- Beranda
- Stories from the Heart
Aku Mencintai Bandot Tua
...
TS
blackgaming
Aku Mencintai Bandot Tua
Aku Mencintai Bandot Tua


Spoiler for Update Chapter:
Chapter 1
"AYAH JAHAT, GAK PUNYA HATI!" Kuhentakkan kaki sebagai tanda perlawanan atas keputusan sepihak lelaki paruh baya yang egois, setelah itu aku segera berlalu meninggalkan ruang tengah di mana ayah dan ibu sedang duduk termangu dan lesu.
Pintu kamar kubanting dengan kencang, hingga menciptakan suara yang membahana dan tentu mengagetkan siapa saja yang berada di rumah ini. Rumah yang dahulu bak surga, kini berubah seperti neraka yang panas dan selalu membuat aku muak.
Tangisku luruh bersama dengan harapanku yang kandas karena keadaan yang tidak berpihak, kubenamkan wajah dalam bantal sehingga lengkingan sedu sedan yang tercipta dapat teredam dan hanya dapat didengar olehku saja.
Malam ini adalah malam terakhirku berstatus sebagai single, karena besok aku akan menikah dengan seorang pria yang sama sekali tidak aku kenal, apalagi aku cintai.
Pernikahan yang mendadak dan tiba-tiba ini membuat batinku terguncang, serasa dijatuhkan dari atas langit menimpa tanah menembus ke lapisan yang terakhir, sangat sakit dan merasa terhina. Karena lelaki itu bukan menikahi, tapi membeli.
Aku benci dengan takdir dan nasib, mengapa Tuhan memberi aku keluarga yang seperti ini?
Usiaku baru akan menginjak 19 tahun bulan Mei nanti, teman-temanku semua melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Aku apa? Malah menikah dengan bandot tua yang lebih pantas aku panggil dengan sebutan 'Om', karena usianya tidak jauh dari ayah.
Aku ingin berontak rasanya tak mungkin, pacarku si Bagas pun angkat tangan saat aku mengajaknya kimpoi lari. "Aku masih mau kuliah, kalau nikah nanti, kamu ... maksudku, kita mau makan apa? Dan siapa yang akan ngebiayain kuliah aku? Bunda aku pasti murka disangkanya aku ngehamilin kamu, duh aku gak sanggup. Maaf ya, Sayang!"
Dasar pengecut! Gak punya nyali! Kepentingan sendiri yang dia pikirin, janji suci yang selama ini dia ikrarkan ternyata cuma isapan jempol belaka. Aku benci Bagas, aku benci Ayah, aku benci si Bandot Tua yang bakalan jadi suamiku besok. Aku benci makhluk Tuhan yang berjenis kelamin lelaki, aku benciiiii!
Pernah aku coba bernego dengan Ayah tentang keputusan ini, aku coba membujuk beliau agar aku diizinkan untuk bekerja demi bisa menopang perekonomian keluarga yang mulai carut marut. Dan, daebak! Ayah menolak mentah-mentah niat mulia itu. Alhasil aku gondok dan mau tidak mau harus manut, tidak boleh tidak.
Dengan berat hati aku pun menurut, semuanya kulakukan semata-mata demi membahagiakan orang tua dan adik-adikku.
Calon suamiku, maksudku si Bandot Tua itu adalah seorang pengusaha yang bisa dibilang sukses, dia banyak menolong keluarga ini terutama dalam masalah keuangan. Usaha restoran ayah bangkrut setelah ibu ketahuan memiliki banyak hutang, hutang di bank, rentenir, beberapa tagihan kartu kredit dengan limit di masing-masing kartunya lumayan besar dan koperasi simpan pinjam.
Alfian Wijaya, si Bandot Tua yang besok akan menjadi suamiku itu adalah seorang pelanggan setia restoran Ayah, dia sering sekali memesan catering dan tumpeng apabila sedang ada event di perusahaannya.
Hubungan si Bandot Tua dengan Ayah sangat erat, maka sewaktu Ayah gulung tikar dan terpaksa menjual semua asetnya demi membayar hutang Ibu yang jumlahnya sampai ratusan juta, dia datang lalu menawarkan bantuan finansial yang jumlahnya tidak main-main, asalkan Ayah tidak menutup usahanya.
Ayah menolak mentah-mentah bantuan dari si Bandot Tua, beliau tidak mau punya hutang budi. Alhasil kami pun jatuh miskin, tinggal di rumah minimalis di pemukiman padat penduduk yang kumuh.
Tapi saat kami sudah melarat, Ayah tidak bisa lagi menolak apa yang diberikan oleh Bandot Tua tersebut. Sehingga hutang budi itu benar-benar tercipta, dan aku menjadi pelunasnya.
Ibu hanya bisa menangis dan meminta maaf, saat aku dan adik-adik menderita terkena imbasnya . Waktu itu, aku ingin sekali membencinya tapi aku tidak bisa.
Aku hanya bisa mengelus dada serta meratapi nasib yang malang ini, sering aku berpikir keras akankah kisahku bak sinetron ikan asin terbang? Berawal tragis tapi berakhir manis, ah entahlah! Cuma Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi nanti.
Aku merasa sepi di dalam kamar ini, padahal di luar sana sedang ramai. Banyak orang sedang mempersiapkan acara untuk besok. Saudara jauh, tetangga dan kerabat dekat berdatangan untuk membantu. Samar-samar kudengar suara tawa mereka, begitu lepas dan tanpa beban.
Aku tidak bersemangat dan masa bodoh dengan semua ritual yang harus dijalani sebelum pernikahan. Peduli amat dengan puasa dan juga tradisi pingit, aku bebas jalan dan nongkrong dengan teman-teman, Ayah dan Ibu tidak bisa melarang karena itu syarat sebelum aku mau menuruti permintaan mereka.
š¤š¤š¤
Dalam kamar yang indah ini hatiku merasa terkoyak, wajah yang telah dipoles riasan tebal ini terasa bagai topeng badut saat aku lihat di cermin. Kebaya mewah nan cantik yang si Bandot Tua pesan khusus dari butik ternama pun kurasa gerah dan tidak nyaman, sama seperti perasaan yang bergejolak ini.
Telinga seketika terasa panas dan memerah saat MC memberitahu kalau romongan calon mempelai pria sudah tiba, perias pengantin yang tidak tahu perihal isi hati ini pun menepuk bahuku sembari bersorak gembira. Aku meresponnya dingin, cuma tersenyum kecut, sekecut ketek tukang becak yang baru selesai ngegenjot di tanjakan.
Wanita yang berperan sebagai MUA itu kembali mengecek riasan wajahku, usai sapu sana-sini senyumnya mengembang. "Perfect!" katanya.
Aku memandang wajah yang menurutku seperti pemain lenong yang akan tampil di panggung.
Kebaya modern putih, rambut disanggul yang dihiasi mahkota gold dan kembang goyangnya, dirasa bagai atribut pemain barongsai saat perayaan imlek.
Tok ... tok ... tok ....
Pintu kamar diketuk oleh seseorang yang hendak menjemputku, dia Vina, sepupuku.
"Mel, yuk ke depan!" ajaknya mengulurkan tangannya padaku.
Tanpa menjawab, aku meraih uluran tangannya dan berjalan menuju teras rumah yang dijadikan tempat untuk ijab kabul.
Kulihat sekilas wajah calon suamiku, ia tersenyum ramah tapi aku pura-pura tidak melihatnya.
"Kepada calon pengantin wanita kami persilahkan duduk di samping sang pangeran yang telah bersiap mengikrarkan janji suci di hadapan kita semua," ucap MC membuatku ingin muntah.
Semua orang kecuali aku tersenyum mendengar ucapan MC itu. 'Pangeran apaan? Pangeran kodok kali,' sungutku dalam hati.
Setelah melewati beberapa rangkaian prosesi maka tibalah saatnya pengucapan ijab kabul. Setelah dipandu oleh pak penghulu, maka si Bandot Tua itu dengan lantang mengucapkan kalimat sakral di depan semua orang yang hadir disini.
"Saya terima nikah dan kimpoinya Amelia Gentari Permadi binti Dodi Permadi dengan mas kimpoi satu set perhiasan emas seberat 50 gram dibayar tunai."
Para saksi, tamu undangan dan keluarga mengucap syukur karena prosesi utama berjalan dengan lancar dan sukses. Bagai tersengat listrik bertegangan tinggi saat mendengar penghulu dan semua orang berkata 'SAH', itu berarti per hari ini aku akan hidup dengan si Tua Bangka ini. Tidaaaaaak!
Mengapa aku sebut dia tua bangka? Itu karena usianya sudah 40 tahun, ia seorang perjaka tua alias bujang lapuk. Entah kenapa dia belum menikah sampai usianya setua itu, hanya Tuhan dan dia yang tahu.
Acara resepsi kami diadakan secara sederhana, aku malu kalau harus pesta meriah. Teman-teman sekolah, tidak ada satu pun yang aku undang, apa kata dunia seorang Amelia yang jadi rebutan cowok-cowok populer dan terkenal sebagai play girl di sekolah dulu tiba-tiba nikah muda, sama bandot tua lagi.
Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, lalu kemudian mengusirnya dari sisi ini. Sumpah aku muak, benci, dan enek harus duduk berdekatan di pelaminan dengannya.
Apalagi saat dia sok perhatian menawari aku mau makan atau tidak, ih benar-benar menyebalkan. Apalagi aku sempat melirik dengan ujung mata, dia sering mencuri pandang kepadaku, ingin rasanya aku tusuk matanya pakai gembang goyang yang menancap di sanggul palsu ini.
Saat duhur menjelang acara resepsi pun usai, aku dan dia dipersilahkan untuk masuk beristirahat. Si Bandot Tua sok manis, mengulurkan tangan berniat menuntunku. Tapi dengan tegas aku tolak, beralasan tidak kuat ingin buang air kecil, secepatnya aku ngacir duluan.
Sejenak aku berdiam diri di dalam kamar mandi, berjalan mondar-mandir dengan pakaian lengkap. Konyol memang, tapi semua ini aku lakukan agar alasanku tadi tidak sekadar hoax.
Hingga lima menit lamanya, aku pun keluar dan melangkah masuk ke dalam kamar pengantin. Segera aku kunci pintu, agar dia tidak masuk tiba-tiba di saat aku lagi buka baju.
Kuhempaskan tubuh di ranjang, menghela napas panjang memindai kamar ini. Mencebik dan merutuk, meski sia-sia tapi itu bisa membuatku lega dan merasa lebih baik.
Kemudian aku berdiri, sudah saatnya menanggalkan 'pakaian lenong' ini, aku ingin mandi dan istirahat dengan tenang dan damai.
Saat pakaian dan semua atribut tanggal, pintu diketuk. "Pasti itu si Batu alias Bandot Tua," sungutku geram.
Dengan wajah masam aku membuka pintu, tanpa menegurnya aku kembali masuk menyambar handuk kimono yang tergantung di paku. Tanpa menoleh kepada dia, aku bergegas pergi meninggalkannya.
Sesampainya didalam kamar mandi, aku segera membersihkan diri. Hampir 2 jam lamanya aku semedi didalam kamar mandi, karena kewalahan mengurai rambut setelah disasak tadi.
Setelah berhasil mengurai rambut yang kusut, aku pun segera membasuh seluruh tubuh. Segar rasanya, apalagi setelah keramas kepala ini jadi enteng sekali.
Di dalam kamar, aku pakai baju kebesaran emak-emak yaitu daster. Usai mengoleskan pelembab muka, aku pun langsung berbaring di atas spring bed yang empuk dan nyaman. Si Bandot Tua tidak ada di sini, membuatku sangat damai dan tenteram tentunya.
Namun ketika akan terlelap, pintu kamar kembali diketuk dan terdengar suara derap langkah si Bandot Tua memanggil namaku.
"Dek, ini Mas Fian tolong buka pintunya!"
Aarrrgghh!
Aku merutuk dalam hati, dengan wajah kesal segera kubuka kunci pintu. Setelah itu kembali ke formasi awal tadi.
Suara sepatunya membuat telinga ini sakit, dia menggantungkan jasnya di kastop dekat lemari pakaian.
Kuintip dengan mata yang pura-pura dipejamkan, dia sedang celingukan seperti sedang mencari sesuatu.
"Dek, bisa minta tolong ambilkan handuk?" Tangannya mengusap pundakku.
Tanpa menjawab aku bangun dan beranjak membuka lemari, untuk mengambilkan benda yang dia butuhkan.
'Uh beneran ya nih si Bandot Tua ini, ngeganggu ketenangan gue aja!' Kedua kalinya aku merutuk dalam hati.
"Makasih ya, Dek. Mas mandi dulu," ucapnya sok imut.
'Mandi aja sono, kaya gue nungguin lo aja dasar 'Batu' alias Bandot Tua.'
Aku tersenyum dan mengangguk, berusaha tidak menunjukkan rasa kesalku padanya, semuanya kulakukan demi keluarga.
Sepeninggal dia, aku pun pulas tertidur. Beberapa kali dia membangunkan aku untuk salat, tapi aku tak menggubrisnya. Aku beralasan aku sedang haid.
Selepas isya setelah selesai makan malam bersama, dia mencoba mengajakku bicara berdua di dalam kamar sebelum kami terlelap.
"Mas tahu, Dek Amel belum siap dengan pernikahan ini. Tapi mas minta, Dek Amel harus mulai belajar menerimanya ya," ucapnya pelan tapi tegas.
"Om Fian, eh ... Mas Fian jangan bicara kaya gitu, dengan aku bersedia menikah, itu artinya aku sudah menerima Mas Fian. Suka gak suka, toh aku gak punya pilihan."
"Alhamdulillah kalau begitu, mas lega dengarnya. Mudah-mudahan saja pernikahan kita ini bisa membawa kebaikan untuk kita dan diberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat ya, Dek."
"Aamiin," jawabku tampak penuh harap, padahal penuh rutukan.
Beberapa saat kemudian Mas Fian meraih dan mencium punggung tangan ini dengan lembut, rambutku ia usap perlahan. Tanpa menunggu izin, dia mendaratkan ciuman di kening, lalu turun ke pipi dan bibir.
Aku tidak memberi respon, bukan tidak bisa berciuman tapi aku merasa jijik ketika bibirnya menyentuh dan mamagut bibirku. Tiba-tiba ia melepaskan bibirnya dan menatap wajah ini.
"Kok diam, Dek? Kamu belum siap ya?"
"Eng-enggak, Mas. Aku gak tahu cara berciuman, aku bingung harus bagaimana," kilahku bohong. Padahal waktu pacaran dengan Bagas, sering aku berciuman alias baik.
"Maaf Mas Fian, aku belum bisa malam ini." Tanganku mendorong dada bidang itu pelan, menghentikan aksinya.
"Kenapa, Sayang?" Kata 'sayang' yang dia ucapkan barusan, benar-benar bikin aku gumoh, huweekk!
"Aku sedang ada tamu bulanan, Mas. Makanya tadi aku gak salat." Harap-harap cemas berharap ia percaya, dan tidak meraba apakah aku memakai pembalut atau tidak.
Ia tersenyum dan kemudian mengangguk. "Iya mas tahu, tadinya mas kepingin mesra-mesraan aja gitu." Kulihat ada gurat kecewa di wajahnya, tapi aku gak peduli yang penting aku berhasil-berhasil horeeee.
Itu artinya aku harus bersandiwara mendapat tamu bulanan selama seminggu lamanya, hal itu tidak membuatku aman tapi setidaknya aku bisa mengulur waktu.
Hari ini, adalah hari pernikahan kami yang kelima, dan sesuai dengan perjanjian awal aku akan meninggalkan rumah dan ikut bersama Mas Fian ke rumahnya.
Rasanya sangat berat aku berpamitan dengan orang tua dan kedua adikku, air mata ini tumpah. Aku tidak kuasa harus berpisah dengan mereka.
Walaupun aku bisa setiap saat bertemu dengan mereka, karena rumah Mas Fian dan orang tuaku hanya berjarak kurang lebih 100km. Namun, tetap saja itu suatu hal yang membuatku sangat bersedih.
"Ingat ya, Nak, pesan ayah! Harus hormat dan patuh pada suami, ayah selalu berdoa yang terbaik untukmu," bisik Ayah ketika memelukku.
Kujawab petuah Ayah dengan anggukan, lelaki paruh baya itu tahu betul seperti apa perasaanku saat ini. Tapi, Ayah tidak mau tahu dan terkesan tidak peduli. Aku merasa dijual pada si Bandot Tua, diri ini tak ubahnya seperti budak pemuas nafsu yang dipersembahkan untuk pejabat pada masa kerajaan dulu.
Aku dan mas Fian memasuki mobil, tak kuasa menahan tangis saat besi yang mewah yang ditumpangi meninggalkan rumah yang selama kurang lebih tiga tahun ini aku tempati.
Aku menangis sesegukan didalam mobil, lambaian tangan mereka tidak bisa hilang dari ingatan.
Mas Fian yang duduk di sebelah memeluk erat, hal itu tidak berarti apa-apa. Tidak juga bisa membuatku luluh untuk mencintainya.
"Jangan sedih lagi, Dek, setiap saat Adek ingin ke rumah Ayah bilang saja, mas akan antar."
Aku mengangguk dan terus menangis, di sepanjang perjalanan menuju rumah mas Fian.
Lebih satu jam kemudian, kami tiba di rumah mewah yang begitu asri dan nyaman. Aku dan mas Fian turun dari mobil, Pak Zaki, sang supir segera membuka bagasi dan menurunkan koper-koper.
"Asslamualaikum," ucap Fian ketika memasuki rumahnya.
"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya bersanggul, dengan wajah menor yang sedang asik membaca majalah di sofa ruang tengah.
Wanita bergaya bak ibu sosialita itu adalah ibu mertuaku, Ibu Siska namanya. Dari raut wajahnya sepertinya ia tidak suka padaku, terbukti pada saat pernikahan dulu dan sekarang tatapannya tetap sama, sinis.
Ah, tapi aku tidak mau ambil pusing. Bodo amat lah, toh aku juga nikah karena terpaksa. Seandainya wanita itu mengusirku suatu hari nanti, hal itu akan jadi senjata ampuh untuk bisa lepas dari belenggu pernikahan ini.
Mas Fian mencium punggung tangan ibunya dengan takzim, kemudian ia memeluknya dengan penuh rasa sayang.
Aku bersikap sama, mencium tangan mertuaku yang sebelumnya menatapku dari atas sampai bawah, seperti aneh melihatku. Padahal jelas-jelas dia yang menurutku aneh.
Kami berbincang sebentar dengan Bu Siska, setelah itu Mas Fian mengajakku untuk beristirahat di kamarnya.
Tangan ini dituntun masuk, menuju ruangan pribadi yang terletak di dekat ruang tengah. Sesampainya di dalam, aku takjub dengan kamar tidurnya, begitu nyaman dan wangi sekali. Mataku berkeliling menatap ke setiap sudut ruangan yang dipenuhi dengan perabotan modern dan tentunya mahal.
Dahulu, kehidupanku juga bisa dibilang mampu. Tapi rumah masa kecilku tidak semewah rumah Mas Fian, haruskah aku merasa beruntung karena mempunyai suami tajir?
"Dek, lemari pakaian yang tiga pintu itu baru. Mas sengaja belikan untuk menyimpan semua pakaianmu. Karena lemari Mas sudah penuh, hehe."
"I-iya Mas, terima kasih." Aku merasa kikuk dan canggung di rumah mewah ini.
"Mas, aku mau mandi dan ganti baju dulu ya," ucapku memecahkan kecanggungan dengannya.
Mas Fian mengangguk dan mengeret koper kami kedekat lemari pakaian. Segera aku membuka dan mengambil pakaian santai juga handuk, membawanya ke kamar mandi yang lagi-lagi membuat aku takjub dibuatnya.
Usai mandi, aku duduk di tepi ranjang. Menggosok rambut yang basah dengan handuk kecil. Mas Fian tidak mau jauh dariku, ia duduk menemani dan menawarkan diri untuk membantu mengeringkan mahkota indah ini.
Jujur, aku merasa risih dan tidak nyaman dengan perlakuannya. Bulu romaku merinding saat wajahnya mendekat, dari pantulan cermin aku lihat matanya terpejam saat menghidu bau harum yang menguar dari rambutku. Embusan napasnya membuat tengkuk meremang, adegan tidak senonoh pun terbayang dalam benak.
Tidak tahan dengan perasaan jijik yang menguasai, aku bangkit dan menyibukkan diri menyusun pakaian dari dalam koper ke lemari.
"Bibik saja nanti yang ngerjain, Dek," katanya sembari menatapku lekat.
Aku menggeleng dan tersenyum sok manis. "Aku bisa sendiri, Mas. Gak puas kalau barang pribadi, orang lain yang ngerjain."
Mas Fian mengangguk, lama kelamaan dia merasa bosan melihatku tak memberikan kesempatan sedikit pun padanya untuk menghabiskan waktu berduaan, dia berpamitan untuk keluar kamar setelah sebelumnya bertanya aku mau makan apa saat makan malam nanti.
"Apa aja, aku makan, Mas."
"Baik, mas keluar ya."
"Iya."
Sepeninggal Mas Fian, aku berhenti bersandiwara. Kuhempaskan bokong ini, melepas lelah setelah berusaha lolos dari cengkeraman singa tua, hehe.
Saat jam makan malam tiba, aku duduk di depan meja makan malam yang mewah dan indah. Berbagai macam menu masakan lezat tersaji di atasnya, lengkap dengan makanan penutup dan buah-buahan.
Diubah oleh blackgaming 07-03-2021 14:59
sormin180 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
21K
51
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThreadā¢52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
blackgaming
#3
Chapter 4
"Mas, boleh gak aku kuliah?"
"Dek, Mas lagi banyak kerjaan. Ini lagi ngerevisi materi untuk meeting."
"Mas jahat!" Aku berlalu, kembali beranjak ke tempat tidur.
"Lihat aja, aku bakalan mogok makan kalau sampai Mas kaya gini terus," isakku meraung.
Bukannya menjawab atau menanggapi ancamanku, si Bandot malah terus fokus pada layar leptopnya. Bikin emosi jiwa memang tingkahnya itu manusia.
'Bandot Tua i hate you!'
š¤š¤š¤
Kekesalanku pada si Bandot Tua, kuceritakan pada Bik Nani. Wanita bertubuh tambun itu malah terkikik, seperti turut bahagia di atas penderitaanku ini.
"Bibik, ih!"
"Hehe, maaf Neng Amel, habisnya Neng Amel dan Mas Fian lucu sekali."
"Gak lucu, Bik. Nyebelin dia itu, dasar Batu. Bandot Tua!"
"Hush, Neng Amel! Gak boleh ngatain suaminya kaya gitu, dosa."
"Ya habisnya, Bik, dia itu jahat banget sama saya."
"Mungkin Mas Fian memang benar-benar lagi banyak pekerjaan, Neng."
"Ah emang sengaja dia itu, Bik. Takut kali, kalau saya bakalan selingkuh sama mahasiswa di kampus."
"Wajar Neng, Mas Fian punya ketakutan kaya gitu. Mas Fian kan suaminya Neng Amel, punya perasaan sayang dan juga cinta. Pastinya Mas Fian sangat takut kehilangan Neng Amel," tutur Bik Nani.
"Ah, gak masuk akal, Bik. Saya kan niatnya mau kuliah bukan mau pacaran."
"Coba bicara lagi, tapi jangan sambil marah-marah, Neng. Pakai taktik dong."
Aku menghampiri Bik Nani, kulingkarkan tangan ke bahunya. Kupelankan suara bertanya padanya tentang strategi yang dimaksud.
Bik Nani tersenyum, pisau di tangan ia taruh di talenan. "Mau minta sesuatu sama suami itu ada caranya, Neng. Lihat dulu situasi, sedang senang atau enggak. Kalau dilihat rautnya kaya orang senang biasanya akan mudah mengiyakan. Tapi kalau lagi capek atau pusing, bukannya dikabulkan malah yang ada dicuekin."
Aku manggut-manggut tanda mengerti apa yang diucapkan Bik Nani. "Akan saya coba, Bik."
"Nah, gitu dong! Jangan pakai urat terus, Neng. Capek, hehe."
"Habisnya ngeselin, sih. Makanya saya selalu naik darah dibuatnya."
"Biar gak darah tinggi, gimana kalau kita ngerujak yuk! Di kulkas ada mangga dan timun," ajak Bik Nani, langsung kuiyakan tanpa berpikir lama.
Bergeraklah kami dengan tugas masing-masing, aku mengeksekusi mangga mengkal dan timun. Sedangkan Bik Nani mengulek bumbu yang terdiri dari kacang tanah, gula merah, dan asam jawa.
Tidak lama kemudian, rujak uleg pun siap disantap. Karpet berukuran 1x1 meter digelar di teras halaman belakang, menghadap ke kolam renang yang di sampingnya ditumbuhi oleh tanaman bunga hias berwarna-warni yang sedap dipandang.
Kami menyantap makanan segar dan pedas itu sambil berbincang akrab, rasanya aku sangat senang ditemani oleh Bik Nani yang baik dan punya selera humor yang tinggi. Entah apa jadinya hidupku kalau tidak ada asisten rumah tangga ini, pasti sepi dan semakin depresi.
Di saat irisan mangga dan timun tinggal sedikit, tiba-tiba bel rumah berbunyi berkali-kali. Aku hendak bangkit, tapi Bik Nani mendahuluiku.
"Bibik saja, Neng," katanya.
Sepeninggal Bik Nani, aku pun segera membereskan piring dan cobek. Lalu mencuci tangan di wastafel, rasanya penasaran siapa yang bertamu siang-siang begini.
Beberapa saat kemudian aku mendengar suara cekikikan dua orang wanita, aku berjalan jinjit ke ambang pintu batas antara ruang tengah dan lorong menuju dapur. Suara misteri itu, tidak lain adalah suaranya si Nenek Gambreng dan Desi, adik iparku.
Alamak! Kiamat kecil akan dimulai kembali, sudah enak dan tenang hidupku tanpa kehadiran si Nenek Gambrang yang galak dan tamak itu, eh sekarang dia nongol.
Setelah hampir satu bulan mereka tinggal di rumah Devi, akhirnya kembali lagi. Aku meraup wajah kasar, perasaanku langsung saja tidak enak. Karena dengan adanya si Nenek Gambreng, itu berarti keamananku akan terancam kembali, hadeuh maksud hati makan rujak untuk menghilangkan pusing tapi apa daya penampakkan dia bikin ini kepala jadi pening kembali.
Aku berdiri komat-kamit, membacakan surat pendek sebagai penolak bala dan pengusir jin juga makhluk halus, hehe. Setelah tidak ragu, aku pun berjalan menghampiri si Nenek Gambreng dan Desi. Kucium tangan ibu mertuaku, aku mencoba bersikap ramah dengan mengulas senyuman termanis yang aku punya. Eh apa coba yang dia lakukan? Dengan sinis dia mendelik dan mencebik. Amit-amit, kok ada ya manusia kaya gitu.
Aku tidak peduli dengan sikapnya yang sinis, masa bodo dengan semua itu. Merasa dicuekin aku segera berlalu meninggalkan mereka, memutuskan untuk bersemedi saja di kamarku.
Namun belum jauh kaki ini melangkah, tiiba-tiba si Nenek Gambreng memanggilku.
"Ada apa bu?" jawabku dari kejauhan.
"Sini dong, kalau dipanggil!"
Aku mengalah, aku menghampirinya dengan cara mundur.
"Iya ada apa, Bu? Ini aku sudah di depan Ibu."
"Kemarin katanya ada kiriman dari adik saya, Shila, ya?"
"Iya, Tante Shila kemarin mengirim kado. Kenapa memangnya, Bu?"
"Coba sini saya lihat, apa kadonya!"
"Mau diapakan, Bu? Mau Ibu ambil? Itu kado untuk saya dan Mas Fian, kado pernikahan kami."
"Eh lancang banget kamu ya mantu, sadar gak kalau Shila itu adik saya. Jadi saya berhak mengambil pemberian darinya, seandainya memang barang itu saya suka."
"Astaghfirullah, Bu. Ibu kok gitu banget sama saya, salah saya apa sama Ibu? Segala sesuatu yang saya dapat, ibu selalu ingin merebutnya."
"Kamu gak usah banyak bicara, bawa saja sini kadonya!"
"Maafin saya Bu, saya gak akan memberikan pemberian dari Tante Shila karena itu hak saya, jadi saya berhak menolak pemaksaan yang Ibu lakukan kepada saya."
Tanpa diduga, Desi yang tadi sedang asik mengutak-atik ponselnya itu berdiri dan menatap tajam kepadaku.
"Kok kamu kasar sih sama Ibu? Aku bilangin ke Mas Fian, tahu rasa kamu, Mel."
"Apa kamu bilang Des? Yang mulai duluan siapa? Kok kamu malah nyalahin aku?"
"Kamu harus tahu Mel, semenjak mas Fian menikah sama kamu, dia jadi pelit kepada kami. Tiap kali minta duit selalu ditanya untuk apa, pasti semuanya kamu yang ada dibalik perubahan sikap Mas Fian. Dulu dia gak gitu! Tanpa kita minta, duitnya selalu ngalir."
"Kalau ngomong dipikir dulu pakai otak, dong! Soal Mas Fian jadi pelit, kenapa kamu gak nanya langsung sama dia? Kenapa beraninya di belakang, ngoceh bau jigong sama aku?"
Desi yang tidak terima dengan ocehanku naik pitam, ia melempar remote tivi yang tergetak di atas meja kaca. Secepat kilat aku menghindar, kalau tidak bisa-bisa ini kepala boncos dibuatnya.
"Dasar orang gila!" cacinya padaku.
Aku ingin dan bisa saja melawan mereka, tapu aku berpikir lagi, aku tidak ingin terbawa menjadi sinting seperti mereka.
Akhirnya dengan emosi yang tertahan, aku meninggalkan anak dan emak yang sama stresnya.
Pintu kamar kubanting dan sengaja aku kunci supaya si Nenek Gambreng atau anaknya, tidak bisa seenaknya masuk. Di dalam kamar yang hening ini, aku menangis dalam kesendirian.
Di rumah ini kehadiranku tiada arti, baik oleh Mas Fian, Ibu, maupun Desi. Mereka setali tiga uang, sama saja kejamnya. Hanya Bik Nani yang baik, tapi mustahil juga aku bisa menceritakan semua kepadanya.
Aku menangis hingga sesak dada ini kurasa, hidungku sampai mampet dan terasa panas. Kalau gak ingat pesan Ayah, ingin rasanya aku minggat meninggalkan rumah mewah yang terasa bagai neraka ini.
Lelah menangis, aku baringkan tubuh memeluk guling. Melamun menatap lemari kaca, yang memantulkan sosok rapuh di sana.
Aku terkejut, saat tiba-tiba ponsel di atas meja kecil di samping ranjang berbunyi, segera kulihat ternyata Mas Fian meneleponku. "Pasti dia mau ceramah karena dapat aduan dari emaknya."
Aku kembali berbaring, tanpa menghiraukan panggilan itu. Hampir sepuluh kali benda pipih berukuran enam inchi itu berbunyi, mungkin dia lelah akhirnya berhenti juga.
Ting ....
Beberapa saat kemudia masuklah pesan di aplikasi Whatsapp. Kuintip dari jendela layar, ternyata dari orang yang sama, yaitu Mas Fian.
[Dek, ada masalah apa lagi sama Ibu?]
Benar dugaanku, si Nenek Gambreng udah ngadu yang enggak-enggak pada anaknya. Sejenak aku diam, ingin rasanya aku cuekin dia. Tapi sesak di dada, tak dapat aku tahan sendiri.
[Ibu maksa aku memberikan kado dari Tante Shila kepadanya, itu kan punyaku Mas.]
Pesan yang aku kirim langsung centang biru, rupanya si Bandot gak sabar menunggu balasan dariku.
[Mengalah, Dek! Nanti Mas belikan, lebih bagus dari itu.]
[Enggak mau Mas, aku gak mau ngasihin.]
[Please Dek, tolong jangan buat masalah sepele menjadi rumit!]
Tak kubalas lagi pesannya, aku membiarkannya. Tangisku kembali pecah, aku gak habis pikir kenapa si Bandot itu selalu berpihak dan membela ibunya? Padahal dia tahu kalau ibunya salah, tapi tetap saja dia membelanya.
Suami macam apa yang begitu? Istrinya didzalimi kok malah diam saja. Malah kesannya si Bandot membiarkan aku diperlakukan seenaknya oleh ibunya.
Aku kembali tercenung, mencoba untuk tidur demi bisa menenangkan hati ini. Perlahan tapi pasti, mata ini terpejam. Melepaskan sejenak kesedihan dan kemarahanku kepada si Nenek Gambreng itu, saat belum lama aku masuk ke alam mimpi, setengah tersadar aku mendengar suara ketukan pintu.
Aku membuka mata yang berat dan memerah, sejenak terdiam menunggu apakah ini nyata atau mimpi.
Tok ... tok ... tok ....
"Dek, tolong buka pintunya!"
"Mas Fian ...." Aku bergegas bangun membukakan pintu. "Maaf mas aku ketiduran."
Mas Fian mengangguk dan tersenyum kepadaku. Kuraih dan kucium punggung tangannya.
Aku segera menyambar handuk yang tergantung, berniat untuk mandi. Tapi ketika akan masuk ke dalam kamar mandi, Mas Fian memanggilku.
"I-iya, Mas ...."
"Sini dulu duduk sebentar," katanya menepuk sisi sofa yang kosong di sampingnya.
'Ah, pasti mau bahas masalah si Nenek Gambreng tadi. Sampai pulang kerja lebih awal, demi ngurusin hal gak penting kaya gini.'
"Ada apa, Mas?" Aku berlagak bego.
"Dek, Mas mau bicara masalah yang tadi."
Aku mengerucutkan bibir, aku memutar tubuh memunggunginya. Dengan tegas aku menolak perintahnya.
"Kasihin aja, ya! Nanti Mas ganti," bujuknya mengelus kepala ini.
"Enggak, Mas!"
"Jangan berteriak, Dek! Gak baik." Mas Fian meraih tanganku dan kemudian menggenggamnya erat.
"Dek, Mas mohon mengalah demi kebaikan bersama. Mas janji nanti akan Mas ganti dengan barang yang sama, atau dengan yang lebih bagus."
"Enggak mau!" Kunaikkan volume suara ini, Mas Fian harus tahu kalau aku punya hak yang harus dia hormati.
"Dek, jangan begitu. Mas mohon ya, demi kebaikan bersama Dek Amel berikan saja kado itu. Sebagai gantinya, Mas akan memberikan apa saja."
"Kalau begitu tukar dengan kebebasanku, aku ingin pergi dari sini dengan janda. Aku udah muak dan capek pura-pura, aku benci pernikahan ini."
"Istighfar, Dek! Setiap ada masalah, Dek Amel selalu mengungkit masalah perceraian. Mas gak suka, jangan begitu! Ayolah belajar dewasa, dalam menyikapi setiap permasalahan."
"Gak suka? Ya udah biarin aku minggat dari sini."
"Bukan begitu, Dek. Mas hanya menengahi, jangan sampai ada perpecahan di rumah ini. Mas capek, Dek."
"Capek dibikin sendiri, suruh siapa Mas selalu membela Ibu dan menyudutkan aku. Aku kan istri Mas, tapi kenapa bukan aku yang Mas bela?"
"Sudah ya jangan bahas lagi Mas bela siapa, gak ada yang Mas bela. Baik Ibu, maupun Dek Amel, kalian berdua adalah orang yang sangat Mas sayangi."
"Omong kosong!"
"Sudah ya, Dek. Jangan diperpanjang lagi, mendingan sekarang Dek Amel mandi biar pikiran hati dan pikirannya adem. Nanti saat makan malam, kasih kadonya ke Ibu ya!"
Mas Fian memeluk aku yang kembali tersedu, berkali-kali ia menciumi rambut dan mengelus pipiku yang basah karena air mata.
"Mas Fian, jahat!" isakku sembari memukuli dada bidangnya.
"Maafin Mas ya, Sayang. Mas janji akan belikan pengganti yang lebih bagus."
"Aku mau yang dari Tante Shila, Mas. Bukan masalah lebih bagusnya, tapi ...."
"Mas ngerti, Dek. Sudah ya," bujuknya berhasil membuat tangisku reda.
Dengan berat hati, akhirnya aku pun menurut padanya, lagi-lagi si Nenek Gambreng yang menang!
Mas Fian melerai pelukan, kemudian menyerongkan tubuhnya. Wajah ini ditangkupnya, sorot mata nanar itu sedang lekat menatapku sendu. "Makasih ya, Sayang. Mas harap Dek Amel paham dan mengerti posisi Mas saat ini, serba salah."
"Lain kali aku gak mau berbagi lagi dengan Ibu, yang aku punya gak boleh lagi dikasih ke Ibu atau Desi. Aku juga punya hak, Mas."
"Iya, Sayang. Sudah ya," tuturnya lemah lembut.
Kening ini dikecup cukup lama, setelah itu ia menyuruhku untuk segera membersihkan diri.
Tanpa membantah, aku pun berlalu meninggalkannya sendiri, bersandar di sofa dengan pandangan ia buang jauh ke langit-langit, entah apa yang sedang dia pikirkan.
Pada saat jam makan malam, aku membawa kotak hadiah pemberian Tante Shila. Kotak itu berisi satu set perhiasan emas putih dengan hiasan mutiara asli dari Lombok. Sungguh indah dan cantik.
Si Nenek Gambreng dan anaknya, sudah sibuk menyantap makanan saat aku dan Mas Fian datang ke ruang makan.
Sebelum duduk mas Fian berbicara kepada ibunya. "Bu, ini Amelia mau bicara sama Ibu."
"Ya bicaralah," jawabnya sinis.
"Sebelumnya, aku minta maaf atas sikapku tadi. Dan ini, aku berikan kado pemberian dari Tante Shila untuk Ibu."
Wajah liciknya berubah semringah, bibirnya tersungging mengukir lengkung sebuah senyum bahagia penuh dengan kemenangan.
"Terima kasih Fian, kamu memang anak Ibu yang paling berbakti."
"Berterima kasihlah pada Amelia, Bu!" seru mas Fian.
"Ya sama saja, lah!" Si Nenek Gambreng melirik jahat padaku yang masih berdiri di samping mAs Fian yang duluan duduk. "Duh bagus sekali perhiasan ini, coba liha Des." Ucapannya benar-benar membuatku marah.
Tanpa bicara, aku berpamitan ke kamar dengan alasan sakit perut. Selera makanku hilang, saat melihat ketamakan wanita tua itu.
Mas Fian tidak beranjak, ia tetap duduk di kursinya berbincang dengan ibu dan adiknya. Benar-benar keluarga gila, semua bersekongkol menjahati aku.
Aku merutuk dan menggumamkan sumpah serapah untuk mereka, Mas Fian juga kurasa sama saja, kebaikannya padaku cuma pencitraan.
š¤š¤š¤
Hubunganku dengan sang mertua yang super celamitan itu belum ada perubahan, kami tinggal satu rumah tapi seperti tidak mengenal satu sama lain.
Bahkan kini aku sudah kebal, dengan segala perlakuan adik ipar dan ibunya.
Aku bersikap masa bodoh dan tetap menjadi pembangkang, tidak peduli walaupun aku harus ditegur oleh Mas Fian karena sikapku yang keras.
Kulayani tabuhan genderang perang yang mereka nyalakan, tanpa rasa takut sedikit pun. Kadung dicap jadi menantu dengan reputasi yang jelek, percuma aku mau berbuat baik juga tetap saja dinilai minus.
Perang dingin yang terjadi ini berlangsung lama, hingga tidak terasa usia pernikahanku sudah menginjak satu tahun. Mas Fian memberikan sebuah kejutan kecil, mengajakku makan malam romantis di sebuah restoran mahal, di akhir acara ceremonial pribadi itu dia memberikan aku sebuah cincin bermata bulat, katanya itu berlian. Tampak berkilau dan sangat indah.
"Happy anniversary, Sayang!"
"Makasih, Mas." Kupandang jemari lentik yang semakin cantik, saat benda bulat mahal itu tersemat di jari manis sebelah kiri.
"Mas yang harusnya bilang makasih, karena satu tahun sudah Dek Amel setia mendampingi Mas yang banyak kekurangan ini."
"Ah, sama-sama, Mas. Manusia mana ada yang sempurna."
"Iya, Dek. Banyak doa yang Mas panjatkan untuk pernikahan kita, Mas berdoa dan berharap semoga di tahun kedua nanti kita merayakan anniversary bertiga."
Keningku berkerut. "Bertiga? Siapa?"
"Anak kita," ucapnya penuh harap.
Tidaaaaaaaaak! Jangan sampai aku hamil, bisa kacau semuanya, meski sudah satu tahun, tapi jujur aku masih berharap bisa bebas dari kukungannya. Aku ingin mencintai, tersiksa hidup seperti ini, bergelimang harta dan cinta, tapi merana.
Aku ingin punya pendamping hidup yang sebaya, kalaupun memang lebih tua jangan jauh-jauh, satu atau dua tahun sepadan itu.
Mas Fian bukan tipeku, kuakui wajahnya memang tampan, mirip aktor Abimana. Tapi gayanya kolot, rambutnya selalu klimis dibelah samping, bulu-bulu halus di wajahnya membuatnya semakin tua, apalagi ditambah gaya fashionnya yang monoton, duh gak banget deh.
Aku malah bersyukur belum hamil, dan selalu berdoa untuk tidak hamil. Supaya si Nenek Gambreng marah, lalu menyuruh anaknya itu untuk nikah lagi. Dengan begitu, bisa dengan mudah aku berdalih enggan dipoligami dan hengkang pergi.
"Hei, kok ngelamun?" Aku tersadar, saar jemari Mas Fian mengusap pipiku.
"Gak, kok. Cuma rasanya aku belum siap punya anak," jawabku jujur.
"Kenapa?"
"Aku masih muda, baru 20 tahun. Masih kepingin kuliah, jadi seorang sarjana adalah cita-citaku sejak dulu."
Mendengar pernyataanku, Mas Fian membisu. Ia mengalihkan pembicaraan dengan membahas rencana bulan madu yang belum terlaksana. Weleh Bandot, boro-boro mau mikirin bulan madu. Dia kok gak ngerti-ngerti sih? Katanya S2 tapi kok pola pikirnya dangkal banget, aduh biyung.
"Mau ke Turki?" tanyanya antusias memperlihatkan foto-foto keindahan negara yang beribukota di Ankara itu.
Aku menggeleng dan membuang muka ke samping, kutarik tangan yang sedaritadi digengganggamnya. Tanpa basa-basi yang dirasa basi, aku mengajaknya pergi.
"Hidangan pencuci mulutnya belum diantar, Dek." Si Bandot Tua mencoba menahanku
"Mulut aku udah capek ngunyah, udah yuk pulang! Aku ngantuk, gatal badan aku pakai gaun kaya gini, ketek aku apalagi." Tanpa segan aku menggaruk-garuk ketiak yang terasa basah dan gatal karena gaun brukat hitam lengan panjang yang dikenakan terasa ngetat, sehingga kulit ini sulit bernapas.
Si Bandot Tua terkekeh, lalu ia menuruti permintaanku. Kuturunkan ujung gaun yang naik sedikit, usai itu kutenteng tas tangan silver yang ribet tapi harus aku pakai karena dibelikan khusus olehnya demi terciptanya makan malam romantis yang menurutku sadis ini.
Sebelum melangkah, Mas Fian menyodorkan lengannya agar bisa aku gamit. Aku memutar bola mata sejenak, karena benci sekali kurasa. LEBAY!
Mau tidak mau, aku menggamit lengannya. Berjalan bersama bagai sepasang suami istri yang harmonis dan bahagia.
sormin180 dan 6 lainnya memberi reputasi
7