- Beranda
- Stories from the Heart
Desa Tumbal Misterius Di Pedalaman Kalimantan
...
TS
benbela
Desa Tumbal Misterius Di Pedalaman Kalimantan
Salam lekum agan sista semua.
Setelah hampir 10 tahun hiatus, akhirnya ane bikin thread lagi di kaskus. Agak canggung juga, karena sudah 1 dekade cuman sesekali berkunjung. Cuman kali ini ane mau bikin cerita, tentang pengalaman seorang kawan yang menemukan hal ganjil ketika ada project di salah satu desa di pedalaman Kalimantan.
Jadi ceritanya bakal ane jabarin satu-satu di bawah
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak meng Copy Paste cerita ini. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 18-07-2021 06:49
adolfsbasthian dan 295 lainnya memberi reputasi
288
299.6K
Kutip
5.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32KThread•45KAnggota
Tampilkan semua post
TS
benbela
#101
Quote:
Original Posted By benbela►
" Semua masuk ke mobil. Ada Raung! " bang Junai berteriak memberi perintah. Ia menyarungkan mandaunya terburu-buru lalu bergegas masuk ke kursi sopir dengan panik.
Sepersekian detik, kami semua sudah di dalam mobil. Istriku langsung merangkul erat lenganku. Dengan mata terpejam, mulut istriku komat kamit membaca ayat kursi. Suaranya bergetar bercampur tangis dan takut.
Aku juga membaca ayat kursi, yang lagi-lagi bacaannya salah-salah, tertukar dengan ayat yang lain. Di saat panik seperti ini aku kesulitan untuk konsentrasi.
Teriakan Takbir dan Istighfar terus keluar berulang-ulang dari mulut mas Tarno.
"Allahu Akbar...Astagfirullahulazim.." ucap Mas Tarno dengan lantang, berharap peti mati itu pergi menjauh.
...brum..brum...sssshhhh...
Beberapa kali distarter, mesin mobil selalu gagal menyala. Aku mengintip ke belakang dari balik jendela. Peti mati itu sudah berada di bahu jalan, bergerak terseok-seok menempel di atas tanah. Setiap satu langkah orang dewasa, peti itu berhenti, lalu bergerak lagi, bagaikan ada yang menyeretnya.
Warnanya hitam pekat, dengan kondisi papan yang kelihatan lapuk termakan usia. Di beberapa sisi terlihat ukiran pahat dengan motif yang rumit.
Terus bergerak tertatih, peti mati itu sudah berhasil mencapai badan jalan, sedangkan mesin mobil tetap gagal menyala. Walaupun berhasil menyala, belum tentu kami bisa lepas dari lobang yang dari tadi mengganjal di ban belakang mobil.
...sreeekkk....sreeekkk....
Suara gesekan peti mati dengan tanah berpasir menimbulkan suara yang membuat jantung hampir lepas. Peti mati itu terus mendekat, tidak menghiraukan lantunan ayat suci yang keluar dari mulut istriku maupun pekikan takbir dari mas Tarno.
......sreeekkk....sreeekkk....
Suaranya semakin jelas terdengar, menandakan ia semakin dekat.
Bang Junai yang putus asa memukul-mukul setir mobil, sumpah serapah keluar dari mulutnya.
"Aneh...! Ada yang aneh...ada yang janggal." ucap bang Junai sambil terus memukul-mukul setir mobil.
Lalu ia berhenti, mencoba berpikir tenang ditengah ketakutannya. Dari kursi depan, Bang Junai menoleh kepada kami.
"Apa kalian bawa ketan, atau telur?" Nada suara Bang Junai tinggi penuh emosi.
Aku dan istri saling pandang, tidak mengerti maksud pertanyannya.
"Apa kalian ada bawa ketan atau telur?" Bentak mas Tarno.
"i-iya mas...telur asin"ucap istriku ketakutan. Ia lalu mencari-cari bungkusan kresek hitam perbekalan kami tadi di bagian kolong tempat pijakan kaki. Aku bergegas membantu, setelah ketemu, aku langsung mengangkat bungkusan kresek hitam itu. Bang Junai langsung menyambar bungkusan di tanganku, menurunkan kaca jendela kemudian melempar bungkusan snack kami melalui jendela ke arah peti mati yang semakin dekat.
Masih dalam keadaan panik, Bang Junai kembali mencoba menstarter mesin mobil, dan...
...brum..brum..
Anehnya, mesin mobil langsung menyala. Bergerak perlahan, terseok-seok dan bergoncang-goncang, mobil akhirnya berhasil kembali ke badan jalan.
Dari balik jendela, aku melihat peti mati itu terus bergerak, lalu berhenti beberapa meter dari kantongan kresek yang tadi dilempar bang Junai.
Peti mati itu lalu berdiri di tengah jalan, pintunya terbuka menghempas tanah. Ada sesuatu yang keluar dari peti itu. Sepasang kaki melangkah dengan bentuk tidak sempurna. Bagian tulang tungkainya terlihat, karena dagingnya banyak yang lepas. Rambutnya sangat panjang hingga menyapu tanah yang berlapis kerikil dan pasir. Mayat hidup, batinku. Belum sempat kulihat wajahnya, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap.
"Jangan dilihat ! " ujar mas Tarno. Rupanya ia telah mematikan lampu belakang.
Mobil terus melaju menembus kegelapan, di antara hutan belantara dan kabut tipis yang mulai naik.
Sisa perjalanan kami hanya ada kesunyian. Tidak ada seorangpun yang berniat untuk membicarakan perihal kejadian mengerikan yang kami lalui beberapa saat lalu. Aku menggenggam jari-jari istriku, dan ia membalas menggengamnya, lalu menyandarkan kepalanya di pundakku. Sungguh tidak terpikir, baru beberapa hari di Kalimantan kami sudah mengalami kejadian yang di luar nalar.
Akhirnya, jalan tanah berganti aspal dan langit mulai terang. Jalan aspal yang membelah hutan terasa mulus, tidak ada getaran di dalam mobil. Matahari yang dikelilingi warnah merah kekuning-kuningan muncul di balik deretan bukit yang berselimut kabut.
"Sebentar lagi kita sampai" ujar bang Junai.
Hutan yang lebat mulai berganti dengan perkebunan sawit yang tumbuh di kiri kanan jalan. Rumah penduduk berbahan kayu mulai kelihatan di antara pohon-pohon sawit. Rumah itu jaraknya saling berjauhan, lalu makin lama semakin rapat hingga kami tiba di gerbang selamat datang.
Melewati gerbang kecamatan, laju mobil mulai berkurang. Kami melewati para pelajar SD hingga SMA yang jalan kaki. Sebagian lagi menggunakan sepeda motor dengan knalpot berisik tanpa helem.
"Alhamdulillah mas...ibu kota kecamatan." ucap istriku lega. Wajahnya sudah mulai rileks.
"Iya..Alhamdulillah." balasku sambil tersenyum.
"Kalian kami antar ke dermaga, setelah itu kita sarapan sama-sama."
kata Mas Tarno sembari merapikan senapan angin dan juga mandau ke tempat semula.
Mobil terus bergerak di dalam ibu kota kecamatan yang ternyata cukup luas dan ramai penduduk. Dibandingkan kota Muara Teweh, jalannya lebih sempit. Beberapa kali mobil harus mepet hingga selokan karena berpapasan dengan mobil lainnya. Pengendara sepeda motor juga lalu lalang tanpa helm. Setelah beberapa saat, kami tiba di dermaga di tepi sungai Barito.
Bang Junai lalu memarkir mobil ke tanah kosong yang agak lapang, persis di samping kantor Polsek. Beberapa mobil dan sepeda motor juga terparkir di sana.
Jam di telpon genggamku menunjukan pukul 07.10. Lewat satu jam dari rencana semula, pikirku. Tapi tak masalah, yang penting kami bisa selamat.
Aku dan istri lantas mengirim pesan WA kepada orangtua masing-masing, namun belum ada balasan.
Aku melemparkan pandang pada orang-orang yang lalu lalang di dermaga. Jarak dermaga dengan tepian sungai kurang lebih 10 meter, terpisahkan tangga dari kayu ulin selebar 3 meter.
Aku dan istri melepas jaket kami, memasukan ke dalam tas koper bawaan kami.
Sambil menggendong tas punggung masing-masing, kami meniti tangga selangkah demi selangkah. Didepanku, Bang Junai dan mas Tarno membantu membawakan tas koper kami.
Istriku lagi-lagi merangkul tanganku, takut jatuh katanya. Padahal, kami berdua sama-sama tidak bisa berenang.
Sampai di dek dermaga, bang Junai dan mas Tarno menunggu kami yang masih di belakang. Setelah semua berkumpul, kami menggerakkan kaki ke salah satu warung rumah terapung di sekitar dek dermaga.
Selain kami, beberapa orang juga tengah menikmati sarapan dengan menu nasi kuning yang dibungkus daun pisang.
"Kopi hitam tiga, teh panas satu, cil..!" pesan bang Junai kepada ibu yang menjaga warung. Baru aku tahu, acil adalah panggilan kepada wanita yang lebih tua atau dihormati di Kalimantan.
Di dalam warung, kami duduk di salah satu meja yang kosong. Tas kami letakan di bawah meja, beradu dengan kaki kami yang kelelahan.
"Mas, aku mau ke WC." ujar istriku.
"Di dalam aja mbak, jangan di dermaga. Banyak orang. Gak baik kalau perempuan." celetuk acil penjaga warung dari meja kasir. Ia lalu mengantar istriku ke wc di bagian dapur, yang ternyata lebih tepat disebut jamban.
Dermaga ini lumayan ramai. Orang-orang hilir mudik dengan kesibukan masing-masing. Mereka saling bicara dengan bahasa daerah setempat. Beberapa perahu motor, yang disebut kelotok, bertambat pada beberapa sisi dermaga. Sebagian lagi lalu lalang membawa penumpang di sungai Barito. Terdapat juga sebuah speed boat yang sarat penumpang.
Beberapa orang terlihat sedang berteriak-teriak di atas atap kelotok sambil melambaikan tangan untuk memanggil penumpang. Seorang lelaki muda dengan perawakan kurus dan bertopi, beberapa kali turun dari atap kelotok lalu kembali lagi membawa tas. Tas itu ia taroh di atas atap kelotok yang memiliki penyangga dari kayu di kiri kanannya.
Acil penjaga warung yang tadi mengantar istriku, menghampiri meja kami membawa teh dan kopi yang masih panas, lalu kembali lagi ke meja kasir untuk melayani pengunjung lain.
"Aku mau ngerokok dulu sambil ngopi. Tadi subuh hampir kepuhunan." ujar bang Junai sambil menyalakan sebatang rokok. Mas Tarno juga sudah menikmati rokok dan kopinya yang masih mengepul, lalu asyik dengan handphone nya.
"Kepuhunan itu apa bang? Dari kemarin saya dengar kepuhunan terus" tanyaku sambil merogoh rokok dari kantong celanaku, lalu menyalakan sebatang.
"Kepuhunan itu celaka, sial, apes. Gara-gara mau minum kopi tapi gak jadi. Malah langsung berangkat aja." jelas bang Junai.
"Lain kali, kalau perjalanan jauh, jangan bawa ketan atau di telur. Di Kalimantan, itu pamali.Bisa ada mahluk halus yang ikut." lanjutnya.
Aku hanya mengangguk saja mendengar perkataan bang Junai.
Tidak berapa lama, istriku kembali ke meja kami. Wajahnya tampak lebih segar setelah cuci muka. Kami lalu menikmati sarapan kami. Aku dan istri memilih nasi kuning dengan lauk ikan haruan, sedang bang Junai dan mas Tarno memilih lauk ayam dan telor.
Air putih sudah disiapkan pemilik warung di setiap meja. Di masing-masing meja, tersedia eskan platisk berisi air matang, lengkap dengan gelas dan sendok.
"Bang..yang tadi subuh, peti mati...itu apa bang? " tanya istriku pelan pada bang Junai. Sambil menyantap hidangannya, bang Junai menatap wajah kami satu persatu. Setelah menghela nafas, ia lalu berucap.
"Peti mati itu namanya Raung. Dulu, orang Dayak kalau meninggal peti matinya gak dikubur. Tapi digantung di pohon di tengah hutan. Setelah beberapa tahun, tulangnya diambil kemudian diadakan ritual Tiwah. Tulang-tulang itu disimpan di rumah kecil yang disebut Sandung, yang dibangun di depan rumah keluarga yang meninggal."
"Terus, kok bisa ngejar kaya tadi subuh?" Tanya istriku lagi.
"Yang bisa ngejar itu, biasanya sewaktu masih hidup dia punya ajian, tapi keluarganya gak ada yang nerusin. Karena takut, Raungnya dibiarkan di tengah hutan tidak terurus. Makanya Raung itu gentayangan cari mangsa. Raung itu makan daging manusia, dengan harapan mereka bisa hidup lagi jadi manusia."
"hiihh...ngeri. Amit-amit dimakan Raung." ucap istriku bergidik.
Nyaliku juga langsung ciut mendengar penjelasan bang Junai. Sedangkan mas Tarno, dia tampak santai menikmati hidangannya. Dugaanku, bertemu Raung seperti subuh tadi bukanlah hal yang pertama baginya.
Kami lantas kembali menikmati sarapan kami. Tidak laman kemudian, seorang pria muda menghampiri kami. Perawakannya kurus dan ia memakai topi yang sudah kusam.
"Mau kemana bang ? Ke hulu atau ke hilir?"
"Desa Muara Tapah."
Lelaki muda itu tampak bingung dengan jawabanku. Seakan tidak percaya, ia mengulang pertanyaannya.
"Kemana bang? " Ia bertanya sekali lagi dengan tatapan yang ganjil.
"Desa Muara Tapah. Memang Kenapa?"
Lelaki muda itu melepas topinya, lalu ia gunakan untuk mengipas-ngipas wajahnya.
" Sudah 10 tahun terakhir, hampir tidak ada orang yang datang dan pergi dari desa Muara Tapah."
Mendengar perkataanya, kami berempat secara bersamaan menatap wajah pemuda itu dengan penasaran sekaligus bingung.
"Terakhir, 5 tahun yang lalu ada seorang penumpang ke desa Muara Tapah. Orang Jawa. Katanya ia tugas jadi kepala sekolah. Setelah itu, ia tidak pernah terlihat lagi meninggalkan desa Muara Tapah."
..bersambung...
Bab V : Kepuhunan
" Semua masuk ke mobil. Ada Raung! " bang Junai berteriak memberi perintah. Ia menyarungkan mandaunya terburu-buru lalu bergegas masuk ke kursi sopir dengan panik.
Sepersekian detik, kami semua sudah di dalam mobil. Istriku langsung merangkul erat lenganku. Dengan mata terpejam, mulut istriku komat kamit membaca ayat kursi. Suaranya bergetar bercampur tangis dan takut.
Aku juga membaca ayat kursi, yang lagi-lagi bacaannya salah-salah, tertukar dengan ayat yang lain. Di saat panik seperti ini aku kesulitan untuk konsentrasi.
Teriakan Takbir dan Istighfar terus keluar berulang-ulang dari mulut mas Tarno.
"Allahu Akbar...Astagfirullahulazim.." ucap Mas Tarno dengan lantang, berharap peti mati itu pergi menjauh.
...brum..brum...sssshhhh...
Beberapa kali distarter, mesin mobil selalu gagal menyala. Aku mengintip ke belakang dari balik jendela. Peti mati itu sudah berada di bahu jalan, bergerak terseok-seok menempel di atas tanah. Setiap satu langkah orang dewasa, peti itu berhenti, lalu bergerak lagi, bagaikan ada yang menyeretnya.
Warnanya hitam pekat, dengan kondisi papan yang kelihatan lapuk termakan usia. Di beberapa sisi terlihat ukiran pahat dengan motif yang rumit.
Terus bergerak tertatih, peti mati itu sudah berhasil mencapai badan jalan, sedangkan mesin mobil tetap gagal menyala. Walaupun berhasil menyala, belum tentu kami bisa lepas dari lobang yang dari tadi mengganjal di ban belakang mobil.
...sreeekkk....sreeekkk....
Suara gesekan peti mati dengan tanah berpasir menimbulkan suara yang membuat jantung hampir lepas. Peti mati itu terus mendekat, tidak menghiraukan lantunan ayat suci yang keluar dari mulut istriku maupun pekikan takbir dari mas Tarno.
......sreeekkk....sreeekkk....
Suaranya semakin jelas terdengar, menandakan ia semakin dekat.
Bang Junai yang putus asa memukul-mukul setir mobil, sumpah serapah keluar dari mulutnya.
"Aneh...! Ada yang aneh...ada yang janggal." ucap bang Junai sambil terus memukul-mukul setir mobil.
Lalu ia berhenti, mencoba berpikir tenang ditengah ketakutannya. Dari kursi depan, Bang Junai menoleh kepada kami.
"Apa kalian bawa ketan, atau telur?" Nada suara Bang Junai tinggi penuh emosi.
Aku dan istri saling pandang, tidak mengerti maksud pertanyannya.
"Apa kalian ada bawa ketan atau telur?" Bentak mas Tarno.
"i-iya mas...telur asin"ucap istriku ketakutan. Ia lalu mencari-cari bungkusan kresek hitam perbekalan kami tadi di bagian kolong tempat pijakan kaki. Aku bergegas membantu, setelah ketemu, aku langsung mengangkat bungkusan kresek hitam itu. Bang Junai langsung menyambar bungkusan di tanganku, menurunkan kaca jendela kemudian melempar bungkusan snack kami melalui jendela ke arah peti mati yang semakin dekat.
Masih dalam keadaan panik, Bang Junai kembali mencoba menstarter mesin mobil, dan...
...brum..brum..
Anehnya, mesin mobil langsung menyala. Bergerak perlahan, terseok-seok dan bergoncang-goncang, mobil akhirnya berhasil kembali ke badan jalan.
Dari balik jendela, aku melihat peti mati itu terus bergerak, lalu berhenti beberapa meter dari kantongan kresek yang tadi dilempar bang Junai.
Peti mati itu lalu berdiri di tengah jalan, pintunya terbuka menghempas tanah. Ada sesuatu yang keluar dari peti itu. Sepasang kaki melangkah dengan bentuk tidak sempurna. Bagian tulang tungkainya terlihat, karena dagingnya banyak yang lepas. Rambutnya sangat panjang hingga menyapu tanah yang berlapis kerikil dan pasir. Mayat hidup, batinku. Belum sempat kulihat wajahnya, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap.
"Jangan dilihat ! " ujar mas Tarno. Rupanya ia telah mematikan lampu belakang.
Mobil terus melaju menembus kegelapan, di antara hutan belantara dan kabut tipis yang mulai naik.
***
Sisa perjalanan kami hanya ada kesunyian. Tidak ada seorangpun yang berniat untuk membicarakan perihal kejadian mengerikan yang kami lalui beberapa saat lalu. Aku menggenggam jari-jari istriku, dan ia membalas menggengamnya, lalu menyandarkan kepalanya di pundakku. Sungguh tidak terpikir, baru beberapa hari di Kalimantan kami sudah mengalami kejadian yang di luar nalar.
Akhirnya, jalan tanah berganti aspal dan langit mulai terang. Jalan aspal yang membelah hutan terasa mulus, tidak ada getaran di dalam mobil. Matahari yang dikelilingi warnah merah kekuning-kuningan muncul di balik deretan bukit yang berselimut kabut.
"Sebentar lagi kita sampai" ujar bang Junai.
Hutan yang lebat mulai berganti dengan perkebunan sawit yang tumbuh di kiri kanan jalan. Rumah penduduk berbahan kayu mulai kelihatan di antara pohon-pohon sawit. Rumah itu jaraknya saling berjauhan, lalu makin lama semakin rapat hingga kami tiba di gerbang selamat datang.
Melewati gerbang kecamatan, laju mobil mulai berkurang. Kami melewati para pelajar SD hingga SMA yang jalan kaki. Sebagian lagi menggunakan sepeda motor dengan knalpot berisik tanpa helem.
"Alhamdulillah mas...ibu kota kecamatan." ucap istriku lega. Wajahnya sudah mulai rileks.
"Iya..Alhamdulillah." balasku sambil tersenyum.
"Kalian kami antar ke dermaga, setelah itu kita sarapan sama-sama."
kata Mas Tarno sembari merapikan senapan angin dan juga mandau ke tempat semula.
Mobil terus bergerak di dalam ibu kota kecamatan yang ternyata cukup luas dan ramai penduduk. Dibandingkan kota Muara Teweh, jalannya lebih sempit. Beberapa kali mobil harus mepet hingga selokan karena berpapasan dengan mobil lainnya. Pengendara sepeda motor juga lalu lalang tanpa helm. Setelah beberapa saat, kami tiba di dermaga di tepi sungai Barito.
Bang Junai lalu memarkir mobil ke tanah kosong yang agak lapang, persis di samping kantor Polsek. Beberapa mobil dan sepeda motor juga terparkir di sana.
Jam di telpon genggamku menunjukan pukul 07.10. Lewat satu jam dari rencana semula, pikirku. Tapi tak masalah, yang penting kami bisa selamat.
Aku dan istri lantas mengirim pesan WA kepada orangtua masing-masing, namun belum ada balasan.
Aku melemparkan pandang pada orang-orang yang lalu lalang di dermaga. Jarak dermaga dengan tepian sungai kurang lebih 10 meter, terpisahkan tangga dari kayu ulin selebar 3 meter.
Aku dan istri melepas jaket kami, memasukan ke dalam tas koper bawaan kami.
Sambil menggendong tas punggung masing-masing, kami meniti tangga selangkah demi selangkah. Didepanku, Bang Junai dan mas Tarno membantu membawakan tas koper kami.
Istriku lagi-lagi merangkul tanganku, takut jatuh katanya. Padahal, kami berdua sama-sama tidak bisa berenang.
Sampai di dek dermaga, bang Junai dan mas Tarno menunggu kami yang masih di belakang. Setelah semua berkumpul, kami menggerakkan kaki ke salah satu warung rumah terapung di sekitar dek dermaga.
Selain kami, beberapa orang juga tengah menikmati sarapan dengan menu nasi kuning yang dibungkus daun pisang.
"Kopi hitam tiga, teh panas satu, cil..!" pesan bang Junai kepada ibu yang menjaga warung. Baru aku tahu, acil adalah panggilan kepada wanita yang lebih tua atau dihormati di Kalimantan.
Di dalam warung, kami duduk di salah satu meja yang kosong. Tas kami letakan di bawah meja, beradu dengan kaki kami yang kelelahan.
"Mas, aku mau ke WC." ujar istriku.
"Di dalam aja mbak, jangan di dermaga. Banyak orang. Gak baik kalau perempuan." celetuk acil penjaga warung dari meja kasir. Ia lalu mengantar istriku ke wc di bagian dapur, yang ternyata lebih tepat disebut jamban.
Dermaga ini lumayan ramai. Orang-orang hilir mudik dengan kesibukan masing-masing. Mereka saling bicara dengan bahasa daerah setempat. Beberapa perahu motor, yang disebut kelotok, bertambat pada beberapa sisi dermaga. Sebagian lagi lalu lalang membawa penumpang di sungai Barito. Terdapat juga sebuah speed boat yang sarat penumpang.
Beberapa orang terlihat sedang berteriak-teriak di atas atap kelotok sambil melambaikan tangan untuk memanggil penumpang. Seorang lelaki muda dengan perawakan kurus dan bertopi, beberapa kali turun dari atap kelotok lalu kembali lagi membawa tas. Tas itu ia taroh di atas atap kelotok yang memiliki penyangga dari kayu di kiri kanannya.
Acil penjaga warung yang tadi mengantar istriku, menghampiri meja kami membawa teh dan kopi yang masih panas, lalu kembali lagi ke meja kasir untuk melayani pengunjung lain.
"Aku mau ngerokok dulu sambil ngopi. Tadi subuh hampir kepuhunan." ujar bang Junai sambil menyalakan sebatang rokok. Mas Tarno juga sudah menikmati rokok dan kopinya yang masih mengepul, lalu asyik dengan handphone nya.
"Kepuhunan itu apa bang? Dari kemarin saya dengar kepuhunan terus" tanyaku sambil merogoh rokok dari kantong celanaku, lalu menyalakan sebatang.
"Kepuhunan itu celaka, sial, apes. Gara-gara mau minum kopi tapi gak jadi. Malah langsung berangkat aja." jelas bang Junai.
"Lain kali, kalau perjalanan jauh, jangan bawa ketan atau di telur. Di Kalimantan, itu pamali.Bisa ada mahluk halus yang ikut." lanjutnya.
Aku hanya mengangguk saja mendengar perkataan bang Junai.
Tidak berapa lama, istriku kembali ke meja kami. Wajahnya tampak lebih segar setelah cuci muka. Kami lalu menikmati sarapan kami. Aku dan istri memilih nasi kuning dengan lauk ikan haruan, sedang bang Junai dan mas Tarno memilih lauk ayam dan telor.
Air putih sudah disiapkan pemilik warung di setiap meja. Di masing-masing meja, tersedia eskan platisk berisi air matang, lengkap dengan gelas dan sendok.
"Bang..yang tadi subuh, peti mati...itu apa bang? " tanya istriku pelan pada bang Junai. Sambil menyantap hidangannya, bang Junai menatap wajah kami satu persatu. Setelah menghela nafas, ia lalu berucap.
"Peti mati itu namanya Raung. Dulu, orang Dayak kalau meninggal peti matinya gak dikubur. Tapi digantung di pohon di tengah hutan. Setelah beberapa tahun, tulangnya diambil kemudian diadakan ritual Tiwah. Tulang-tulang itu disimpan di rumah kecil yang disebut Sandung, yang dibangun di depan rumah keluarga yang meninggal."
"Terus, kok bisa ngejar kaya tadi subuh?" Tanya istriku lagi.
"Yang bisa ngejar itu, biasanya sewaktu masih hidup dia punya ajian, tapi keluarganya gak ada yang nerusin. Karena takut, Raungnya dibiarkan di tengah hutan tidak terurus. Makanya Raung itu gentayangan cari mangsa. Raung itu makan daging manusia, dengan harapan mereka bisa hidup lagi jadi manusia."
"hiihh...ngeri. Amit-amit dimakan Raung." ucap istriku bergidik.
Nyaliku juga langsung ciut mendengar penjelasan bang Junai. Sedangkan mas Tarno, dia tampak santai menikmati hidangannya. Dugaanku, bertemu Raung seperti subuh tadi bukanlah hal yang pertama baginya.
Kami lantas kembali menikmati sarapan kami. Tidak laman kemudian, seorang pria muda menghampiri kami. Perawakannya kurus dan ia memakai topi yang sudah kusam.
"Mau kemana bang ? Ke hulu atau ke hilir?"
"Desa Muara Tapah."
Lelaki muda itu tampak bingung dengan jawabanku. Seakan tidak percaya, ia mengulang pertanyaannya.
"Kemana bang? " Ia bertanya sekali lagi dengan tatapan yang ganjil.
"Desa Muara Tapah. Memang Kenapa?"
Lelaki muda itu melepas topinya, lalu ia gunakan untuk mengipas-ngipas wajahnya.
" Sudah 10 tahun terakhir, hampir tidak ada orang yang datang dan pergi dari desa Muara Tapah."
Mendengar perkataanya, kami berempat secara bersamaan menatap wajah pemuda itu dengan penasaran sekaligus bingung.
"Terakhir, 5 tahun yang lalu ada seorang penumpang ke desa Muara Tapah. Orang Jawa. Katanya ia tugas jadi kepala sekolah. Setelah itu, ia tidak pernah terlihat lagi meninggalkan desa Muara Tapah."
..bersambung...
Sampai jumpa malam senen ya gan 😁
Diubah oleh benbela 25-02-2021 12:04
namakuve dan 99 lainnya memberi reputasi
100
Kutip
Balas
Tutup