Kaskus

Story

blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
Aku Mencintai Bandot Tua
Aku Mencintai Bandot Tua


Aku Mencintai Bandot Tua

Aku Mencintai Bandot Tua

Spoiler for Update Chapter:


Chapter 1


"AYAH JAHAT, GAK PUNYA HATI!" Kuhentakkan kaki sebagai tanda perlawanan atas keputusan sepihak lelaki paruh baya yang egois, setelah itu aku segera berlalu meninggalkan ruang tengah di mana ayah dan ibu sedang duduk termangu dan lesu.

Pintu kamar kubanting dengan kencang, hingga menciptakan suara yang membahana dan tentu mengagetkan siapa saja yang berada di rumah ini. Rumah yang dahulu bak surga, kini berubah seperti neraka yang panas dan selalu membuat aku muak.

Tangisku luruh bersama dengan harapanku yang kandas karena keadaan yang tidak berpihak, kubenamkan wajah dalam bantal sehingga lengkingan sedu sedan yang tercipta dapat teredam dan hanya dapat didengar olehku saja.

Malam ini adalah malam terakhirku berstatus sebagai single, karena besok aku akan menikah dengan seorang pria yang sama sekali tidak aku kenal, apalagi aku cintai.

Pernikahan yang mendadak dan tiba-tiba ini membuat batinku terguncang, serasa dijatuhkan dari atas langit menimpa tanah menembus ke lapisan yang terakhir, sangat sakit dan merasa terhina. Karena lelaki itu bukan menikahi, tapi membeli.

Aku benci dengan takdir dan nasib, mengapa Tuhan memberi aku keluarga yang seperti ini?

Usiaku baru akan menginjak 19 tahun bulan Mei nanti, teman-temanku semua melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Aku apa? Malah menikah dengan bandot tua yang lebih pantas aku panggil dengan sebutan 'Om', karena usianya tidak jauh dari ayah.

Aku ingin berontak rasanya tak mungkin, pacarku si Bagas pun angkat tangan saat aku mengajaknya kimpoi lari. "Aku masih mau kuliah, kalau nikah nanti, kamu ... maksudku, kita mau makan apa? Dan siapa yang akan ngebiayain kuliah aku? Bunda aku pasti murka disangkanya aku ngehamilin kamu, duh aku gak sanggup. Maaf ya, Sayang!"

Dasar pengecut! Gak punya nyali! Kepentingan sendiri yang dia pikirin, janji suci yang selama ini dia ikrarkan ternyata cuma isapan jempol belaka. Aku benci Bagas, aku benci Ayah, aku benci si Bandot Tua yang bakalan jadi suamiku besok. Aku benci makhluk Tuhan yang berjenis kelamin lelaki, aku benciiiii!

Pernah aku coba bernego dengan Ayah tentang keputusan ini, aku coba membujuk beliau agar aku diizinkan untuk bekerja demi bisa menopang perekonomian keluarga yang mulai carut marut. Dan, daebak! Ayah menolak mentah-mentah niat mulia itu. Alhasil aku gondok dan mau tidak mau harus manut, tidak boleh tidak.

Dengan berat hati aku pun menurut, semuanya kulakukan semata-mata demi membahagiakan orang tua dan adik-adikku.

Calon suamiku, maksudku si Bandot Tua itu adalah seorang pengusaha yang bisa dibilang sukses, dia banyak menolong keluarga ini terutama dalam masalah keuangan. Usaha restoran ayah bangkrut setelah ibu ketahuan memiliki banyak hutang, hutang di bank, rentenir, beberapa tagihan kartu kredit dengan limit di masing-masing kartunya lumayan besar dan koperasi simpan pinjam.

Alfian Wijaya, si Bandot Tua yang besok akan menjadi suamiku itu adalah seorang pelanggan setia restoran Ayah, dia sering sekali memesan catering dan tumpeng apabila sedang ada event di perusahaannya.

Hubungan si Bandot Tua dengan Ayah sangat erat, maka sewaktu Ayah gulung tikar dan terpaksa menjual semua asetnya demi membayar hutang Ibu yang jumlahnya sampai ratusan juta, dia datang lalu menawarkan bantuan finansial yang jumlahnya tidak main-main, asalkan Ayah tidak menutup usahanya.

Ayah menolak mentah-mentah bantuan dari si Bandot Tua, beliau tidak mau punya hutang budi. Alhasil kami pun jatuh miskin, tinggal di rumah minimalis di pemukiman padat penduduk yang kumuh.

Tapi saat kami sudah melarat, Ayah tidak bisa lagi menolak apa yang diberikan oleh Bandot Tua tersebut. Sehingga hutang budi itu benar-benar tercipta, dan aku menjadi pelunasnya.

Ibu hanya bisa menangis dan meminta maaf, saat aku dan adik-adik menderita terkena imbasnya . Waktu itu, aku ingin sekali membencinya tapi aku tidak bisa.

Aku hanya bisa mengelus dada serta meratapi nasib yang malang ini, sering aku berpikir keras akankah kisahku bak sinetron ikan asin terbang? Berawal tragis tapi berakhir manis, ah entahlah! Cuma Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi nanti.

Aku merasa sepi di dalam kamar ini, padahal di luar sana sedang ramai. Banyak orang sedang mempersiapkan acara untuk besok. Saudara jauh, tetangga dan kerabat dekat berdatangan untuk membantu. Samar-samar kudengar suara tawa mereka, begitu lepas dan tanpa beban.

Aku tidak bersemangat dan masa bodoh dengan semua ritual yang harus dijalani sebelum pernikahan. Peduli amat dengan puasa dan juga tradisi pingit, aku bebas jalan dan nongkrong dengan teman-teman, Ayah dan Ibu tidak bisa melarang karena itu syarat sebelum aku mau menuruti permintaan mereka.

🖤🖤🖤

Dalam kamar yang indah ini hatiku merasa terkoyak, wajah yang telah dipoles riasan tebal ini terasa bagai topeng badut saat aku lihat di cermin. Kebaya mewah nan cantik yang si Bandot Tua pesan khusus dari butik ternama pun kurasa gerah dan tidak nyaman, sama seperti perasaan yang bergejolak ini.

Telinga seketika terasa panas dan memerah saat MC memberitahu kalau romongan calon mempelai pria sudah tiba, perias pengantin yang tidak tahu perihal isi hati ini pun menepuk bahuku sembari bersorak gembira. Aku meresponnya dingin, cuma tersenyum kecut, sekecut ketek tukang becak yang baru selesai ngegenjot di tanjakan.

Wanita yang berperan sebagai MUA itu kembali mengecek riasan wajahku, usai sapu sana-sini senyumnya mengembang. "Perfect!" katanya.

Aku memandang wajah yang menurutku seperti pemain lenong yang akan tampil di panggung.

Kebaya modern putih, rambut disanggul yang dihiasi mahkota gold dan kembang goyangnya, dirasa bagai atribut pemain barongsai saat perayaan imlek.

Tok ... tok ... tok ....

Pintu kamar diketuk oleh seseorang yang hendak menjemputku, dia Vina, sepupuku.

"Mel, yuk ke depan!" ajaknya mengulurkan tangannya padaku.

Tanpa menjawab, aku meraih uluran tangannya dan berjalan menuju teras rumah yang dijadikan tempat untuk ijab kabul.

Kulihat sekilas wajah calon suamiku, ia tersenyum ramah tapi aku pura-pura tidak melihatnya.

"Kepada calon pengantin wanita kami persilahkan duduk di samping sang pangeran yang telah bersiap mengikrarkan janji suci di hadapan kita semua," ucap MC membuatku ingin muntah.

Semua orang kecuali aku tersenyum mendengar ucapan MC itu. 'Pangeran apaan? Pangeran kodok kali,' sungutku dalam hati.

Setelah melewati beberapa rangkaian prosesi maka tibalah saatnya pengucapan ijab kabul. Setelah dipandu oleh pak penghulu, maka si Bandot Tua itu dengan lantang mengucapkan kalimat sakral di depan semua orang yang hadir disini.

"Saya terima nikah dan kimpoinya Amelia Gentari Permadi binti Dodi Permadi dengan mas kimpoi satu set perhiasan emas seberat 50 gram dibayar tunai."

Para saksi, tamu undangan dan keluarga mengucap syukur karena prosesi utama berjalan dengan lancar dan sukses. Bagai tersengat listrik bertegangan tinggi saat mendengar penghulu dan semua orang berkata 'SAH', itu berarti per hari ini aku akan hidup dengan si Tua Bangka ini. Tidaaaaaak!

Mengapa aku sebut dia tua bangka? Itu karena usianya sudah 40 tahun, ia seorang perjaka tua alias bujang lapuk. Entah kenapa dia belum menikah sampai usianya setua itu, hanya Tuhan dan dia yang tahu.

Acara resepsi kami diadakan secara sederhana, aku malu kalau harus pesta meriah. Teman-teman sekolah, tidak ada satu pun yang aku undang, apa kata dunia seorang Amelia yang jadi rebutan cowok-cowok populer dan terkenal sebagai play girl di sekolah dulu tiba-tiba nikah muda, sama bandot tua lagi.

Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, lalu kemudian mengusirnya dari sisi ini. Sumpah aku muak, benci, dan enek harus duduk berdekatan di pelaminan dengannya.

Apalagi saat dia sok perhatian menawari aku mau makan atau tidak, ih benar-benar menyebalkan. Apalagi aku sempat melirik dengan ujung mata, dia sering mencuri pandang kepadaku, ingin rasanya aku tusuk matanya pakai gembang goyang yang menancap di sanggul palsu ini.

Saat duhur menjelang acara resepsi pun usai, aku dan dia dipersilahkan untuk masuk beristirahat. Si Bandot Tua sok manis, mengulurkan tangan berniat menuntunku. Tapi dengan tegas aku tolak, beralasan tidak kuat ingin buang air kecil, secepatnya aku ngacir duluan.

Sejenak aku berdiam diri di dalam kamar mandi, berjalan mondar-mandir dengan pakaian lengkap. Konyol memang, tapi semua ini aku lakukan agar alasanku tadi tidak sekadar hoax.

Hingga lima menit lamanya, aku pun keluar dan melangkah masuk ke dalam kamar pengantin. Segera aku kunci pintu, agar dia tidak masuk tiba-tiba di saat aku lagi buka baju.

Kuhempaskan tubuh di ranjang, menghela napas panjang memindai kamar ini. Mencebik dan merutuk, meski sia-sia tapi itu bisa membuatku lega dan merasa lebih baik.

Kemudian aku berdiri, sudah saatnya menanggalkan 'pakaian lenong' ini, aku ingin mandi dan istirahat dengan tenang dan damai.

Saat pakaian dan semua atribut tanggal, pintu diketuk. "Pasti itu si Batu alias Bandot Tua," sungutku geram.

Dengan wajah masam aku membuka pintu, tanpa menegurnya aku kembali masuk menyambar handuk kimono yang tergantung di paku. Tanpa menoleh kepada dia, aku bergegas pergi meninggalkannya.

Sesampainya didalam kamar mandi, aku segera membersihkan diri. Hampir 2 jam lamanya aku semedi didalam kamar mandi, karena kewalahan mengurai rambut setelah disasak tadi.

Setelah berhasil mengurai rambut yang kusut, aku pun segera membasuh seluruh tubuh. Segar rasanya, apalagi setelah keramas kepala ini jadi enteng sekali.

Di dalam kamar, aku pakai baju kebesaran emak-emak yaitu daster. Usai mengoleskan pelembab muka, aku pun langsung berbaring di atas spring bed yang empuk dan nyaman. Si Bandot Tua tidak ada di sini, membuatku sangat damai dan tenteram tentunya.

Namun ketika akan terlelap, pintu kamar kembali diketuk dan terdengar suara derap langkah si Bandot Tua memanggil namaku.

"Dek, ini Mas Fian tolong buka pintunya!"

Aarrrgghh!

Aku merutuk dalam hati, dengan wajah kesal segera kubuka kunci pintu. Setelah itu kembali ke formasi awal tadi.

Suara sepatunya membuat telinga ini sakit, dia menggantungkan jasnya di kastop dekat lemari pakaian.

Kuintip dengan mata yang pura-pura dipejamkan, dia sedang celingukan seperti sedang mencari sesuatu.

"Dek, bisa minta tolong ambilkan handuk?" Tangannya mengusap pundakku.

Tanpa menjawab aku bangun dan beranjak membuka lemari, untuk mengambilkan benda yang dia butuhkan.

'Uh beneran ya nih si Bandot Tua ini, ngeganggu ketenangan gue aja!' Kedua kalinya aku merutuk dalam hati.

"Makasih ya, Dek. Mas mandi dulu," ucapnya sok imut.

'Mandi aja sono, kaya gue nungguin lo aja dasar 'Batu' alias Bandot Tua.'

Aku tersenyum dan mengangguk, berusaha tidak menunjukkan rasa kesalku padanya, semuanya kulakukan demi keluarga.

Sepeninggal dia, aku pun pulas tertidur. Beberapa kali dia membangunkan aku untuk salat, tapi aku tak menggubrisnya. Aku beralasan aku sedang haid.

Selepas isya setelah selesai makan malam bersama, dia mencoba mengajakku bicara berdua di dalam kamar sebelum kami terlelap.

"Mas tahu, Dek Amel belum siap dengan pernikahan ini. Tapi mas minta, Dek Amel harus mulai belajar menerimanya ya," ucapnya pelan tapi tegas.

"Om Fian, eh ... Mas Fian jangan bicara kaya gitu, dengan aku bersedia menikah, itu artinya aku sudah menerima Mas Fian. Suka gak suka, toh aku gak punya pilihan."

"Alhamdulillah kalau begitu, mas lega dengarnya. Mudah-mudahan saja pernikahan kita ini bisa membawa kebaikan untuk kita dan diberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat ya, Dek."

"Aamiin," jawabku tampak penuh harap, padahal penuh rutukan.

Beberapa saat kemudian Mas Fian meraih dan mencium punggung tangan ini dengan lembut, rambutku ia usap perlahan. Tanpa menunggu izin, dia mendaratkan ciuman di kening, lalu turun ke pipi dan bibir.

Aku tidak memberi respon, bukan tidak bisa berciuman tapi aku merasa jijik ketika bibirnya menyentuh dan mamagut bibirku. Tiba-tiba ia melepaskan bibirnya dan menatap wajah ini.

"Kok diam, Dek? Kamu belum siap ya?"

"Eng-enggak, Mas. Aku gak tahu cara berciuman, aku bingung harus bagaimana," kilahku bohong. Padahal waktu pacaran dengan Bagas, sering aku berciuman alias baik.

"Maaf Mas Fian, aku belum bisa malam ini." Tanganku mendorong dada bidang itu pelan, menghentikan aksinya.

"Kenapa, Sayang?" Kata 'sayang' yang dia ucapkan barusan, benar-benar bikin aku gumoh, huweekk!

"Aku sedang ada tamu bulanan, Mas. Makanya tadi aku gak salat." Harap-harap cemas berharap ia percaya, dan tidak meraba apakah aku memakai pembalut atau tidak.

Ia tersenyum dan kemudian mengangguk. "Iya mas tahu, tadinya mas kepingin mesra-mesraan aja gitu." Kulihat ada gurat kecewa di wajahnya, tapi aku gak peduli yang penting aku berhasil-berhasil horeeee.

Itu artinya aku harus bersandiwara mendapat tamu bulanan selama seminggu lamanya, hal itu tidak membuatku aman tapi setidaknya aku bisa mengulur waktu.

Hari ini, adalah hari pernikahan kami yang kelima, dan sesuai dengan perjanjian awal aku akan meninggalkan rumah dan ikut bersama Mas Fian ke rumahnya.

Rasanya sangat berat aku berpamitan dengan orang tua dan kedua adikku, air mata ini tumpah. Aku tidak kuasa harus berpisah dengan mereka.

Walaupun aku bisa setiap saat bertemu dengan mereka, karena rumah Mas Fian dan orang tuaku hanya berjarak kurang lebih 100km. Namun, tetap saja itu suatu hal yang membuatku sangat bersedih.

"Ingat ya, Nak, pesan ayah! Harus hormat dan patuh pada suami, ayah selalu berdoa yang terbaik untukmu," bisik Ayah ketika memelukku.

Kujawab petuah Ayah dengan anggukan, lelaki paruh baya itu tahu betul seperti apa perasaanku saat ini. Tapi, Ayah tidak mau tahu dan terkesan tidak peduli. Aku merasa dijual pada si Bandot Tua, diri ini tak ubahnya seperti budak pemuas nafsu yang dipersembahkan untuk pejabat pada masa kerajaan dulu.

Aku dan mas Fian memasuki mobil, tak kuasa menahan tangis saat besi yang mewah yang ditumpangi meninggalkan rumah yang selama kurang lebih tiga tahun ini aku tempati.

Aku menangis sesegukan didalam mobil, lambaian tangan mereka tidak bisa hilang dari ingatan.

Mas Fian yang duduk di sebelah memeluk erat, hal itu tidak berarti apa-apa. Tidak juga bisa membuatku luluh untuk mencintainya.

"Jangan sedih lagi, Dek, setiap saat Adek ingin ke rumah Ayah bilang saja, mas akan antar."

Aku mengangguk dan terus menangis, di sepanjang perjalanan menuju rumah mas Fian.

Lebih satu jam kemudian, kami tiba di rumah mewah yang begitu asri dan nyaman. Aku dan mas Fian turun dari mobil, Pak Zaki, sang supir segera membuka bagasi dan menurunkan koper-koper.

"Asslamualaikum," ucap Fian ketika memasuki rumahnya.

"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya bersanggul, dengan wajah menor yang sedang asik membaca majalah di sofa ruang tengah.

Wanita bergaya bak ibu sosialita itu adalah ibu mertuaku, Ibu Siska namanya. Dari raut wajahnya sepertinya ia tidak suka padaku, terbukti pada saat pernikahan dulu dan sekarang tatapannya tetap sama, sinis.

Ah, tapi aku tidak mau ambil pusing. Bodo amat lah, toh aku juga nikah karena terpaksa. Seandainya wanita itu mengusirku suatu hari nanti, hal itu akan jadi senjata ampuh untuk bisa lepas dari belenggu pernikahan ini.

Mas Fian mencium punggung tangan ibunya dengan takzim, kemudian ia memeluknya dengan penuh rasa sayang.

Aku bersikap sama, mencium tangan mertuaku yang sebelumnya menatapku dari atas sampai bawah, seperti aneh melihatku. Padahal jelas-jelas dia yang menurutku aneh.

Kami berbincang sebentar dengan Bu Siska, setelah itu Mas Fian mengajakku untuk beristirahat di kamarnya.

Tangan ini dituntun masuk, menuju ruangan pribadi yang terletak di dekat ruang tengah. Sesampainya di dalam, aku takjub dengan kamar tidurnya, begitu nyaman dan wangi sekali. Mataku berkeliling menatap ke setiap sudut ruangan yang dipenuhi dengan perabotan modern dan tentunya mahal.

Dahulu, kehidupanku juga bisa dibilang mampu. Tapi rumah masa kecilku tidak semewah rumah Mas Fian, haruskah aku merasa beruntung karena mempunyai suami tajir?

"Dek, lemari pakaian yang tiga pintu itu baru. Mas sengaja belikan untuk menyimpan semua pakaianmu. Karena lemari Mas sudah penuh, hehe."

"I-iya Mas, terima kasih." Aku merasa kikuk dan canggung di rumah mewah ini.

"Mas, aku mau mandi dan ganti baju dulu ya," ucapku memecahkan kecanggungan dengannya.

Mas Fian mengangguk dan mengeret koper kami kedekat lemari pakaian. Segera aku membuka dan mengambil pakaian santai juga handuk, membawanya ke kamar mandi yang lagi-lagi membuat aku takjub dibuatnya.

Usai mandi, aku duduk di tepi ranjang. Menggosok rambut yang basah dengan handuk kecil. Mas Fian tidak mau jauh dariku, ia duduk menemani dan menawarkan diri untuk membantu mengeringkan mahkota indah ini.

Jujur, aku merasa risih dan tidak nyaman dengan perlakuannya. Bulu romaku merinding saat wajahnya mendekat, dari pantulan cermin aku lihat matanya terpejam saat menghidu bau harum yang menguar dari rambutku. Embusan napasnya membuat tengkuk meremang, adegan tidak senonoh pun terbayang dalam benak.

Tidak tahan dengan perasaan jijik yang menguasai, aku bangkit dan menyibukkan diri menyusun pakaian dari dalam koper ke lemari.

"Bibik saja nanti yang ngerjain, Dek," katanya sembari menatapku lekat.

Aku menggeleng dan tersenyum sok manis. "Aku bisa sendiri, Mas. Gak puas kalau barang pribadi, orang lain yang ngerjain."

Mas Fian mengangguk, lama kelamaan dia merasa bosan melihatku tak memberikan kesempatan sedikit pun padanya untuk menghabiskan waktu berduaan, dia berpamitan untuk keluar kamar setelah sebelumnya bertanya aku mau makan apa saat makan malam nanti.

"Apa aja, aku makan, Mas."

"Baik, mas keluar ya."

"Iya."

Sepeninggal Mas Fian, aku berhenti bersandiwara. Kuhempaskan bokong ini, melepas lelah setelah berusaha lolos dari cengkeraman singa tua, hehe.

Saat jam makan malam tiba, aku duduk di depan meja makan malam yang mewah dan indah. Berbagai macam menu masakan lezat tersaji di atasnya, lengkap dengan makanan penutup dan buah-buahan.
Diubah oleh blackgaming 07-03-2021 14:59
ichigame16Avatar border
ciptorosoAvatar border
sormin180Avatar border
sormin180 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
21K
51
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
#11
Chapter 6


"Mel, lo mau ke mana?"

Badanku mendadak panas dingin, ketika tahu Ricca berlari kecil mendekat pada kami.

"P-pulang Ric, lo belum dijemput?"

"Cowok gue gak jadi jemput, katanya masih ada kegiatan di kampusnya." Ricca memasukkan ponselnya kedalam tas.

Wajahnya terlihat lesu, karena gagal bertemu dengan kekasih yang sangat dicintainya.

"Oh gitu." Aku menjawab dengan kalimat tidak bermutu, duh aku benar-benar kalut sekarang.

Jarak Mas Fian dan Ricca sangat dekat, bagaimana ini?

"Lo balik sama siapa? Itu cowok, lo?" suara Ricca nyaring sekali, menggelegar bagai suara petasan di kimpoian orang Betawi.

"Eh ... ini, ini ...." Suaraku tertahan.

Aku harus jawab apa?

🖤🖤🖤

"Saya Fian, suaminya Amelia," ucap mas Fian sambil mengulurkan tangan kepada Ricca.

Diri ini bagai disambar petir, terasa lemas seketika. Kebohongan ini terbongkar sudah, duh Bandot Tua kok tega banget ngehancurin harkat martabak eh martabat aku di depan Ricca.

Yah kiamat kecil ini judulnya, lebih serem dari berantem sama si Nenek Gambreng atau Desi yang sok kecantikan itu. Duh, pokoknya hari ini adalah hari terburuk dalam sejarah hidup Amelia Gentari Permadi yang baik hati dan gak sombong ini.

Aku tidak berani menatap mata Ricca yang membulat sempurna kepadaku, aku ngebayangin saat ini pasti teman baruku itu sedang menaikkan alisnya dan membuka mulutnya alias menganga saking terkejutnya.

"Saya Ricca, Mas," jawab Ricca, menjabat tangan Mas Fian yang bersikap ramah. "Hmm, oke kalau gitu saya pamit Mas Fian, sampai ketemu besok ya, Mel." Ricca mencubit kecil tanganku, sebuah cubitan sebagai isyarat kalau dia minta penjelasan atas pernyataan si Bandot Tua barusan kepadanya.

"Gak sama-sama, aja?" Mas Fian dengan sopan menawarkan tumpangan.

Etdah, si Bandot kagak tau apa ya jantung ini lagi deg-degan? Ngapain sih pakai sok baik segala?

"Emh, gak usah! Lagian arah rumah Ricca berbeda, ya kan Ric?" Aku menekan akhir ucapan sembari menajamkan sorot mata.

"Iya, gak usah, Mas. Makasih banyak sebelumnya, saya mau naik taksi online aja. Sekali lagi, saya pamit ya Mas, Mel."

"Iya Ric, dah!" pungkasku secara halus mengusirnya.

Kulihat punggung Ricca yang berlalu, tidak membuang waktu aku segera mengajak Mas Fian masuk ke dalam mobil dan berlalu meninggalkan Ricca yang kini berdiri menatapku yang sudah berada di dalam kuda besi mewah hitam keluaran terbaru.

'Duh, besok gak mau masuk ah, gak berani ngadepin si Ricca. Amelia bodoh! Harusnya tadi waktu si Bandot telepon diangkat, pasti jadinya gak akan kaya sekarang, HANCUR BERANTAKAN!'

Aku meniup helaian rambut yang menjuntai di depan mata, lalu mengusap wajah kasar.

Di dalam mobil pikiranku kacau, Mas Fian lancang banget sih bilang kalau dia suamiku. Huft, mau marah tapi aku takut nanti dia malah stop uang bulanan dan bisa-bisa aku dilarang untuk kuliah karena dia curiga yang enggak-enggak sama aku.

"Kok diam saja, Dek?"

Yaelah, nih si Bandot malah nanya. Gak tau hati ini lagi kacau sekacau-kacaunya.

"Harus gimana? Joget-joget?" sungutku geram.

"Ya gak gitu, kaya ada yang dipikirin."

"Aku capek, Mas." Kusandarkan kepala di kaca jendela dan memejamkan mata.

"Chat Mas kenapa gak dibalas? Padahal sudah Dek Amel baca, centang biru. Telepon juga tidak Dek Amel jawab."

"Mas Fian ini kenapa sih?" bentakku, hingga membuat Pak Asep mengintip dari spion tengah.

Mas Fian menepuk-nepuk punggung tangan yang bertumpu di atas paha, ia menatapku tanpa rasa kesal sedikit pun. Dengan suara tenang ia berkata, "Maaf ya, Sayang."

Aku diam saja tidak menjawabnya, aku kembali memejam mata. Tapi baru beberapa saat aku terpejam, kurasakan tangan Mas Fian menyelusup di pundak lalu ia menggeser duduk agak ke tengah dan kemudian menarik tubuhku, membiarkan dadanya dijadikan sandaran.

Kamu ini baik dan sangat sabar, Mas. Tapi aku gak suka sama kamu, jadi apa pun yang kamu lakukan tidak berarti apa-apa di mataku.

Kurasakan telapak tangannya mengelus puncak kepala ini, aku bisa merasakan rasa kasih dan sayang yang begitu besar terhadapku.

Hingga tidak terasa aku pun benar-benar terlelap dalam dekapannya yang hangat.

Aku menggeliat, saat Mas Fian menepuk pelan pipiku. "Dek, sudah sampai."

"Emh, iya Mas."

Aku segera turun dan bergegas masuk ke dalam kamar.

"Langsung mandi, Dek! Jangan duduk atau rebahan dulu, bajunya kotor itu," teriaknya di luar.

Kan kumat sifat perfectionistnya, nyebelin!

Tanpa menjawab, aku masuk ke dalam kamar mandi. Setelah bersih dan berganti pakaian, segera aku menunaikan salat. Terakhir, ranjang dengan kasurnya yang empuk pun jadi tujuan terakhirku.

Aku merebahkan diri, raga ini begitu letih. Hingga tak terasa aku terlelap, hingga beberapa jam kemudian Mas Fian membangunkanku.

"Dek, makan dulu yuk!"

Aku membuka mata dan melirik jam dinding, rupanya sudah pukul 22.00. Aku belum beranjak dari posisiku.

"Dek, makan yuk. Aku sudah lapar, aku gak mau makan sendiri."

Kutatap wajah mas Fian, laki-laki di hadapanku ini sangat perhatian tapi terkadang menyebalkan.

"Mas makan aja duluan, aja! Aku gak lapar."

"Ya sudah kalau gitu aku juga gak akan makan." Mas Fian mematikan lampu utama dan merebahkan tubuhnya di sampingku.

Aku tidak menanggapi gertakannya, aku sih masa bodo dia mau makan atau tidak, EMANG GUE PIKIRIN!

Tanpa beban aku melanjutkan tidurku kembali.

Ketika adzan subuh berkumandang, usai mandi dan berpakaian rapi aku segera salat. Hari ini aku ingin berangkat lebih awal dari kemarin.

"Jam segini kok sudah mau berangkat, Dek?" tanya Mas Fian.

"Gak apa-apa, supaya santai aja nanti di sananya."

"Ya udah sarapan dulu sana, kan semalam Dek Amel gak makan. Mas juga lapar, ingin sarapan sama-sama Dek Amel."

"Aku belum lapar, Mas sarapan aja sendiri! Bik Nani udah bikinin bekal untuk aku."

Mas Fian menatapku dengan tatapan sedih, mungkin hatinya merasa tersinggung atau kecewa karena aku tidak mengiyakan permintaannya.

"Aku pergi dulu, Mas. Assalamualaikum." Kucium punggung tangannya dan berjalan cepat keluar dari kamar.

Aku sengaja berangkat lebih pagi karena sudah ada janji dengan Ricca, aku berjanji padanya akan menceritakan semuanya.

Sesampainya di kampus, aku segera ke tempat di mana aku dan Ricca janjian bertemu, tampak sosok itu sedang duduk di bangku kantin sibuk dengan ponsel di tangannya.

"Udah dari tadi, lo?" tanyaku berbasa-basi.

"Dari abis shalat isya gue di sini, haha." Segera dia menutup ponsel dan meletakannya di meja.

"Haha, dasar lo."

"Udah buruan cerita sama gue! Siapa Mas Fian itu?"

"Kepo banget sih, lo."

"Eh, jangan salah! Walaupun gue sama lo baru jadian sehari kemarin, tapi gue yang notabene udah jadi temen lo wajib tahu kehidupan temen gue itu seperti apa."

"Oke, gue akan cerita. Tapi janji lo gak akan ember sama siapa-siapa!"

"Mau cerita sama siapa? Gak ada yang kenal di sini."

"Ya kali nanti."

"Gue janji, udah buruan!"

Akhirnya pagi itu untuk pertama kalinya aku menceritakan segala lika-liku hidupku kepada Ricca. Rasanya beban di hati ini lenyap seketika, aku jadi punya teman curhat sekarang.

"Cerai aja, simpel. Masalah pun beres," celetuknya.

"Enak aja, lo! Gak segampang itu, nama baik bokap gue taruhannya. Gue harus sukses dulu baru bisa bertindak, Ric."

"Lo manfaatin dia, dong?"

"Ya kagak lah, gue gak morotin dia. Gue hidup sewajarnya, gak minta ini itu. Dikasih duit bulanan ya diterima, kalau mau apa-apa ya beli sendiri dari jatah gue itu. Kecuali Mas Fian nawarin dan gue juga suka, baru dia yang bayarin."

"Kasihan lah, Mel."

"Kasihan kenapa?"

"Simbiosis mutualisme."

"Dosa, lo!"

"Tau apa lo sama dosa? Nikah aja belum, lo gak ngerasain apa yang gue rasain saat ini. Sakit, terkekang, dan ngebatin tahu gak. Apalagi emak dan adeknya yang serakah, selalu ngusilin gue."

"Belajar cintai dia, Mel."

Aku menggeleng.

"Kenapa?" Ricca kembali menginterogasi.

"Ya gak kenapa-kenapa, susah gue buat cinta sama dia. Dia bukan tipe gue, malu gue punya suami kaya dia. Tua, pantesnya dia jadi bokap gue, Ric. Selisih usia kami 21 tahun."

"Hah? Seriusan lo?"

"Ngapain gue bo'ong?"

"Ya kali, karena lo gak suka, jadi lo ngelebih-lebihin."

"Ilfeel gue sama dia Ric, lo kan udah tau umurnya dia hampir sama dengan bokap gue. Gue pengen punya suami yang mudaan, yang keren, good looking, lebih ganteng pokoknya."

"Heh Non, lo ilangin dulu rasa ilfeel itu, lo lihat kebaikannya dia sama lo dan keluarga selama ini. Gue jamin lo bakal berubah dalam setelah lo menilai dari sisi baiknya."

"Ah, ogah. Males, gak ada waktu gue buat ngelakuin hal gak guna gitu."

"Sok cantik lo!"

"Sialan," sungutku, menjitak kepala Ricca dengan kesal.

"Mel, jangan marah! Gue mah ya sebagai temen wajib ngasih tahu untuk kebaikan. Gue rasa Mas Fian lo itu gak setua usianya."

"Bodo amat!"

"Seriusan, Mel. Gue aja yang baru pertama kali ngeliat dia kagum kok, dia ganteng, tinggi besar, bersih dan gayanya keren. Sumpah demi Tuhan, gak kelihatan kalau umurnya sudah mau 40."

"Ah pokoknya gue malu punya suami tua gitu."

"Ckck, gak ada bersyukurnya lo, Mel."

"Bukan gak bersyukur, kan dari awal gue gak pernah setuju sama pernikahan ini. Tapi apa? Bokap sama Mas Fian maksain diri, jangan salahin gue dong."

"Mel ... Mel! Dengerin nih ya, zaman sekarang banyak cowok ganteng n muda seperti yang lo mau. Tapi yakin gak dia baiknya bakalan sama kaya laki lo?"

"Yakin ada lah, masa iya kagak ada."

"Susah ngomong sama lo, tambeng! Suami segitu ganteng dan gagah, lo bilang malu punya suami macam dia."

"Lo mah malah belain dia, lo kan udah jadi temen gue sekarang, udah seharusnya lo dukung gue!"

"Gue dukung kalau lo bener, lah ini lo salah jadi gak mungkin lah gue bela. Kita seumuran, tapi pikiran lo masih kaya bocah banget."

"Rese lo ah, jadi nyesel gue cerita sama lo!"

"Nih Mel, gue kasih tahu ya. Laki-laki macam Mas Fian itu 1001 loh di dunia ini, lo jangan banyak protes sama skenario Allah. Nanti Allah bisa marah, terus ngebalikkin hati Mas Fian supaya ilfeel, dan lo yang jadi tergila-gila baru nyaho!"

"Udah ah, jangan bahas dia lagi. Gue mumet, kita ke area ospek aja yuk. Lima belas menit lagi mulai."

Dengan wajah yang masih kesal Ricca mengikuti ajakanku.

Hari ini adalah hari ospek terakhirku, memang hanya dua hari ospek di kampus ini. Bersyukur sekali kegiatan ospeknya tidak ada acara menginap, jadi aku bisa mengikuti. Kalau sampai menginap bermalam-malam, pastinya si Bandot tidak akan mengizinkan.

Tidak terasa sore yang dinanti tiba, kegiatan ospek pun telah selesai dengan lancar dan sukses.

Kuliah akan dimulai pertengah bulan September nanti, aku sangat tidak sabar menanti hari di mana aku sudah sah menjadi mahasiswa.

Gontai aku berjalan meninggalkan lapangan bersama Ricca, kulihat ponsel, banyak sekali pesan juga panggilan tidak terjawab dari si Bandot.

Tak ingin membuatnya nekat seperti kemarin, aku segera membalas pesannya mengabari kalau dia tidak usah menjemput.

Namun sepertinya usaha untuk memintanya tidak menjemputku sia-sia, ketika aku dan Ricca sudah sampai di gerbang depan kampus, si Bandot sudah ada melambaikan tangannya.

Ricca tersenyum lebar ke arah si Bandot, dia mencolek dan berbisik, "Ingat kata-kata gue tadi, jangan sampai lo menyesal di kemudian hari."

"Apaan sih, lo?"

"Tambeng! Udah sana balik," usirnya.

Aku mengangguk dan berpamitan kepada Ricca.

Si Bandot tersenyum sekilas saat melihatku mendekat, segera kucium punggung tangannya sebelum memasuki mobil, kulihat ada yang beda dari raut wajah lelaki 41 tahun itu. Ia tampak pucat dan tidak bersemangat.

Tapi aku enggan menanyakannya, malas dan tidak mau tahu juga dia kenapa.

Sama seperti kemarin, di dalam mobil aku banyak diam. Mas Fian pun bersikap sama, sore ini ia tidak banyak bertanya seperti kemarin dan tadi pagi.

Kulirik sesekali wajahnya meringis seperti sedang merasakan sakit, tapi aku diamkan saja. Aku tidak peduli dan tidak mau peduli.

Kami sampai di rumah terlambat dibandingkan kemarin, karena sore ini jalanan sangat macet.

Seperti biasanya aku bergegas melakukan rutinitas. Mandi sudah, salat pun sudah, kemudian aku pun segera berbaring bersiap untuk tidur.

"Mas, jangan bangunin aku ya! Malam ini aku enggak mau makan, soalnya tadi sebelum pulang aku udah makan bakso di kantin kampus," ucapku kepada Mas Fian yang sedang melipat sejadah.

Tidak lama aku pun terlelap, tapi ketika tengah malam tiba aku terbangun. Kudengar samar-samar suara orang yang sedang muntah di dalam kamar mandi.

Aku terbangun dan menyalakan lampu tidur, Mas Fian tidak ada di sampingku. Rupanya suara yang kudengar tadi adalah suara dia.

Aku bergegas berjalan dan membuka pintu kamar mandi tanpa mengetuk, Mas Fian tampak lemas dan pucat. Ia sedang membungkuk di depan wastafel, muntahannya hanya berupa lendir kuning.

Aku yang panik, lantas memijat tengkuk lehernya, seketika aku terkejut karena suhu tubuhnya tinggi.

"Mas, kita ke rumah sakit!"

Mas Fian tidak menjawab ucapanku, ia terus muntah.

Setelah frekuensi muntahnya hilang, aku memapahnya berjalan keluar. Ia membungkuk, wajahnya merah dan peluh membanjiri seluruh tubuhnya.

"Mas, kenapa jalannya tidak tegak?"

"Sakit, Dek."

"Punggungnya?"

"Bukan, ulu hatinya sakit kalau Mas jalan tegak."

"Emangnya Mas sakit apa? Duh kita ke dokter saja ya!"

"Aku tidur saja Dek, besok pagi juga baikan kok."

"Ya sudah kalau gitu."

Aku membantunya berbaring, untuk pertama kalinya kulihat wajah Mas Fian selemah ini.

"Mas mau aku buatin teh manis hangat?" Ia mengangguk.

Aku bergegas ke dapur, menyalakan kompor untuk memanaskan air. Mendengar suara gelas dan sendok beradu, Bik Nani pun terbangun dan menghampiriku.

"Neng Amel, sedang bikin apa?"

"Maaf ya Bik jadi kebangun, ini lagi buat teh manis hangat buat Mas Fian. Dia muntah-muntah, Bik."

"Ya Allah kasihan, itu sih Mas Fian dari kemarin gak makan."

"Gak makan gimana, Bik?"

"Iya kemarin malam Bibik suruh Mas Fian makan, tapi jawabnya gak lapar. Terus waktu tadi pagi dan tadi malam juga gitu, Bibik udah siapin semuanya tapi Mas Fian gak menyentuh makanannya. Mas Fian itu punya maag kronis."

Bagai tersayat silet hatiku mendengar ucapan Bik Nani, bagaimana tidak ternyata tolakanku untuk makan malam dan sarapan bersama membuatnya tidak mau makan juga.

Selama ini memang ia selalu ingin makan bersama, baik itu sarapan maupun makan malam. Aku merasa sangat bersalah kepadanya, tidak terasa air mata ini meleleh.

"Sudah Neng Amel, sabar."

"Iya, Bik. Makasih ya."

"Bawakan juga roti gandum, Neng. Supaya terisi itu perutnya."

"Iya, Bik. Mas Fian menolak dibawa berobat."

"Coba cek stok obat maagnya di kotak P3K di kamar, mudah-mudahan masih ada."

"Iya Bik, makasih. Bibik tidur lagi saja. Ini sudah selesai kok bikin teh manisnya."

Bik Nani mengangguk dan berjalan kembali ke kamarnya yang dekat dengan dapur.

Dengan cepat aku membawa teh manis dan beberapa slice roti gandum, meski aku membencinya tapi saat tahu dia terluka karena aku, terus terang aku merasa sangat berdosa sekali.

Aku masuk ke dalam kamar, tampak Mas Fian sedang tidur bersandar dengan mata terpejam. Sesekali wajahnya meringis marasa kesakitan.

"Mas, ini teh manisnya." Kutahan air mataku agar tidak menetes.

Nampan aku taruh di atas meja di samping ranjang, setelah itu aku duduk di tepinya. Matanya terbuka, aku seka keringat dingin di dahi dan lehernya dengan tisu.

Aku menyuapinya teh manis sesendok demi sesendok, aku benar-benar merasa bersalah kepadanya.

"Ini rotinya, Mas." Kucelupkan roti tawar gandum ke dalam cangkir berisi teh manis, lalu mendekatkan ke mulutnya.

Ia menggeleng, tapi aku memaksanya. Akhirnya ia pun menurut, memaksakan diri untuk memakannya meskipun sesaat kemudian ia muntah-muntah kembali.

Tidak menunggu persetujuan, saat itu juga aku menelepon Pak Asep agar segera bersiap mengantarkan kami ke rumah sakit.

Pak Asep datang ditemani istrinya, Bik Nani. Tanpa berlama-lama kami pun berangkat. Di IGD dokter jaga memeriksa kondisi Mas Fian, katanya ia mengalami maag kronis dan dehidrasi.

Dokter mengambil tindakan dengan menginfusnya. Pak Asep segera menyelesaikan administrasi, sehingga malam itu juga Mas Fian dipindahkan dari IGD ke ruang perawatan.

"Pak Asep kalau mau pulang gak apa-apa pulang saja, besok saja kembali lagi ke sini. Tolong bilang sama Bik Nani kalau Ibu menelepon, jangan bilang Mas Fian dirawat, takut ibu khawatir," ucapku sok perhatian sama si Nenek Gambreng, padahal aku gak mau dia dan anaknya datang. Karena pastinya mereka berdua akan menyalahkan aku atas kejadian ini, ruwet.

Untung saja si Nenek Gambreng itu sedang pergi ke luar kota, seperti biasa ia selalu jalan-jalan bersama anak bungsunya, Desi.

"Iya Neng, kalau ada apa-apa telpon saja ya."

"Iya Pak Asep, hati-hati di jalan."

Sepeninggal Pak Asep, aku duduk kembali di kursi besi di samping ranjang di mana mas Fian yang sedang terbaring lemas.

Kutatap wajahnya, sungguh sangat kasihan. Gara-gara aku dia jadi begini, aku tidak tahan akhirnya aku menangis sesenggukan.

Sepanjang malam aku terjaga, kutenggelamkan wajah penuh rasa bersalah ini di sisi kasur beralaskan seprei putih. Dada ini terasa sesak, sembari terisak aku terus menggumam meminta maaf kepada Mas Fian yang terpejam.
disya1628
bonita71
rinandya
rinandya dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.