapak' disana.
Lalu sebuah tombol memanggil. Beberapa detik kemudian, suara orangtua dengan nada mengantuk terdengar dari seberang.
"Aya naon?"
("Ada apa?")
Suara tua yang kelelahan terdengar.
"Aya diimah? Aing butuh kitab Wanara."
("Ada di rumah? Aku butuh kitab Wanara.")
Denis menjawab ketus.
"Aya, kadieu weh. Ujang kunaon nanyakeun eta?"
("Ada, kesini aja. Kamu kenapa nak nanyain itu?")
Suara tuanya terdengar ramah.
"Aing butuh keur nyampurnaan."
("Aku butuh untuk menyempurnakan.")
Denis berkata sambil berdiri.
"Naha? Lain geus mahi elmu didinya?"
("Kenapa? Bukannya ilmu yang kamu kuasai sudah cukup?")
Suara itu bertanya.
"Kuntilanak."
Denis menjawab.
Dan orangtua itu terdiam selama beberapa saat.
"Buru balik, aing dadasar jang dibawa."
("Cepat pulang, kusiapkan semuanya untuk dibawa.")
Orang itu berkata dengan terburu, ucapannya bercampur amarah.
Denis mengakhiri panggilan itu dan bergumam sendiri.
"Tak perlu kau suruh, bajingan tua."
Semilir angin membawa aroma anyir, lagi-lagi menghempaskan nafsu membunuh yang teredam teriakan menggoda yang bercampur dengan semerbak alkohol.