Kaskus

Story

blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
Aku Mencintai Bandot Tua
Aku Mencintai Bandot Tua


Aku Mencintai Bandot Tua

Aku Mencintai Bandot Tua

Spoiler for Update Chapter:


Chapter 1


"AYAH JAHAT, GAK PUNYA HATI!" Kuhentakkan kaki sebagai tanda perlawanan atas keputusan sepihak lelaki paruh baya yang egois, setelah itu aku segera berlalu meninggalkan ruang tengah di mana ayah dan ibu sedang duduk termangu dan lesu.

Pintu kamar kubanting dengan kencang, hingga menciptakan suara yang membahana dan tentu mengagetkan siapa saja yang berada di rumah ini. Rumah yang dahulu bak surga, kini berubah seperti neraka yang panas dan selalu membuat aku muak.

Tangisku luruh bersama dengan harapanku yang kandas karena keadaan yang tidak berpihak, kubenamkan wajah dalam bantal sehingga lengkingan sedu sedan yang tercipta dapat teredam dan hanya dapat didengar olehku saja.

Malam ini adalah malam terakhirku berstatus sebagai single, karena besok aku akan menikah dengan seorang pria yang sama sekali tidak aku kenal, apalagi aku cintai.

Pernikahan yang mendadak dan tiba-tiba ini membuat batinku terguncang, serasa dijatuhkan dari atas langit menimpa tanah menembus ke lapisan yang terakhir, sangat sakit dan merasa terhina. Karena lelaki itu bukan menikahi, tapi membeli.

Aku benci dengan takdir dan nasib, mengapa Tuhan memberi aku keluarga yang seperti ini?

Usiaku baru akan menginjak 19 tahun bulan Mei nanti, teman-temanku semua melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Aku apa? Malah menikah dengan bandot tua yang lebih pantas aku panggil dengan sebutan 'Om', karena usianya tidak jauh dari ayah.

Aku ingin berontak rasanya tak mungkin, pacarku si Bagas pun angkat tangan saat aku mengajaknya kimpoi lari. "Aku masih mau kuliah, kalau nikah nanti, kamu ... maksudku, kita mau makan apa? Dan siapa yang akan ngebiayain kuliah aku? Bunda aku pasti murka disangkanya aku ngehamilin kamu, duh aku gak sanggup. Maaf ya, Sayang!"

Dasar pengecut! Gak punya nyali! Kepentingan sendiri yang dia pikirin, janji suci yang selama ini dia ikrarkan ternyata cuma isapan jempol belaka. Aku benci Bagas, aku benci Ayah, aku benci si Bandot Tua yang bakalan jadi suamiku besok. Aku benci makhluk Tuhan yang berjenis kelamin lelaki, aku benciiiii!

Pernah aku coba bernego dengan Ayah tentang keputusan ini, aku coba membujuk beliau agar aku diizinkan untuk bekerja demi bisa menopang perekonomian keluarga yang mulai carut marut. Dan, daebak! Ayah menolak mentah-mentah niat mulia itu. Alhasil aku gondok dan mau tidak mau harus manut, tidak boleh tidak.

Dengan berat hati aku pun menurut, semuanya kulakukan semata-mata demi membahagiakan orang tua dan adik-adikku.

Calon suamiku, maksudku si Bandot Tua itu adalah seorang pengusaha yang bisa dibilang sukses, dia banyak menolong keluarga ini terutama dalam masalah keuangan. Usaha restoran ayah bangkrut setelah ibu ketahuan memiliki banyak hutang, hutang di bank, rentenir, beberapa tagihan kartu kredit dengan limit di masing-masing kartunya lumayan besar dan koperasi simpan pinjam.

Alfian Wijaya, si Bandot Tua yang besok akan menjadi suamiku itu adalah seorang pelanggan setia restoran Ayah, dia sering sekali memesan catering dan tumpeng apabila sedang ada event di perusahaannya.

Hubungan si Bandot Tua dengan Ayah sangat erat, maka sewaktu Ayah gulung tikar dan terpaksa menjual semua asetnya demi membayar hutang Ibu yang jumlahnya sampai ratusan juta, dia datang lalu menawarkan bantuan finansial yang jumlahnya tidak main-main, asalkan Ayah tidak menutup usahanya.

Ayah menolak mentah-mentah bantuan dari si Bandot Tua, beliau tidak mau punya hutang budi. Alhasil kami pun jatuh miskin, tinggal di rumah minimalis di pemukiman padat penduduk yang kumuh.

Tapi saat kami sudah melarat, Ayah tidak bisa lagi menolak apa yang diberikan oleh Bandot Tua tersebut. Sehingga hutang budi itu benar-benar tercipta, dan aku menjadi pelunasnya.

Ibu hanya bisa menangis dan meminta maaf, saat aku dan adik-adik menderita terkena imbasnya . Waktu itu, aku ingin sekali membencinya tapi aku tidak bisa.

Aku hanya bisa mengelus dada serta meratapi nasib yang malang ini, sering aku berpikir keras akankah kisahku bak sinetron ikan asin terbang? Berawal tragis tapi berakhir manis, ah entahlah! Cuma Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi nanti.

Aku merasa sepi di dalam kamar ini, padahal di luar sana sedang ramai. Banyak orang sedang mempersiapkan acara untuk besok. Saudara jauh, tetangga dan kerabat dekat berdatangan untuk membantu. Samar-samar kudengar suara tawa mereka, begitu lepas dan tanpa beban.

Aku tidak bersemangat dan masa bodoh dengan semua ritual yang harus dijalani sebelum pernikahan. Peduli amat dengan puasa dan juga tradisi pingit, aku bebas jalan dan nongkrong dengan teman-teman, Ayah dan Ibu tidak bisa melarang karena itu syarat sebelum aku mau menuruti permintaan mereka.

🖤🖤🖤

Dalam kamar yang indah ini hatiku merasa terkoyak, wajah yang telah dipoles riasan tebal ini terasa bagai topeng badut saat aku lihat di cermin. Kebaya mewah nan cantik yang si Bandot Tua pesan khusus dari butik ternama pun kurasa gerah dan tidak nyaman, sama seperti perasaan yang bergejolak ini.

Telinga seketika terasa panas dan memerah saat MC memberitahu kalau romongan calon mempelai pria sudah tiba, perias pengantin yang tidak tahu perihal isi hati ini pun menepuk bahuku sembari bersorak gembira. Aku meresponnya dingin, cuma tersenyum kecut, sekecut ketek tukang becak yang baru selesai ngegenjot di tanjakan.

Wanita yang berperan sebagai MUA itu kembali mengecek riasan wajahku, usai sapu sana-sini senyumnya mengembang. "Perfect!" katanya.

Aku memandang wajah yang menurutku seperti pemain lenong yang akan tampil di panggung.

Kebaya modern putih, rambut disanggul yang dihiasi mahkota gold dan kembang goyangnya, dirasa bagai atribut pemain barongsai saat perayaan imlek.

Tok ... tok ... tok ....

Pintu kamar diketuk oleh seseorang yang hendak menjemputku, dia Vina, sepupuku.

"Mel, yuk ke depan!" ajaknya mengulurkan tangannya padaku.

Tanpa menjawab, aku meraih uluran tangannya dan berjalan menuju teras rumah yang dijadikan tempat untuk ijab kabul.

Kulihat sekilas wajah calon suamiku, ia tersenyum ramah tapi aku pura-pura tidak melihatnya.

"Kepada calon pengantin wanita kami persilahkan duduk di samping sang pangeran yang telah bersiap mengikrarkan janji suci di hadapan kita semua," ucap MC membuatku ingin muntah.

Semua orang kecuali aku tersenyum mendengar ucapan MC itu. 'Pangeran apaan? Pangeran kodok kali,' sungutku dalam hati.

Setelah melewati beberapa rangkaian prosesi maka tibalah saatnya pengucapan ijab kabul. Setelah dipandu oleh pak penghulu, maka si Bandot Tua itu dengan lantang mengucapkan kalimat sakral di depan semua orang yang hadir disini.

"Saya terima nikah dan kimpoinya Amelia Gentari Permadi binti Dodi Permadi dengan mas kimpoi satu set perhiasan emas seberat 50 gram dibayar tunai."

Para saksi, tamu undangan dan keluarga mengucap syukur karena prosesi utama berjalan dengan lancar dan sukses. Bagai tersengat listrik bertegangan tinggi saat mendengar penghulu dan semua orang berkata 'SAH', itu berarti per hari ini aku akan hidup dengan si Tua Bangka ini. Tidaaaaaak!

Mengapa aku sebut dia tua bangka? Itu karena usianya sudah 40 tahun, ia seorang perjaka tua alias bujang lapuk. Entah kenapa dia belum menikah sampai usianya setua itu, hanya Tuhan dan dia yang tahu.

Acara resepsi kami diadakan secara sederhana, aku malu kalau harus pesta meriah. Teman-teman sekolah, tidak ada satu pun yang aku undang, apa kata dunia seorang Amelia yang jadi rebutan cowok-cowok populer dan terkenal sebagai play girl di sekolah dulu tiba-tiba nikah muda, sama bandot tua lagi.

Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, lalu kemudian mengusirnya dari sisi ini. Sumpah aku muak, benci, dan enek harus duduk berdekatan di pelaminan dengannya.

Apalagi saat dia sok perhatian menawari aku mau makan atau tidak, ih benar-benar menyebalkan. Apalagi aku sempat melirik dengan ujung mata, dia sering mencuri pandang kepadaku, ingin rasanya aku tusuk matanya pakai gembang goyang yang menancap di sanggul palsu ini.

Saat duhur menjelang acara resepsi pun usai, aku dan dia dipersilahkan untuk masuk beristirahat. Si Bandot Tua sok manis, mengulurkan tangan berniat menuntunku. Tapi dengan tegas aku tolak, beralasan tidak kuat ingin buang air kecil, secepatnya aku ngacir duluan.

Sejenak aku berdiam diri di dalam kamar mandi, berjalan mondar-mandir dengan pakaian lengkap. Konyol memang, tapi semua ini aku lakukan agar alasanku tadi tidak sekadar hoax.

Hingga lima menit lamanya, aku pun keluar dan melangkah masuk ke dalam kamar pengantin. Segera aku kunci pintu, agar dia tidak masuk tiba-tiba di saat aku lagi buka baju.

Kuhempaskan tubuh di ranjang, menghela napas panjang memindai kamar ini. Mencebik dan merutuk, meski sia-sia tapi itu bisa membuatku lega dan merasa lebih baik.

Kemudian aku berdiri, sudah saatnya menanggalkan 'pakaian lenong' ini, aku ingin mandi dan istirahat dengan tenang dan damai.

Saat pakaian dan semua atribut tanggal, pintu diketuk. "Pasti itu si Batu alias Bandot Tua," sungutku geram.

Dengan wajah masam aku membuka pintu, tanpa menegurnya aku kembali masuk menyambar handuk kimono yang tergantung di paku. Tanpa menoleh kepada dia, aku bergegas pergi meninggalkannya.

Sesampainya didalam kamar mandi, aku segera membersihkan diri. Hampir 2 jam lamanya aku semedi didalam kamar mandi, karena kewalahan mengurai rambut setelah disasak tadi.

Setelah berhasil mengurai rambut yang kusut, aku pun segera membasuh seluruh tubuh. Segar rasanya, apalagi setelah keramas kepala ini jadi enteng sekali.

Di dalam kamar, aku pakai baju kebesaran emak-emak yaitu daster. Usai mengoleskan pelembab muka, aku pun langsung berbaring di atas spring bed yang empuk dan nyaman. Si Bandot Tua tidak ada di sini, membuatku sangat damai dan tenteram tentunya.

Namun ketika akan terlelap, pintu kamar kembali diketuk dan terdengar suara derap langkah si Bandot Tua memanggil namaku.

"Dek, ini Mas Fian tolong buka pintunya!"

Aarrrgghh!

Aku merutuk dalam hati, dengan wajah kesal segera kubuka kunci pintu. Setelah itu kembali ke formasi awal tadi.

Suara sepatunya membuat telinga ini sakit, dia menggantungkan jasnya di kastop dekat lemari pakaian.

Kuintip dengan mata yang pura-pura dipejamkan, dia sedang celingukan seperti sedang mencari sesuatu.

"Dek, bisa minta tolong ambilkan handuk?" Tangannya mengusap pundakku.

Tanpa menjawab aku bangun dan beranjak membuka lemari, untuk mengambilkan benda yang dia butuhkan.

'Uh beneran ya nih si Bandot Tua ini, ngeganggu ketenangan gue aja!' Kedua kalinya aku merutuk dalam hati.

"Makasih ya, Dek. Mas mandi dulu," ucapnya sok imut.

'Mandi aja sono, kaya gue nungguin lo aja dasar 'Batu' alias Bandot Tua.'

Aku tersenyum dan mengangguk, berusaha tidak menunjukkan rasa kesalku padanya, semuanya kulakukan demi keluarga.

Sepeninggal dia, aku pun pulas tertidur. Beberapa kali dia membangunkan aku untuk salat, tapi aku tak menggubrisnya. Aku beralasan aku sedang haid.

Selepas isya setelah selesai makan malam bersama, dia mencoba mengajakku bicara berdua di dalam kamar sebelum kami terlelap.

"Mas tahu, Dek Amel belum siap dengan pernikahan ini. Tapi mas minta, Dek Amel harus mulai belajar menerimanya ya," ucapnya pelan tapi tegas.

"Om Fian, eh ... Mas Fian jangan bicara kaya gitu, dengan aku bersedia menikah, itu artinya aku sudah menerima Mas Fian. Suka gak suka, toh aku gak punya pilihan."

"Alhamdulillah kalau begitu, mas lega dengarnya. Mudah-mudahan saja pernikahan kita ini bisa membawa kebaikan untuk kita dan diberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat ya, Dek."

"Aamiin," jawabku tampak penuh harap, padahal penuh rutukan.

Beberapa saat kemudian Mas Fian meraih dan mencium punggung tangan ini dengan lembut, rambutku ia usap perlahan. Tanpa menunggu izin, dia mendaratkan ciuman di kening, lalu turun ke pipi dan bibir.

Aku tidak memberi respon, bukan tidak bisa berciuman tapi aku merasa jijik ketika bibirnya menyentuh dan mamagut bibirku. Tiba-tiba ia melepaskan bibirnya dan menatap wajah ini.

"Kok diam, Dek? Kamu belum siap ya?"

"Eng-enggak, Mas. Aku gak tahu cara berciuman, aku bingung harus bagaimana," kilahku bohong. Padahal waktu pacaran dengan Bagas, sering aku berciuman alias baik.

"Maaf Mas Fian, aku belum bisa malam ini." Tanganku mendorong dada bidang itu pelan, menghentikan aksinya.

"Kenapa, Sayang?" Kata 'sayang' yang dia ucapkan barusan, benar-benar bikin aku gumoh, huweekk!

"Aku sedang ada tamu bulanan, Mas. Makanya tadi aku gak salat." Harap-harap cemas berharap ia percaya, dan tidak meraba apakah aku memakai pembalut atau tidak.

Ia tersenyum dan kemudian mengangguk. "Iya mas tahu, tadinya mas kepingin mesra-mesraan aja gitu." Kulihat ada gurat kecewa di wajahnya, tapi aku gak peduli yang penting aku berhasil-berhasil horeeee.

Itu artinya aku harus bersandiwara mendapat tamu bulanan selama seminggu lamanya, hal itu tidak membuatku aman tapi setidaknya aku bisa mengulur waktu.

Hari ini, adalah hari pernikahan kami yang kelima, dan sesuai dengan perjanjian awal aku akan meninggalkan rumah dan ikut bersama Mas Fian ke rumahnya.

Rasanya sangat berat aku berpamitan dengan orang tua dan kedua adikku, air mata ini tumpah. Aku tidak kuasa harus berpisah dengan mereka.

Walaupun aku bisa setiap saat bertemu dengan mereka, karena rumah Mas Fian dan orang tuaku hanya berjarak kurang lebih 100km. Namun, tetap saja itu suatu hal yang membuatku sangat bersedih.

"Ingat ya, Nak, pesan ayah! Harus hormat dan patuh pada suami, ayah selalu berdoa yang terbaik untukmu," bisik Ayah ketika memelukku.

Kujawab petuah Ayah dengan anggukan, lelaki paruh baya itu tahu betul seperti apa perasaanku saat ini. Tapi, Ayah tidak mau tahu dan terkesan tidak peduli. Aku merasa dijual pada si Bandot Tua, diri ini tak ubahnya seperti budak pemuas nafsu yang dipersembahkan untuk pejabat pada masa kerajaan dulu.

Aku dan mas Fian memasuki mobil, tak kuasa menahan tangis saat besi yang mewah yang ditumpangi meninggalkan rumah yang selama kurang lebih tiga tahun ini aku tempati.

Aku menangis sesegukan didalam mobil, lambaian tangan mereka tidak bisa hilang dari ingatan.

Mas Fian yang duduk di sebelah memeluk erat, hal itu tidak berarti apa-apa. Tidak juga bisa membuatku luluh untuk mencintainya.

"Jangan sedih lagi, Dek, setiap saat Adek ingin ke rumah Ayah bilang saja, mas akan antar."

Aku mengangguk dan terus menangis, di sepanjang perjalanan menuju rumah mas Fian.

Lebih satu jam kemudian, kami tiba di rumah mewah yang begitu asri dan nyaman. Aku dan mas Fian turun dari mobil, Pak Zaki, sang supir segera membuka bagasi dan menurunkan koper-koper.

"Asslamualaikum," ucap Fian ketika memasuki rumahnya.

"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya bersanggul, dengan wajah menor yang sedang asik membaca majalah di sofa ruang tengah.

Wanita bergaya bak ibu sosialita itu adalah ibu mertuaku, Ibu Siska namanya. Dari raut wajahnya sepertinya ia tidak suka padaku, terbukti pada saat pernikahan dulu dan sekarang tatapannya tetap sama, sinis.

Ah, tapi aku tidak mau ambil pusing. Bodo amat lah, toh aku juga nikah karena terpaksa. Seandainya wanita itu mengusirku suatu hari nanti, hal itu akan jadi senjata ampuh untuk bisa lepas dari belenggu pernikahan ini.

Mas Fian mencium punggung tangan ibunya dengan takzim, kemudian ia memeluknya dengan penuh rasa sayang.

Aku bersikap sama, mencium tangan mertuaku yang sebelumnya menatapku dari atas sampai bawah, seperti aneh melihatku. Padahal jelas-jelas dia yang menurutku aneh.

Kami berbincang sebentar dengan Bu Siska, setelah itu Mas Fian mengajakku untuk beristirahat di kamarnya.

Tangan ini dituntun masuk, menuju ruangan pribadi yang terletak di dekat ruang tengah. Sesampainya di dalam, aku takjub dengan kamar tidurnya, begitu nyaman dan wangi sekali. Mataku berkeliling menatap ke setiap sudut ruangan yang dipenuhi dengan perabotan modern dan tentunya mahal.

Dahulu, kehidupanku juga bisa dibilang mampu. Tapi rumah masa kecilku tidak semewah rumah Mas Fian, haruskah aku merasa beruntung karena mempunyai suami tajir?

"Dek, lemari pakaian yang tiga pintu itu baru. Mas sengaja belikan untuk menyimpan semua pakaianmu. Karena lemari Mas sudah penuh, hehe."

"I-iya Mas, terima kasih." Aku merasa kikuk dan canggung di rumah mewah ini.

"Mas, aku mau mandi dan ganti baju dulu ya," ucapku memecahkan kecanggungan dengannya.

Mas Fian mengangguk dan mengeret koper kami kedekat lemari pakaian. Segera aku membuka dan mengambil pakaian santai juga handuk, membawanya ke kamar mandi yang lagi-lagi membuat aku takjub dibuatnya.

Usai mandi, aku duduk di tepi ranjang. Menggosok rambut yang basah dengan handuk kecil. Mas Fian tidak mau jauh dariku, ia duduk menemani dan menawarkan diri untuk membantu mengeringkan mahkota indah ini.

Jujur, aku merasa risih dan tidak nyaman dengan perlakuannya. Bulu romaku merinding saat wajahnya mendekat, dari pantulan cermin aku lihat matanya terpejam saat menghidu bau harum yang menguar dari rambutku. Embusan napasnya membuat tengkuk meremang, adegan tidak senonoh pun terbayang dalam benak.

Tidak tahan dengan perasaan jijik yang menguasai, aku bangkit dan menyibukkan diri menyusun pakaian dari dalam koper ke lemari.

"Bibik saja nanti yang ngerjain, Dek," katanya sembari menatapku lekat.

Aku menggeleng dan tersenyum sok manis. "Aku bisa sendiri, Mas. Gak puas kalau barang pribadi, orang lain yang ngerjain."

Mas Fian mengangguk, lama kelamaan dia merasa bosan melihatku tak memberikan kesempatan sedikit pun padanya untuk menghabiskan waktu berduaan, dia berpamitan untuk keluar kamar setelah sebelumnya bertanya aku mau makan apa saat makan malam nanti.

"Apa aja, aku makan, Mas."

"Baik, mas keluar ya."

"Iya."

Sepeninggal Mas Fian, aku berhenti bersandiwara. Kuhempaskan bokong ini, melepas lelah setelah berusaha lolos dari cengkeraman singa tua, hehe.

Saat jam makan malam tiba, aku duduk di depan meja makan malam yang mewah dan indah. Berbagai macam menu masakan lezat tersaji di atasnya, lengkap dengan makanan penutup dan buah-buahan.
Diubah oleh blackgaming 07-03-2021 14:59
ichigame16Avatar border
ciptorosoAvatar border
sormin180Avatar border
sormin180 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
21K
51
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
#13
Chapter 8


Sang dosen keren dan ganteng, muncul di waktu dan tempat yang tidak tepat. Alamak, keringat dingin kompak menyerbu. Ponsel yang sedang kupegang hampir terjatuh jika aku tidak sigap, aku menoleh ke ruang ganti, BAHAYA! Pintunya terbuka, itu berarti Mas Fian sudah selesai berganti pakaian.

Kiamat! Kiamat!

"Pak Dimas, nanti saya telepon kembali. Ini sedang di kamar mandi, maaf."

Secepatnya kusentuh bulatan merah, panggilan pun berakhir. Aku bernapas lega dan tersenyum kikuk kepada Mas Fian, muncul membawa pakaian kotor yang basah.

"Siapa, Dek? Anggita?"

"I-iya, dia. Kebiasaan gonta ganti nomor terus," jawabku terbata-bata.

"Biasa anak remaja, Mas bagi nomor baru Anggita ya, Dek. Takutnya Mas ada perlu sama Ayah atau Ibu."

🖤🖤🖤

Waduh cilaka, bagaimana ini?

"I-iya, Mas. Tapi nanti aja ya karena katanya dia itu nomor sementara, cuma diambil kuotanya saja. Mau cari nomor provider Empati katanya biar bagus sinyalnya," kataku tenang, meski dalam hati ini dag ... dig ... dug ... dwer.

"Oh gitu, iya gak apa-apa next time saja."

"Iya, Mas. Oh iya, aku makan siangnya nanti aja, Mas. Kalau Mas udah lapar duluan aja, ya. Obatnya aku siapin di sini."

Mas Fian berjalan menuju meja kerjanya, lalu duduk di kursi putar. "Kenapa? Gara-gara tadi, ya?"

Aku menggeleng, bohong padahal iya. Aku masih gedek sama si Nenek Gambreng dan si Gerandong Betina, pastinya mereka akan kembali memperpanjang masalah tadi. Ingin rasanya aku menyumpal mulut mereka dengan sambal terasi pedas buatan Bik Nani, biar nyaho.

"Kalau bukan gara-gara tadi, lalu kenapa?"

"Ngantuk!" Bergegas aku naik ke peraduan, berbaring sembari memeluk guling.

Melihatku begitu, Mas Fian hanya geleng-geleng kepala. Lalu, ia memutar kursi yang didudukinya dan kemudian membuka leptop.

Beberapa menit kemudian, ia pun menjadi sibuk dengan urusan di kantornya. Mengecek email masuk dan kemudian menindaklanjuti isinya.

Mas Fian adalah seorang pengusaha yang berkecimpung dalam industri ritel. Bisnis yang berkembang pesat itu, dirintisnya dari nol. Menurut ceritanya, usaha ini adalah usaha yang tidak akan pernah ada matinya sampai kapan pun.

Bisnis ritel dapat disebut sebagai bisnis penjualan eceran, yang dilakukan secara langsung dari distributor kepada konsumen. Model bisnis ini cenderung aman untuk dilakukan, karena resiko kerugian hanya berasal dari persaingan antar peritel saja.

Mas Fian memiliki gerai minimarket yang tersebar di se-antero Indonesia, ritel jaringan minimarketnya yang banyak seperti itu sudah barang tentu telah menghasilkan keuntungan yang tidak main-main, ini menurut dia loh ya.

Biar aku ini males sama dia, tapi aku selalu menjadi pendengar yang baik jika dia sedang bercerita tentang banyak hal mengenai dirinya. Tentang masa sekolahnya dulu, kuliah, dan sejarah dia bisa sampai ke titik puncak seperti sekarang ini.

Aku tergiur dengan hartanya? Tentu tidak. Aku gak silau harta, cuy. Biar si Bandot bergelimang kemewahan, rasanya gak bikin aku luluh, dia tetap aku anggap seorang lelaki yang dengan uang bisa melakukan apa saja yang dia mau, termasuk membeli aku.

Jadilah aku terkurung dalam sangkar emas bersama dua singa betina, yang satu masih muda dan lainnya sudah keriput dan peyot tapi ganjen.

Seandainya aku sanggup, aku pasti memilih untuk pergi dari sisi si Bandot. Karena hidup bersamanya tidak membuat aku bahagia, pernikahan ini hanya membuat Ibu dan Ayah bahagia.

Nasib ... nasib.

🖤🖤🖤

Bibir ini tersungging sendiri saat membalas pesan masuk dari Dimas, si Dosen Keren. Dia menyapa pagiku yang kelabu karena harus mengurung diri di dalam kamar, malas aku keluar kamar karena Nenek Gambreng sedang mengadakan acara arisan dengan teman-teman sosialitanya.

Suara mereka riuh kudengar dari dalam, sempat kulihat saat hendak memberikan amplop titipan dari Mas Fian untuk security di pos jaga depan rumah, si Nenek Gambreng sedang sibuk memamerkan tas baru nan mewah seharga motor matic sport yang bodinya lebar selebar bokongnya.

Saat kembali dari luar Si Nenek Gambreng sempat melirikku, lalu memutar bola matanya sinis. Sesaat sebelum masuk, dia melemparkan sindiran pedas yang ditujukan padaku.

"Kalau saya jenk, dulu sama mertua selalu manut dan hormat. Apalagi tinggal numpang di rumahnya orang tua suami, duh rasanya mau bertingkah macam-macam apalagi mau kurang ajar sama mertua dan ipar, duh malu rasanya. Intinya saya tahu diri lah."

Aku mencebik dan mendelik tak suka, tidak kuladeni ocehannya tapi aku membalasnya dengan suara bantingan pintu yang mendentum kencang. Yakin, mereka semua akan terkejut dan naik darah dibuatnya.

Biarkan saja, supaya mereka tahu bahwa aku diam bukan karena takut tapi mengalah untuk menang.

[Pagi, Mel. Ini aku, Dimas.]

Pesan masuk singkat itu membuat darah yang mendidih akibat ulah si Nenek Gambreng, pun menjadi adem. Beruntung Mas Fian sudah berangkat ke kantor, jadinya aku leluasa membalas pesannya.

[Gak perlu mengabsen, Pak. Nomornya sudah aku save.]

[Waah, tersanjung banget.]

[Bapak bisa aja, maaf ya kemarin waktu Bapak telepon aku lagi nanggung.]

Dalam hitungan detik pesan yang kukirim telah centang biru, secepat kilat Dimas mengetik balasan.

[Jangan panggil Bapak, dong. Rasanya aku jadi tua banget, hehe.]

[Terus aku panggil apa, dong?]

[Dimas, saja. Supaya lebih akrab, hehe.]

[Oke, Dimas.]

[Sip, jadi kamu gak marah sama aku, Mel?]

[Gak, Dim. Marah kenapa?]

Lama pesan terakhirku tidak dibalasnya, tapi notifikasi kembali masuk saat ponsel ini hendak aku simpan di atas nakas.

[Boleh aku telepon kamu, Mel?]

Pertanyaan Dimas barusan, membuat hatiku berbunga-bunga. Bagaimana tidak, lelaki tampan yang katanya dosen termuda di kampus itu ternyata memiliki perhatian lebih padaku.

Tanpa berpikir lama, segera aku jawab OK.

Tidak lama ponsel pun berdering, nama 'Kampus Maya' muncul di layar, sengaja aku menamai kontak Dimas dengan nama itu agar tidak terendus oleh si Bandot Tua.

Kuusap bulatan hijau dan suara sapaan Dimas, pun terdengar di ujung sana.

"W-waalaikumsalam," jawabku gugup.

"Aku ganggu gak, Mel?"

Pertanyaan basa basi itu kujawab dengan mantap. "Gak, Dim. Santai aja, aku senang kamu telepon. Habisnya bete juga di rumah gak ngapa-ngapain, dari tadi pagi rebahan terus, hehe."

Dimas terkekeh, obrolan pun berlangsung akrab. Wawasannya luas tenyata, selain itu ia sangat humoris hingga sakit perut aku dibuatnya terus tertawa.

Lima puluh menit yang seru, tak sedikit pun aku merasa bosan dibuatnya.

Suaranya yang ngebass membuat Dimas semakin menggemaskan, sangat macho.

Obrolan lewat sambungan telepon tersebut di akhiri dengan kesepakatan untuk bertemu, kami janjian untuk makan siang bersama di suatu tempat yang ia tunjuk.

Tidak ingin membuang waktu, aku bergegas mandi kembali demi bisa tampil segar dan cantik tentunya. Kurendam tubuh ini di bathtub. Kamar mandi nan mewah ini, memang dilengkapi dengan ergonomics bathtub yang minimalis tapi modern.

Bathtub jenis ini canggih, karena dilengkapi dengan built-in speaker. Sehingga aku sangat betah memanjakan diri, karena ditemani dengan lagu kesayangan. Selain itu, desain kamar mandi bertema laut membuat mata ini dimanjakan selalu. Cat warna biru laut dengan gradasi muda ke tua memulas temboknya, lalu pada bagian yang tidak terjangkau air, dipasangkan wallpaper dinding bergambar pemandangan bawah laut yang sangat indah.

Bagian tepi bathtub yang cukup luas, dimanfaatkan untuk menaruh aksesoris kamar mandi, termasuk lilin aromaterapi yang berbau harum menenangkan.

Kurendam tubuh ini di dalam air yang telah dicampur dengan bath foam. Bath foam adalah sabun mandi yang berbentuk gel. Gunanya untuk dicampurkan pada air mandi di bathub sehingga nantinya akan menimbulkan buih-buih air.

Bath foam yang sangat aku sukai adalah The Body Shop White Musk House Of Holland Bath Foam, sabun mandi dengan kandungan community trade honey ini dapat melembutkan dan menghaluskan tubuh. Aroma sensual musk-nya tahan lama dan sangat menyegarkan setelah mandi.

Kata si Bandot sih, dia sangat menyukai bau harumnya yang kalem, jika aku habis mandi sore tak jarang ia memelukku berlama-lama demi bisa menghidu aroma harumnya di tubuh ini.

Alarm yang kustel di ponsel berbunyi, tandanya aku sudah harus mengakhiri acara berendam manjaku. Aku membilas tubuh ini di dalam area basah yang disekat dengan kaca transparan model etched glass.

Model kaca etched glass adalah kaca kamar mandi, yang bisa berfungsi sebagai sebuah elemen dekor ruangan. Di mana pada hampir permukaannya ditambahkan motif print agar nampak lebih indah.

Beberapa menit kemudian, aku bergegas keluar untuk bersiap-siap.

Kupilih fashion casual yang memang sangat sesuai dengan kepribadianku, agak tomboi. Celana jeans belel dan kaus polo berkerah warna putih telah melekat, segera kukeringkan rambut dengan hair dryer beberapa menit.

Untuk wajah aku memolesnya dengan makeup tipis, untuk mata aku hanya memakai maskara dan softlens warna cokelat, pada pipi kusapukan blushon warna pink soft, begitu pula bibir ini dipoles gincu matte berwarna nude. Tanpa bedak, hanya pelembab dan tabis surya saja.

Kulirik jam dinding di tembok, tersisa waktu satu jam. Kuputuskan berangkat, tak lupa waistbag motif army kesayangan selalu menemani.

Sneakers putih model wadges rendah membuat kaki jenjangku semakin indah, aku mematut diri di cermin lalu tersenyum sekilas sebelum akhirnya beranjak pergi.

Saat keluar dari kamar, aku berlalu begitu saja tanpa berpamitan kepada Nenek Gambreng dan kawan-kawannya. Belasan pasang mata menatapku, aku cuek saja melenggang tanpa beban melewati mereka.

Sampai di garasi, Pak Wisnu -sopir si Nenek Gambreng- menghampiri menawarkan diri untuk mengantarkan aku pergi.

"Aku sudah pesan taksi online, lagian nanti Bu Siska bisa ceramah kalau Pak Wisnu sampai mengantar."

Pak Wisnu tersenyum penuh arti, tentunya ia sangat tahu bagaimana perlakuan sang majikan padaku yang statusnya menantu di rumah ini.

Aku melangkah cepat karena taksi online yang aku pesan sudah menunggu di depan pintu gerbang, satpam yang berjaga pun keluar dari dalam pos saat melihatku. Ia membukakan pintu pagar samping, dengan ramah ia menyapaku.

"Hati-hati di jalan, Mbak," katanya.

Terdengar risih memang, tapi memang seperti itu aku biasa dipanggil olehnya, Pak Wisnu, dan tukang kebun. Kecuali Pak Asep dan Bik Nani, mereka berdua memanggilku dengan sebutan 'Neng Amel'.

Minibus putih yang menanti segera aku naiki, sang sopir menyebutkan kembali nama tempat yang akan aku datangi. Perjalanan ini memakan waktu empat puluh lima menit lamanya, jantung ini terasa berdebar jadinya.

Dalam bayangan sudah berkelebatan adegan seru yang akan terjadi nanti, ah hal itu membuat aku senyum-senyum sendiri. Tapi lamunanku ambyar saat ponsel berdering, dengan semangat'45 aku merogoh benda pipih di dalam tas berharap itu dari Dimas yang mengabari bahwa dirinya sudah sampai.

Hati mencelos saat membaca nama kontak yang tertera di layar, Mas Fian yang kunamai 'Si Batu' tenyata yang menelepon. Geram langsung aku pada si Nenek Gambreng, pasti dia yang mengadu kalau aku pergi. Memang benar-benar menyebalkan manusia tua itu, aaargh.

Dengan enggan aku menjawab panggilannya. "Halo."

"Dek di mana?" tanyanya basa basi, basi.

"Mas jangan pura-pura, deh! Pasti Ibu telepon Mas, ngadu kalau aku pergi. Iya, kan?"

"Kok gitu jawabnya?"

"Iyalah, kenapa coba Mas tumben-tumbenan nanya aku ada di mana kalau bukan karena dapet aduan dari Ibu?"

"Ibu gak ngadu apa-apa, Dek. Jangan salah paham, Mas telepon karena memang niatnya mau pulang cepat," katanya bisa saja menutupi kebusukan ibunya.

"Udah ah, aku lagi di jalan. Mau ke klinik kecantikan dulu, mau facial dan massage."

"Selesai jam berapa? Nanti Mas jemput, ya!"

Hadeuh, beneran ya ini manusia possesive banget. Nyebelin banget, dia kira aku ini anak TK apa pake acara dijemput-jemput segala.

"Gak usah, ah. Aku bisa pulang sendiri, mau ke toko buku juga, beli alat tulis buat kuliah nanti."

"Nanti Mas temani, sekalian Mas juga mau beli tinta printer untuk printer yang di rumah."

Ada aja alasan si Bandot, benar-benar bikin moodku amblas seamblas-amblasnya, heuh.

"Dek! Kok diam? Mas jemput jam berapa? Di klinik kecantikan biasa itu kan?"

"Nanti aku kabari jam berapanya, selama belum aku kasih kabar Mas jangan hubungi aku, karena ponsel akan aku simpan di tas. Akunya di ruang tindakan untuk facial dan pijat."

"Iya, Dek. Mas ngerti, ya udah hati-hati di jalan ya."

"Ya." Secepatnya kuputus sambungan telepon yang menjengkelkan itu.

Aku merengut jadinya, rona bahagia yang tadi kurasa dalam sekejap sirna. Suasana hati ini menjadi rusak karena ulah si Bandot Tua yang dipengaruhi oleh si Nenek Gambreng.

"Sudah sampai Mbak," ucap sang sopir beberapa menit kemudian.

Kuberikan selembar rupiah merah kepadanya. "Ambil saja kembaliannya," ucapku padanya.

"Terima kasih, Mbak."

"Ya, sama-sama." Aku menjawabnya ketus, bukan karena kesal padanya, tapi karena masih terbawa suasana tadi.

Kulangkahkan kaki menuju gedung dua lantai di depan, sebuah cafe dengan konsep vintage tahun 90'an yang classic tapi menyenangkan. Saat memasuki ruangan, telinga dan mataku langsung disambut dengan lagu dan desain interior khas pada era itu.

Kusapu ke segala penjuru ruang dan mata ini berhenti di sudut, di mana sosok yang ingin kutemui sudah menanti di sana.

Aku berjalan mendekat kepada Dimas yang berdiri, sambil mengulas senyum yang sangat manis.

"Hai, Dim. Kamu udah lama nunggu?"

Dimas menggeleng, lalu mempersilahkan aku untuk duduk.

"Kamu mau pesan apa?" tanyanya sembari memberikan buku daftar menu.

"Kalau kamu?" Aku balik bertanya, membuatnya tertawa kecil memamerkan deretan gigi yang putih terawat. Walah, meletup-letup dada ini dibuatnya.

"Yakin bakalan cocok di lidah kamu apa yang bakal aku pilihkan?"

"Asal jangan kamu pilih menu yang mengandung babi, haram."

Lagi-lagi Dimas tertawa, lalu kemudian ia memanggil waiters. "Soto mie Bogor, dengan toping spesial ya, Mbak, dua porsi. Jamur enoki goreng crispy dan onion ring."

"Minumnya?" tanya wanita berpakaian jadul, menyesuaikan dengan konsep cafe ini.

"Mel, mau minum apa?"

"Boba brown sugar caramel saja," jawabku sembari tak berkedip menatap si tampan di seberang meja.

"Boba brown sugar caramel dan mocca brown sugar ice."

"Baik, permisi."

Si waiters undur diri, meninggalkan kami yang kembali berbincang sembari sesekali mencuri pandang satu sama lain.

"Dim, kamu gak salah pesan cemilan sampai dua porsi?"

"Supaya makin betah, kan ngobrol tanpa cemilan itu rasanya kaya hidup tanpa pasangan, hampa. Hehe."

Wadaw, Dimas mulai menggiring aku ke hal yang lebih pribadi. Siapa takut, hehe.

"Masa dosen muda kaya kamu gak punya pasangan?"

"Dulu ada, sekarang gak lagi."

"Lama jomblo?"

Dimas mengangguk lalu menjawab, "Tiga tahun'an."

"Wih, lama juga. Betah banget," pancingku, ikan kali ah dipancing.

"Belum ada yang sreg di hati, habisnya dulu putus gara-gara dia kuliah di luar, tepatnya di UK. LDR'an selama kurang lebih setahun lancar-lancar aja, lama-lama dia susah dihubungi dengan alasan sibuk."

"Terus putus?"

"Awalnya gantung, tapi beberapa bulan setelah HTS akhirnya dia mutusin aku dan nikah sama dosennya."

"Bule?"

"Iya."

"Oalah, maaf ya Dim. Aku jadi ngungkit luka lama kamu."

"It's ok, Mel. Santai aja, aku udah gak biasa kok sekarang. Awal-awal putus sih iya, sering sensi."

"Belum berjodoh, Dim. Semoga nanti kamu ketemu jodoh yang pas, yang lebih baik."

"Aamiin, thanks. Sekarang, ceritain dong tentang kamu."

Aku menggeser duduk, pertanyaan Dimas barusan bikin aku tidak enak hati. Sesaat aku diam, berpikir akankah jujur atau bohong.

Kalau jujur, pastinya dia akan menjauh. Sudah pasti aku akan sedih dan kecewa, secara Dimas bisa menjadi moodbooster buatku.

Kalau aku bohong, aku punya kesempatan untuk dekat bahkan menjalin hubungan asmara dengannya, aku yakin dia ada rasa sama aku, aku bisa lihat dari sorot matanya.

Tapi apa yang akan dia lakukan kalau suatu hari nanti tahu bahwa aku mendustainya? Soal si Bandot Tua yang akan membuang aku jika ketahuan selingkuh nanti, itu urusan belakangan. Selama ini memang aku mau cari cara, agar dia bisa muak kepadaku. Tapi, kalau bisa ketahuannya nanti, jangan sekarang-sekarang karena aku masih butuh dia untuk menyokong biaya kuliahku hingga rampung.

"Hei, kok diam?" Dimas menepuk punggung tangan ini.

Aku terkesiap, lalu tersenyum. "Sorry, aku jadi keinget sama kakak aku."

"Kenapa sama kakak kamu, Mel?"

"Iya, dia orangnya galak dan kaku. Gara-gara dia, gak ada cowok yang berani ngedeketin aku. Terakhir pacaran waktu aku sekolah, saat itu mau akhir kelas tiga. Eh ketahuan, habislah cowok aku dimaki-maki sama dia."

"Jadi?"

"Si Bagas, mutusin aku."

Tawa Dimas berderai, dia tergugu dengan karangan ceritaku.

"Kakak kamu udah nikah?"

"Udah."

"Itu kan zaman sekolah, Mel. Sekarang kan kamu sudah kuliah, sudah dewasa. Kayanya kakakmu enggak akan melarang kamu lagi."

"Halah, enggak. Kakak aku udah kasih warning katanya fokus kuliah, sudah kerja baru boleh cari calon suami, bukan pacar."

"Waduh, tegas juga ya."

"Iya, mana aku tinggal sama kakak aku. Makin terkekang jadinya."

"Kenapa kamu tinggal sama kakak kamu, Mel?"

"Karena orang tua tinggal bukan di kota ini, jadi pertimbangan rasa khawatir kalau aku kost, kakak aku kasih saran supaya aku tinggal sama dia."

"Sabar, berarti kakak kamu sayang banget sama kamu, Mel."

"Hehe, iya Dim. Waktu ospek saja dia jemput aku, ditungguin di depan gerbang."

"Bukannya yang jemput di hari itu ayah kamu, aku ingat saat nawarin kamu tumpangan."

Gila! Ingatan Dimas tajam sekali, dia sampai ingat dengan ucapanku waktu itu. Aku aja udah lupa, amsiyong deh.

"Iya, ayah tunggu di mobil, kakak aku yang tunggu di luar udah kaya bodyguard."

"Haha, Mel-Mel, kamu itu lucu banget."

Aku yang berhasil mengeles, pun bernapas lega. Tak lama kemudian makanan yang dipesan pun datang, makan siang bersama yang hangat dan akrab. Aku bahagia, sangat bahagia.

Waktu yang aku habiskan bersama Dimas sungguh sangat menyenangkan, tiga jam dilalui tanpa terasa.

Notifikasi pesan masuk ke dalam ponselku, kulihat di jendela layar nama si Bandot di sana. Segera aku membacanya.

[Dek, Mas sudah di depan klinik.]

Mata yang berbinar ini seketika membelalak tak percaya, geram dan kesal berkecamuk di dalam hati.

"Ada apa, Mel?" tanya Dimas yang terkejut melihat perubahan raut wajahku.

Cilaka dua belas! Nyebelin banget ini si Bandot, benar-benar membatasi ruang gerak aku.

Keterkejutan karena pesan menyeramkan barusan belum reda, si Bandot Tua menambah kepanikan dalam diri dengan menghubungi.

Jantung ini berdegub sangat kencang, bertalu-talu tidak menentu, iramanya tidak teratur.

"Mel, ada apa?" Dimas semakin khawatir, ia tidak tinggal diam segera bangkit dan menghampiriku.

Rasanya aku mau pingsan, napas ini sesak sekali kurasa.

Tangan yang gemetar memegang ponsel pun segera aku sembunyikan, aku tidak mau Dimas tahu siapa yang menghubungiku.

"Dim, aku ... aku pamit ya," ucapku sangat gugup.

"Aku antar kamu pulang, ya!"

"Jangan, gak usah. Aku bisa pulang sendiri," tolakku sambil menepis tangannya yang menyentuh pundak.

"Tapi, kamu kelihatannya tidak baik, Mel. Aku takut terjadi apa-apa sama kamu."

"I'm ok, kamu jangan khawatirin aku, ya!"
banditos69
disya1628
rinandya
rinandya dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.