Kaskus

Story

blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
Aku Mencintai Bandot Tua
Aku Mencintai Bandot Tua


Aku Mencintai Bandot Tua

Aku Mencintai Bandot Tua

Spoiler for Update Chapter:


Chapter 1


"AYAH JAHAT, GAK PUNYA HATI!" Kuhentakkan kaki sebagai tanda perlawanan atas keputusan sepihak lelaki paruh baya yang egois, setelah itu aku segera berlalu meninggalkan ruang tengah di mana ayah dan ibu sedang duduk termangu dan lesu.

Pintu kamar kubanting dengan kencang, hingga menciptakan suara yang membahana dan tentu mengagetkan siapa saja yang berada di rumah ini. Rumah yang dahulu bak surga, kini berubah seperti neraka yang panas dan selalu membuat aku muak.

Tangisku luruh bersama dengan harapanku yang kandas karena keadaan yang tidak berpihak, kubenamkan wajah dalam bantal sehingga lengkingan sedu sedan yang tercipta dapat teredam dan hanya dapat didengar olehku saja.

Malam ini adalah malam terakhirku berstatus sebagai single, karena besok aku akan menikah dengan seorang pria yang sama sekali tidak aku kenal, apalagi aku cintai.

Pernikahan yang mendadak dan tiba-tiba ini membuat batinku terguncang, serasa dijatuhkan dari atas langit menimpa tanah menembus ke lapisan yang terakhir, sangat sakit dan merasa terhina. Karena lelaki itu bukan menikahi, tapi membeli.

Aku benci dengan takdir dan nasib, mengapa Tuhan memberi aku keluarga yang seperti ini?

Usiaku baru akan menginjak 19 tahun bulan Mei nanti, teman-temanku semua melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Aku apa? Malah menikah dengan bandot tua yang lebih pantas aku panggil dengan sebutan 'Om', karena usianya tidak jauh dari ayah.

Aku ingin berontak rasanya tak mungkin, pacarku si Bagas pun angkat tangan saat aku mengajaknya kimpoi lari. "Aku masih mau kuliah, kalau nikah nanti, kamu ... maksudku, kita mau makan apa? Dan siapa yang akan ngebiayain kuliah aku? Bunda aku pasti murka disangkanya aku ngehamilin kamu, duh aku gak sanggup. Maaf ya, Sayang!"

Dasar pengecut! Gak punya nyali! Kepentingan sendiri yang dia pikirin, janji suci yang selama ini dia ikrarkan ternyata cuma isapan jempol belaka. Aku benci Bagas, aku benci Ayah, aku benci si Bandot Tua yang bakalan jadi suamiku besok. Aku benci makhluk Tuhan yang berjenis kelamin lelaki, aku benciiiii!

Pernah aku coba bernego dengan Ayah tentang keputusan ini, aku coba membujuk beliau agar aku diizinkan untuk bekerja demi bisa menopang perekonomian keluarga yang mulai carut marut. Dan, daebak! Ayah menolak mentah-mentah niat mulia itu. Alhasil aku gondok dan mau tidak mau harus manut, tidak boleh tidak.

Dengan berat hati aku pun menurut, semuanya kulakukan semata-mata demi membahagiakan orang tua dan adik-adikku.

Calon suamiku, maksudku si Bandot Tua itu adalah seorang pengusaha yang bisa dibilang sukses, dia banyak menolong keluarga ini terutama dalam masalah keuangan. Usaha restoran ayah bangkrut setelah ibu ketahuan memiliki banyak hutang, hutang di bank, rentenir, beberapa tagihan kartu kredit dengan limit di masing-masing kartunya lumayan besar dan koperasi simpan pinjam.

Alfian Wijaya, si Bandot Tua yang besok akan menjadi suamiku itu adalah seorang pelanggan setia restoran Ayah, dia sering sekali memesan catering dan tumpeng apabila sedang ada event di perusahaannya.

Hubungan si Bandot Tua dengan Ayah sangat erat, maka sewaktu Ayah gulung tikar dan terpaksa menjual semua asetnya demi membayar hutang Ibu yang jumlahnya sampai ratusan juta, dia datang lalu menawarkan bantuan finansial yang jumlahnya tidak main-main, asalkan Ayah tidak menutup usahanya.

Ayah menolak mentah-mentah bantuan dari si Bandot Tua, beliau tidak mau punya hutang budi. Alhasil kami pun jatuh miskin, tinggal di rumah minimalis di pemukiman padat penduduk yang kumuh.

Tapi saat kami sudah melarat, Ayah tidak bisa lagi menolak apa yang diberikan oleh Bandot Tua tersebut. Sehingga hutang budi itu benar-benar tercipta, dan aku menjadi pelunasnya.

Ibu hanya bisa menangis dan meminta maaf, saat aku dan adik-adik menderita terkena imbasnya . Waktu itu, aku ingin sekali membencinya tapi aku tidak bisa.

Aku hanya bisa mengelus dada serta meratapi nasib yang malang ini, sering aku berpikir keras akankah kisahku bak sinetron ikan asin terbang? Berawal tragis tapi berakhir manis, ah entahlah! Cuma Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi nanti.

Aku merasa sepi di dalam kamar ini, padahal di luar sana sedang ramai. Banyak orang sedang mempersiapkan acara untuk besok. Saudara jauh, tetangga dan kerabat dekat berdatangan untuk membantu. Samar-samar kudengar suara tawa mereka, begitu lepas dan tanpa beban.

Aku tidak bersemangat dan masa bodoh dengan semua ritual yang harus dijalani sebelum pernikahan. Peduli amat dengan puasa dan juga tradisi pingit, aku bebas jalan dan nongkrong dengan teman-teman, Ayah dan Ibu tidak bisa melarang karena itu syarat sebelum aku mau menuruti permintaan mereka.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Dalam kamar yang indah ini hatiku merasa terkoyak, wajah yang telah dipoles riasan tebal ini terasa bagai topeng badut saat aku lihat di cermin. Kebaya mewah nan cantik yang si Bandot Tua pesan khusus dari butik ternama pun kurasa gerah dan tidak nyaman, sama seperti perasaan yang bergejolak ini.

Telinga seketika terasa panas dan memerah saat MC memberitahu kalau romongan calon mempelai pria sudah tiba, perias pengantin yang tidak tahu perihal isi hati ini pun menepuk bahuku sembari bersorak gembira. Aku meresponnya dingin, cuma tersenyum kecut, sekecut ketek tukang becak yang baru selesai ngegenjot di tanjakan.

Wanita yang berperan sebagai MUA itu kembali mengecek riasan wajahku, usai sapu sana-sini senyumnya mengembang. "Perfect!" katanya.

Aku memandang wajah yang menurutku seperti pemain lenong yang akan tampil di panggung.

Kebaya modern putih, rambut disanggul yang dihiasi mahkota gold dan kembang goyangnya, dirasa bagai atribut pemain barongsai saat perayaan imlek.

Tok ... tok ... tok ....

Pintu kamar diketuk oleh seseorang yang hendak menjemputku, dia Vina, sepupuku.

"Mel, yuk ke depan!" ajaknya mengulurkan tangannya padaku.

Tanpa menjawab, aku meraih uluran tangannya dan berjalan menuju teras rumah yang dijadikan tempat untuk ijab kabul.

Kulihat sekilas wajah calon suamiku, ia tersenyum ramah tapi aku pura-pura tidak melihatnya.

"Kepada calon pengantin wanita kami persilahkan duduk di samping sang pangeran yang telah bersiap mengikrarkan janji suci di hadapan kita semua," ucap MC membuatku ingin muntah.

Semua orang kecuali aku tersenyum mendengar ucapan MC itu. 'Pangeran apaan? Pangeran kodok kali,' sungutku dalam hati.

Setelah melewati beberapa rangkaian prosesi maka tibalah saatnya pengucapan ijab kabul. Setelah dipandu oleh pak penghulu, maka si Bandot Tua itu dengan lantang mengucapkan kalimat sakral di depan semua orang yang hadir disini.

"Saya terima nikah dan kimpoinya Amelia Gentari Permadi binti Dodi Permadi dengan mas kimpoi satu set perhiasan emas seberat 50 gram dibayar tunai."

Para saksi, tamu undangan dan keluarga mengucap syukur karena prosesi utama berjalan dengan lancar dan sukses. Bagai tersengat listrik bertegangan tinggi saat mendengar penghulu dan semua orang berkata 'SAH', itu berarti per hari ini aku akan hidup dengan si Tua Bangka ini. Tidaaaaaak!

Mengapa aku sebut dia tua bangka? Itu karena usianya sudah 40 tahun, ia seorang perjaka tua alias bujang lapuk. Entah kenapa dia belum menikah sampai usianya setua itu, hanya Tuhan dan dia yang tahu.

Acara resepsi kami diadakan secara sederhana, aku malu kalau harus pesta meriah. Teman-teman sekolah, tidak ada satu pun yang aku undang, apa kata dunia seorang Amelia yang jadi rebutan cowok-cowok populer dan terkenal sebagai play girl di sekolah dulu tiba-tiba nikah muda, sama bandot tua lagi.

Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, lalu kemudian mengusirnya dari sisi ini. Sumpah aku muak, benci, dan enek harus duduk berdekatan di pelaminan dengannya.

Apalagi saat dia sok perhatian menawari aku mau makan atau tidak, ih benar-benar menyebalkan. Apalagi aku sempat melirik dengan ujung mata, dia sering mencuri pandang kepadaku, ingin rasanya aku tusuk matanya pakai gembang goyang yang menancap di sanggul palsu ini.

Saat duhur menjelang acara resepsi pun usai, aku dan dia dipersilahkan untuk masuk beristirahat. Si Bandot Tua sok manis, mengulurkan tangan berniat menuntunku. Tapi dengan tegas aku tolak, beralasan tidak kuat ingin buang air kecil, secepatnya aku ngacir duluan.

Sejenak aku berdiam diri di dalam kamar mandi, berjalan mondar-mandir dengan pakaian lengkap. Konyol memang, tapi semua ini aku lakukan agar alasanku tadi tidak sekadar hoax.

Hingga lima menit lamanya, aku pun keluar dan melangkah masuk ke dalam kamar pengantin. Segera aku kunci pintu, agar dia tidak masuk tiba-tiba di saat aku lagi buka baju.

Kuhempaskan tubuh di ranjang, menghela napas panjang memindai kamar ini. Mencebik dan merutuk, meski sia-sia tapi itu bisa membuatku lega dan merasa lebih baik.

Kemudian aku berdiri, sudah saatnya menanggalkan 'pakaian lenong' ini, aku ingin mandi dan istirahat dengan tenang dan damai.

Saat pakaian dan semua atribut tanggal, pintu diketuk. "Pasti itu si Batu alias Bandot Tua," sungutku geram.

Dengan wajah masam aku membuka pintu, tanpa menegurnya aku kembali masuk menyambar handuk kimono yang tergantung di paku. Tanpa menoleh kepada dia, aku bergegas pergi meninggalkannya.

Sesampainya didalam kamar mandi, aku segera membersihkan diri. Hampir 2 jam lamanya aku semedi didalam kamar mandi, karena kewalahan mengurai rambut setelah disasak tadi.

Setelah berhasil mengurai rambut yang kusut, aku pun segera membasuh seluruh tubuh. Segar rasanya, apalagi setelah keramas kepala ini jadi enteng sekali.

Di dalam kamar, aku pakai baju kebesaran emak-emak yaitu daster. Usai mengoleskan pelembab muka, aku pun langsung berbaring di atas spring bed yang empuk dan nyaman. Si Bandot Tua tidak ada di sini, membuatku sangat damai dan tenteram tentunya.

Namun ketika akan terlelap, pintu kamar kembali diketuk dan terdengar suara derap langkah si Bandot Tua memanggil namaku.

"Dek, ini Mas Fian tolong buka pintunya!"

Aarrrgghh!

Aku merutuk dalam hati, dengan wajah kesal segera kubuka kunci pintu. Setelah itu kembali ke formasi awal tadi.

Suara sepatunya membuat telinga ini sakit, dia menggantungkan jasnya di kastop dekat lemari pakaian.

Kuintip dengan mata yang pura-pura dipejamkan, dia sedang celingukan seperti sedang mencari sesuatu.

"Dek, bisa minta tolong ambilkan handuk?" Tangannya mengusap pundakku.

Tanpa menjawab aku bangun dan beranjak membuka lemari, untuk mengambilkan benda yang dia butuhkan.

'Uh beneran ya nih si Bandot Tua ini, ngeganggu ketenangan gue aja!' Kedua kalinya aku merutuk dalam hati.

"Makasih ya, Dek. Mas mandi dulu," ucapnya sok imut.

'Mandi aja sono, kaya gue nungguin lo aja dasar 'Batu' alias Bandot Tua.'

Aku tersenyum dan mengangguk, berusaha tidak menunjukkan rasa kesalku padanya, semuanya kulakukan demi keluarga.

Sepeninggal dia, aku pun pulas tertidur. Beberapa kali dia membangunkan aku untuk salat, tapi aku tak menggubrisnya. Aku beralasan aku sedang haid.

Selepas isya setelah selesai makan malam bersama, dia mencoba mengajakku bicara berdua di dalam kamar sebelum kami terlelap.

"Mas tahu, Dek Amel belum siap dengan pernikahan ini. Tapi mas minta, Dek Amel harus mulai belajar menerimanya ya," ucapnya pelan tapi tegas.

"Om Fian, eh ... Mas Fian jangan bicara kaya gitu, dengan aku bersedia menikah, itu artinya aku sudah menerima Mas Fian. Suka gak suka, toh aku gak punya pilihan."

"Alhamdulillah kalau begitu, mas lega dengarnya. Mudah-mudahan saja pernikahan kita ini bisa membawa kebaikan untuk kita dan diberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat ya, Dek."

"Aamiin," jawabku tampak penuh harap, padahal penuh rutukan.

Beberapa saat kemudian Mas Fian meraih dan mencium punggung tangan ini dengan lembut, rambutku ia usap perlahan. Tanpa menunggu izin, dia mendaratkan ciuman di kening, lalu turun ke pipi dan bibir.

Aku tidak memberi respon, bukan tidak bisa berciuman tapi aku merasa jijik ketika bibirnya menyentuh dan mamagut bibirku. Tiba-tiba ia melepaskan bibirnya dan menatap wajah ini.

"Kok diam, Dek? Kamu belum siap ya?"

"Eng-enggak, Mas. Aku gak tahu cara berciuman, aku bingung harus bagaimana," kilahku bohong. Padahal waktu pacaran dengan Bagas, sering aku berciuman alias baik.

"Maaf Mas Fian, aku belum bisa malam ini." Tanganku mendorong dada bidang itu pelan, menghentikan aksinya.

"Kenapa, Sayang?" Kata 'sayang' yang dia ucapkan barusan, benar-benar bikin aku gumoh, huweekk!

"Aku sedang ada tamu bulanan, Mas. Makanya tadi aku gak salat." Harap-harap cemas berharap ia percaya, dan tidak meraba apakah aku memakai pembalut atau tidak.

Ia tersenyum dan kemudian mengangguk. "Iya mas tahu, tadinya mas kepingin mesra-mesraan aja gitu." Kulihat ada gurat kecewa di wajahnya, tapi aku gak peduli yang penting aku berhasil-berhasil horeeee.

Itu artinya aku harus bersandiwara mendapat tamu bulanan selama seminggu lamanya, hal itu tidak membuatku aman tapi setidaknya aku bisa mengulur waktu.

Hari ini, adalah hari pernikahan kami yang kelima, dan sesuai dengan perjanjian awal aku akan meninggalkan rumah dan ikut bersama Mas Fian ke rumahnya.

Rasanya sangat berat aku berpamitan dengan orang tua dan kedua adikku, air mata ini tumpah. Aku tidak kuasa harus berpisah dengan mereka.

Walaupun aku bisa setiap saat bertemu dengan mereka, karena rumah Mas Fian dan orang tuaku hanya berjarak kurang lebih 100km. Namun, tetap saja itu suatu hal yang membuatku sangat bersedih.

"Ingat ya, Nak, pesan ayah! Harus hormat dan patuh pada suami, ayah selalu berdoa yang terbaik untukmu," bisik Ayah ketika memelukku.

Kujawab petuah Ayah dengan anggukan, lelaki paruh baya itu tahu betul seperti apa perasaanku saat ini. Tapi, Ayah tidak mau tahu dan terkesan tidak peduli. Aku merasa dijual pada si Bandot Tua, diri ini tak ubahnya seperti budak pemuas nafsu yang dipersembahkan untuk pejabat pada masa kerajaan dulu.

Aku dan mas Fian memasuki mobil, tak kuasa menahan tangis saat besi yang mewah yang ditumpangi meninggalkan rumah yang selama kurang lebih tiga tahun ini aku tempati.

Aku menangis sesegukan didalam mobil, lambaian tangan mereka tidak bisa hilang dari ingatan.

Mas Fian yang duduk di sebelah memeluk erat, hal itu tidak berarti apa-apa. Tidak juga bisa membuatku luluh untuk mencintainya.

"Jangan sedih lagi, Dek, setiap saat Adek ingin ke rumah Ayah bilang saja, mas akan antar."

Aku mengangguk dan terus menangis, di sepanjang perjalanan menuju rumah mas Fian.

Lebih satu jam kemudian, kami tiba di rumah mewah yang begitu asri dan nyaman. Aku dan mas Fian turun dari mobil, Pak Zaki, sang supir segera membuka bagasi dan menurunkan koper-koper.

"Asslamualaikum," ucap Fian ketika memasuki rumahnya.

"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya bersanggul, dengan wajah menor yang sedang asik membaca majalah di sofa ruang tengah.

Wanita bergaya bak ibu sosialita itu adalah ibu mertuaku, Ibu Siska namanya. Dari raut wajahnya sepertinya ia tidak suka padaku, terbukti pada saat pernikahan dulu dan sekarang tatapannya tetap sama, sinis.

Ah, tapi aku tidak mau ambil pusing. Bodo amat lah, toh aku juga nikah karena terpaksa. Seandainya wanita itu mengusirku suatu hari nanti, hal itu akan jadi senjata ampuh untuk bisa lepas dari belenggu pernikahan ini.

Mas Fian mencium punggung tangan ibunya dengan takzim, kemudian ia memeluknya dengan penuh rasa sayang.

Aku bersikap sama, mencium tangan mertuaku yang sebelumnya menatapku dari atas sampai bawah, seperti aneh melihatku. Padahal jelas-jelas dia yang menurutku aneh.

Kami berbincang sebentar dengan Bu Siska, setelah itu Mas Fian mengajakku untuk beristirahat di kamarnya.

Tangan ini dituntun masuk, menuju ruangan pribadi yang terletak di dekat ruang tengah. Sesampainya di dalam, aku takjub dengan kamar tidurnya, begitu nyaman dan wangi sekali. Mataku berkeliling menatap ke setiap sudut ruangan yang dipenuhi dengan perabotan modern dan tentunya mahal.

Dahulu, kehidupanku juga bisa dibilang mampu. Tapi rumah masa kecilku tidak semewah rumah Mas Fian, haruskah aku merasa beruntung karena mempunyai suami tajir?

"Dek, lemari pakaian yang tiga pintu itu baru. Mas sengaja belikan untuk menyimpan semua pakaianmu. Karena lemari Mas sudah penuh, hehe."

"I-iya Mas, terima kasih." Aku merasa kikuk dan canggung di rumah mewah ini.

"Mas, aku mau mandi dan ganti baju dulu ya," ucapku memecahkan kecanggungan dengannya.

Mas Fian mengangguk dan mengeret koper kami kedekat lemari pakaian. Segera aku membuka dan mengambil pakaian santai juga handuk, membawanya ke kamar mandi yang lagi-lagi membuat aku takjub dibuatnya.

Usai mandi, aku duduk di tepi ranjang. Menggosok rambut yang basah dengan handuk kecil. Mas Fian tidak mau jauh dariku, ia duduk menemani dan menawarkan diri untuk membantu mengeringkan mahkota indah ini.

Jujur, aku merasa risih dan tidak nyaman dengan perlakuannya. Bulu romaku merinding saat wajahnya mendekat, dari pantulan cermin aku lihat matanya terpejam saat menghidu bau harum yang menguar dari rambutku. Embusan napasnya membuat tengkuk meremang, adegan tidak senonoh pun terbayang dalam benak.

Tidak tahan dengan perasaan jijik yang menguasai, aku bangkit dan menyibukkan diri menyusun pakaian dari dalam koper ke lemari.

"Bibik saja nanti yang ngerjain, Dek," katanya sembari menatapku lekat.

Aku menggeleng dan tersenyum sok manis. "Aku bisa sendiri, Mas. Gak puas kalau barang pribadi, orang lain yang ngerjain."

Mas Fian mengangguk, lama kelamaan dia merasa bosan melihatku tak memberikan kesempatan sedikit pun padanya untuk menghabiskan waktu berduaan, dia berpamitan untuk keluar kamar setelah sebelumnya bertanya aku mau makan apa saat makan malam nanti.

"Apa aja, aku makan, Mas."

"Baik, mas keluar ya."

"Iya."

Sepeninggal Mas Fian, aku berhenti bersandiwara. Kuhempaskan bokong ini, melepas lelah setelah berusaha lolos dari cengkeraman singa tua, hehe.

Saat jam makan malam tiba, aku duduk di depan meja makan malam yang mewah dan indah. Berbagai macam menu masakan lezat tersaji di atasnya, lengkap dengan makanan penutup dan buah-buahan.
Diubah oleh blackgaming 07-03-2021 14:59
ichigame16Avatar border
ciptorosoAvatar border
sormin180Avatar border
sormin180 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
21K
51
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
#15
Chapter 10


Aku mendongak saat tangan Mas Fian melingkar di depan dada, serta merta ia mengecup kening ini. "Suka dengan kursi putarnya?"

"Iya, Mas. Makasih banyak, kapan belinya?"

"Tadi waktu antri beli tiket nonton."

"Online?"

"Iya."

Mas Fian menyandarkan kepalanya di atas bahu, lalu mengecup leher ini dengan lembut. Ini isyarat mengajak untuk bercinta darinya, aku sudah paham gelagatnya. Demi membalas kebaikannya, aku pun menurut. Berpura-pura menikmati meski hati ini tidak rela disentuh serta digauli.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Kopi espresso yang pahit itu tandas dalam waktu singkat, Dimas kemudian membuang abu yang sudah memanjang di ujung rokoknya. Lalu mengalihkan pandangannya padaku yang sedang menyeruput secangkir coklat hangat nikmat.

"Mel, gimana penjelasan dari aku waktu mengisi kelas?"

"Jelas dan mudah dimengerti, bahasanya ringan gak berbelit-belit."

"Oh iya?"

"Iya, masa iya aku bohong."

Dimas tertawa kecil, lalu kemudian netra coklatnya menyipit memandang ke arah langit jingga kuning kemerahan, di mana sang surya hendak berpulang ke peraduannya. Dari rooftop cafe ini pemandangan sore hari yang indah ini terasa sangat hangat.

Setengah jam sebelum kelas terakhir berakhir, Dimas mengirimkan pesan padaku bahwa ia ingin mengajakku ke suatu tempat, untuk membicarakan sesuatu.

Dengan senang hati aku langsung mengiyakan ajakan dosen muda yang tampan itu, usai kuliah aku dengan leluasa bisa pulang telat karena Mas Fian sedang berada di Manokwari dalam rangka peresmian minimarket barunya.

Dimas yang memakai atasan dress shirt warna putih, berkerah runcing atau kerah cutaway itu tampak sangat cool. Gaya rambut soft side partingnya yang meski termasuk ke dalam jenis rambut klasik, tidak mengurangi pesonanya yang memukau.

Manik mata cokelat yang mengkilat terkena semburat jingga kemerahan dari matahari yang hendak tenggelam itu menatap lekat padaku, aku jadi salah tingkah dibuatnya. Aku sempat ingin ke toilet sebentar untuk mentouch up wajah agar tidak terlihat kumel, tapi tidak jadi karena kedua jemari ini keburu digenggamnya.

"Mel, aku tahu ini terlalu cepat. Kita baru empat kali jalan dan bicara berdua seperti ini, tapi aku punya keinginan lebih untuk mengenal kamu lebih dekat. Jujur, Mel. Semenjak aku lihat kamu saat ospek, hati aku tertambat lekat."

Dada ini berdesir mendengar kata-kata pembuka yang manis dari bibirnya yang seksi, aku terdiam menunggu lanjutan yang sudah barang tentu dapat kutebak adalah sebuah ungkapan pernyataan cintanya padaku. Cihuy!

"Mel, aku punya perasaan khusus padamu. Perasaan yang lebih dari sekadar berteman, perasaan seorang lelaki dewasa, aku cinta kamu, Mel. Ingin rasanya aku mengenalmu lebih dalam, dengan harapan hubungan kita berlangsung hingga jenjang yang lebih serius lagi."

Diri ini serasa melesat melayang ke langit saking bahagianya, pipi bersemu merah muda tersipu malu saking terharu, kuberanikan diri membalas tatapan penuh cintanya padaku, ingin rasanya aku berdiri dan memeluknya lalu menjawab 'aku juga cinta kamu, Dim!'.

"Jangan marah ya, Mel. Bukan aku mau bersikap lancang, aku udah gak kuat lagi nahan rasa di hati ini. Aku-"

Aku menyelanya cepat. "Sama sekali gak lancang, wajar kalau memang kamu ngutarain apa yang ada di dalam hati kamu."

"Syukurlah, aku sempat ragu dan merasa takut."

"Ragu dan takut kenapa?"

"Takut kamu marah, dan takut kamu menyangka aku kurang ajar. Karena baru kenal, sudah berani mengutarakan perasaannya."

"Aku gak punya pikiran sejauh itu, Dim. Percayalah, aku senang kamu mau bicara jujur tentang isi hatimu."

"Apa jawabanmu, Mel?"

"Sebelum aku jawab, aku mau ngasih beberapa pertanyaan yang nantinya akan menjadi syarat yang harus kamu penuhi."

"Sebutkan! Apa pun itu, aku sanggup. Selama demi kebaikan kita bersama."

Aku menghela napas panjang, sembari mencoba merangkai kata-kata dalam hati.

"Seandainya aku nerima kamu, sanggup gak kamu menjalani hubungan bacstreet? Aku gak mau orang-orang di kampus tahu."

"Kenapa?"

"Jawab aja!"

"Tapi aku harus tahu alasannya," ujarnya menyelidik.

"Jawab dulu, nanti aku beri tahu kenapa."

Sejenak Dimas diam, aku tahu dia sedang mempertimbangkan pertanyaanku yang pasti sulit untuk dijawab.

"Kalau memang kamu keberatan, sebaiknya-"

"Aku sanggup, Mel."

Mendengar jawabannya yang diplomatis, aku lega dan tersenyum senang. "Pertanyaan kedua ini, harus kamu jawab tanpa bertanya kenapa. Seandainya kita jadian, kamu jangan nuntut aku bisa dihubungi atau menghubungi kamu di jam aku ada di rumah. Apa kamu gak keberatan?"

Dimas menjadi gamang mendengar pertanyaan kedua dariku, ia menoleh ke sisi kiri di mana pagar pembatas gedung yang rendah terpasang. Cukup lama ia termangu, menimbang serta memikirkan sisi baik dan buruknya. Setelah tidak lagi ragu, kemudian ia pun menjawab, "Ya, aku bersedia."

"The last, di saat kita jadian nanti, kita gak akan bisa leluasa jalan berdua kaya gini, ada saatnya dan itu tidak bisa sering, apa kamu gak keberatan?"

Tidak seperti sebelumnya, kali ini Dimas langsung menjawab mantap penuh dengan keyakinan.

Lega, kurasa. Karena aku rasa akan cukup aman bila aku menjalin hubungan dengannya, biarlah sementara aku jalani hubungan gelap ini. Meski aku tahu ini dosa besar, tapi aku manusia biasa yang punya rasa ingin dicinta dan mencinta.

"Makasih ya, Dim. Kamu udah jawab pertanyaan aku tadi, sekarang akan aku utarakan alasannya kenapa."

"Kakakku, adalah alasannya. Aku kuliah dibiayai kakakku, kakakku mau aku fokus kuliah dan melarang keras untuk pacaran. Untuk itu aku minta kamu menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, yang nantinya akan jadi syarat yang harus kamu penuhi dan gak boleh kamu langgar."

"Demi kebaikan bersama, kalau kamu bersedia, maka aku bersedia menerima cinta kamu, Dim."

Seulas senyum terukir di wajah rupawan Dimas, ia mempererat genggaman tangannya.

Di bawah langit senja, aku dan Dimas resmi jadian. Mata kami bersitatap penuh suka cita, aku bahagia karena kini memiliki seseorang yang akan membuat hari-hari sepi menjadi happy.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Laju mobil Dimas yang aku tumpangi tiba-tiba tersendat-sendat, lalu beberapa saat kemudian mogok dan sulit untuk distarter.

"Duh, ada-ada saja." Dimas memukul pelan stir dan bergegas keluar untuk memeriksa mesin.

Aku yang enggan turun karena di luar matahari sangat terik, pun lebih memilih untuk tetap stay duduk.

Kulihat kap mobil dibuka oleh Dimas, untuk mengecek kerusakannya. Cukup lama ia mengutak-atik mesin, setelah dirasa menyerah ia pun kembali masuk.

"Sayang, kita naik taksi online saja, kamu gak apa-apa?" tanyanya sembari mengambil ponsel dinatas dashboard.

"Gak apa-apa, Sayang. Naik angkutan umum juga aku ayo, asal sama kamu, hehe."

"Kamu jago banget gombal, so sweet," ujarnya terkekeh, sembari mengacak rambutku.

"Haha, kamu mau telepon siapa, Yang?"

"Derek, biar mobilnya dibawa ke bengkel aja."

"Emang rusak parah?"

"Kayanya bautnya kurang kenceng."

"Emang cuma karena baut mobil bisa mogok?"

"Bisa dong, Sayang. Baut yang gak terpasang dengan baik bisa menyebabkan kebocoran atau masalah lainnya."

Dimas yang tampak lelah pun segera menghubungi mobil derek, setelah itu ia mengajakku untuk segera pergi khawatir keburu malam.

Aku dan Dimas seharian ini menghabiskan waktu bersama di wahana permainan di alam terbuka, sangat seru dan penuh tantangan. Jalan dengannya benar-benar sangat mengasyikan dan seru, aku seperti menemukan kembali masa remajaku yang sempat hilang dirampas oleh si Bandot Tua.

Meski Dimas seorang dosen, tapi gaya dan cara bergaulnya tidak kolot. Aku sangat suka semua yang ada di dirinya, keren deh pokoknya.

Jalan dengannya terasa membanggakan buatku, karena dia masih muda dan tampan. Aku rasa, siapa pun yang melihat kami bersama akan iri.

Setelah puas mencoba semua wahana permainan, aku diajaknya menghabiskan sore di pantai yang indah. Sebuah pantai di dalam kota ramai seperti Jakarta memang sangat menakjubkan, begitu bersih dan cantik.

Sapuan angin yang cukup kencang, membuat kami betah duduk berlama-lama sembari berbincang ringan. Menikmati bakso di kedai sekitar, sembari tertawa bersama. Meski sederhana, tapi berkesan dalam dan sangat istimewa.

Kegembiraan yang tercipta langsung sirna saat aku mendapatkan pesan bahwa Mas Fian akan pulang, dia mengabari sesaat sebelum menaiki pesawat, kurang lebih butuh waktu enam jam untuk ia sampai di rumah. Dan, parahnya aku diminta untuk menjemputnya di bandara.

Akhirnya aku mengajak Dimas untuk segera pulang, dengan alasan kakakku mengajak makan malam di luar. Awalnya dia merasa keberatan, tapi setelah aku ingatkan perihal syarat yang aku ajukan dulu, maka ia pun memaklumi walau dengan berat hati.

"Aku bakal kangen berat sama kamu, Sayang."

"Kan nanti hari Senin pagi, kita bisa ketemu lagi di kampus." Aku memeluk lengannya erat.

Ia mengecup puncak kepalaku, lalu kemudian menoleh dan menatapku lekat. Mendekat hingga hidung kami beradu.

Napas kami menderu. Aku spontan memejamkan mata saat isyarat cinta itu datang.

Untuk kali pertama setelah tiga bulan lamanya menjalin hubungan, Dimas berani memberikan aku sebuah sentuhan di bibir. Kami berciuman sangat mesra, hingga darah di dalam tubuh ini memanas.

Aku menikmati sentuhan bibirnya yang lembut, oh Dimas aku sangat mencintaimu.

Hasratku terbakar dan bergelora, hampir saja aku khilaf jika suara dering ponsel tidak berbunyi membuat kami saling melepaskan diri dan merasa tidak enak hati.

"Maaf," katanya langsung bergegas keluar dari mobilnya.

Aku mengangguk kikuk, kemudian merogoh ponsel yang terus berdering.

"Halo, Mas." Aku berani menjawab panggilannya karena Dimas tadi keluar berjalan dan berdiri dekat kap mobil menunggu mobil derek.

"Iya ini lagi nunggu taksi online."

"Gak usah, aku pulang sendiri aja. Habis mandi, segera aku berangkat. Mas masih transit kan?"

"Ya udah, iya."

Secepatnya aku mengkahiri sambungan telepon dari Mas Fian, dan bergegas keluar dari mobil.

"Sayang, aku barusan ditelepon kakak aku," ucapku resah.

"Tunggu mobil dereknya ya, katanya udah deket."

"Aku gak bisa nunggu lagi, bisa ngamuk kakak aku. Kalau aku pulang duluan, kamu keberatan gak?"

Wajah Dimas langsung berubah masam, aku tahu ia masih ingin bersamaku, apalagi barusan kami ....

"Ayolah, Sayang. Please," bujukku.

"Ya udah, aku pesankan taksi online ya."

"Iya."

Beberapa saat kemudian, mobil minibus merah hati datang menepi, Dimas mengantarku sampai aku masuk ke dalam kuda besi tersebut.

"Kabari kalau sudah sampai di rumah ya, Sayang!"

"Oke."

"Bye!"

Ia menutup pintu dan melambaikan tangan sebentar. Baru beberapa meter mobil ini melaju, ia mengirimkan pesan kepadaku.

[I love you, Honey.]

Ya ampun hati ini berbunga-bunga, meleleh rasanya. Dimas memang sangat romantis, wajar bila aku kesengsem karena perlakuan dirinya padaku sangat istimewa.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Aku berdiri di depan pagar pembatas besi di depan pintu kedatangan, sudah setengah jam lamanya aku menunggu Mas Fian tak kunjung muncul juga.

Di menit keempat puluh, sosok jangkung bergaya necis dengan rambut klimis muncul menggeret kopernya bersama seorang wanita muda berkerudung yang merupakan sekretarisnya.

Saat melihatku ia mempercepat langkah, bahkan ia meninggalkan si wanita yang memanggutkan kepala tanda hormat kepada dirinya.

Kuurungkan niat menyalimi, karena ia lebih dahulu memeluk tubuh ini. Suara baritonya berbisik, "Mas rindu kamu, Dek."

"Aku juga rindu, Mas."

'Rindu Dimas maksudnya, heuh.'

Mas Fian melepaskan pelukan lalu tanpa sungkan mengecup keningku. "Maafin Mas ya, Dek. Janji pergi seminggu, ini malah sepuluh hari."

"Mau diapa, Mas? Namanya juga pekerjaan."

"Kita bicara di rumah, ya."

Aku menggamit tangan Mas Fian, lalu berjalan bersama menuju muka bandara di mana di sana mobil yang dikemudikan oleh Pak Asep datang tepat waktu.

"Sehat Pak Asep?" sapanya pada sopir kesayangan.

"Alhamdulillah sehat, Mas. Mas Fian sendiri bagaimana?"

"Seperti yang Pak Asep lihat, berkat doa Bapak."

"Alhamdulillah," jawab Pak Asep singkat dan kembali fokus pada jalanan di depan.

Di sepanjang perjalanan ia bercerita banyak hal tentang pengalamannya, Pak Asep sangat antusias menanggapi, sesekali memberi komentar dan juga melemparkan pertanyaan. Sedangkan aku lebih memilih tidur, menyandarkan kepalaku di kaca jendela. Obrolan mereka sungguh sangat membosankan.

Bayangan wajah Dimas hadir di pelupuk mata, hingga tidak sadar bibir ini senyum-senyum sendiri. Apalagi saat adegan ciuman tadi berkelebat, pipi ini terasa hangat dan merona bersemu merah mudah karena malu.

Satu jam kurang kami sampai di rumah, seperti biasa si Nenek Gambreng menyambut putranya di ruang tengah.

"Maafkan Fian gak bawa oleh-oleh untuk Ibu dan Desi, hanya bawa makanan khas sana, roti abon yang sangat terkenal. Ada di koper."

"Kamu pulang selamat saja, Ibu sudah senang sayang. Rumah ini sepi sekali gak ada kamu, apalagi istrimu itu selalu pulang malam selama kamu gak ada di rumah."

Deg! Ya amplop, mulut si Nenek Gambreng jahat banget. Bisanya dia buka aib gue di depan Mas Fian, dia pasti ngarep gue diamuk.

"Aku kuliah, Bu. Wajar kalau mahasiswa baru, butuh penyesuaian dan bergaul. Ngapain juga aku di rumah, secara Mas Fian gak ada."

"Halah-"

"Sudah-sudah, Bu, Dek Amel. Aku ini capek baru datang, tolong dikasih tenang dulu."

Aku mencebik kesal, lalu kugeret koper Mas Fian masuk ke dalam kamar.

Gila, Mas Fian pasti akan banyak bertanya nih soal ucapan ibunya tadi. Duh, runyam. Benar-benar keterlaluan manusia bau tanah itu.

Demi menjaga reputasi, aku segera ke kamar mandi, menyiapkan air hangat di bathtub, sudah jadi kebiasaan Mas Fian jika habis berpergian jauh maka ia akan berendam sebentar untuk melepaskan rasa lelah yang mendera.

Saat keluar, Mas Fian sedang duduk di atas sofa abu yang letaknya di sebelah dengan meja belajarku. Ia sedang melepaskan kemejanya. Aku dapat merasakan, ia sedang memperhatikan.

Rileks, Mel! Aku bersikap setenang mungkin, menaikkan koper ke atas ranjang dan kemudian membukanya.

"Oleh-olehnya ini, Mas?" tanyaku basa basi.

"Iya, roti abon. Enak banget rasanya, nanti taruh di dapur ya, Dek."

"Baik, Mas. Aku mau sortir baju dulu."

"Masukin ke keranjang saja semua, Dek. Bau apek pastinya karena bersatu dengan yang kotor meski masuk kantongan plastik."

"Iya, Mas."

Aku yang mulai gugup diperhatikan, pun sempat ceroboh menjatuhkan beberapa helai pakaian yang aku raup begitu saja dari koper. Mas Fian bangkit memungut dan menaruhnya di keranjang.

Koper kosong segera aku taruh kembali di tempatnya, lalu aku ambil tiga paper bag berisi roti abon hendak membawanya ke dapur.

Langkah ini terhenti saat Mas Fian memanggilku, jantung langsung berdegub kencang. Dia pasti mau menginterogasi, ya ampun gimana ini? Aku belum mikiri alasan yang tepat.

"I-iya, Mas."

"Sini sebentar! Mas mau bicara," katanya menepuk tempat duduk yang kosong di sampingnya.

"Apa ... apa gak sebaiknya Mas mandi dulu, air hangat sudah aku siapkan untuk Mas berendam."

"Sebentar saja! Ada hal penting yang mau Mas bicarakan sama Dek Amel," tuturnya lembut tapi penuh dengan penekanan.

Kedua kaki ini terasa berat, serasa dipasangi rantai besar sehingga sulit ketika akan melangkah.

Kulihat Mas Fian sedang lekat menatapku, pasti saat aku masuk tadi, si Nenek Gambreng telah bercerita yang tidak-tidak tentangku.

Kira-kira hal apa yang ingin Mas Fian bicarakan denganku? Ya ampun aku deg-degan banget ini.

"Kenapa melamun, Dek? Duduk di sini, sebentar! Mas mau bicara," katanya lagi.

Akankah perselingkuhanku terbongkar?
banditos69
pulaukapok
rinandya
rinandya dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Ikuti KASKUS di
Ā© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.