- Beranda
- Stories from the Heart
Mantan Gak Ada Akhlak
...
TS
blackgaming
Mantan Gak Ada Akhlak
Mantan Gak Ada Akhlak
Spoiler for Update Chapter:
Chapter 1
"Eh, eh, Bos baru kita datang! Siap-siap Pak Mahnin mau ke sini, touch up Sis!"
"Lipstik gue gimana? Bibir? Oke?"
"Cakep, cakep kayak makan cabe sekebon!"
Suara berisik dan grasak grusuk menyapa telingaku siang ini. Kulirik sekilas kerumunan para karyawati yang siap-siap ambil peranan sebagai penggoda ulung.
Aku menggelengkan kepala malas, kusesali pilihan hidupku siang ini untuk makan di kantin. Seharusnya aku nggak tergiur ajakan Ancha dan berdiam saja di mushola, daripada harus bertemu bos baru yang merupakan mantan kekasihku itu.
Lagi pula, aneh banget, seorang Mahnin Atlanta Fatah datang ke tempat seramai ini. Perasaan dulu enggak gitu, apa dia sudah berubah?
He ... sudahlah.
'Woy! Anya fokus! Dia bukan lagi urusanmu, fokus Anya!'
Kurapalkan doa agar terhindar dari gangguan mantan bernama Mahnin.
Namun, mungkin karena aku banyak dosa, akhirnya doaku itu tak terkabul.
Tak berapa lama dari terucapnya doa, Mahnin datang memasuki kantin. Langkahnya yang tegap membuat para mata menatap tak berkedip dan itu membuatku tak nyaman.
Tanpa menunggu lagi, aku langsung menyantap makan siangku agar setelah dia duduk, makananku habis dan kami tak usah bertemu.
"Lihat! Lihat! Lo bayangin deh, tubuh roti sobek di balik kemeja Pak Mahnin, kira-kira six pack atau eight pack?"
"Gila loh, delapan mana ada?"
"Ih, ada! Buktinya Pak Mahnin, gue yakin dia rajin fitnes. Kira-kira ukuran celananya nomor berapa, ya?"
"Celana dalam apa luar, nih?"
Haciw! Aku sontak bersin seraya menoleh ke belakang, tak kusangka obrolan para cewek semesum itu. Tetapi, siapalah aku bagi mereka, melihat pelototanku, empat staf HRD itu malah semakin sibuk bergosip.
"Cih! Geje banget! Dasar cewek!" komentarku diam-diam seraya memalingkan muka kembali menatap mie kocok.
Heran, jadi cewek kok, enggak ada akhlak! Membuat selera makanku menguap saja.
Apa semua cewek di zaman sekarang senekat itu?
"Apanya yang geje, Nya?" tanya Acha yang masih sibuk dengan pentol bakso di mangkoknya.
Aku menghela napas berat mendengar kasak-kusuk yang semakin menggila.
"Enggak ada Cha, cuman ... ah gak penting, ayo Cha, buruan makannya! Gue lagi males di kantin, nih," sahutku mengalihkan. Bete.
"Kenapa? Karena Pak Mahnin, ya? Lo, kenapa sih, doi kan ganteng, Nya?" tanya Ancha menautkan alisnya.
Aku menggigit bibir. Benar juga, Ancha kan enggak tahu, kalau aku pernah menjalin hubungan malah mau menikah dengan bosnya yang baru masuk hari ini itu.
"Berisik! Buruan makan ajalah, kalau enggak gue gak jadi traktir!" ancamku berpura-pura.
Ancha membalasku dengan memeletkan lidah tapi tak urung dia juga memberikan kode 'oke', tanpa banyak bertanya lagi dia langsung bergerak cepat menghabiskan pentol baksonya yang tinggal lima biji. Mungkin dia takut kalau aku benar-benar nggak jadi mentraktirnya.
Tuk. Tuk. Tuk.
"Boleh saya duduk, di sini?"
Ketukan di meja berhasil membuatku mendongak begitu pun Ancha. Mataku membulat, melihat Mahnin sudah berdiri seraya menunjuk bangku kosong yang tepat berada di depanku.
Hatiku bergetar.
Ngapain sih, dia ada di depanku?
"Di sini penuh Pak, tuh, di barisan cewek itu banyak," tolakku langsung. Kutunjuk barisan pemuja Mahnin dengan nada ketus, membuat beberapa orang memperhatikan tingkahku.
Baiklah, memang aku sedang sulit belajar profesional sekarang. Bagaimana pun bos baru di depanku ini, berhasil membuka luka lama yang sudah aku kubur selama lima tahun lamanya.
Melihatnya di depanku, seolah membangkitkan kenangan di mana Mahnin meninggalkanku di acara lamaran lima tahun lalu.
Pria yang berjanji datang ke rumah itu menghilang tanpa kepastian dan kata maaf. Semua mengambang, seperti sampah di kali Citarum, tak berharga. Tanpa sempat kukenalkan pada Ibu atau pun Bapak, dia sudah memutuskanku secara sepihak.
"Jadi, saya enggak boleh duduk di sini?" tanya Mahnin seduktif. Sepasang bola mata coklatnya memancarkan sorot mata berbeda ketika menatapku.
"Boleh, tapi masih banyak yang kosong. Di sini sempit," jawabku jutek.
Aku memalingkan muka, tak kupungkiri jantungku berdegup tak tenang dan jiwaku ikut meradang.
"Oke, baiklah. Saya di sana saja," jawabnya lirih seraya menuju ke barisan para karyawati yang mulai heboh.
"Sial!" dengusku kesal sembari menambahkan dua sendok cabe ke dalam mangkuk mie kocok milikku.
Biasanya kalau lagi situasi kayak gini, sambel emang paling tepat jadi pelarian. Lagi pula, kenapa harus dia sih bos baruku? Apa spesies pria di muka bumi ini sudah berkurang? Tragis.
(***)
"Vanya Kaliandra Putri, berumur 28 tahun. Lulusan terbaik dan pernah menjadi karyawan teladan. Bagus juga, nilai KPI (Key Performance Indicator) kamu. Oh iya, satu lagi status ... single? Benar single, kan?"
Aku terpaksa menganggukkan kepala ketika Mahnin membaca profilku secara lengkap.
Entah apa maksudnya, si bos baru itu tiba-tiba saja memanggil kami satu-persatu selepas istirahat siang itu.
Dia sengaja mengundang staf ke ruangannya dengan dalih ingin tahu lebih dalam mengenai para stafnya, katanya begitu.
Nahas, sekarang adalah giliranku. Mantan tunangan yang ia tinggalkan tanpa kata 'maaf'.
Dendam, hati ini jadinya. Akan tetapi, demi asas profesionalitas aku harus berusaha bertingkah tak mengenalnya. Sampai dia sendiri yang memugar kisah lama kami, karena aku lebih baik tak pernah memugarnya. Walau hati ini teramat benci.
"Jadi kamu belum menikah?" tanya Mahnin lagi. Dia menyimpan map biru berisi biodata di atas meja. Mendongakkan kepala, menatapku yang sedang duduk tegang di depannya.
"Iya, belum."
'Semua karena kamu, Mahnin! Kamu yang bikin aku nggak bisa hubungan!' sambungku dalam hati.
"Oke, jadi kamu masih free ya?"
"Maksud Pak Mahnin?" Aku menaikkan satu alis, mendadak dadaku panas dan tenggorokanku serasa kering.
"Ya, barangkali kalau kamu sudah menikah, saya bisa mempertimbangkan status cuti kehamilan, melahirkan dan kerja kamu, misalnya. Benar, kan?"
"Iya, benar."
Baiklah, aku mengalah. Aku masih butuh pekerjaan. Mengajak bertengkar seorang bos bukan saatnya.
"Lalu, kenapa kamu belum menikah? Apa ada alasan lain?"
Kurang ajar! Apa dia sengaja bertanya begitu? Mau meledek, hah?
Pelan kukepalkan tanganku, merasakan degupan jantung yang tak beraturan.
"Maaf, apa boleh saya tidak menjawab? Lagian, tidak ada urusannya kan, dengan pekerjaan?"
"Ada. Saya ingin tahu tentang kamu. Semua tentangmu, Nona Anya. Apa saya salah?"
Aku tersentak. Menatap matanya lurus, dapat kulihat kilatan aneh dalam mata Mahnin. Dia seolah ... rindu?
Tidak! Tidak! Itu khayalanku saja. Ini aneh, aku merasa janggal dengan semua tingkahnya, karena bagiku dia sudah mati.
"Saudari Anya, apa saya salah?" ulangnya.
"Iya salah. Bukankah, hal itu terlalu dalam untuk pertanyaan seorang bos pada stafnya? Bagaimana kalau stafnya salah paham?" serangku.
Dia tak langsung menjawab, matanya menatapku lama sampai aku merasa risi dan sontak berdehem.
Tampaknya Mahnin hapal sekali sikapku jika tidak suka, dia pun merubah posisi, menarik tubuhnya menjauh dan dengan santainya dia bersandar ke kursi.
"Oke, baiklah. Saya hanya ingin memastikan. Ya sudah, kamu silahkan keluar, saya sudah selesai bertanya-tanya tentang kamu," jawabnya seraya menunjukkan seringai.
See? What? Hanya itu! Apa dia masih pura-pura lupa bahwa dulu dia pernah menyakitiku.
Sadis!
"Baiklah, Pak, kalau begitu saya permisi dulu," pamitku.
Tanpa basa-basi aku pun langsung berdiri dan membalikkan badan melangkah ke arah pintu.
Mungkin memang benar dia ingin melupakan hubungan kami. Namanya juga mantan, biar kata Bos tetap saja mantan. Bos tapi mantan, ah, ruwet.
Jadi, untuk apa berharap dia masih mengungkit itu? Poor, Anya!
Namun, belum ada lima langkah aku berjalan. Suara menyebalkan milik Mahnin kembali terdengar.
"Anya!" panggilnya berat.
Reflek kakiku berhenti, lalu menolehkan kepala ke arahnya.
"Sore nanti, kalau kamu nggak bawa kendaraan dan ojol susah, kamu bisa nebeng sama saya karena kita searah," ucapnya seraya tersenyum.
Sejenak aku terkesiap mendengar ucapan Mahnin.
Apa nebeng? Apa dia gila? Aku mantan yang disakitinya? Halo!
Tadinya, mulut ini rasanya ingin langsung mengumpat karena tawaran bodoh Mahnin tapi sepertinya itu berlebihan.
"Ma-Maksudnya Pak Mahnin ngajak pulang bareng ini apa?" tanyaku terdengar ketus.
"Enggak ada maksud apa-apa. Saya hanya ingin bertindak baik sama tetangga. Fyi, mulai hari ini, saya sudah pindah ke depan rumahmu Anya, sekedar info takut kamu kaget," jelasnya santai tapi sukses membuat diriku syok.
Aku pun membelalakkan mata. "Aslian, Pak?"
"Asli dong, masa palsu?" sahutnya lagi.
Gawat! Jadi, selain Mahnin bosku dia juga tetanggaku?
Sudah kukira ini akan terjadi, ternyata dia tak pernah berubah. Dari dulu sampai sekarang, selalu datang dan pergi seenaknya seperti Jailangkung.
Dasar mantan enggak ada akhlak.
Diubah oleh blackgaming 26-02-2021 10:10
rinandya dan 30 lainnya memberi reputasi
29
10.2K
61
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
blackgaming
#45
Chapter 17
Aku memutar remote tv dengan gelisah. Sejak tadi kurasa ada yang salah dengan otakku. Bahkan bukan hanya isi kepalaku yang kacau tapi gara-gara info dari Ancha semuanya terasa jadi berantakan. Berkali-kali mataku melihat ke luar jendela berharap mobil Mahnin tiba-tiba parkir di sana, tapi hasilnya kosong. Garasi itu masih tertutup seperti sedia kala.
Bagiku selama ini aku hidup, tak pernah sekali pun aku mengkhawatirkan seseorang sekuat ini.
Honestly, aku paham kalau sebagai perempuan aku nggak boleh terlalu posesif apalagi dengan status Mahnin yang merupakan bos di kantor pasti banyak yang harus dia kerjakan. Namun, tetap saja ini mengganggu pikiranku. Terlebih ada Elvira di sana.
Apa katanya papa Elvira mau menjodohkan mereka?
Sinting! Jelas-jelas Mahnin itu melamarku dan aku yakin dia tak akan tergoda. Tapi, bagaimana kalau ada satu kejadian di mana mereka harus berdua saja tanpa yang lain? Bukannya hal buruk bisa saja terjadi?
Seperti Mahnin disantet misalnya atau Mahnin diberi obat tidur lalu mereka ....
Aish! Enggak! Enggak! Aku yakin enggak mungkin.
"Nya, kenapa sih, Nya? Heboh banget dari tadi?"
Mamah yang baru pulang dari warung tiba-tiba menegurku karena sejak kembali dari kantor kerjaanku uring-uringan terus.
"Gak apa-apa Mah, cuman lagi iseng aja ngelongok jalan."
"Ngelongok ke rumah Mahnin maksudnya?" sindir Mamah sambil terkekeh geli.
"Ish kata siapa? Enggak," elakku sambil melengos kembali menatap jendela.
"Udah Nya, telepon aja. Pakai gengsi segala, gak apa-apa sekali-kali nelepon duluan jangan terus nunggu Mahnin. Kali aja dia juga sibuk," saran Mamah sambil ngeloyor menuju dapur.
Aku termenung di depan jendela sambil memikirkan ucapan Mamah. Tatapanku kosong melihat rumah Mahnin yang entah kenapa menjadi bangunan yang paling ingin aku datangi.
Kalau jaman dulu keadaanku sekarang tak ubahnya pemeran protagonis yang lagi jatuh cinta sama tetangga eh, tetangganya nggak peka.
Asem!
Setelah melihat kondisi ruang tamu yang kosong dan tidak terdapat tanda-tanda keberadaan Mamah. Aku pun bergegas mengambil ponsel, kutekan dengan dada berdebar kontak Mahnin dan nada pun tersambung.
Dag-dig-dug.
Oh My God! Aslian, aku nggak tahan lagi. Pikiranku sudah tak jelas karena sibuk menerka-nerka.
"Halo? Assalammu'alaikum, Mas?" sapaku sebelum suara di seberang sana menyahut lebih dulu.
"Wa'alaikumsalam. Anya, hey? Maaf Mas di sini sibuk banget. Ada banyak meeting yang harus Mas ikuti. Kamu gimana kabarnya? Masih cantik?" tanya Mahnin lembut.
Aku tersenyum mendengar pertanyaan Mahnin yang menurutku mengandung godaan sekaligus pujian.
"Masih dong. Oh, iya um ... Mas katanya mau nginep di sana, ya?" tanyaku ragu berharap kabar yang kuterima salah.
Mahnin terdiam sejenak lalu menarik napas seakan berat.
"Iya, Nya. Di sini hectic banget, sekarang saja saya lagi mau ke hotel. Jadi kayaknya Mas ...."
"Pak Mahnin. Bisa kita pergi sekarang?"
Buset! Suara Elvira?
Telingaku sontak menajam ketika kudengar ada suara wanita yang kukenal menyela obrolan kami. Saat ini kurasakan hatiku mencelos tak terkendali.
Di dekat Mahnin ada Elvira? Oh Tuhan! Apa mereka satu hotel?
Sumpah! Prasangka ini sukses membuatku gila.
"Oh, iya bentar kamu boleh duluan. Nanti kita ketemu di lobby. Ya?"
Kalau tadi hatiku mencelos sekarang tampaknya hatiku sudah berantakan atau mungkin tak berbentuk.
Cemas.
"Anya, maaf saya harus pergi. Nanti kita teleponan lagi, ya?"
Agak terburu-buru Mahnin berkata padaku sampai saat aku mau membalas ucapannya pun enggak jadi karena dia sudah menutup teleponnya lebih dulu.
Cukup sudah! Usai Mahnin memutus teleponnya, aku serasa hampa dan tanpa daya hingga tanpa sadar ponselku turun dari telinga.
Perasaan panas menjalar memenuhi rongga dada. Namun, apa yang harus kulakukan sekarang?
Semestinya dari awal aku sadar kalau aku dan Mahnin berbeda. Dia begitu parlente dengan pergaulan eksekutifnya sedangkan aku hanya pegawai rendahan.
Walau aku tahu di sana dia sedang bekerja tetap saja aku tak bisa menyingkirkan praduga karena pasti di sana banyak wanita seperti Elvira.
Wanita yang lebih cantik, kurus, putih dan terawat. Berbeda denganku yang ... ah! Entah kenapa, saat ini aku begitu takut kehilangan.
Seandainya kami sudah menikah, pasti aku akan lebih tenang karena sudah ada ikatan.
Derrt.
Aku kembali melihat ponsel ketika tiba-tiba ada satu pesan masuk dan ternyata itu dari Mahnin.
[Anya, maafin ya obrolannya keputus. Kamu mau oleh-oleh apa dari sini?]
Ditanya Mahnin begitu, aku menguatkan diri untuk mengetik sesuatu dan hanya dua kata yang kukirimkan pada Mahnin agar dia sadar perasaanku.
[Cepat pulang!]
(***)
Pagi ini, aku terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Antara sedih, gamang, galau dan ... entahlah.
Anehnya, tak seperti biasanya pagi ini aku sangat malas untuk pergi ke kantor. Jiwaku enggan dan kosong.
Untuk apa ke kantor? Jika tak ada Mahnin di sana.
Untuk apa ke kantor? Jika aku hanya akan mendengar kabar yang tak mengenakan.
Ingin kuteriak sekencang-kencangnya sampai semua paham kalau aku sedang disiksa rindu.
Ternyata, betul kata Dilan rindu dan cemburu itu menyiksa.
Berat. Aku hampir tak kuat.
"Kamu gak tidur semalaman, ya?"
Aku menoleh ke arah Mamah yang entah sejak kapan sudah berada di sampingku. Tak biasanya dia ikut makan pagi bersama anaknya yang sedang patah semangat ini.
"Iya Mah, aku terkena amnesia."
"Insomnia kali, Nya ...," ralat Mamah.
"Ya maksudku itu," jawabku lemas seolah kehilangan tenaga.
"Kenapa gak tidur? Kamu mikirin Mahnin yang gak pulang, ya?"
Uhuk!
Reflek aku terbatuk karena tersedak air yang kuminum. Mamah ini memang titisan Mamah loreng, tahu aja apa yang sedang menimpa anaknya.
"Astaga! Kamu ini kalau minum yang bener dong, pake belepotan ke mana-mana," tegur Mamah sambil membersihkan kemeja kerjaku yang basah.
"Habisnya Mamah sih, bahas Mahnin pas lagi minum kan keselek," sahutku sebal.
Bukannya iba, si Mamah malah tertawa puas.
"Lagian kamu bucin itu ada batasnya. Mana ada orang cemburu sama lakinya ampe gak tidur kayak begitu?"
"Ada. Contohnya Anya. Pokoknya Anya gak mau tahu, kalau Mahnin pulang Mamah harus nikahin Anya sama Mahnin. Titik! Gosah pakai syarat apa pun!"
Entah syetan mana yang mempengaruhiku pagi ini tapi mulutku sudah memprotes Mamah sedemikian rupa.
Mungkinkah ini karena efek menjomblo terlalu lama atau karena aku lelah dibombardir prasangka?
Ah, bodo amat dah. Yang penting Mamah harus tahu, kalau nikah itu enggak usah pakai syarat.
Mamah melongo melihat tingkahku yang mendekati cewek frustasi dibanding cewek yang kebelet nikah.
"Emang kalau nikah sekarang. Kamu udah siap?" sindir Mamah sambil melirik meragukan.
"Ya, siaplah. Masa enggak? Begini-begini juga Anya udah belajar Mah."
"Belajar jadi apa?"
"Belajar jadi istri yang solehah bin jamilah."
"Pret! Lagamu tuh ... nyuci aja masih sama Mamah kadang-kadang. Udah, kalau kamu mau nikah cepet, ya udah Mamah restui. Asal Mahnin yang bilang sama Mamah, kalau kalian udah siap berumah tangga."
"Ciyus, Mah?" Sontak mataku yang semula sayu mendadak terang benderang.
"He em, kalau Mahnin dan Ibunya datang. Mungkin Mamah bisa pikirkan," jawab Mamah dengan wajah serius.
Sumpah! Rasanya pagi ini aku seakan ketiban durian runtuh mendengar Mamah menyetujui permintaanku.
Aku jadi bersyukur. Tak sia-sia aku menderita semalaman dan akhirnya kartu restu pun di tangan.
Tepat di saat aku yang lagi heboh karena bahagia. Tiba-tiba pintu rumah kami diketuk seseorang.
Aku dan Mamah berpandangan. Tumben banget sepagi ini ada tamu yang datang.
Setelah bersuiten ala Mamah dan anak, akhirnya aku yang mengalah untuk berjalan dari dapur menuju ruang tamu.
Ada-ada aja tamu zaman sekarang, datangnya itu suka gak tepat waktu. Padahal tadi aku lagi enak-enaknya ngobrol masa depan sama Mamah.
Aku terus mendumel sampai suara di balik pintu membuatku sontak berhenti mengeluh.
"Assalammu'alaikum! Permisi!"
Mendengar suara yang tak asing dari balik pintu, aku pun bergegas membukanya.
Cklek.
"Wa'alaikumsalam. Mas Mahnin?" pekikku tertahan. Ketika melihat sosok kumel dan kelelahan sudah ada di depan pintu.
Sudah kuduga, itu benar dia. Ternyata dia datang sepagi ini, aku kira dia akan datang nanti ternyata pesan singkatku berhasil.
"Iya, Anya saya khawatir kamu marah. Soalnya chat saya nggak dibalas dan ...."
"Mas Ibu udah merestui kita," potongku langsung membuat iris mata Mahnin kompak melebar.
"Apa, Nya? Kamu gak boong, kan?" teriak Mahnin tak percaya.
Aku menggelengkan kepala. "Enggak! Ini beneran! Tadi Mamah bilang, kalau Mas datang lagi sama Ibu, dia akan merestui kita. Yee ... alhamdullilah," ujarku semangat sambil tersenyum karena bahagia.
Mahnin pun ikut tersenyum. "Baiklah kalau begitu, Mas akan datang besok, ya? Kalau perlu akad aja langsung. Gimana?" tanya Mahnin sambil mengedipkan mata.
Menggoda.
Etdah! Ternyata ada yang lebih kebelet dari pada aku.
Parah sih tapi buat Mahnin bisa dirundingkan yang penting HALAL.
rinandya dan 7 lainnya memberi reputasi
8