Kaskus

Story

breaking182Avatar border
TS
breaking182
Asu Ajag Pegunungan Tepus : Revenge
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS : REVENGE


Quote:


SINOPSIS


Quote:


Quote:





Diubah oleh breaking182 17-04-2022 01:39
ibra212Avatar border
69banditosAvatar border
bohemianflaneurAvatar border
bohemianflaneur dan 28 lainnya memberi reputasi
27
12.7K
93
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
breaking182Avatar border
TS
breaking182
#2
BAGIAN DUA


LAKI-LAKI yang tergeletak di mulut gang, mengenakan pakaian seragam lengkap bersepatu. Di depan saku kemeja seragamnya terkancing kartu pengenal. Menunjukkan bahwa laki-laki itu berasal dari Medan menilik marga Sitompul di belakang namanya, berusia sekitar 35 tahun, pekerjaan supir taksi resmi milik sebuah perusahaan terkemuka di Yogyakarta. Tak ada tanda-tanda penganiayaan. Pakaiannya tidak diganggu, demikian pula isi saku dan arloji yang melingkari lengan.

Sepintas lalu posisinya tampak seperti orang sedang tidur nyenyak. Hanya bedanya, ia memilih tempat untuk tidur yang salah serta wajah yang memperlihatkan tanda-tanda ia sebelumnya seolah telah bermimpi sangat buruk. Wajah itu kaku dan dingin seperti es balok, pucat seperti kertas yang baru keluar dari toko. Mulut ternganga memperlihatkan gigi kuning kehitam-hitaman sebagai pertanda ia seorang perokok yang kuat.

Dan, matanya! Hanya sel-sel tubuhnya yang kuat yang masih mampu menahan biji mata itu tidak sampai terloncat ke luar rongganya. Sepasang mata itu melotot lebar. Seolah ingin bertanya pada orang-orang yang mengerubunginya, mengapa ia sampai terkapar di tempat yang sama sekali tidak nyaman itu.

Aku melihat beberapa wartawan dan pihak kepolisian menjepretkan kameranya beberapa kali. Nyala lampu blitz yang menyambar-nyambar wajah mayat itu membuatnya tampak semakin mengerikan. Bagai ada kutukan terlontar dari balik biji matanya, ditujukan pada orang yang
tengah memotretnya. Aku sampai mundur selangkah, dengan bulu kuduk merinding.

“... apa penyebab kematiannya?” aku bertanya, tersendat. Meluncur tak sengaja dari mulutku.

“Jantung, Mas,” jawab orang setengah baya berpakaian kaos partai yang berdiri berjejelan di sampingku.

“ Ini masih belum seberapa. Masih ada lagi yang lebih nggegirisi “, si lelaki paruh baya itu nyerocos meski aku tidak bertanya lagi.

“Ma… masih ada?”

Aku tergagap dan terkejut manakala lelaki tadi menarik pergelangan tanganku dan menerobos kerumunan orang banyak. Tidak peduli dengan umpatan kasar beberapa orang karena terinjak sepatu ku. Setelah beberapa saat menerobos kerumunan. Ini yang membuat jantungku seolah berhenti berdenyut.

BERBARING DI BERANDAsebuah rumah kecil mungil dengan sepasang kaki mengangkang, la juga masih bersepatu. Tetapi celana yang dipakainya jelas bukan dibuka dengan sukarela. Tali pinggang maupun resluting celana laki-laki itu bagai direnggut tangan-tangan raksasa sehingga robek berkeping - keping. Alat kejantanannya hilang lenyap, meninggalkan luka mengerikan berlumur darah. Cairan anyir berwarna merah itu terdapat lebih banyak lagi di sekitar leher. Dan leher itu boleh dikatakan hampir tanggal dari pundak. Sehingga tanpa sengaja aku setengah berlari mundur sambil memegangi leher sendiri, kemudian jatuh terduduk di tempatku berdiri. Kepalaku berdenyut –denyut.

Kerumunan manusia hilir mudik, suara bentak, teriak, perintah-perintah dan tanya jawab yang bergalau seperti keadaan darurat perang; tak sedikitpun menarik perhatian. Aku terduduk diam, lesu dan bagai hilang ingatan. Nafasnya sesak. Berapa kali ia terpaksa mengurut dada. Beberapa kali pula meludah kasar, tanpa memperdulikan ada orang mendekatinya. Ternyata orang setengah baya tadi, yang kemudian duduk santai di sebelah ku sambil membujuk:

“Kalau mau muntah, silahkan...”

Aku diam. Menarik nafas panjang, lalu mengeluh setengah mengigau: “Apa… yang… menggorok dia. Kepalanya hampir tanggal begitu?”

“Clurit, golok, mungkin juga kampak. Itu menurut aku. Tetapi tadi ada polisi bilang, bukan itu. Lantas polisi tua itu nekad mengambil kesimpulan yang bukan-bukan.”

“Apa?”

“Cakar, katanya. Cakar besar dan runcing luar biasa !”

“Asu Ajag Pegunungan Tepus. Aku lihat luka –luka itu sama persis dengan yang digambarkan oleh penulis di cerita itu”

Kalimat itu terlontar lancar dari mulutku. Mata ku jelalatan kian kemari. Ke arah orang berkerumun dan hilir mudik. Ke pintu-pintu dan jendela-jendela rumah yang menganga terbuka. Ke langit kelam, hitam pekat dan masih tetap berembun.

“ Apa Mas? “ lelaki tadi terhenyak mendengar apa yang aku ucapkan barusan.

Kemudian lelaki itu menggeleng –gelengkan kepala. “ Ini di tengah kota Mas. Asu ajag itu adanya di alas yang tidak pernah di jamah tangan manusia atau di pegunungan terpencil. Sangat tidak mungkin kalau dari pegunungan Tepus di Wonosari sampai berkeliaran di tempat ini ?”

“ Bahkan tadi sampai ada seorang polisi juga sudah menelepon ke Kebon Binatang Gembira Loka. Petugas yang menerima telepon di Gembira Loka bilang, tidak ada harimau yang lepas. Demikian pula mahkluk buas lain… mahluk bercakar! Uh, nampaknya kau juga sudah edan barangkali. Jangan-jangan mas mulai percaya tahayul dan...”

“Aku mau pergi!” potong ku tiba-tiba.

Beranjak bangkit dari tempat duduk. Sedikit sempoyongan, hampir terpeleset jatuh.

“Ya Tuhan. Biarkan aku pergi. Aku memang harus menemui Mira. Aku harus menceritakan padanya, bahwa… bahwa...”
Aku semakin pucat. Semakin gemetar.

AKU TENGADAH, menghirup udara lebih banyak lagi. Kerumunan orang aku rasakan malah semakin banyak dan sulit ditembus. Nafasku terengah –engah. Dingin yang tadi kurasakan sirna sudah. Berganti dengan panas. Peluh bercucuran membasahi baju dan jaket ku.

Suara batinku terengah-engah:

“Mira isterinya mayat… maksudku orang yang mati itu,” kalimat itu berulang –ulang bergaung.

“Namanya Irfan. Mayat itu mayat Irfan. Seorang dokter bedah suami Mira. Aku sangat yakin itu. Beberapa kali aku melihat dan tidak akan pernah melupakan wajah Irfan”

“ Asu ajag..ya Asu ajag…aku yakin apa yang aku baca di kaskus tadi benar adanya. Itu bukan hanya cerita isapan jempol. Aku melihat jelas. Gambaran nyata dari setiap diksi dan diskripsi yang ditulis dicerita itu “

Meski berjalan tersuruk-suruk menerobos kerumunan orang. Sampai juga di depan kendaraan ku. Belum juga naik, sebuah mobil dinas kepolisian sudah meluncur dan berhenti di sebelah ku berdiri. Pintu mobil sebelah kiri dengan dibuka seseorang dari dalam disertai suara lembut tetapi berbau tegas:

“Untuk apa kau keluyuran malam –malam begini Bay. Dimana istri mu ...”

“ Suradi……”

Bersamaan waktunya, seorang petugas berseragam datang mendekat. Dialah Suradi teman semasa sekolah menengah atas. Dahulu semasa sekolah Suradi seorang anak yang penakut dan sering dijadikan bulan –bulanan. Berbeda dengan ku, yang cenderung bengal dan beberapa kali berkelahi serta terlibat tawuran antar sekolah. Sehingga pernah seminggu kena skors.

Pada awalnya, aku hampir tidak percaya kalau seorang Suradi menjelma menjadi seorang polisi. Tidak ada bentuk tidak ada jiwa Suradi jadi polisi. Namun, manakala aku melihat sendiri. Baru aku percaya. Bahkan kini Suradi kariernya di kepolisian moncer. Beda denganku yang masih menjadi seorang guru honorer, serabutan les private kesana –kemari serta menjadi penulis lepas yang honornya tergantung jumlah pembaca.

“ Ada angin apa membawamu sampai disini ?”

Aku tersenyum kaku.

“ Sekedar lewat Pak “

Aku tersenyum.

“Saya mohon diri dulu. Saya mau pulang”

Kataku sengaja berbohong.

Aku menjabat tangan Suradi lantas mengguncang -guncang tangannya.. Masih terdengar suara Suradi setengah berteriak.

“Titip salam buat keluarga mu “

Aku balas dengan anggukan kepala dari kejauhan.



Diubah oleh breaking182 03-03-2021 00:27
69banditos
bohemianflaneur
pjam
pjam dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.