Kaskus

Story

blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
Aku Mencintai Bandot Tua
Aku Mencintai Bandot Tua


Aku Mencintai Bandot Tua

Aku Mencintai Bandot Tua

Spoiler for Update Chapter:


Chapter 1


"AYAH JAHAT, GAK PUNYA HATI!" Kuhentakkan kaki sebagai tanda perlawanan atas keputusan sepihak lelaki paruh baya yang egois, setelah itu aku segera berlalu meninggalkan ruang tengah di mana ayah dan ibu sedang duduk termangu dan lesu.

Pintu kamar kubanting dengan kencang, hingga menciptakan suara yang membahana dan tentu mengagetkan siapa saja yang berada di rumah ini. Rumah yang dahulu bak surga, kini berubah seperti neraka yang panas dan selalu membuat aku muak.

Tangisku luruh bersama dengan harapanku yang kandas karena keadaan yang tidak berpihak, kubenamkan wajah dalam bantal sehingga lengkingan sedu sedan yang tercipta dapat teredam dan hanya dapat didengar olehku saja.

Malam ini adalah malam terakhirku berstatus sebagai single, karena besok aku akan menikah dengan seorang pria yang sama sekali tidak aku kenal, apalagi aku cintai.

Pernikahan yang mendadak dan tiba-tiba ini membuat batinku terguncang, serasa dijatuhkan dari atas langit menimpa tanah menembus ke lapisan yang terakhir, sangat sakit dan merasa terhina. Karena lelaki itu bukan menikahi, tapi membeli.

Aku benci dengan takdir dan nasib, mengapa Tuhan memberi aku keluarga yang seperti ini?

Usiaku baru akan menginjak 19 tahun bulan Mei nanti, teman-temanku semua melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Aku apa? Malah menikah dengan bandot tua yang lebih pantas aku panggil dengan sebutan 'Om', karena usianya tidak jauh dari ayah.

Aku ingin berontak rasanya tak mungkin, pacarku si Bagas pun angkat tangan saat aku mengajaknya kimpoi lari. "Aku masih mau kuliah, kalau nikah nanti, kamu ... maksudku, kita mau makan apa? Dan siapa yang akan ngebiayain kuliah aku? Bunda aku pasti murka disangkanya aku ngehamilin kamu, duh aku gak sanggup. Maaf ya, Sayang!"

Dasar pengecut! Gak punya nyali! Kepentingan sendiri yang dia pikirin, janji suci yang selama ini dia ikrarkan ternyata cuma isapan jempol belaka. Aku benci Bagas, aku benci Ayah, aku benci si Bandot Tua yang bakalan jadi suamiku besok. Aku benci makhluk Tuhan yang berjenis kelamin lelaki, aku benciiiii!

Pernah aku coba bernego dengan Ayah tentang keputusan ini, aku coba membujuk beliau agar aku diizinkan untuk bekerja demi bisa menopang perekonomian keluarga yang mulai carut marut. Dan, daebak! Ayah menolak mentah-mentah niat mulia itu. Alhasil aku gondok dan mau tidak mau harus manut, tidak boleh tidak.

Dengan berat hati aku pun menurut, semuanya kulakukan semata-mata demi membahagiakan orang tua dan adik-adikku.

Calon suamiku, maksudku si Bandot Tua itu adalah seorang pengusaha yang bisa dibilang sukses, dia banyak menolong keluarga ini terutama dalam masalah keuangan. Usaha restoran ayah bangkrut setelah ibu ketahuan memiliki banyak hutang, hutang di bank, rentenir, beberapa tagihan kartu kredit dengan limit di masing-masing kartunya lumayan besar dan koperasi simpan pinjam.

Alfian Wijaya, si Bandot Tua yang besok akan menjadi suamiku itu adalah seorang pelanggan setia restoran Ayah, dia sering sekali memesan catering dan tumpeng apabila sedang ada event di perusahaannya.

Hubungan si Bandot Tua dengan Ayah sangat erat, maka sewaktu Ayah gulung tikar dan terpaksa menjual semua asetnya demi membayar hutang Ibu yang jumlahnya sampai ratusan juta, dia datang lalu menawarkan bantuan finansial yang jumlahnya tidak main-main, asalkan Ayah tidak menutup usahanya.

Ayah menolak mentah-mentah bantuan dari si Bandot Tua, beliau tidak mau punya hutang budi. Alhasil kami pun jatuh miskin, tinggal di rumah minimalis di pemukiman padat penduduk yang kumuh.

Tapi saat kami sudah melarat, Ayah tidak bisa lagi menolak apa yang diberikan oleh Bandot Tua tersebut. Sehingga hutang budi itu benar-benar tercipta, dan aku menjadi pelunasnya.

Ibu hanya bisa menangis dan meminta maaf, saat aku dan adik-adik menderita terkena imbasnya . Waktu itu, aku ingin sekali membencinya tapi aku tidak bisa.

Aku hanya bisa mengelus dada serta meratapi nasib yang malang ini, sering aku berpikir keras akankah kisahku bak sinetron ikan asin terbang? Berawal tragis tapi berakhir manis, ah entahlah! Cuma Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi nanti.

Aku merasa sepi di dalam kamar ini, padahal di luar sana sedang ramai. Banyak orang sedang mempersiapkan acara untuk besok. Saudara jauh, tetangga dan kerabat dekat berdatangan untuk membantu. Samar-samar kudengar suara tawa mereka, begitu lepas dan tanpa beban.

Aku tidak bersemangat dan masa bodoh dengan semua ritual yang harus dijalani sebelum pernikahan. Peduli amat dengan puasa dan juga tradisi pingit, aku bebas jalan dan nongkrong dengan teman-teman, Ayah dan Ibu tidak bisa melarang karena itu syarat sebelum aku mau menuruti permintaan mereka.

🖤🖤🖤

Dalam kamar yang indah ini hatiku merasa terkoyak, wajah yang telah dipoles riasan tebal ini terasa bagai topeng badut saat aku lihat di cermin. Kebaya mewah nan cantik yang si Bandot Tua pesan khusus dari butik ternama pun kurasa gerah dan tidak nyaman, sama seperti perasaan yang bergejolak ini.

Telinga seketika terasa panas dan memerah saat MC memberitahu kalau romongan calon mempelai pria sudah tiba, perias pengantin yang tidak tahu perihal isi hati ini pun menepuk bahuku sembari bersorak gembira. Aku meresponnya dingin, cuma tersenyum kecut, sekecut ketek tukang becak yang baru selesai ngegenjot di tanjakan.

Wanita yang berperan sebagai MUA itu kembali mengecek riasan wajahku, usai sapu sana-sini senyumnya mengembang. "Perfect!" katanya.

Aku memandang wajah yang menurutku seperti pemain lenong yang akan tampil di panggung.

Kebaya modern putih, rambut disanggul yang dihiasi mahkota gold dan kembang goyangnya, dirasa bagai atribut pemain barongsai saat perayaan imlek.

Tok ... tok ... tok ....

Pintu kamar diketuk oleh seseorang yang hendak menjemputku, dia Vina, sepupuku.

"Mel, yuk ke depan!" ajaknya mengulurkan tangannya padaku.

Tanpa menjawab, aku meraih uluran tangannya dan berjalan menuju teras rumah yang dijadikan tempat untuk ijab kabul.

Kulihat sekilas wajah calon suamiku, ia tersenyum ramah tapi aku pura-pura tidak melihatnya.

"Kepada calon pengantin wanita kami persilahkan duduk di samping sang pangeran yang telah bersiap mengikrarkan janji suci di hadapan kita semua," ucap MC membuatku ingin muntah.

Semua orang kecuali aku tersenyum mendengar ucapan MC itu. 'Pangeran apaan? Pangeran kodok kali,' sungutku dalam hati.

Setelah melewati beberapa rangkaian prosesi maka tibalah saatnya pengucapan ijab kabul. Setelah dipandu oleh pak penghulu, maka si Bandot Tua itu dengan lantang mengucapkan kalimat sakral di depan semua orang yang hadir disini.

"Saya terima nikah dan kimpoinya Amelia Gentari Permadi binti Dodi Permadi dengan mas kimpoi satu set perhiasan emas seberat 50 gram dibayar tunai."

Para saksi, tamu undangan dan keluarga mengucap syukur karena prosesi utama berjalan dengan lancar dan sukses. Bagai tersengat listrik bertegangan tinggi saat mendengar penghulu dan semua orang berkata 'SAH', itu berarti per hari ini aku akan hidup dengan si Tua Bangka ini. Tidaaaaaak!

Mengapa aku sebut dia tua bangka? Itu karena usianya sudah 40 tahun, ia seorang perjaka tua alias bujang lapuk. Entah kenapa dia belum menikah sampai usianya setua itu, hanya Tuhan dan dia yang tahu.

Acara resepsi kami diadakan secara sederhana, aku malu kalau harus pesta meriah. Teman-teman sekolah, tidak ada satu pun yang aku undang, apa kata dunia seorang Amelia yang jadi rebutan cowok-cowok populer dan terkenal sebagai play girl di sekolah dulu tiba-tiba nikah muda, sama bandot tua lagi.

Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, lalu kemudian mengusirnya dari sisi ini. Sumpah aku muak, benci, dan enek harus duduk berdekatan di pelaminan dengannya.

Apalagi saat dia sok perhatian menawari aku mau makan atau tidak, ih benar-benar menyebalkan. Apalagi aku sempat melirik dengan ujung mata, dia sering mencuri pandang kepadaku, ingin rasanya aku tusuk matanya pakai gembang goyang yang menancap di sanggul palsu ini.

Saat duhur menjelang acara resepsi pun usai, aku dan dia dipersilahkan untuk masuk beristirahat. Si Bandot Tua sok manis, mengulurkan tangan berniat menuntunku. Tapi dengan tegas aku tolak, beralasan tidak kuat ingin buang air kecil, secepatnya aku ngacir duluan.

Sejenak aku berdiam diri di dalam kamar mandi, berjalan mondar-mandir dengan pakaian lengkap. Konyol memang, tapi semua ini aku lakukan agar alasanku tadi tidak sekadar hoax.

Hingga lima menit lamanya, aku pun keluar dan melangkah masuk ke dalam kamar pengantin. Segera aku kunci pintu, agar dia tidak masuk tiba-tiba di saat aku lagi buka baju.

Kuhempaskan tubuh di ranjang, menghela napas panjang memindai kamar ini. Mencebik dan merutuk, meski sia-sia tapi itu bisa membuatku lega dan merasa lebih baik.

Kemudian aku berdiri, sudah saatnya menanggalkan 'pakaian lenong' ini, aku ingin mandi dan istirahat dengan tenang dan damai.

Saat pakaian dan semua atribut tanggal, pintu diketuk. "Pasti itu si Batu alias Bandot Tua," sungutku geram.

Dengan wajah masam aku membuka pintu, tanpa menegurnya aku kembali masuk menyambar handuk kimono yang tergantung di paku. Tanpa menoleh kepada dia, aku bergegas pergi meninggalkannya.

Sesampainya didalam kamar mandi, aku segera membersihkan diri. Hampir 2 jam lamanya aku semedi didalam kamar mandi, karena kewalahan mengurai rambut setelah disasak tadi.

Setelah berhasil mengurai rambut yang kusut, aku pun segera membasuh seluruh tubuh. Segar rasanya, apalagi setelah keramas kepala ini jadi enteng sekali.

Di dalam kamar, aku pakai baju kebesaran emak-emak yaitu daster. Usai mengoleskan pelembab muka, aku pun langsung berbaring di atas spring bed yang empuk dan nyaman. Si Bandot Tua tidak ada di sini, membuatku sangat damai dan tenteram tentunya.

Namun ketika akan terlelap, pintu kamar kembali diketuk dan terdengar suara derap langkah si Bandot Tua memanggil namaku.

"Dek, ini Mas Fian tolong buka pintunya!"

Aarrrgghh!

Aku merutuk dalam hati, dengan wajah kesal segera kubuka kunci pintu. Setelah itu kembali ke formasi awal tadi.

Suara sepatunya membuat telinga ini sakit, dia menggantungkan jasnya di kastop dekat lemari pakaian.

Kuintip dengan mata yang pura-pura dipejamkan, dia sedang celingukan seperti sedang mencari sesuatu.

"Dek, bisa minta tolong ambilkan handuk?" Tangannya mengusap pundakku.

Tanpa menjawab aku bangun dan beranjak membuka lemari, untuk mengambilkan benda yang dia butuhkan.

'Uh beneran ya nih si Bandot Tua ini, ngeganggu ketenangan gue aja!' Kedua kalinya aku merutuk dalam hati.

"Makasih ya, Dek. Mas mandi dulu," ucapnya sok imut.

'Mandi aja sono, kaya gue nungguin lo aja dasar 'Batu' alias Bandot Tua.'

Aku tersenyum dan mengangguk, berusaha tidak menunjukkan rasa kesalku padanya, semuanya kulakukan demi keluarga.

Sepeninggal dia, aku pun pulas tertidur. Beberapa kali dia membangunkan aku untuk salat, tapi aku tak menggubrisnya. Aku beralasan aku sedang haid.

Selepas isya setelah selesai makan malam bersama, dia mencoba mengajakku bicara berdua di dalam kamar sebelum kami terlelap.

"Mas tahu, Dek Amel belum siap dengan pernikahan ini. Tapi mas minta, Dek Amel harus mulai belajar menerimanya ya," ucapnya pelan tapi tegas.

"Om Fian, eh ... Mas Fian jangan bicara kaya gitu, dengan aku bersedia menikah, itu artinya aku sudah menerima Mas Fian. Suka gak suka, toh aku gak punya pilihan."

"Alhamdulillah kalau begitu, mas lega dengarnya. Mudah-mudahan saja pernikahan kita ini bisa membawa kebaikan untuk kita dan diberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat ya, Dek."

"Aamiin," jawabku tampak penuh harap, padahal penuh rutukan.

Beberapa saat kemudian Mas Fian meraih dan mencium punggung tangan ini dengan lembut, rambutku ia usap perlahan. Tanpa menunggu izin, dia mendaratkan ciuman di kening, lalu turun ke pipi dan bibir.

Aku tidak memberi respon, bukan tidak bisa berciuman tapi aku merasa jijik ketika bibirnya menyentuh dan mamagut bibirku. Tiba-tiba ia melepaskan bibirnya dan menatap wajah ini.

"Kok diam, Dek? Kamu belum siap ya?"

"Eng-enggak, Mas. Aku gak tahu cara berciuman, aku bingung harus bagaimana," kilahku bohong. Padahal waktu pacaran dengan Bagas, sering aku berciuman alias baik.

"Maaf Mas Fian, aku belum bisa malam ini." Tanganku mendorong dada bidang itu pelan, menghentikan aksinya.

"Kenapa, Sayang?" Kata 'sayang' yang dia ucapkan barusan, benar-benar bikin aku gumoh, huweekk!

"Aku sedang ada tamu bulanan, Mas. Makanya tadi aku gak salat." Harap-harap cemas berharap ia percaya, dan tidak meraba apakah aku memakai pembalut atau tidak.

Ia tersenyum dan kemudian mengangguk. "Iya mas tahu, tadinya mas kepingin mesra-mesraan aja gitu." Kulihat ada gurat kecewa di wajahnya, tapi aku gak peduli yang penting aku berhasil-berhasil horeeee.

Itu artinya aku harus bersandiwara mendapat tamu bulanan selama seminggu lamanya, hal itu tidak membuatku aman tapi setidaknya aku bisa mengulur waktu.

Hari ini, adalah hari pernikahan kami yang kelima, dan sesuai dengan perjanjian awal aku akan meninggalkan rumah dan ikut bersama Mas Fian ke rumahnya.

Rasanya sangat berat aku berpamitan dengan orang tua dan kedua adikku, air mata ini tumpah. Aku tidak kuasa harus berpisah dengan mereka.

Walaupun aku bisa setiap saat bertemu dengan mereka, karena rumah Mas Fian dan orang tuaku hanya berjarak kurang lebih 100km. Namun, tetap saja itu suatu hal yang membuatku sangat bersedih.

"Ingat ya, Nak, pesan ayah! Harus hormat dan patuh pada suami, ayah selalu berdoa yang terbaik untukmu," bisik Ayah ketika memelukku.

Kujawab petuah Ayah dengan anggukan, lelaki paruh baya itu tahu betul seperti apa perasaanku saat ini. Tapi, Ayah tidak mau tahu dan terkesan tidak peduli. Aku merasa dijual pada si Bandot Tua, diri ini tak ubahnya seperti budak pemuas nafsu yang dipersembahkan untuk pejabat pada masa kerajaan dulu.

Aku dan mas Fian memasuki mobil, tak kuasa menahan tangis saat besi yang mewah yang ditumpangi meninggalkan rumah yang selama kurang lebih tiga tahun ini aku tempati.

Aku menangis sesegukan didalam mobil, lambaian tangan mereka tidak bisa hilang dari ingatan.

Mas Fian yang duduk di sebelah memeluk erat, hal itu tidak berarti apa-apa. Tidak juga bisa membuatku luluh untuk mencintainya.

"Jangan sedih lagi, Dek, setiap saat Adek ingin ke rumah Ayah bilang saja, mas akan antar."

Aku mengangguk dan terus menangis, di sepanjang perjalanan menuju rumah mas Fian.

Lebih satu jam kemudian, kami tiba di rumah mewah yang begitu asri dan nyaman. Aku dan mas Fian turun dari mobil, Pak Zaki, sang supir segera membuka bagasi dan menurunkan koper-koper.

"Asslamualaikum," ucap Fian ketika memasuki rumahnya.

"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya bersanggul, dengan wajah menor yang sedang asik membaca majalah di sofa ruang tengah.

Wanita bergaya bak ibu sosialita itu adalah ibu mertuaku, Ibu Siska namanya. Dari raut wajahnya sepertinya ia tidak suka padaku, terbukti pada saat pernikahan dulu dan sekarang tatapannya tetap sama, sinis.

Ah, tapi aku tidak mau ambil pusing. Bodo amat lah, toh aku juga nikah karena terpaksa. Seandainya wanita itu mengusirku suatu hari nanti, hal itu akan jadi senjata ampuh untuk bisa lepas dari belenggu pernikahan ini.

Mas Fian mencium punggung tangan ibunya dengan takzim, kemudian ia memeluknya dengan penuh rasa sayang.

Aku bersikap sama, mencium tangan mertuaku yang sebelumnya menatapku dari atas sampai bawah, seperti aneh melihatku. Padahal jelas-jelas dia yang menurutku aneh.

Kami berbincang sebentar dengan Bu Siska, setelah itu Mas Fian mengajakku untuk beristirahat di kamarnya.

Tangan ini dituntun masuk, menuju ruangan pribadi yang terletak di dekat ruang tengah. Sesampainya di dalam, aku takjub dengan kamar tidurnya, begitu nyaman dan wangi sekali. Mataku berkeliling menatap ke setiap sudut ruangan yang dipenuhi dengan perabotan modern dan tentunya mahal.

Dahulu, kehidupanku juga bisa dibilang mampu. Tapi rumah masa kecilku tidak semewah rumah Mas Fian, haruskah aku merasa beruntung karena mempunyai suami tajir?

"Dek, lemari pakaian yang tiga pintu itu baru. Mas sengaja belikan untuk menyimpan semua pakaianmu. Karena lemari Mas sudah penuh, hehe."

"I-iya Mas, terima kasih." Aku merasa kikuk dan canggung di rumah mewah ini.

"Mas, aku mau mandi dan ganti baju dulu ya," ucapku memecahkan kecanggungan dengannya.

Mas Fian mengangguk dan mengeret koper kami kedekat lemari pakaian. Segera aku membuka dan mengambil pakaian santai juga handuk, membawanya ke kamar mandi yang lagi-lagi membuat aku takjub dibuatnya.

Usai mandi, aku duduk di tepi ranjang. Menggosok rambut yang basah dengan handuk kecil. Mas Fian tidak mau jauh dariku, ia duduk menemani dan menawarkan diri untuk membantu mengeringkan mahkota indah ini.

Jujur, aku merasa risih dan tidak nyaman dengan perlakuannya. Bulu romaku merinding saat wajahnya mendekat, dari pantulan cermin aku lihat matanya terpejam saat menghidu bau harum yang menguar dari rambutku. Embusan napasnya membuat tengkuk meremang, adegan tidak senonoh pun terbayang dalam benak.

Tidak tahan dengan perasaan jijik yang menguasai, aku bangkit dan menyibukkan diri menyusun pakaian dari dalam koper ke lemari.

"Bibik saja nanti yang ngerjain, Dek," katanya sembari menatapku lekat.

Aku menggeleng dan tersenyum sok manis. "Aku bisa sendiri, Mas. Gak puas kalau barang pribadi, orang lain yang ngerjain."

Mas Fian mengangguk, lama kelamaan dia merasa bosan melihatku tak memberikan kesempatan sedikit pun padanya untuk menghabiskan waktu berduaan, dia berpamitan untuk keluar kamar setelah sebelumnya bertanya aku mau makan apa saat makan malam nanti.

"Apa aja, aku makan, Mas."

"Baik, mas keluar ya."

"Iya."

Sepeninggal Mas Fian, aku berhenti bersandiwara. Kuhempaskan bokong ini, melepas lelah setelah berusaha lolos dari cengkeraman singa tua, hehe.

Saat jam makan malam tiba, aku duduk di depan meja makan malam yang mewah dan indah. Berbagai macam menu masakan lezat tersaji di atasnya, lengkap dengan makanan penutup dan buah-buahan.
Diubah oleh blackgaming 07-03-2021 14:59
ichigame16Avatar border
ciptorosoAvatar border
sormin180Avatar border
sormin180 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
21K
51
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
#14
Chapter 9


[Dek, Mas sudah di depan klinik.]

Mata yang berbinar ini seketika membelalak tak percaya, geram dan kesal berkecamuk di dalam hati.

"Ada apa, Mel?" tanya Dimas yang terkejut melihat perubahan raut wajahku.

Cilaka dua belas! Nyebelin banget ini si Bandot, benar-benar membatasi ruang gerak aku.

Keterkejutan karena pesan menyeramkan barusan belum reda, si Bandot Tua menambah kepanikan dalam diri dengan menghubungi.

Jantung ini berdegub sangat kencang, bertalu-talu tidak menentu, iramanya tidak teratur.

"Mel, ada apa?" Dimas semakin khawatir, ia tidak tinggal diam segera bangkit dan menghampiriku.

Rasanya aku mau pingsan, napas ini sesak sekali kurasa.

Tangan yang gemetar memegang ponsel pun segera aku sembunyikan, aku tidak mau Dimas tahu siapa yang menghubungiku.

🖤🖤🖤

"Dim, kakak aku." Terpaksa aku berbohong lagi demi kebaikan pribadi.

"Kenapa kakakmu, Mel? Sakit?"

"Lebih buruk dari itu, nanti aku jelaskan ya!"

Aku bangkit dan berlari keluar meninggalkan Dimas yang mematung dengan wajah yang bingung, pasti di dalam kepalanya muncul banyak pertanyaan atas kepanikanku ini.

Nanti saja aku jelaskan pada Dimas, yang jelas sekarang aku harus mencari alasan yang tepat pada si Bandot.

"Halo, Mas. Maaf tadi lagi di toilet," jawabku agak gugup tapi dibuat setenang mungkin.

"Belum selesai treatmennya?"

"Sudah dari tadi, aku ada di ...." Kuperas otak agar bisa berpikir cepat. "Toko buku, iya toko buku."

"Share lokasinya, Dek. Mas ke sana menyusul," katanya gigih.

"Gak usah share lokasi, Mas. Mas ke mal Delima saja, toko buku di sini cuma ada satu, kok."

"Mas on the way," pungkasnya.

Otakku canggih juga, bisa kasih ide cemerlang dalam waktu yang singkat. Kebetulan pusat perbelanjaan yang kusebutkan tadi jaraknya tidak jauh, untuk itu aku langsung saja memesan ojek online agar bisa sampai lebih cepat.

Sesuai perkiraan, lima belas menit kemudian aku sudah berada di toko buku. Kuatur napas yang tersengal akibat berlari demi bisa sampai tepat waktu, meski aku tahu si Bandot akan sampai sekitar setengah jam lagi, tetap saja aku harus kelihatan tenang meski sebenarnya sangat tegang.

Aku melangkah menuju area novel, dalam surga satra ini aku tenggelam dan terbuai, judul-judul baru dari penulis baru membakar hasratku yang memang hobi membaca. Saking asiknya aku jadi khilaf, hampir sepuluh novel telah berpindah tempat dari rak display ke dalam trolly kecil.

Novel yang aku pilih adalah novel yang super tebal, dengan genre romance. Aku senang membaca kisah cinta yang romantis dan bikin hati ini tersentuh, aku butuh asupan otak yang positif dan menyenangkan agar tidak menjadi gila karena memikirkan nasib diri.

Memang aku tidak kekurangan materil, berlebihan malah. Tapi aku miskin hati, tidak bahagia. Aku ingin merasakan sebuah hubungan yang tidak dipaksakan, sebuh hubungan yang di dalamnya ditumbuhi dengan banyak cinta dan kehangatan. Cinta yang bisa membuat hati nyaman dan bersemangat, dalam menyulam masa depan yang penuh dengan harapan.

"Di sini rupanya." Suara barito yang tidak asing di kuping membuatku menoleh.

Lelaki dengan kemeja garis-garis krem lengan panjang yang digulung 7/8 dan bawahan celana khaki slim fit, muncul di ujung lorong sembari tersenyum semringah.

Aku berjalan mendekati lalu kuraih dan kucium punggung tangannya, dia mengusap puncak kepala lalu menunduk memperhatikan trolly yang terisi dengan novel-novel tebal.

"Mau tambah lagi novelnya, Dek?" tanyanya sembari mengambil alih trolly.

Aku menggeleng dan menjawab, "Udah, Mas."

"Oke, kita ke lorong ATK?"

"Iya."

Tanpa sungkan, Mas Fian menaruh tangannya di atas pundakku, berjalan pelan menuju lorong yang dimaksud dengan pelan sembari cuci mata. Kami berdua punya hobi yang sama, yaitu membaca. Bedanya aku gemar membaca novel, sementara dia berita di internet, dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar PC menyimak informasi dari berbagai aspek, terutama seputar bisnis yang berhubungan dengan bisnis ritelnya.

"Mas, perlengkapan untuk kuliah itu apa aja?" tanyaku padanya.

"Sama kaya anak sekolah, hanya ada tambahan leptop atau notebook, Dek."

"Oalah, emang harus ya?"

"Wajib gak wajib, sih. Tapi memang perlu, sekalian saja beli di sini, Mas tadi lihat di etalase pintu masuk banyak leptop dan notebook merk terkenal yang kualitasnya bagus dan mesinnya bandel."

Aku menghentikkan langkah, lalu mengambil trolly dan berjalan berbalik arah meninggalkan si Bandot sendiri.

"Dek Amel mau ke mana?"

"Tunggu bentar, Mas!"

Beberapa saat aku kembali, Mas Fian masih berdiri di tempat tadi. Ia memperhatikan trolly kosong yang aku dorong.

"Loh, kok kosong? Novel-novelnya?"

"Gak jadi beli."

"Kenapa?" Mas Fian mengerutkan keningnya.

"Hemat! Kan mau beli laptop," jawabku polos, membuatnya tertawa kecil.

Ia mengacak rambutku saking tergugunya, lalu mengelus pipi sambil berkata, "Gak apa-apa kok, kalau memang mau beli novel-novel tadi. Itung-itung jadi teman di waktu Mas ngantor, biar Dek Amel suntuk di rumah."

Aku menggeleng, biar hati aku busuk tapi aku gak sampai hati bikin lelaki menyebalkan tapi baik hati ini bangkrut pelan-pelan. "Gak usah, bisa baca novel di platform online saja."

"Yakin?"

"Iya, Mas."

"Ya udah." Mas Fian kembali merangkul pundakku.

Berkeliling membeli semua barang yang diperlukan, termasuk notebook. Aku memilihnya dengan pertimbangan bentuk dan beratnya yang lebih ringan dibandingkan laptop.

Sampai di kasir mataku membulat saat melihat nominal di layar komputer, ya ampun total belanjaanku saja tujuh juta kurang lima ratus rupiah. Karena selain notebook, Mas Fian juga membelikan lampu belajar, rak buku portable, dan perintilan lainnya.

Tidak hanya itu, saat melintas di depan toko furniture ia mengajakku masuk. Aku disuruhnya memilih meja untuk menaruh semua barang-barang perlengkapan kuliahku, aku semakin merasa tidak enak. Aku tolak halus niat baiknya itu.

"Meja kerja Mas penuh, Dek. Mas iya Dek Amel mau belajar di meja rias," katanya meyakinkan.

"Tapi, Mas. Tadi aja belanjaan udah banyak banget, aku-aku," ucapku mengambang.

"Gak enak?"

Dengan polosnya aku mengangguk.

"Ya ampun, Dek Amel. Mas ini suamimu, sudah kewajiban Mas memenuhi semua kebutuhanmu."

"Nanti uang Mas Fian habis," jawabku.

Mas Fian terkekeh dan menggeleng. "Sudah ada budgetnya, Dek. Yuk, pilih!"

Akhirnya aku mulai memilah-milih, karyawan toko membantu dengan memberikan informasi spesifikasi barang yang dijualnya.

Hati tertambat pada meja berwarna putih, model minimalis dengan dua laci lebar di tengah dan sebuah pada bagian bawah.

"Meja ini cocok sekali untuk area ruang kerja yang terbatas, atau ditempatkan di dalam kamar yang sudah terdapat banyak perabotan. Meski modelnya minimalis, meja ini memiliki rak penyimpanan yang cukup banyak. Meja ini mempunyai tiga laci yang terdiri dari satu laci berukuran kecil, satu laci berukuran kecil memanjang, dan satu laci lagi berukuran besar di bawah. Di antara laci berukuran kecil dan berukuran besar ada rak penyimpanan yang dapat dijadikan untuk menyimpan buku dan dokumen dengan posisi vertikal sehingga mudah untuk mencarinya. Selain itu meja ini juga memiliki rak penyimpanan di atas yang dapat digunakan untuk penyimpan alat tulis dan juga barang-barang kecil lainnya."

"Dek Amel suka?" Mas Fian menatapku.

"Iya, Mas. Itu saja."

"Oke, kami ambil ya Mas mejanya," ujarnya pada karyawan toko yang matanya berbinar karena barangnya laku terjual.

Sebelum melakukan pembayaram, Mas Fian menelepon Pak Asep untuk segera datang. Sepuluh menit kemudian, suami dari Bik Nani datang.

Mas Fian memberikan belanjaan kami di toko buku tadi, lalu meminta kunci mobilnya dan menyuruh Pak Asep pulang bersama kurir toko furniture yang akan mengantar meja kerjaku.

"Barang belanjaan ini tolong suruh Bik Nani simpan di kamar kami ya, Pak. Hati-hati ada notebooknya jangan sampai terjatuh atau terbanting," seru Mas Fian jelas.

"Baik, Mas. Mejanya?"

"Oh iya, kasih masuk saja di dalam kamar. Taruh di dekat jendela, sofa abu digeser supaya mejanya bisa masuk, selanjutnya biar nanti saya yang atur lagi kalau sudah pulang."

"Baik, Mas."

Pak Asep manut, lalu kemudian kami pun berpamitan meninggalkannya di dalam toko tersebut sendirian. Tapi sebelum berlalu, kulihat Mas Fian memberikan uang kepada sopir kesayangannya itu.

"Uang apa ini, Mas?"

"Untuk kurir yang antar meja dan uang rokok untuk Pak Asep."

"Barakallah, hatur nuhun, Mas."

Mas Fian tersenyum kemudian mengajakku pergi.

"Kenapa Mas Fian nyuruh Pak Asep pulang?"

"Kasihan Pak Asep, harus nungguin lama di parkiran. Jadi lebih baik beliau pulang saja, istirahat di rumah."

"Memangnya kita-"

"Mas mau ajak Dek Amel makan dan nonton, mau?"

Duh, malas banget rasanya. Aku kepingin pulang saja sebenarnya, tidak sabar ingin menata meja kerja baru dengan segala perlengkapannya. Tapi rasanya aku tidak adil kalau sampai menolak ajakan Mas Fian, secara dia sudah merogoh kocek dalam-dalam untuk memenuhi kebutuhanku.

"Boleh, mau makan di mana?"

"Terserah Dek Amel mau makan di mana?"

"Hmm, resto jepang aja, yuk!"

"Sip."

Jadilah petang menjelang malam ini kami menyambangi sebuah restoran siap saji yang menyuguhkan makanan khas jepang, di sana aku memesan Beef Saikoro Steak yang terbuat dari daging tanderlion Amerika yang digoreng menggunakan soya yakiniku di atas api yang besar. Rasanya juicy dan bumbu yang meresap hingga ke dalam, membuat aku ketagihan pada olahan daging tersebut. Okonomiyaki yang memiliki isian daging sapi cincang dan sayuran yang disiram dengan mayonnaise dan saus okonomiyaki itu, menjadi menu yang dipilih Mas Fian.

Kami menikmati makan malam yang lebih awal dengan lahap, sesekali Mas Fian menyuapiku dengan makanan di atas piringnya, ternyata enak juga. Setelah semua tandas tidak tersisa, bioskop menjadi tujuan terakhir.

Film action yang mengandung adegan adu jotos pun dipilihnya, selera yang buruk untuk mengajak pasangan nonton. Memang dia tidak tahu apa itu yang namanya romantis, dasar memang Bandot Tua, pikirannya kolot.

Popcorn dan minumang soda kuanggurkan begitu saja, perut ini sudah kenyang maksimal sehingga tidak lagi ada tempat untuk kehadiran cemilan wajib di kala kita menonton tersebut.

"Kenyang, Mas. Buat Bik Nani saja," bisikku saat Mas Fian bertanya kenapa aku tidak menikmati snack dan minuman yang sudah ia belikan.

"Ya sudah, gak apa-apa."

Saat ruangan meredup lalu gelap, Mas Fian menarik masuk bahu ini hingga rapat ke tubuhnya, lalu menempatkan kepalaku untuk bersandar di atas dadanya yang bidang. Aku menurut saja, asal dia senang sehingga dia tidak merasa rugi telah keluar uang banyak tadi, hehe.

Film yang seru menurutnya tapi sangat membosankan menurutku, membuat mata ini mengantuk. Dalam waktu yang singkat aku pun tertidur di dalam pelukannya, hangat dan sangat nyaman kurasa.

"Dek, bangun!"

Aku mengerjap dan menggeliat saat suara dan tepukan lembut di pipi menghampiri, aku celingukan lalu menguap cukup panjang. Ternyata filmnya sudah selesai sodara-sodara, tidak terasa ternyata aku tertidur satu jam lebih.

"Enak banget tidurnya, sampai mendengkur," katanya sembari terkekeh.

Aku memutar bola mata, tak percaya dengan ucapannya. Masa iya aku tidur mendengkur, mustahil!

"Gak percaya? Nanti Mas rekam lain kali," ledeknya, mencolek hidungku.

"Gak usah, makasih!" jawabku ketus, lalu bangkit mengajaknya segera keluar.

Tawa Mas Fian berderai, ia pun bangkit dan berjalan dengan menuntun tanganku, sementara tangan sebelahnya menenteng plastik berisi popcorn dan soft drink yang jadi oleh-oleh untuk Bik Nani.

Santai kami berjalan menuju area parkir di lantai atas gedung, tidak lagi mampir-mampir karena badan sudah lelah dan letih.

Di sepanjang perjalanan, kami mengobrol banyak. Dia begitu bersemangat menceritakan tentang rencananya menambah cabang usaha ritelnya di wilayah Indonesia Timur. Katanya masalah perizinan dan lahan sudah didapat, tinggal planing pembangunan gedung, pencarian SDM, pendistribusian produk, dan terakhir opening yang akan disaksikan langsung olehnya.

Aku girang bukan kepalang, bukan karena dia berhasil dalam bisnisnya, tapi saat tahu dia akan pergi dalam waktu yang cukup lama, katanya kurang lebih satu minggu. Aku punya waktu luang dan bebas jalan sama Dimas, hihi.

Terbayang sudah serunya nanti kami saat bertemu kembali, penuh tantangan dan sensasi yang berbeda.

'Gak sabar aku menunggu hari itu tiba.'

"Dek Amel kok senyum-senyum sendiri?"

"Aku seneng dengar kabar baik yang Mas Fian sampaikan barusan, selamat ya Mas."

Di balik kemudi sempat-sempatnya dia memperhatikan mimik wajah yang mendadak semringah ini, untung aku jog mengeles jadi rahasia di dalam hati aman terkunci.

"Makasih ya, Dek. Semua ini berkat doa Dek Amel, doa istri shaliha."

Apa? Istri shaliha? Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak mendengar julukan barusan, sungguh ironis terdengar. Ya ampun Mas Fian, kamu itu beneran cinta mati ya sama aku? Sampai sering aku maki dan bohongi juga masih saja bisa memuji, bahkan perlahan mulai berani membanggakan aku di hadapan si Nenek Gambreng dan si Gerandong Desi.

Aku hanya mengangguk dan memejamkan mata, saat telapak tangannya menangkup pipi ini dengan penuh kehangatan.

Sesampainya di rumah, kedatangan kami disambut oleh dua singa betina yang memasang tampang tidak suka padaku, sudah biasa memang seperti itu, aku sudah kebal dan tidak peduli.

"Assalamualaikum, Bu." Mas Fian dengan sopan mencium punggung tangan ibunya yang melirik tajam padaku, pasti karena meja kerja dan belanjaanku dari toko buku tadi.

Aku tertawa serta bersorak dalam hati. Sangat puas kurasa, apalagi saat si Nenek Gambreng menyuruh anaknya itu untuk makan malam bersama tapi ditolak karena sudah kenyang, lirikannya semakin sinis.

Tanpa bicara aku bergegas masuk setelah menyaliminya, mataku berbinar saat melihat meja kerja minimalis yang cantik telah berdiri dengan anggunnya di samping meja riasku. Usai mandi dan salat aku pun mulai menata semuanya, koleksi buku novel yang semula bersembunyi di dalam laci besar meja kerjanya Mas Fian, kini bertengger rapi di rak portable yang sudah dirakit oleh Pak Asep.

Yang mengejutkan adalah adanya kursi putar berwarna pink nude yang empuk dan nyaman, entah kapan Mas Fian memesannya, yang jelas aku sangat suka.

Satu jam kemudian, meja ini sudah tertata rapi. Terakhir aku tempatkan lampu belajar cantik di sudut meja dekat dengan dinding.

Aku duduk di kursi putar baru, betul-betul bikin betah saat nanti banyak tugas kampus yang harus dikerjakan. Aku berdecak kagum dibuatnya, Mas Fian sangat baik dan perhatian kepadaku.

Aku mendongak saat tangan Mas Fian melingkar di depan dada, serta merta ia mengecup kening ini. "Suka dengan kursi putarnya?"

"Iya, Mas. Makasih banyak, kapan belinya?"

"Tadi waktu antri beli tiket nonton."

"Online?"

"Iya."

Mas Fian menyandarkan kepalanya di atas bahu, lalu mengecup leher ini dengan lembut. Ini isyarat mengajak untuk bercinta darinya, aku sudah paham gelagatnya. Demi membalas kebaikannya, aku pun menurut. Berpura-pura menikmati meski hati ini tidak rela disentuh serta digauli.
gajah_gendut
banditos69
pulaukapok
pulaukapok dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.