Kaskus

Story

blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
Aku Mencintai Bandot Tua
Aku Mencintai Bandot Tua


Aku Mencintai Bandot Tua

Aku Mencintai Bandot Tua

Spoiler for Update Chapter:


Chapter 1


"AYAH JAHAT, GAK PUNYA HATI!" Kuhentakkan kaki sebagai tanda perlawanan atas keputusan sepihak lelaki paruh baya yang egois, setelah itu aku segera berlalu meninggalkan ruang tengah di mana ayah dan ibu sedang duduk termangu dan lesu.

Pintu kamar kubanting dengan kencang, hingga menciptakan suara yang membahana dan tentu mengagetkan siapa saja yang berada di rumah ini. Rumah yang dahulu bak surga, kini berubah seperti neraka yang panas dan selalu membuat aku muak.

Tangisku luruh bersama dengan harapanku yang kandas karena keadaan yang tidak berpihak, kubenamkan wajah dalam bantal sehingga lengkingan sedu sedan yang tercipta dapat teredam dan hanya dapat didengar olehku saja.

Malam ini adalah malam terakhirku berstatus sebagai single, karena besok aku akan menikah dengan seorang pria yang sama sekali tidak aku kenal, apalagi aku cintai.

Pernikahan yang mendadak dan tiba-tiba ini membuat batinku terguncang, serasa dijatuhkan dari atas langit menimpa tanah menembus ke lapisan yang terakhir, sangat sakit dan merasa terhina. Karena lelaki itu bukan menikahi, tapi membeli.

Aku benci dengan takdir dan nasib, mengapa Tuhan memberi aku keluarga yang seperti ini?

Usiaku baru akan menginjak 19 tahun bulan Mei nanti, teman-temanku semua melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Aku apa? Malah menikah dengan bandot tua yang lebih pantas aku panggil dengan sebutan 'Om', karena usianya tidak jauh dari ayah.

Aku ingin berontak rasanya tak mungkin, pacarku si Bagas pun angkat tangan saat aku mengajaknya kimpoi lari. "Aku masih mau kuliah, kalau nikah nanti, kamu ... maksudku, kita mau makan apa? Dan siapa yang akan ngebiayain kuliah aku? Bunda aku pasti murka disangkanya aku ngehamilin kamu, duh aku gak sanggup. Maaf ya, Sayang!"

Dasar pengecut! Gak punya nyali! Kepentingan sendiri yang dia pikirin, janji suci yang selama ini dia ikrarkan ternyata cuma isapan jempol belaka. Aku benci Bagas, aku benci Ayah, aku benci si Bandot Tua yang bakalan jadi suamiku besok. Aku benci makhluk Tuhan yang berjenis kelamin lelaki, aku benciiiii!

Pernah aku coba bernego dengan Ayah tentang keputusan ini, aku coba membujuk beliau agar aku diizinkan untuk bekerja demi bisa menopang perekonomian keluarga yang mulai carut marut. Dan, daebak! Ayah menolak mentah-mentah niat mulia itu. Alhasil aku gondok dan mau tidak mau harus manut, tidak boleh tidak.

Dengan berat hati aku pun menurut, semuanya kulakukan semata-mata demi membahagiakan orang tua dan adik-adikku.

Calon suamiku, maksudku si Bandot Tua itu adalah seorang pengusaha yang bisa dibilang sukses, dia banyak menolong keluarga ini terutama dalam masalah keuangan. Usaha restoran ayah bangkrut setelah ibu ketahuan memiliki banyak hutang, hutang di bank, rentenir, beberapa tagihan kartu kredit dengan limit di masing-masing kartunya lumayan besar dan koperasi simpan pinjam.

Alfian Wijaya, si Bandot Tua yang besok akan menjadi suamiku itu adalah seorang pelanggan setia restoran Ayah, dia sering sekali memesan catering dan tumpeng apabila sedang ada event di perusahaannya.

Hubungan si Bandot Tua dengan Ayah sangat erat, maka sewaktu Ayah gulung tikar dan terpaksa menjual semua asetnya demi membayar hutang Ibu yang jumlahnya sampai ratusan juta, dia datang lalu menawarkan bantuan finansial yang jumlahnya tidak main-main, asalkan Ayah tidak menutup usahanya.

Ayah menolak mentah-mentah bantuan dari si Bandot Tua, beliau tidak mau punya hutang budi. Alhasil kami pun jatuh miskin, tinggal di rumah minimalis di pemukiman padat penduduk yang kumuh.

Tapi saat kami sudah melarat, Ayah tidak bisa lagi menolak apa yang diberikan oleh Bandot Tua tersebut. Sehingga hutang budi itu benar-benar tercipta, dan aku menjadi pelunasnya.

Ibu hanya bisa menangis dan meminta maaf, saat aku dan adik-adik menderita terkena imbasnya . Waktu itu, aku ingin sekali membencinya tapi aku tidak bisa.

Aku hanya bisa mengelus dada serta meratapi nasib yang malang ini, sering aku berpikir keras akankah kisahku bak sinetron ikan asin terbang? Berawal tragis tapi berakhir manis, ah entahlah! Cuma Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi nanti.

Aku merasa sepi di dalam kamar ini, padahal di luar sana sedang ramai. Banyak orang sedang mempersiapkan acara untuk besok. Saudara jauh, tetangga dan kerabat dekat berdatangan untuk membantu. Samar-samar kudengar suara tawa mereka, begitu lepas dan tanpa beban.

Aku tidak bersemangat dan masa bodoh dengan semua ritual yang harus dijalani sebelum pernikahan. Peduli amat dengan puasa dan juga tradisi pingit, aku bebas jalan dan nongkrong dengan teman-teman, Ayah dan Ibu tidak bisa melarang karena itu syarat sebelum aku mau menuruti permintaan mereka.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Dalam kamar yang indah ini hatiku merasa terkoyak, wajah yang telah dipoles riasan tebal ini terasa bagai topeng badut saat aku lihat di cermin. Kebaya mewah nan cantik yang si Bandot Tua pesan khusus dari butik ternama pun kurasa gerah dan tidak nyaman, sama seperti perasaan yang bergejolak ini.

Telinga seketika terasa panas dan memerah saat MC memberitahu kalau romongan calon mempelai pria sudah tiba, perias pengantin yang tidak tahu perihal isi hati ini pun menepuk bahuku sembari bersorak gembira. Aku meresponnya dingin, cuma tersenyum kecut, sekecut ketek tukang becak yang baru selesai ngegenjot di tanjakan.

Wanita yang berperan sebagai MUA itu kembali mengecek riasan wajahku, usai sapu sana-sini senyumnya mengembang. "Perfect!" katanya.

Aku memandang wajah yang menurutku seperti pemain lenong yang akan tampil di panggung.

Kebaya modern putih, rambut disanggul yang dihiasi mahkota gold dan kembang goyangnya, dirasa bagai atribut pemain barongsai saat perayaan imlek.

Tok ... tok ... tok ....

Pintu kamar diketuk oleh seseorang yang hendak menjemputku, dia Vina, sepupuku.

"Mel, yuk ke depan!" ajaknya mengulurkan tangannya padaku.

Tanpa menjawab, aku meraih uluran tangannya dan berjalan menuju teras rumah yang dijadikan tempat untuk ijab kabul.

Kulihat sekilas wajah calon suamiku, ia tersenyum ramah tapi aku pura-pura tidak melihatnya.

"Kepada calon pengantin wanita kami persilahkan duduk di samping sang pangeran yang telah bersiap mengikrarkan janji suci di hadapan kita semua," ucap MC membuatku ingin muntah.

Semua orang kecuali aku tersenyum mendengar ucapan MC itu. 'Pangeran apaan? Pangeran kodok kali,' sungutku dalam hati.

Setelah melewati beberapa rangkaian prosesi maka tibalah saatnya pengucapan ijab kabul. Setelah dipandu oleh pak penghulu, maka si Bandot Tua itu dengan lantang mengucapkan kalimat sakral di depan semua orang yang hadir disini.

"Saya terima nikah dan kimpoinya Amelia Gentari Permadi binti Dodi Permadi dengan mas kimpoi satu set perhiasan emas seberat 50 gram dibayar tunai."

Para saksi, tamu undangan dan keluarga mengucap syukur karena prosesi utama berjalan dengan lancar dan sukses. Bagai tersengat listrik bertegangan tinggi saat mendengar penghulu dan semua orang berkata 'SAH', itu berarti per hari ini aku akan hidup dengan si Tua Bangka ini. Tidaaaaaak!

Mengapa aku sebut dia tua bangka? Itu karena usianya sudah 40 tahun, ia seorang perjaka tua alias bujang lapuk. Entah kenapa dia belum menikah sampai usianya setua itu, hanya Tuhan dan dia yang tahu.

Acara resepsi kami diadakan secara sederhana, aku malu kalau harus pesta meriah. Teman-teman sekolah, tidak ada satu pun yang aku undang, apa kata dunia seorang Amelia yang jadi rebutan cowok-cowok populer dan terkenal sebagai play girl di sekolah dulu tiba-tiba nikah muda, sama bandot tua lagi.

Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, lalu kemudian mengusirnya dari sisi ini. Sumpah aku muak, benci, dan enek harus duduk berdekatan di pelaminan dengannya.

Apalagi saat dia sok perhatian menawari aku mau makan atau tidak, ih benar-benar menyebalkan. Apalagi aku sempat melirik dengan ujung mata, dia sering mencuri pandang kepadaku, ingin rasanya aku tusuk matanya pakai gembang goyang yang menancap di sanggul palsu ini.

Saat duhur menjelang acara resepsi pun usai, aku dan dia dipersilahkan untuk masuk beristirahat. Si Bandot Tua sok manis, mengulurkan tangan berniat menuntunku. Tapi dengan tegas aku tolak, beralasan tidak kuat ingin buang air kecil, secepatnya aku ngacir duluan.

Sejenak aku berdiam diri di dalam kamar mandi, berjalan mondar-mandir dengan pakaian lengkap. Konyol memang, tapi semua ini aku lakukan agar alasanku tadi tidak sekadar hoax.

Hingga lima menit lamanya, aku pun keluar dan melangkah masuk ke dalam kamar pengantin. Segera aku kunci pintu, agar dia tidak masuk tiba-tiba di saat aku lagi buka baju.

Kuhempaskan tubuh di ranjang, menghela napas panjang memindai kamar ini. Mencebik dan merutuk, meski sia-sia tapi itu bisa membuatku lega dan merasa lebih baik.

Kemudian aku berdiri, sudah saatnya menanggalkan 'pakaian lenong' ini, aku ingin mandi dan istirahat dengan tenang dan damai.

Saat pakaian dan semua atribut tanggal, pintu diketuk. "Pasti itu si Batu alias Bandot Tua," sungutku geram.

Dengan wajah masam aku membuka pintu, tanpa menegurnya aku kembali masuk menyambar handuk kimono yang tergantung di paku. Tanpa menoleh kepada dia, aku bergegas pergi meninggalkannya.

Sesampainya didalam kamar mandi, aku segera membersihkan diri. Hampir 2 jam lamanya aku semedi didalam kamar mandi, karena kewalahan mengurai rambut setelah disasak tadi.

Setelah berhasil mengurai rambut yang kusut, aku pun segera membasuh seluruh tubuh. Segar rasanya, apalagi setelah keramas kepala ini jadi enteng sekali.

Di dalam kamar, aku pakai baju kebesaran emak-emak yaitu daster. Usai mengoleskan pelembab muka, aku pun langsung berbaring di atas spring bed yang empuk dan nyaman. Si Bandot Tua tidak ada di sini, membuatku sangat damai dan tenteram tentunya.

Namun ketika akan terlelap, pintu kamar kembali diketuk dan terdengar suara derap langkah si Bandot Tua memanggil namaku.

"Dek, ini Mas Fian tolong buka pintunya!"

Aarrrgghh!

Aku merutuk dalam hati, dengan wajah kesal segera kubuka kunci pintu. Setelah itu kembali ke formasi awal tadi.

Suara sepatunya membuat telinga ini sakit, dia menggantungkan jasnya di kastop dekat lemari pakaian.

Kuintip dengan mata yang pura-pura dipejamkan, dia sedang celingukan seperti sedang mencari sesuatu.

"Dek, bisa minta tolong ambilkan handuk?" Tangannya mengusap pundakku.

Tanpa menjawab aku bangun dan beranjak membuka lemari, untuk mengambilkan benda yang dia butuhkan.

'Uh beneran ya nih si Bandot Tua ini, ngeganggu ketenangan gue aja!' Kedua kalinya aku merutuk dalam hati.

"Makasih ya, Dek. Mas mandi dulu," ucapnya sok imut.

'Mandi aja sono, kaya gue nungguin lo aja dasar 'Batu' alias Bandot Tua.'

Aku tersenyum dan mengangguk, berusaha tidak menunjukkan rasa kesalku padanya, semuanya kulakukan demi keluarga.

Sepeninggal dia, aku pun pulas tertidur. Beberapa kali dia membangunkan aku untuk salat, tapi aku tak menggubrisnya. Aku beralasan aku sedang haid.

Selepas isya setelah selesai makan malam bersama, dia mencoba mengajakku bicara berdua di dalam kamar sebelum kami terlelap.

"Mas tahu, Dek Amel belum siap dengan pernikahan ini. Tapi mas minta, Dek Amel harus mulai belajar menerimanya ya," ucapnya pelan tapi tegas.

"Om Fian, eh ... Mas Fian jangan bicara kaya gitu, dengan aku bersedia menikah, itu artinya aku sudah menerima Mas Fian. Suka gak suka, toh aku gak punya pilihan."

"Alhamdulillah kalau begitu, mas lega dengarnya. Mudah-mudahan saja pernikahan kita ini bisa membawa kebaikan untuk kita dan diberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat ya, Dek."

"Aamiin," jawabku tampak penuh harap, padahal penuh rutukan.

Beberapa saat kemudian Mas Fian meraih dan mencium punggung tangan ini dengan lembut, rambutku ia usap perlahan. Tanpa menunggu izin, dia mendaratkan ciuman di kening, lalu turun ke pipi dan bibir.

Aku tidak memberi respon, bukan tidak bisa berciuman tapi aku merasa jijik ketika bibirnya menyentuh dan mamagut bibirku. Tiba-tiba ia melepaskan bibirnya dan menatap wajah ini.

"Kok diam, Dek? Kamu belum siap ya?"

"Eng-enggak, Mas. Aku gak tahu cara berciuman, aku bingung harus bagaimana," kilahku bohong. Padahal waktu pacaran dengan Bagas, sering aku berciuman alias baik.

"Maaf Mas Fian, aku belum bisa malam ini." Tanganku mendorong dada bidang itu pelan, menghentikan aksinya.

"Kenapa, Sayang?" Kata 'sayang' yang dia ucapkan barusan, benar-benar bikin aku gumoh, huweekk!

"Aku sedang ada tamu bulanan, Mas. Makanya tadi aku gak salat." Harap-harap cemas berharap ia percaya, dan tidak meraba apakah aku memakai pembalut atau tidak.

Ia tersenyum dan kemudian mengangguk. "Iya mas tahu, tadinya mas kepingin mesra-mesraan aja gitu." Kulihat ada gurat kecewa di wajahnya, tapi aku gak peduli yang penting aku berhasil-berhasil horeeee.

Itu artinya aku harus bersandiwara mendapat tamu bulanan selama seminggu lamanya, hal itu tidak membuatku aman tapi setidaknya aku bisa mengulur waktu.

Hari ini, adalah hari pernikahan kami yang kelima, dan sesuai dengan perjanjian awal aku akan meninggalkan rumah dan ikut bersama Mas Fian ke rumahnya.

Rasanya sangat berat aku berpamitan dengan orang tua dan kedua adikku, air mata ini tumpah. Aku tidak kuasa harus berpisah dengan mereka.

Walaupun aku bisa setiap saat bertemu dengan mereka, karena rumah Mas Fian dan orang tuaku hanya berjarak kurang lebih 100km. Namun, tetap saja itu suatu hal yang membuatku sangat bersedih.

"Ingat ya, Nak, pesan ayah! Harus hormat dan patuh pada suami, ayah selalu berdoa yang terbaik untukmu," bisik Ayah ketika memelukku.

Kujawab petuah Ayah dengan anggukan, lelaki paruh baya itu tahu betul seperti apa perasaanku saat ini. Tapi, Ayah tidak mau tahu dan terkesan tidak peduli. Aku merasa dijual pada si Bandot Tua, diri ini tak ubahnya seperti budak pemuas nafsu yang dipersembahkan untuk pejabat pada masa kerajaan dulu.

Aku dan mas Fian memasuki mobil, tak kuasa menahan tangis saat besi yang mewah yang ditumpangi meninggalkan rumah yang selama kurang lebih tiga tahun ini aku tempati.

Aku menangis sesegukan didalam mobil, lambaian tangan mereka tidak bisa hilang dari ingatan.

Mas Fian yang duduk di sebelah memeluk erat, hal itu tidak berarti apa-apa. Tidak juga bisa membuatku luluh untuk mencintainya.

"Jangan sedih lagi, Dek, setiap saat Adek ingin ke rumah Ayah bilang saja, mas akan antar."

Aku mengangguk dan terus menangis, di sepanjang perjalanan menuju rumah mas Fian.

Lebih satu jam kemudian, kami tiba di rumah mewah yang begitu asri dan nyaman. Aku dan mas Fian turun dari mobil, Pak Zaki, sang supir segera membuka bagasi dan menurunkan koper-koper.

"Asslamualaikum," ucap Fian ketika memasuki rumahnya.

"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya bersanggul, dengan wajah menor yang sedang asik membaca majalah di sofa ruang tengah.

Wanita bergaya bak ibu sosialita itu adalah ibu mertuaku, Ibu Siska namanya. Dari raut wajahnya sepertinya ia tidak suka padaku, terbukti pada saat pernikahan dulu dan sekarang tatapannya tetap sama, sinis.

Ah, tapi aku tidak mau ambil pusing. Bodo amat lah, toh aku juga nikah karena terpaksa. Seandainya wanita itu mengusirku suatu hari nanti, hal itu akan jadi senjata ampuh untuk bisa lepas dari belenggu pernikahan ini.

Mas Fian mencium punggung tangan ibunya dengan takzim, kemudian ia memeluknya dengan penuh rasa sayang.

Aku bersikap sama, mencium tangan mertuaku yang sebelumnya menatapku dari atas sampai bawah, seperti aneh melihatku. Padahal jelas-jelas dia yang menurutku aneh.

Kami berbincang sebentar dengan Bu Siska, setelah itu Mas Fian mengajakku untuk beristirahat di kamarnya.

Tangan ini dituntun masuk, menuju ruangan pribadi yang terletak di dekat ruang tengah. Sesampainya di dalam, aku takjub dengan kamar tidurnya, begitu nyaman dan wangi sekali. Mataku berkeliling menatap ke setiap sudut ruangan yang dipenuhi dengan perabotan modern dan tentunya mahal.

Dahulu, kehidupanku juga bisa dibilang mampu. Tapi rumah masa kecilku tidak semewah rumah Mas Fian, haruskah aku merasa beruntung karena mempunyai suami tajir?

"Dek, lemari pakaian yang tiga pintu itu baru. Mas sengaja belikan untuk menyimpan semua pakaianmu. Karena lemari Mas sudah penuh, hehe."

"I-iya Mas, terima kasih." Aku merasa kikuk dan canggung di rumah mewah ini.

"Mas, aku mau mandi dan ganti baju dulu ya," ucapku memecahkan kecanggungan dengannya.

Mas Fian mengangguk dan mengeret koper kami kedekat lemari pakaian. Segera aku membuka dan mengambil pakaian santai juga handuk, membawanya ke kamar mandi yang lagi-lagi membuat aku takjub dibuatnya.

Usai mandi, aku duduk di tepi ranjang. Menggosok rambut yang basah dengan handuk kecil. Mas Fian tidak mau jauh dariku, ia duduk menemani dan menawarkan diri untuk membantu mengeringkan mahkota indah ini.

Jujur, aku merasa risih dan tidak nyaman dengan perlakuannya. Bulu romaku merinding saat wajahnya mendekat, dari pantulan cermin aku lihat matanya terpejam saat menghidu bau harum yang menguar dari rambutku. Embusan napasnya membuat tengkuk meremang, adegan tidak senonoh pun terbayang dalam benak.

Tidak tahan dengan perasaan jijik yang menguasai, aku bangkit dan menyibukkan diri menyusun pakaian dari dalam koper ke lemari.

"Bibik saja nanti yang ngerjain, Dek," katanya sembari menatapku lekat.

Aku menggeleng dan tersenyum sok manis. "Aku bisa sendiri, Mas. Gak puas kalau barang pribadi, orang lain yang ngerjain."

Mas Fian mengangguk, lama kelamaan dia merasa bosan melihatku tak memberikan kesempatan sedikit pun padanya untuk menghabiskan waktu berduaan, dia berpamitan untuk keluar kamar setelah sebelumnya bertanya aku mau makan apa saat makan malam nanti.

"Apa aja, aku makan, Mas."

"Baik, mas keluar ya."

"Iya."

Sepeninggal Mas Fian, aku berhenti bersandiwara. Kuhempaskan bokong ini, melepas lelah setelah berusaha lolos dari cengkeraman singa tua, hehe.

Saat jam makan malam tiba, aku duduk di depan meja makan malam yang mewah dan indah. Berbagai macam menu masakan lezat tersaji di atasnya, lengkap dengan makanan penutup dan buah-buahan.
Diubah oleh blackgaming 07-03-2021 14:59
ichigame16Avatar border
ciptorosoAvatar border
sormin180Avatar border
sormin180 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
21K
51
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
#4
Chapter 5


Si Bandot Tua terkekeh, lalu ia menuruti permintaanku. Kuturunkan ujung gaun yang naik sedikit, usai itu kutenteng tas tangan silver yang ribet tapi harus aku pakai karena dibelikan khusus olehnya demi terciptanya makan malam romantis yang menurutku sadis ini.

Sebelum melangkah, Mas Fian menyodorkan lengannya agar bisa aku gamit. Aku memutar bola mata sejenak, karena benci sekali kurasa. LEBAY!

Mau tidak mau, aku menggamit lengannya. Berjalan bersama bagai sepasang suami istri yang harmonis dan bahagia.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Kudekati Mas Fian yang sedang serius menonton acara berita di televisi, dalam posisi telungkup aku naikkan kepala ke atas ujung sandaran sofabed yang diduduki olehnya.

"Mas," panggilku.

"Iya, Dek." Dia menjawab tanpa menoleh saking seriusnya.

Ragu-ragu tapi pasti aku memberikan sebuah brosur, ia membuka dan kemudian membacanya.

"B-boleh ya?" tanyaku tak patah arang.

"Pasca lulus S1 nanti, memangnya Dek Amel mau kerja?"

"Kalau ada pekerjaan yang bagus, kenapa enggak Mas."

"Dek, Mas itu sebenarnya gak pernah ngelarang Dek Amel untuk kuliah, tapi kalau niat kuliah dengan tujuan berkarir Mas gak setuju sampai kapan pun."

"Mas jangan egois, dong! Emansipasi wanita, Mas."

"Mas ini kepala rumah tangga, tulang punggung keluarga, selama Mas sehat maka Mas yang akan bekerja mencukupi kebutuhan kita, termasuk orang tua dan adik-adik kita."

"Aku kan mau mandiri, Mas. Kepingin punya pendidikan yang tinggi, serta karier yang bagus. Mas Fian aja S2 kok," cerocosku tak mau kalah.

"Mas kan lelaki, Dek. Tanggung jawabnya besar, punya amanah yang harus dijaga dan diurus."

"Ah alasan aja, Mas Fian takut aku selingkuh?"

"Wajar kalau Mas punya rasa begitu, Mas ini suami Dek Amel. Mas sayang sama Dek Amel."

"Halah, kalau sayang buktiin dong! Kasih aku izin untuk kuliah, apa Mas gak malu di saat ada pertemuan dengan relasi yang mengharuskan bawa istri, terus istri dari relasi Mas tanya apa pendidikan terakhir aku?"

"Ya Allah, Dek. Malu kenapa? Tinggal jawab saja jujur, toh kita hidup bukan hasil meminta belas kasih dari mereka."

"Mas ini, pintar banget bersilat lidah!"

"Astaghfirullah, Dek Amel!"

Aku memutar bola mata, suasana yang menjadi panas membuat aku harus merubah posisi. Aku duduk bersila sembari melipat kedua tangan di depan dada.

"Aku tahu, ada alasan lain kenapa Mas Fian gak izinin aku kuliah!"

"Apa lagi?" tanya sembari memutar tubuhnya, ia tumpukan kepala di atas kedua telapak tangannya.

"Mas pelit, gak keluar uang buat aku kuliah?"

Si Bandot terkekeh, lalu menepuk pahaku yang mulus, dasar mesum!

"Ya ampun, Dek. Kok salah paham gitu, buat istri masa iya Mas mau perhitungan. Pamali, Dek. Rezeki suami adalah rezeki istri, kalau suami pelit maka rezekinya akan sulit."

"Ya udah, bolehin aku kuliah kalau gitu. Dari tahun lalu loh, Mas, aku kepingin kuliah. Katanya Mas sayang aku."

Mas Fian menggeleng lalu ia berbalik badan serta membuang pandangannya ke layar datar televisi yang menempel di dinding, harapanku kembali kandas sebelum memulai. Segera aku menyambar brosur yang sedang dipegangnya, sambil bersungut aku beringsut ke tengah peraduan dan menonton youtube dengan volume maksimal.

Mas Fian geleng-geleng dengan sifatku yang masih kekanak-kanakan. Tanpa bicara sepatah kata pun, dia berlalu pergi keluar meninggalkan aku sendirian di dalam kamar ini.

"Dasar Bandot Tua, picik banget pikirannya! Aku marah bukannya dirayu, ini malah ditinggal pergi, stress!" sungutku kesal.

"Pokoknya Niatku untuk kuliah sudah bulat, kalaupun Mas Fian gak mau membiayai biarlah aku yang akan membayarnya. Toh aku punya tabungan pribadi, walaupun jumlahnya belum banyak tapi kurasa cukup."

Dengan tekad bulat, aku akan mendaftar kuliah. Tapi aku harus putar haluan, aku mesti cari kampus yang terjangkau dengan budgetku.

Tidak membuang waktu, keesokan paginya setelah Mas Fian berangkat ke kantor. Diam-diam aku mendaftar kuliah, niatku nanti saja kalau aku sudah lulus tes baru aku akan memberitahu Mas Fian, dengan cara itu ia tidak akan bisa melarangku. Kan sudah keluar uang dan namaku jug sudah terdaftar di kampus.

Dengan menaiki taksi online, aku tiba di sebuah bangunan yang cukup luas nan hijau. Di gerbang masuk, terdapat papan nama besar identitas kampus bertuliskan 'KAMPUS HARAPAN BANGSA'.

Kampus yang aku datangi memang bukan kampus favorit ataupun terkenal di kota ini, yang penting bagiku bisa kuliah dengan biaya yang tidak terlalu mahal sehingga apabila Mas Fian tidak bersedia membiayai, maka aku sanggup membayarnya dengan uang jatah bulanan darinya.

Ku isi formulir pendaftaran, pihak kampus menginfokan bahwa dua pekan mendatang harus datang untuk melakukan ujian test masuk.

Dalam rentang waktu menunggu, aku banyak membaca materi dan informasi mengenai ujian masuk kuliah lewat internet. Semua aku lakukan diam-diam, santai, tapi pasti.

Hingga saat waktu dinanti pun tiba, dua minggu kemudian aku mengikuti test masuk fakultas ekonomi, aku mengerjakan soal-soal test dengan sungguh-sungguh karena besar harapanku dapat lulus ujian ini. Keinginan untuk kuliah sangat membuncah di dalam dada ini.

Harap-harap cemas aku menunggu hasil yang akan diumumkan minggu depan, hingga tidak enak makan dan insmonia.

"Dek, kok gak makan?" bisik Mas Fian, saat melihat aku hanyak menggoyang-goyangkan sendok juga garpu.

Aku menggeleng, lalu mendongak sehingga tampak dua makhluk astral sedang tersenyum sinis sembari memutar bola matanya. Secepatnya aku buang muka, ibu mertua dan adik iparku benar-benar menyebalkan.

"Mau Mas suapin?"

"Gak mau, Mas. Aku pamit duluan, ya!"

Tanpa menunggu jawaban Mas Fian, aku bangkit dari kursi makan dan melangkah cepat menuju kamar.

Menunggu hasil test ujian benar-benar bikin aku stres! Saking kepinginnya aku kuliah, jadinya ya kaya gini nih. Mau ngapa-ngapain jadinya serba salah. Alhasil, jurus jitu ternyaman adalah rebahan.

Setelah satu minggu aku menunggu akhirnya tibalah hari pengumuman hasil test ujian masuk itu, dengan jantung berdebar aku membuka website di ponsel.

Mataku membaca satu persatu nama peserta yang lulus ujian test masuk perguruan tinggi. "Amelia Gentari Permadi ... alhamdulillah yaa Allah aku lulus."

Hatiku benar-benar bahagia karena tahun ini aku sudah mulai kuliah, impian pertama sudah terwujud. Aku sekarang jadi mahasiswi, akan keren saat memakai jas almamater, aktif di kegiatan kampus, duh jadi gak sabar ini jadinya.

Pasca menikah, aku sudah punya niat untuk mewujudkan impian. Sebuah impian menjadi seorang sarjana, lalu kemudian bekerja di perusahaan besar dengan gaji yang lumayan. Sehingga aku bisa lepas dan bebas dari Bandot Tua yang membuat hidupku sia-sia.

Setelah mendapatkan uang sendiri, tentunya aku bisa mandiri dan dapat melepaskan diri dari belenggu pernikahan yang benar-benar sangat membuatku muak dan makan hati.

Aku benci pernikahan ini, aku malu punya suami Bandot Tua yang meski kata Mak author dan lainnya dia memiliki wajah yang tampan kaya aktor keren Abimana, pemeran Dono dalam film Warkop DKI Reborn, tapi tetap saja aku tidak menyukainya.

Tipe cowok aku itu yang cool, gaul, keren, bergaya masa kini. Bukan aki-aki kaya si Bandot Tua itu, yang gaya rambutnya monoton persis kaya pola hidupnya yang sangat teratur. Ah, pokoknya dia itu gak banget deh, mustahil aku bisa cinta sama dia.

Kalau ada yang tanya, kenapa masih bertahan kalau memang gak cinta dan muak? Atuh yah, kalau aku punya kuasa udah pasti aku udah minggat. Sekarang aku belum punya power, makanya aku ngotot minta kuliah supaya aku bisa segera hengkang dari kehidupan yang menyebalkan ini. Meski itu akan memakan waktu yang cukup panjang.

Aku akan bermain cantik dengan strategi yang mumpuni, pokoknya aku gak boleh lengah. Jangan sampai juga aku hamil, pokoknya gak boleh.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Hari ospek pun sudah ditentukan yaitu hari senin minggu terakhir di bulan agustus ini, akhirnya malam ini aku putuskan untuk jujur kepada Mas Fian bahwa mulai hari Senin aku sudah mulai berkegiatan di kampus.

Usai makan malam, saat Mas Fian terlihat sedang bersantai sembari menikmati secangkir coklat hangat di halaman belakang, kulihat matanya menerawang jauh ke langit seperti sedang memikirkan sesuatu.

Aku duduk tepat di sampingnya, sebelum bicara kutarik napas dalam-dalam agar keberanian dalam diri terkumpul semua.

"Mas, aku mau ngomong sama Mas."

"Ada apa, Dek?"

"Sebelumnya maafin aku, karena tanpa sepengetahuan Mas aku daftar kuliah. Aku sudah ikut test masuk dan lulus. Senin minggu depan mulai ospek, Mas."

"Mas sudah tahu."

"Tahu dari mana?"

"Semua tentang Dek Amel, Mas tahu Dek."

"M-maksud Mas?"

Aku membelalak tak percaya.

"Mas ini suami Dek Amel. Mustahil Mas akan lepas kontrol mengawasi Dek Amel."

"Jadi, Mas mata-matain aku? Posesif banget sih!"

"Bukan begitu, Dek Amel di kota ini adalah orang baru. Kalau sampai terjadi apa-apa, gimana?"

"Jadi Mas udah tahu soal kegiatan OSPEK aku?"

Dia mengangguk mantap, ku tangkap tersirat raut wajah kecewa karena aku lancang melanggar perintahnya.

"Mas izinin, kan?"

"Apa bisa kalau Mas larang?"

"Ya, enggak sih. Aku mau tetap lanjut."

"Dek Amel keras kepala kalau dibilangin, memangnya semua yang sudah Mas kasih ke Dek Amel kurang?"

"Lebiih dari cukup Mas, tapi aku pengen banget kuliah. Mas kan tahu dari sebelum kita menikah aku ingin sekali kuliah, tolong dong Mas mengerti aku!"

Aku tidak mungkin jujur dan tidak akan pernah mengatakan alasan yang sebenarnya, bisa-bisa dia ngurung aku di kamar kaya tawanan.

"Mas tambah uang bulananmu ya, asal Dek Amel gak kuliah!"

Aku merengek tidak mau, pemandangan saat ini persis sekali seperti anak yang merajuk pada ayahnya agar dibelikan mainan baru, ckck.

"Pokoknya aku kepengen kuliah, kalau Mas Fian gak izinin aku kuliah, aku mau mogok makan!"

Aku pun pergi meninggalkannya, seperti biasa setiap aku marah dia akan diam dan tidak pernah berusaha untuk mengejar atau merayuku.

'Memang dasar Bandot, bagaimana aku mau suka dan cinta sama dia, sikapnya saja begitu. Iiihhh amit-amit!!' rutukku.

Aku masuk ke dalam kamar dan membanting pintu sekencang-kencangnya, ibu mertuaku dan Desi yang sedang menonton televisi sepertinya terkejut, kudengar suara mereka memakiku.

"Menantu gak tahu sopan santun!" caci si Nenek Gambreng.

"Iya, Bu. Kok bisa ya Mas Fian suka sama cewek kaya gitu."

"Tau tuh! Dipelet kali, karena celamitan lihat hartanya."

"Iya, pastinya itu Bu. Secara usia mereka terpaut jauh. Kaya bapak sama anak, haha."

"Hush!"

"Loh kenyataan, Bu. Aku aja ogah kalau ada cowok yang mau kaya Mas Fian, bukan masalah fisiknya ya Bu, tapi masalah usianya itu. Jomplang, age gap, Bu."

"Halah, umur ngaruh apa sih? Yang penting finansialnya bagus, Des. Ya, kaya si Amel itu. Licik dia."

Geram rasanya aku mendengar cacian mereka yang sengaja lantang, agar aku bisa mendengar dan kemudian marah melabrak mereka, lalu aku lagi yang ditegur Mas Fian. Ujung-ujungnya aku lagi yang bakalan disuruh minta maaf, hadeuh capek deh!



Tapi sebodo amatlah, apa pun yang aku lakukan selalu salah di mata mereka, mau benar apalagi salah pasti akan sama penilaiannya.

Semenjak malam ini, aku dan Mas Fian perang dingin. Dia ngambek karena aku gak nurut sama dia, biasa tidur memeluk, tapi kali ini tidak. Idih, lebay!

Aku sih bodo amat, gak mau ambil pusing. Hidup cuma sekali shay, jangan dibikin rumit.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Hari ospek pun tiba, pukul 06.00 aku sudah berangkat dari rumah, aku berpamitan kepada Mas Fian, tanggapannya masih dingin.

"Mas gak apa-apa ya, sarapan sendiri?"

Dia bergeming, ah cepat-cepat saja ku tinggal pergi. Aku tak peduli, yang penting aku sudah pamit baik-baik dan sopan.

"Neng Amel, mari saya antar!" kata lelaki paruh baya yang tidak lain adalah suami dari Bik Nani.

"Nanti kalau Mas Fian?"

"Perintah Mas Fian, Neng." Pak Asep membukakan aku pintu dengan santun.

Dan akhirnya, aku diantar oleh Pak Asep, sopir pribadinya Mas Fian. Perjalanan yang ditempuh lumayan singkat, tidak sampai satu jam aku sampai di kampus.

Seru sekali kegiatan ospek ini, wawasanku jadi terbuka luas, otakku yang selama ini mumet pun menjadi plong setelah bertemu dengan orang-orang baru.

Tidak ada plonco, atau tindak kekerasan yang sadis. Ospek yang dilakukan semuanya bernilai positif, penuh dengan kegiatan yang mengedukasi calon mahasiswanya.

Ku tangkap tatapan berbeda dari salah seorang dosen muda, yang tadi pagi kebetulan berpapasan saat aku kebelet ke toilet.

Beberapa kali ia melintas di depanku, pasti selalu menoleh dan tersenyum kepadaku. Aku bukan kepedean, tapi memang kenyataannya begitu. Karena saat dia tersenyum, aku perhatikan orang-orang di sekitarku fokus dengan ucapan kakak senior yang sedang berbicara di depan.

Hingga jam istirahat tiba, aku gontai berjalan sendiri menuju kantin. Di ambang pintu, aku bertemu lagi dengan si dosen ramah itu. Tanpa ragu dia menyapaku, aku pun tersenyum.

Pertemuan yang singkat itu meninggalkan kesan aneh dalam hati ini, bisa jadi aku geer karena ada seseorang yang ganteng memperhatikan aku. Aku menoleh saat dia berlalu, dan jantung ini semakin berdegub kencang saat tahu dia pun melakukan hal yang sama denganku.

Seketika pipi ini menghangat, merasa malu sekaligus senang. Sembari tersenyum-senyum sendiri, aku melangkah menuju meja yang masih kosong. Segera aku duduk dan memesan segelas es jeruk yang segar.

Aku buka kotak makan, kemudian segera menyantapnya. Sebuah bekal yang dibuat oleh Bik Nani yang baik hati. Menu sederhana tapi sangat lezat, nasi bakar dengan ayam goreng dan oreg tempe.

Lahap sekali aku memakannya, hingga kotak makan itu bersih kelimis kaya rambutnya si Bandot Tua.

Ting ... notifikasi pesan pun masuk. Sebuah pesan dari mas Fian. Panjang umurnya nih Bandot, baru juga disebut eh udah nongol aja dia.

[Dek, jangan lupa makan ya!]

Aku tersenyum menyeringai, karena ternyata dia perhatian juga padahal selama ini kami saling diam dan tadi pagi sewaktu aku pamit raut mukanya sangat dingin dan menyeramkan.

Pesan darinya sengaja tidak kubalas karena tidak ingin, entah kenapa aku tidak pernah tertarik berlama-lama komunikasi dengannya.

Setengah jam berlalu, ponselku berdering. Si Bandot yang menelepon, hingga berkali-kali tapi tidak kujawab.

Kuabaikan begitu saja di atas meja, sedangkan aku sibuk memakan seporsi batagor hangat yang baru saja diantar.

"Boleh aku duduk di sini?" tanya seseorang padaku, seorang mahasiswi baru juga, bermata sipit, kulitnya putih bak sayur lobak.

"Silahkan."

"Hai, gue Ricca," sapanya mengulurkan tangan mengajakku berjabat.

"Amelia," jawabku sopan, menjabat tangannya erat.

"Fakultas apa?" tanyanya sembari mendaratkan bokongnya ke kursi plastik.

"Ekonomi."

"Wow, sama dong. Kita bakal satu kelas, gue harap kita bisa berteman baik."

"Bisa dicoba."

Tawa kami pun berderai.

"Eh Mel, kok gak diangkat teleponnya? Dari tadi itu nyanyi terus hapenya," ucap seorang Ricca.

"Eh itu om gue, Ric. Males ah."

"Om ketemu gede ya, haha."

"Haha bisa aja, lo."

"Pacar lo kali ya? Lagi marahan kah?"

"Gue ini jomblo, justru lagi nyari pacar, haha."

Aku gak mau jujur, malu binti gengsi harus ngaku udah nikah sama orang baru. Kalau suaminya keren dan masih muda sih, gak masalah. Lah ini, udah tuwir.

"Mau gue comblangin?"

Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaannya, segera kualihkan pembicaraan dengan topik yang lain. Obrolan kami sangat seru, Ricca adalah sosok yang ramai dan cerewet. Suka bercerita berbagai hal, wawasannya pun luas. Fix, dia cewek smart.

Dalam waktu yang singkat, kami pun menjadi akrab. Aku suka dengan teman baruku ini, sangat supel dan humble.

Saking asiknya bercerita, tidak terasa jam istirahat pun usai, kegiatan ospek segera dimulai kembali. Sungguh sangat melelahkan tapi aku sangat menikmatinya, penuh semangat karena suasananya memang sangat menyenangkan.

Peluh bercucuran tidak dirasa, yang tercipta hanya keceriaan bersama teman-teman yang baru dan di dalam lingkungan yang baru pula.

Tepat pada pukul 17.30 kegiatan yang menguras tenaga ini berakhir, Ricca berjalan denganku menuju gerbang depan kampus.

"Lo dijemput, Ric?"

"Yoi, gue dijemput cowok gue. Lo dijemput, gak?"

"Enggak, gue udah pesan gojek."

"Rumah lo jauh, Mel?"

"Lumayan, sejam kurang lah."

"Dih, naik motor pegel, Mel. Taksi online enak, adeum."

"Hemat, hehe."

Ricca tertawa, begitu juga dengan aku. Tapi, raut ceria di wajah ini sekejap sirna saat sampai di gerbang depan kampus, kulihat Mas Fian sudah berdiri di samping mobil dan melambaikan tangan kepadaku.

Jantung ini berdegub kencang, ini gak beres. Rahasia aku akan terbongkar, mau ditaruh di mana muka ini? Ricca pasti mencap aku cewek tukang ngibul, hadeuh kacau si Bandot Tua bikin rusuh aja ah.

Aku pura-pura tidak melihatnya, aku benar-benar malu karena punya suami yang sudah berumur. Seandainya Mas Fian usianya masih 25'an mungkin aku masih pede mengakui sudah menikah.

Aku bingung harus bagaimana, selain Ricca, para mahasiswa lain pun akan menyorot Mas Fian. Kalau sampai ketahuan, aku bisa malu.

Keringat dingin bercucuran, telapak tangan ini terasa mati rasa, tungkai kaki pun terasa lemas.

Bayangan aku akan ditertawakan serta diejek sudah di pelupuk mata, seketika hilang semangatku untuk melanjutkan ospek besok. Ya Allah, gimana ini?

Kulihat Ricca sedang sibuk menelepon pacarnya, aku pun sibuk menghubungi driver gojek dan menyuruhnya supaya cepat menjemputku.

Sial! Beberapa kali kuhubungi si driver tapi tak juga mengangkat, mungkin dia sedang ngebut demi bisa menjemputku dengan segera.

Jarak aku dan Mas Fian semakin dekat, suasana gerbang kampus pun riuh ramai oleh para mahasiswa yang sama-sama akan pulang.

Hingga saat terdengar suara klakson mobil dari arah belakang, kami semua yang sedang berdiri di tengah jalan masuk pun segera menepi. Sebuah mobil Honda jazz biru metalik melaju pelan. Saat melintas di hadapan, si pengemudi membuka kaca jendelanya.

"Mau sama-sama?" Si dosen ganteng menawarkan tumpangan padaku.

Alamak, jang! Seandainya di sini gak ada si Bandot Tua, pastinya aku menerima tawaran menarik itu.

"Makasih, Pak. Saya sudah dijemput ayah saya," jawabku sekenanya.

"Baik, duluan ya!"

"Silahkan, Pak."

Kutatap nanar bodi belakang mobil sang dosen keren yang menjauh memasuki jalan raya, hatiku mencelos.

Aku yang sibuk meratapi nasib diri yang tidak beruntung pun kembali merutuk, sampai-sampai aku marah-marah sendiri saat aku kembali mencoba menelepon driver ojek online yang lama tidak datang juga.

Segitu besarnya rasa kesal dan marah, hingga membuat aku tidak menyadari kalau Mas Fian sedang berjalan mendekat ke arahku.

"Dek, lagi telepon siapa?" Aku terkejut dan gelagapan.

"Telepon driver ojol."

"Ngapain naik ojol, Mas udah jemput."

"Cancel, Mas. Aku kira Mas gak akan jemput," kilahku, segera mencancel ojek lewat opsi di aplikasi

Tidak membuang waktu, sebelum Ricca mengendus dan tahu, aku menarik tangan Mas Fian bergegas.

Hal ini aku lakukan mumpung Ricca belum ngeh dengan kehadiran Mas Fian, dia masih sibuk bicara di telepon dengan pacarnya.

Tanpa pamitan aku membawa Mas Fian menjauh dari Ricca. Tapi, sial! Baru beberapa meter kami berjalan, Ricca berteriak memanggilku.

Aku bersikap tuli dan mengabaikan panggilannya, tapi dia tidak patah arang, dia mengejar kami.

"Mel, lo mau ke mana?"

Badanku mendadak panas dingin, ketika tahu Ricca berlari kecil mendekat pada kami.

"P-pulang Ric, lo belum dijemput?"

"Cowok gue gak jadi jemput, katanya masih ada kegiatan di kampusnya." Ricca memasukkan ponselnya kedalam tas.

Wajahnya terlihat lesu, karena gagal bertemu dengan kekasih yang sangat dicintainya.

"Oh gitu." Aku menjawab dengan kalimat tidak bermutu, duh aku benar-benar kalut sekarang.

Jarak Mas Fian dan Ricca sangat dekat, bagaimana ini?

"Lo balik sama siapa? Itu cowok, lo?" suara Ricca nyaring sekali, menggelegar bagai suara petasan di kimpoian orang Betawi.

"Eh ... ini, ini ...." Suaraku tertahan.

Aku harus jawab apa?
bonita71
rinandya
sormin180
sormin180 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Tutup
Ikuti KASKUS di
Ā© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.