- Beranda
- Stories from the Heart
Aku Mencintai Bandot Tua
...
TS
blackgaming
Aku Mencintai Bandot Tua
Aku Mencintai Bandot Tua


Spoiler for Update Chapter:
Chapter 1
"AYAH JAHAT, GAK PUNYA HATI!" Kuhentakkan kaki sebagai tanda perlawanan atas keputusan sepihak lelaki paruh baya yang egois, setelah itu aku segera berlalu meninggalkan ruang tengah di mana ayah dan ibu sedang duduk termangu dan lesu.
Pintu kamar kubanting dengan kencang, hingga menciptakan suara yang membahana dan tentu mengagetkan siapa saja yang berada di rumah ini. Rumah yang dahulu bak surga, kini berubah seperti neraka yang panas dan selalu membuat aku muak.
Tangisku luruh bersama dengan harapanku yang kandas karena keadaan yang tidak berpihak, kubenamkan wajah dalam bantal sehingga lengkingan sedu sedan yang tercipta dapat teredam dan hanya dapat didengar olehku saja.
Malam ini adalah malam terakhirku berstatus sebagai single, karena besok aku akan menikah dengan seorang pria yang sama sekali tidak aku kenal, apalagi aku cintai.
Pernikahan yang mendadak dan tiba-tiba ini membuat batinku terguncang, serasa dijatuhkan dari atas langit menimpa tanah menembus ke lapisan yang terakhir, sangat sakit dan merasa terhina. Karena lelaki itu bukan menikahi, tapi membeli.
Aku benci dengan takdir dan nasib, mengapa Tuhan memberi aku keluarga yang seperti ini?
Usiaku baru akan menginjak 19 tahun bulan Mei nanti, teman-temanku semua melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Aku apa? Malah menikah dengan bandot tua yang lebih pantas aku panggil dengan sebutan 'Om', karena usianya tidak jauh dari ayah.
Aku ingin berontak rasanya tak mungkin, pacarku si Bagas pun angkat tangan saat aku mengajaknya kimpoi lari. "Aku masih mau kuliah, kalau nikah nanti, kamu ... maksudku, kita mau makan apa? Dan siapa yang akan ngebiayain kuliah aku? Bunda aku pasti murka disangkanya aku ngehamilin kamu, duh aku gak sanggup. Maaf ya, Sayang!"
Dasar pengecut! Gak punya nyali! Kepentingan sendiri yang dia pikirin, janji suci yang selama ini dia ikrarkan ternyata cuma isapan jempol belaka. Aku benci Bagas, aku benci Ayah, aku benci si Bandot Tua yang bakalan jadi suamiku besok. Aku benci makhluk Tuhan yang berjenis kelamin lelaki, aku benciiiii!
Pernah aku coba bernego dengan Ayah tentang keputusan ini, aku coba membujuk beliau agar aku diizinkan untuk bekerja demi bisa menopang perekonomian keluarga yang mulai carut marut. Dan, daebak! Ayah menolak mentah-mentah niat mulia itu. Alhasil aku gondok dan mau tidak mau harus manut, tidak boleh tidak.
Dengan berat hati aku pun menurut, semuanya kulakukan semata-mata demi membahagiakan orang tua dan adik-adikku.
Calon suamiku, maksudku si Bandot Tua itu adalah seorang pengusaha yang bisa dibilang sukses, dia banyak menolong keluarga ini terutama dalam masalah keuangan. Usaha restoran ayah bangkrut setelah ibu ketahuan memiliki banyak hutang, hutang di bank, rentenir, beberapa tagihan kartu kredit dengan limit di masing-masing kartunya lumayan besar dan koperasi simpan pinjam.
Alfian Wijaya, si Bandot Tua yang besok akan menjadi suamiku itu adalah seorang pelanggan setia restoran Ayah, dia sering sekali memesan catering dan tumpeng apabila sedang ada event di perusahaannya.
Hubungan si Bandot Tua dengan Ayah sangat erat, maka sewaktu Ayah gulung tikar dan terpaksa menjual semua asetnya demi membayar hutang Ibu yang jumlahnya sampai ratusan juta, dia datang lalu menawarkan bantuan finansial yang jumlahnya tidak main-main, asalkan Ayah tidak menutup usahanya.
Ayah menolak mentah-mentah bantuan dari si Bandot Tua, beliau tidak mau punya hutang budi. Alhasil kami pun jatuh miskin, tinggal di rumah minimalis di pemukiman padat penduduk yang kumuh.
Tapi saat kami sudah melarat, Ayah tidak bisa lagi menolak apa yang diberikan oleh Bandot Tua tersebut. Sehingga hutang budi itu benar-benar tercipta, dan aku menjadi pelunasnya.
Ibu hanya bisa menangis dan meminta maaf, saat aku dan adik-adik menderita terkena imbasnya . Waktu itu, aku ingin sekali membencinya tapi aku tidak bisa.
Aku hanya bisa mengelus dada serta meratapi nasib yang malang ini, sering aku berpikir keras akankah kisahku bak sinetron ikan asin terbang? Berawal tragis tapi berakhir manis, ah entahlah! Cuma Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi nanti.
Aku merasa sepi di dalam kamar ini, padahal di luar sana sedang ramai. Banyak orang sedang mempersiapkan acara untuk besok. Saudara jauh, tetangga dan kerabat dekat berdatangan untuk membantu. Samar-samar kudengar suara tawa mereka, begitu lepas dan tanpa beban.
Aku tidak bersemangat dan masa bodoh dengan semua ritual yang harus dijalani sebelum pernikahan. Peduli amat dengan puasa dan juga tradisi pingit, aku bebas jalan dan nongkrong dengan teman-teman, Ayah dan Ibu tidak bisa melarang karena itu syarat sebelum aku mau menuruti permintaan mereka.
π€π€π€
Dalam kamar yang indah ini hatiku merasa terkoyak, wajah yang telah dipoles riasan tebal ini terasa bagai topeng badut saat aku lihat di cermin. Kebaya mewah nan cantik yang si Bandot Tua pesan khusus dari butik ternama pun kurasa gerah dan tidak nyaman, sama seperti perasaan yang bergejolak ini.
Telinga seketika terasa panas dan memerah saat MC memberitahu kalau romongan calon mempelai pria sudah tiba, perias pengantin yang tidak tahu perihal isi hati ini pun menepuk bahuku sembari bersorak gembira. Aku meresponnya dingin, cuma tersenyum kecut, sekecut ketek tukang becak yang baru selesai ngegenjot di tanjakan.
Wanita yang berperan sebagai MUA itu kembali mengecek riasan wajahku, usai sapu sana-sini senyumnya mengembang. "Perfect!" katanya.
Aku memandang wajah yang menurutku seperti pemain lenong yang akan tampil di panggung.
Kebaya modern putih, rambut disanggul yang dihiasi mahkota gold dan kembang goyangnya, dirasa bagai atribut pemain barongsai saat perayaan imlek.
Tok ... tok ... tok ....
Pintu kamar diketuk oleh seseorang yang hendak menjemputku, dia Vina, sepupuku.
"Mel, yuk ke depan!" ajaknya mengulurkan tangannya padaku.
Tanpa menjawab, aku meraih uluran tangannya dan berjalan menuju teras rumah yang dijadikan tempat untuk ijab kabul.
Kulihat sekilas wajah calon suamiku, ia tersenyum ramah tapi aku pura-pura tidak melihatnya.
"Kepada calon pengantin wanita kami persilahkan duduk di samping sang pangeran yang telah bersiap mengikrarkan janji suci di hadapan kita semua," ucap MC membuatku ingin muntah.
Semua orang kecuali aku tersenyum mendengar ucapan MC itu. 'Pangeran apaan? Pangeran kodok kali,' sungutku dalam hati.
Setelah melewati beberapa rangkaian prosesi maka tibalah saatnya pengucapan ijab kabul. Setelah dipandu oleh pak penghulu, maka si Bandot Tua itu dengan lantang mengucapkan kalimat sakral di depan semua orang yang hadir disini.
"Saya terima nikah dan kimpoinya Amelia Gentari Permadi binti Dodi Permadi dengan mas kimpoi satu set perhiasan emas seberat 50 gram dibayar tunai."
Para saksi, tamu undangan dan keluarga mengucap syukur karena prosesi utama berjalan dengan lancar dan sukses. Bagai tersengat listrik bertegangan tinggi saat mendengar penghulu dan semua orang berkata 'SAH', itu berarti per hari ini aku akan hidup dengan si Tua Bangka ini. Tidaaaaaak!
Mengapa aku sebut dia tua bangka? Itu karena usianya sudah 40 tahun, ia seorang perjaka tua alias bujang lapuk. Entah kenapa dia belum menikah sampai usianya setua itu, hanya Tuhan dan dia yang tahu.
Acara resepsi kami diadakan secara sederhana, aku malu kalau harus pesta meriah. Teman-teman sekolah, tidak ada satu pun yang aku undang, apa kata dunia seorang Amelia yang jadi rebutan cowok-cowok populer dan terkenal sebagai play girl di sekolah dulu tiba-tiba nikah muda, sama bandot tua lagi.
Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, lalu kemudian mengusirnya dari sisi ini. Sumpah aku muak, benci, dan enek harus duduk berdekatan di pelaminan dengannya.
Apalagi saat dia sok perhatian menawari aku mau makan atau tidak, ih benar-benar menyebalkan. Apalagi aku sempat melirik dengan ujung mata, dia sering mencuri pandang kepadaku, ingin rasanya aku tusuk matanya pakai gembang goyang yang menancap di sanggul palsu ini.
Saat duhur menjelang acara resepsi pun usai, aku dan dia dipersilahkan untuk masuk beristirahat. Si Bandot Tua sok manis, mengulurkan tangan berniat menuntunku. Tapi dengan tegas aku tolak, beralasan tidak kuat ingin buang air kecil, secepatnya aku ngacir duluan.
Sejenak aku berdiam diri di dalam kamar mandi, berjalan mondar-mandir dengan pakaian lengkap. Konyol memang, tapi semua ini aku lakukan agar alasanku tadi tidak sekadar hoax.
Hingga lima menit lamanya, aku pun keluar dan melangkah masuk ke dalam kamar pengantin. Segera aku kunci pintu, agar dia tidak masuk tiba-tiba di saat aku lagi buka baju.
Kuhempaskan tubuh di ranjang, menghela napas panjang memindai kamar ini. Mencebik dan merutuk, meski sia-sia tapi itu bisa membuatku lega dan merasa lebih baik.
Kemudian aku berdiri, sudah saatnya menanggalkan 'pakaian lenong' ini, aku ingin mandi dan istirahat dengan tenang dan damai.
Saat pakaian dan semua atribut tanggal, pintu diketuk. "Pasti itu si Batu alias Bandot Tua," sungutku geram.
Dengan wajah masam aku membuka pintu, tanpa menegurnya aku kembali masuk menyambar handuk kimono yang tergantung di paku. Tanpa menoleh kepada dia, aku bergegas pergi meninggalkannya.
Sesampainya didalam kamar mandi, aku segera membersihkan diri. Hampir 2 jam lamanya aku semedi didalam kamar mandi, karena kewalahan mengurai rambut setelah disasak tadi.
Setelah berhasil mengurai rambut yang kusut, aku pun segera membasuh seluruh tubuh. Segar rasanya, apalagi setelah keramas kepala ini jadi enteng sekali.
Di dalam kamar, aku pakai baju kebesaran emak-emak yaitu daster. Usai mengoleskan pelembab muka, aku pun langsung berbaring di atas spring bed yang empuk dan nyaman. Si Bandot Tua tidak ada di sini, membuatku sangat damai dan tenteram tentunya.
Namun ketika akan terlelap, pintu kamar kembali diketuk dan terdengar suara derap langkah si Bandot Tua memanggil namaku.
"Dek, ini Mas Fian tolong buka pintunya!"
Aarrrgghh!
Aku merutuk dalam hati, dengan wajah kesal segera kubuka kunci pintu. Setelah itu kembali ke formasi awal tadi.
Suara sepatunya membuat telinga ini sakit, dia menggantungkan jasnya di kastop dekat lemari pakaian.
Kuintip dengan mata yang pura-pura dipejamkan, dia sedang celingukan seperti sedang mencari sesuatu.
"Dek, bisa minta tolong ambilkan handuk?" Tangannya mengusap pundakku.
Tanpa menjawab aku bangun dan beranjak membuka lemari, untuk mengambilkan benda yang dia butuhkan.
'Uh beneran ya nih si Bandot Tua ini, ngeganggu ketenangan gue aja!' Kedua kalinya aku merutuk dalam hati.
"Makasih ya, Dek. Mas mandi dulu," ucapnya sok imut.
'Mandi aja sono, kaya gue nungguin lo aja dasar 'Batu' alias Bandot Tua.'
Aku tersenyum dan mengangguk, berusaha tidak menunjukkan rasa kesalku padanya, semuanya kulakukan demi keluarga.
Sepeninggal dia, aku pun pulas tertidur. Beberapa kali dia membangunkan aku untuk salat, tapi aku tak menggubrisnya. Aku beralasan aku sedang haid.
Selepas isya setelah selesai makan malam bersama, dia mencoba mengajakku bicara berdua di dalam kamar sebelum kami terlelap.
"Mas tahu, Dek Amel belum siap dengan pernikahan ini. Tapi mas minta, Dek Amel harus mulai belajar menerimanya ya," ucapnya pelan tapi tegas.
"Om Fian, eh ... Mas Fian jangan bicara kaya gitu, dengan aku bersedia menikah, itu artinya aku sudah menerima Mas Fian. Suka gak suka, toh aku gak punya pilihan."
"Alhamdulillah kalau begitu, mas lega dengarnya. Mudah-mudahan saja pernikahan kita ini bisa membawa kebaikan untuk kita dan diberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat ya, Dek."
"Aamiin," jawabku tampak penuh harap, padahal penuh rutukan.
Beberapa saat kemudian Mas Fian meraih dan mencium punggung tangan ini dengan lembut, rambutku ia usap perlahan. Tanpa menunggu izin, dia mendaratkan ciuman di kening, lalu turun ke pipi dan bibir.
Aku tidak memberi respon, bukan tidak bisa berciuman tapi aku merasa jijik ketika bibirnya menyentuh dan mamagut bibirku. Tiba-tiba ia melepaskan bibirnya dan menatap wajah ini.
"Kok diam, Dek? Kamu belum siap ya?"
"Eng-enggak, Mas. Aku gak tahu cara berciuman, aku bingung harus bagaimana," kilahku bohong. Padahal waktu pacaran dengan Bagas, sering aku berciuman alias baik.
"Maaf Mas Fian, aku belum bisa malam ini." Tanganku mendorong dada bidang itu pelan, menghentikan aksinya.
"Kenapa, Sayang?" Kata 'sayang' yang dia ucapkan barusan, benar-benar bikin aku gumoh, huweekk!
"Aku sedang ada tamu bulanan, Mas. Makanya tadi aku gak salat." Harap-harap cemas berharap ia percaya, dan tidak meraba apakah aku memakai pembalut atau tidak.
Ia tersenyum dan kemudian mengangguk. "Iya mas tahu, tadinya mas kepingin mesra-mesraan aja gitu." Kulihat ada gurat kecewa di wajahnya, tapi aku gak peduli yang penting aku berhasil-berhasil horeeee.
Itu artinya aku harus bersandiwara mendapat tamu bulanan selama seminggu lamanya, hal itu tidak membuatku aman tapi setidaknya aku bisa mengulur waktu.
Hari ini, adalah hari pernikahan kami yang kelima, dan sesuai dengan perjanjian awal aku akan meninggalkan rumah dan ikut bersama Mas Fian ke rumahnya.
Rasanya sangat berat aku berpamitan dengan orang tua dan kedua adikku, air mata ini tumpah. Aku tidak kuasa harus berpisah dengan mereka.
Walaupun aku bisa setiap saat bertemu dengan mereka, karena rumah Mas Fian dan orang tuaku hanya berjarak kurang lebih 100km. Namun, tetap saja itu suatu hal yang membuatku sangat bersedih.
"Ingat ya, Nak, pesan ayah! Harus hormat dan patuh pada suami, ayah selalu berdoa yang terbaik untukmu," bisik Ayah ketika memelukku.
Kujawab petuah Ayah dengan anggukan, lelaki paruh baya itu tahu betul seperti apa perasaanku saat ini. Tapi, Ayah tidak mau tahu dan terkesan tidak peduli. Aku merasa dijual pada si Bandot Tua, diri ini tak ubahnya seperti budak pemuas nafsu yang dipersembahkan untuk pejabat pada masa kerajaan dulu.
Aku dan mas Fian memasuki mobil, tak kuasa menahan tangis saat besi yang mewah yang ditumpangi meninggalkan rumah yang selama kurang lebih tiga tahun ini aku tempati.
Aku menangis sesegukan didalam mobil, lambaian tangan mereka tidak bisa hilang dari ingatan.
Mas Fian yang duduk di sebelah memeluk erat, hal itu tidak berarti apa-apa. Tidak juga bisa membuatku luluh untuk mencintainya.
"Jangan sedih lagi, Dek, setiap saat Adek ingin ke rumah Ayah bilang saja, mas akan antar."
Aku mengangguk dan terus menangis, di sepanjang perjalanan menuju rumah mas Fian.
Lebih satu jam kemudian, kami tiba di rumah mewah yang begitu asri dan nyaman. Aku dan mas Fian turun dari mobil, Pak Zaki, sang supir segera membuka bagasi dan menurunkan koper-koper.
"Asslamualaikum," ucap Fian ketika memasuki rumahnya.
"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya bersanggul, dengan wajah menor yang sedang asik membaca majalah di sofa ruang tengah.
Wanita bergaya bak ibu sosialita itu adalah ibu mertuaku, Ibu Siska namanya. Dari raut wajahnya sepertinya ia tidak suka padaku, terbukti pada saat pernikahan dulu dan sekarang tatapannya tetap sama, sinis.
Ah, tapi aku tidak mau ambil pusing. Bodo amat lah, toh aku juga nikah karena terpaksa. Seandainya wanita itu mengusirku suatu hari nanti, hal itu akan jadi senjata ampuh untuk bisa lepas dari belenggu pernikahan ini.
Mas Fian mencium punggung tangan ibunya dengan takzim, kemudian ia memeluknya dengan penuh rasa sayang.
Aku bersikap sama, mencium tangan mertuaku yang sebelumnya menatapku dari atas sampai bawah, seperti aneh melihatku. Padahal jelas-jelas dia yang menurutku aneh.
Kami berbincang sebentar dengan Bu Siska, setelah itu Mas Fian mengajakku untuk beristirahat di kamarnya.
Tangan ini dituntun masuk, menuju ruangan pribadi yang terletak di dekat ruang tengah. Sesampainya di dalam, aku takjub dengan kamar tidurnya, begitu nyaman dan wangi sekali. Mataku berkeliling menatap ke setiap sudut ruangan yang dipenuhi dengan perabotan modern dan tentunya mahal.
Dahulu, kehidupanku juga bisa dibilang mampu. Tapi rumah masa kecilku tidak semewah rumah Mas Fian, haruskah aku merasa beruntung karena mempunyai suami tajir?
"Dek, lemari pakaian yang tiga pintu itu baru. Mas sengaja belikan untuk menyimpan semua pakaianmu. Karena lemari Mas sudah penuh, hehe."
"I-iya Mas, terima kasih." Aku merasa kikuk dan canggung di rumah mewah ini.
"Mas, aku mau mandi dan ganti baju dulu ya," ucapku memecahkan kecanggungan dengannya.
Mas Fian mengangguk dan mengeret koper kami kedekat lemari pakaian. Segera aku membuka dan mengambil pakaian santai juga handuk, membawanya ke kamar mandi yang lagi-lagi membuat aku takjub dibuatnya.
Usai mandi, aku duduk di tepi ranjang. Menggosok rambut yang basah dengan handuk kecil. Mas Fian tidak mau jauh dariku, ia duduk menemani dan menawarkan diri untuk membantu mengeringkan mahkota indah ini.
Jujur, aku merasa risih dan tidak nyaman dengan perlakuannya. Bulu romaku merinding saat wajahnya mendekat, dari pantulan cermin aku lihat matanya terpejam saat menghidu bau harum yang menguar dari rambutku. Embusan napasnya membuat tengkuk meremang, adegan tidak senonoh pun terbayang dalam benak.
Tidak tahan dengan perasaan jijik yang menguasai, aku bangkit dan menyibukkan diri menyusun pakaian dari dalam koper ke lemari.
"Bibik saja nanti yang ngerjain, Dek," katanya sembari menatapku lekat.
Aku menggeleng dan tersenyum sok manis. "Aku bisa sendiri, Mas. Gak puas kalau barang pribadi, orang lain yang ngerjain."
Mas Fian mengangguk, lama kelamaan dia merasa bosan melihatku tak memberikan kesempatan sedikit pun padanya untuk menghabiskan waktu berduaan, dia berpamitan untuk keluar kamar setelah sebelumnya bertanya aku mau makan apa saat makan malam nanti.
"Apa aja, aku makan, Mas."
"Baik, mas keluar ya."
"Iya."
Sepeninggal Mas Fian, aku berhenti bersandiwara. Kuhempaskan bokong ini, melepas lelah setelah berusaha lolos dari cengkeraman singa tua, hehe.
Saat jam makan malam tiba, aku duduk di depan meja makan malam yang mewah dan indah. Berbagai macam menu masakan lezat tersaji di atasnya, lengkap dengan makanan penutup dan buah-buahan.
Diubah oleh blackgaming 07-03-2021 14:59
sormin180 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
21K
51
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThreadβ’52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
blackgaming
#2
Chapter 3
Kupejamkan mata, berharap semua rasa sedihku hilang tapi tak bisa, air mata ini terus saja keluar membasahi pipi. Lama kelamaan, rasa lapar sudah berubah menjadi mual, sekujur tubuh sudah mengeluarkan keringat dingin, tangan dan kakiku gemetar.
Tapi aku tetap bergeming, akan kutahan sampai besok. Saat subuh tiba ketika semua orang masih berada di dalam kamarnya aku akan makan.
Beberapa jam kemudian kudengar suara pintu kamar dibuka lalu kemudian ditutup kembali, sepertinya itu Mas Fian. Aku memejamkan mata berpura-pura tidur.
Dia duduk di sampingku, tangannya membelai rambut, kemudian mengusap pipi berusaha untuk membangunkanku.
"Dek, bangun!"
Aku masih tetap diam seolah-olah aku sudah terlelap, kemudian ia menepuk-nepuk pelan tanganku.
"Dek! Bangun dong sebentar!"
Aku mengerjap dan membuka mata perlahan, penasaran ingin tahu mau apa dia membangunkanku.
"Apa?" jawabku dengan nada masih terdengar kesal.
Kira-kira apa yang mau Mas Fian bicarain sama aku?
π€π€π€
"Dek Amel belum makan, makan dulu yuk!"
"Aku gak lapar."
"Bik Nani bilang, katanya Dek Amel belum makan sedari siang tadi. Jangan begitu Dek, kalau gak makan nanti sakit."
"Biarin aja aku sakit, toh percuma juga aku hidup di rumah ini. Berasa jadi boneka yang diatur, gak boleh begini, gak boleh begitu."
"Mas minta maaf, kalau sikap dan perkataan Mas tadi terlalu keras padamu. Mas juga minta maaf atas sikap Ibu padamu. Sekarang makan dulu, yuk!"
"Enggak mau Mas, aku males ketemu Ibu. Nanti Ibu pasti bakalan ngatain aku ini itu."
"Enggak akan!"
"Gak mau, titik!"
"Sudah dong, Dek! Masalah kecil begini jangan dibesar-besarkan, lagian Ibu gak ada. Beliau lagi pergi ke rumah Devi, katanya akan menginap di rumah Devi beberapa hari."
Devi adalah adik Mas Fian yang lain, kakaknya Desi, Devi sudah menikah dan tinggal di luar kota.
'Pasti tu si Nenek Gambreng mau foya-foya habis dapet duit hasil malak tiga juta. Tahu dia kagak ada, gue keluar dari tadi. Lapar gak ketahan, ckck.'
Mendengar hal itu hatiku langsung riang gembira dan berbunga-bunga, akhirnya untuk beberapa hari ke depan aku terbebas dari emak judes itu.
Aku bangkit dari peraduan dan mengiyakan ajakan Mas Fian untuk makan malam.
Mas Fian tersenyum senang, karena akhirnya aku bersedia untuk makan. Kami berjalan menuju dapur beriringan, sesampainya di ruang makan ia menarikkan kursi untukku. Sungguh romantis dan manis, jika yang melakukan hal itu adalah sang pujaan hati.
Begitu pula saat aku sudah duduk, ia sibuk menyiduk nasi dan menuangkannya ke dalam piring, lengkap dengan sayur dan lauk.
"Mau Mas suapin?"
Aku terkejut bukan main, si Bandot Tua benar-benar sok romantis. Idih-idih, dikiranya aku bakalan tersanjung kali. Boro-boro ah, yang ada kuping ini terasa gatal dibuatnya.
"Kok ngelamun, Dek?"
"Eh, eng-nggak, kok. Ini mau makan, habis baca doa dalam hati." Jago kali aku ngeles, haha.
Tanpa diduga, sendok yang sedang kupegang diambilnya. "Mas suapin aja, ya? Supaya Dek Amel makannya banyak," ucapnya sambil menodongkan sesendok nasi lengkap ke depan mulut ini.
"Gak usah Mas, aku bisa makan sendiri," tolakku, sumpah tingkah si Bandot Tua bikin bergidik ngeri. Lebih ngeri dari ngelihat siluman kolor ijo.
Aku tidak terenyuh dengan sikap manisnya. Aku benar-benar tidak ada rasa sama dia, jadi semua sikapnya itu terlihat lebay di mataku.
"Ya udah kalau gitu kita makan sepiring berdua ya, supaya lebih romantis, hehe ... waktu Mas dengar Dek Amel belum makan, bikin nafsu makan Mas hilang. Mas juga belum makan."
'Gileee ckckck ini Bandot sok abegeh banget gayanya, ih geli banget gue dengernya. Ya Allah, ampuni dosa hamba yang selalu menghina lelaki di sampingku ini, tapi memang tingkah lakunya bikin ilfeel sih."
Aku tidak menjawab ide songongnya, segera aku ambil sendok sebuah lagi. Kami pun makan malam bersama sepiring berdua, seperti lagu dangdut legendaris yang dinyanyikan IDA LAILA. Jadul banget ya selera musik aku? Jangan salahin apalagi ngetawain, Mak othornya gak gahuls, gak doyan K-pop, wkwkwk.
Seandainya aku punya rasa cinta padanya, sumpah makan malam kali ini sungguh sangat romantis.
Si Bandot Tua makan dengan lahapnya, sesekali ia mencuri pandang kepadaku. Pernah sekali kutangkap netranya fokus pada buah dada yang ranum karena kerah kaus yang kukenakan rendah, pikiran ini jadi kalut.
Aku jadi membayangkan hal mengerikan, feelingku setelah makan malam ini, pastinya dia akan meminta 'jatah' lagi. Dan, itu artinya aku kudu, wajib, harus, bersiap diri untuk menahan rasa jijik saat tubuhku disentuh olehnya.
Reflek aku bergidik, bulu-bulu yang ada meremang seketika seperti sedang didekati oleh makhluk astral.
Cerita selanjutnya usai makan malam pun sesuai dengan terkaanku, si Bandot Tua kembali memberikan kode akan memberikan nafkah batin.
Begitu sampai di dalam kamar, ia mematikan lampu utama dan menyalakan LED dengan pencahayaan redup remang, kaya di warung esek-esek gitu, hehe.
Dengan remote kecil di tangan, ia mengatur lampu-lampu canggih yang tertanam di langit-langit yang mewah nan indah itu.
Aku yang berpamitan untuk menggosok gigi dan mencuci muka, pun sejenak duduk di atas closet. Jantungku lagi-lagi bertalu kencang, kalau kata Ahmad Dani sih di lagunya, "Berdetaknya lebih cepat, seperti genderang mau perang.", otak ini berpikir keras dengan cara apa aku bisa menolak keinginan Mas Fian.
Jemari saling bertautan satu sama lain, rasa tegang yang menyergap diri sungguh hebat sehingga suhu tubuh memanas tapi menggigil, alias meriang binti panas dingin.
Lamunanku buyar saat kaca pintu kamar mandi diketuk tiga kali, aku terkesiap dan akhirnya memutuskan untuk pasrah. Usai menggosok gigi, segera aku keluar sampai malas untuk cuci muka.
Langkahku gontai mendekati peraduan, Mas Fian yang awalnya sedang menonton televisi di sofabed pun bangkit. Sosoknya yang mendekat, membuat raga ini semakin ketakutan. Ingin sekali aku berkata jujur, tapi takut dosa.
Lagi-lagi karena takut dosa, aku kembali mengorbankan diri.
Aku bergeming dan memejamkan mata, saat bulu-bulu halus di dagu dan pipi samping menusuk lembut leherku. Embusan napasnya memburu, aku bisa rasakan itu.
Kedua tangannya menyelusup melingkar di pinggang, suara baritonya rendah pelan berbisik di telinga ini. "I love you," katanya.
Ungkapan cintanya tidak kurespon, tapi walau begitu ia tidak merasa terganggu. Tangannya menarik dada ini masuk hingga tubuh kami rapat, tiada lagi jarak. Sekuat tenaga aku tahan air mata, saat merasakan bagian bawah kaus ini ia singkap ke atas.
Ia mencumbui dengan mesra dan lemah lembut, aku tetap diam saja. Entah ia merasakan sikap dinginku atau tidak, aku tidak peduli. Yang penting buatku hanya menunaikan kewajiban seorang istri.
Setiap sentuhan dari bibir dan tangannya yang lembut di tubuhku, tidak membuat gairahku naik. Segala kebaikan juga perhatiannya, juga tidak dapat meluluhkan hati ini.
Sampai detik ini aku belum mencintainya, mungkin tidak akan bisa mencintainya. Karena pernikahan ini kulakukan dengan terpaksa. Aku tidak ubahnya bagai agunan, yang dilelang karena hutang.
π€π€π€
Hari-hari yang kulalui tanpa si Nenek Gambreng sangat tenang dan tenteram, tapi aku juga harus mengelus dada untuk bersabar menghadapi sikap si Bandot Tua yang sangat pembersih dan teratur.
Segala sesuatu harus bersih, higienis, tersimpan rapi di tempatnya. Aku yang ceroboh dan seenaknya, pasti akan selalu kena ocehannya setiap hari.
Entah dari almarhum ayahnya atau si Nenek Gambreng yang judes itu, ia mewarisi sifat perfectionist yang menyebalkan.
"Dek, kenapa sandal jepitnya gak disusun rapi?" Saat aku sudah gak tahan masuk ke dalam kamar mandi, karena kebelet sakit perut. Sandal jepit yang wajib dikenakan di dalam rumah, begitu saja terhambur di di atas keset.
"Dek, kalau nonton malam, tivinya ditimer supaya gak boros listrik dan menyala sampai pagi. Dan remotenya jangan ditaro di mana aja, apalagi tercecer di sofa, kalau kedudukan gimana? Bisa patah, rusak pasti itu."
"Dek, ini kapas bekas pakainya kok nyelip di ujung rak akrilik tempat lipstik kamu? Ini kotor, Dek. Jangan jorok dong, Dek! Belajar bersih, supaya rapi dan enak dilihat."
"Dek, lihat deh sini! Botol kosong samponya, masih ngegeletak di atas wastafel, padahal tempat sampah ada di bawah wastafel, emang gak bisa ya lempar bentar itu botol ke tempat sampah?"
"Dek, kursi putarnya dihadapin lagi masuk. Jangan kaya gitu, jadinya gak rapi."
Dan, masih banyak lagi komplainan lainnya. Sehingga membuat aku selalu naik pitam tidak terima, adu mulut, berujung perselisihan yang sengit.
Meskipun di ujung perdebatan aku selalu menang dan Mas Fian minta maaf, tapi tetap saja aku muak dengan segala peraturan yang saklek itu.
"Udah, Dek! Jangan ngambek gitu, Mas kan ngasih tahu demi kebaikan Dek Amel juga."
Aku yang sedang duduk di sofa sembari melipat kedua tangan di depan dada, pun membuang muka saat si Bandot Tua mendekati. Cekcok yang terjadi beberapa saat yang lalu, gara-gara aku lupa menaruh BH kotor ke dalam keranjang cucian.
"Dek, ini loh BHnya," teriaknya sembari keluar menunjukkan dalaman berbusa warna merah cabai, terburai.
Wajahku yang sedang dipoles bedak pun, seketika merah padam. Malu bukan main, saat perkakas rahasia diumbar di depan pembaca KBM dan JOYLADA oleh si Bandot Tua itu.
Aku yang murka segera bangkit, menyambar benda keramat tersebut dan melemparkannya ke dalam keranjang cucian kotor di sudut ruangan dekat pintu kamar mandi.
"Ngapain sih harus dikiwir-kiwir? Bikin malu aja, emang gak bisa ya Mas lemparin aja ke keranjang itu? Tinggal buka pintu, tongolin muka dikit terus masukin deh kutangnya." Aku muntab, tak lagi kalem seperti sebelum-sebelumnya.
Si Bandot Tua yang merasa bersalah, pun berusaha mencegah langkahku yang hendak berlalu keluar meski tubuhnya masih basah dengan rambut penuh busa sampo.
Aku menepis tangannya kasar, tak ada lagi mimik tidak enak. Tindakannya kali ini, sungguh di luar toleransi. Amit-amit jabang bayi, kok ada ya manusia macam si Bandot Tua itu!
"Mas tadi cuma nunjukkin, kalau Dekβ"
"Kalau Dek Amel ceroboh dan jorok? Mas komplain itu udah sering, tinggal bilang aja nanti saat habis mandi. Ngasih tau baik-baik kalau tadi Mas nemu kutang ngegantung di kamar mandi, lain kali jangan kaya gitu ya, Dek. Bisa kali bilang kaya gitu? Kan enak didengernya," sungutku mendelik padanya.
Akhirnya kutinggalkan dia yang melongo, bertelanjang dada. Aksi ngambek pun berlanjut hingga di meja makan, aku bersikap tak ramah padanya. Lagian jujur ya, aku enek loh sandiwara pura-pura baik sama dia. Gimana sih ya rasanya itu? Ah enek banget pokoknya mah.
Setelah makan malam, aku duduk santai di sofa besar empuk yang ada di ruang tengah. Saat itu, si Bandot Tua kembali mendekati.
"Jangan ngomong terus, sih!
"Iya, maafin Mas, ya!"
"Halah, kemarin-kemarin juga gitu, abis minta maaf besok lusa gitu lagi. Komplain mulu bisanya."
"Iya, Mas janji gak akan bersikap kaya tadi lagi. Mas akan kasih tau Dek Amel baik-baik, kalau nemuin hal yang gak sesuai."
"Au ah, bosen."
Si Bandot Tua menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, lalu kemudian merengkuh pundak ini. Sekilas ia mengecup pipi, dan kembali merajuk.
"Sebagai permintaan maaf, gimana kalau kita makan malam di luar?"
Aku menggeleng tegas.
"Kita ke mal, jalan-jalan, shoping. Katanya Dek Amel kepingin beli handphone baru."
Kepala ini aku gelengkan kembali.
"Ya udah, kita ke rumah Ayah."
"Baru kemarin kita ke sana, lagian ini udah lewat isya, sampai sana mau ngapain udah larut? Nyape-nyapein badan."
"Ya udah, iya. Terus Mas harus gimana? Supaya Dek Amel mau maafin Mas."
Aku memutar bola mata, tiba-tiba ide cemerlang datang. Senyuman mengulas, saat mulut ini mulai terbuka untuk bicara.
"Ada satu permintaan yang harus Mas Fian penuhi!"
"Apa? Katakan!"
"Tapi janji dulu, Mas harus mengabulkannya!"
"Kalau permintaannya masuk akal, insya Allah Mas akan sanggupi."
"Aku mau kuliah," pintaku mantap.
Wajah si Bandot Tua pun seketika kuyu, sepertinya dia gak suka dengan permintaan sederhana itu.
"Kenapa?" tanyaku sinis.
"Gak ada permintaan lain apa?"
Alih-alih menjawab, si Bandot Tua malah bangkit dan berlalu meninggalkan aku sendiri di ruang tengah.
"Mas! Mas ...."
"Aaaaaaargh," gumamku kesal.
Kulihat punggung kekar itu menjauh, menuju teras. Tidak lama samar-samar kudengar, suara Pak Ahmad -security- yang bekerja di rumah ini, berbincang dengan si Bandot Tua.
Aku yang kesal dan gondok, pun hanya bisa mencebik sendiri, tontonan seru di layar televisi menjadi garing terasa.
Apalagi waktu suara gelak tawa si Bandot dan Pak Ahmad terdengar, benar-benar bikin kepalaku pusing.
Kuraih remote dan kumatikan televisi layar datar berukuran jumbo di hadapan, dengan gontai aku masuk ke kamar. Dan merebahkan diri, dalam sekejap mata ini terpejam.
Aku mengerjap saat tangan si Bandot Tua melingkar di pinggang, sudah jadi kebiasaan memang setiap tidur dia harus bersentuhan denganku.
Si Bandot sangat suka tidur dengan posisi memeluk aku dari belakang, katanya hangat dan nyaman. Awalnya aku keberatan dan risih, tapi lama kelamaan terbiasa.
Dalam keadaan baik atau marahan, posisi tidur kami selalu begini.
π€π€π€
Pagi ini, aku enggan beranjak dari tempat tidur. Tamu bulanan yang bertandang, membuat tubuh ini berat untuk bangun walau sekadar hanya menemani suami yang menyebalkan itu sarapan pagi.
Tingkah si Bandot Tua semalam, tidak bisa aku maafkan. Pokoknya aku mau kuliah, titik!
Aku akan cari cara, supaya bisa diizinkan kuliah. Lagian aneh, istri mau belajar kok gak boleh. Amit-amit kan?
Kayanya dia takut, aku yang masih unyu-unyu dan cantik ini ada yang naksir. Secara di lingkungan kampus, akan banyak mahasiswa muda yang tampan, muda, juga keren yang aku temui. Jelas wajar dia merasa gelisah memberi izin, dia kalah telak karena usianya sudah banyak.
Ah, picik memang pola pikir si Bandot Tua ini. Gak mau rugi, secara aku ini kan dibeli. Otomatis dia ngerasa aku miliknya secara utuh, sehingga aku bisa diperlakukan seenak dia. Gak boleh bergaul dan mengenal dunia luar, cukup berkutat di dapur, sumur, dan kasur.
"Aku harus merengek lagi," gumamku.
Aku segera bangkit, dan merapikan rambut ini. Kulihat si Bandot sedang melipat sejadah, usai melaksanakan salat subuh.
Aku ngacir sebentar ke kamar mandi, untuk cuci muka dan gosok gigi. Jangan sampai saat aku bicara nanti, menimbulkan bau got yang berasal dari mulut ini. Nanti si Bandot bukannya kasih izin, malah malah ngasih materi kuliah subuh.
Lima menit kemudian, wajah dan mulut ini sudah segar. Bergegas aku mendekati si Bandot yang sedang duduk di kursi kerjanya, berkutat dengan leptop di atas meja.
"Mas," panggilku.
Jemari si Bandot yang sedang menari-nari di atas keyboard pun berhenti, ia memutar kursi yang sedang didudukinya. Mendongak menatapku lekat.
"Iya, Dek. Ada apa?"
"Mau bahas soal semalam," kataku menggantung.
"Yang mana? Soal BH?"
"Bukan, bukan masalah itu, Mas."
"Yang mana, dong?" tanyanya berlagak bego.
"Soal kuliah."
Dengan wajah datar, ia memutar kembali kursinya, kembali mengurusi pekerjaannya di layar leptop.
"Mas!" bentakku.
Si Bandot bergeming. Benar-benar menjengkelkan.
"Mas, boleh gak aku kuliah?"
"Dek, Mas lagi banyak kerjaan. Ini lagi ngerevisi materi untuk meeting."
"Mas jahat!" Aku berlalu, kembali beranjak ke tempat tidur.
"Lihat aja, aku bakalan mogok makan kalau sampai Mas kaya gini terus," isakku meraung.
Bukannya menjawab atau menanggapi ancamanku, si Bandot malah terus fokus pada layar leptopnya. Bikin emosi jiwa memang tingkahnya itu manusia.
'Bandot Tua i hate you!'
sormin180 dan 5 lainnya memberi reputasi
6