- Beranda
- Stories from the Heart
Asu Ajag Pegunungan Tepus : Revenge
...
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#1
BAGIAN SATU
AKU MENYELESAIKANnaskah sebuah artikel yang akan aku upload dibeberapa forum online di internet. Lumayan untuk mencari receh dengan mengandalkan jumlah viewer dan reader. Aku mengoreksi sambil lalu. Aku tahu dan sadar kalau itu adalah artikel terburuk yang terpaksa aku buat satu minggu terakhir ini. Persetan dengan tata bahasa yang benar, persetan dengan isi artikel. Hanya satu yang aku kejar hot thread. Artikelku tembus ribuan viewer. Koin yang dikumpukan aku convert jadi rupiah yang otomatis akan masuk ke rekening pribadi. So easy dan tidak terlalu jelimet.
Sudah banyak artikel, cerpen dan bahkan novel yang aku tulis di forum ini. Berlembar –lembar puluhan halaman. Apa yang aku dapatkan?! Pegal jari serasa mau patah, mata kuyu karena semalaman ngetik naskah, kepala pusing karena tiba –tiba ide macet di tengah jalan atau hidup tidak tenang karena diuber –uber pembaca yang penasaran dengan cerita yang sedang aku tulis. Itu tidak sebanding jika dihadapkan pada forum yang isinya artikel. Tulis beberapa paragraph dengan isi artikel comot sana –sini dengan modal googling. Akan tetapi viewernya banyak dan tidak jarang sering jadi hot thread. Aku sadar terlalu idealis itu pasti akan kelaparan.
Tidak banyak koreksian dari tulisanku kali ini. Hanya satu dua huruf salah ketik dan sebuah kalimat yang perlu direvisi. Meski hasilnya manurutku itu masih norak. Tapi, sudahlah konsumen itu ibarat lebih suka makan junk food daripada makan seimbang bergizi. Aku beranjak dari kursi. Menggeliat sebentar. Setelah sebelumnya naskah tulisan ku itu aku upload.
Ku tengok ranjang tidurku. Sepi dan dingin. Tidak ada sepotong kecoakpun yang terlihat disana. Aku hampiri ranjang ku yang dingin. Lalu duduk di bibirnya.
Aku yang seharian sudah menekan perasaan karena Retno minggat lagi ke rumah orangtuanya dengan membawa si kecil Eza, kini meledak, aku tidak sudi lagi beramah tamah dan menyusulnya. Tapi aku merindukan jagoan kecilku.
Kata hatiku menjerit: “Lalu apa yang harus kuperbuat? Seperti kemarin –kemarin? Pergi menyusulnya, minta maaf padahal aku merasa tidak bersalah? Lalu bercinta dengan sekuat tenaga membabi buta. Lalu semuanya berakhir happy? Aku menyeringai kecut, kesepian mencekam dan mencabik –cabik perasaan. Bukan kesepian karena Retno. Jelas bukan. Aku merindukan celoteh anak lelaki ku yang masih belum genap tiga tahun itu.
Ku lirik handphone yang masih tergeletak di atas meja di depan komputer. Tidak ada barang sebiji pun pemberitahuan baru. Aku tinggalkan lagi bibir ranjangku. Suaranya berderit manakala aku mengangkat tubuhku. Kembali aku tekuni duduk di depan monitor. Aku tekan tombol enter di keyboard computer. Layar terpampang lagi dengan gambar wallpaper Maria Ozawa. Entah mengapa banyak artis JAV yang bermunculan di perindustrian film dewasa Jepang namun, masih belum mampu menggeser Maria Ozawa di otakku yang sudah cenderung keruh ini. Aku menghela nafas.
Aku buka lagi forum Kaskus. Berharap ada sesuatu yang enak untuk dibaca. Buka berita politik lebih cenderung baca perang komentar antara cebong dan kadrun yang masih juga berdebat tanpa ujung pangkal. Buka forum Lounge, isinya bocah –bocah millennial yang kadang cuma nge junk untuk kejar postingan. Aku buka forum story from the heart. Ada beberapa tulisan ku disini. Lumayan, viewernya lebih dari limapuluh ribu. Bahkan ada yang tembus hingga ratusan ribu viewer.
Pandangan mataku tertuju pada sebuah judul di halaman pertama “ ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS “. Judul yang bombastis. Sedikit segan aku buka tulisan itu. Ada sekitar dua puluh delapan part. Lumayan panjang. Part demi part aku baca, hingga akhirnya mataku tertumbuk pada sebuah tulisan….
Hari itu juga tersiar kabar mengerikan dan menyedihkan di seluruh desa Watu Wungkur. Sepasang pengantin baru, Galuh Rukmini dan Cakra Wulung, pagi tadi ditemukan telah jadi mayat. Galuh Rukmini terkapar menelentang di atas ranjang pengantin. Suaminya menggeletak di lantai dekat tempat tidur. Pakaian pengantin yang masih melekat di tubuh masing-masing penuh dengan robekan-robekan besar.
Robekan-robekan itu ternyata sangat dalam. Bukan hanya mengoyak pakaian mereka tapi sampai tembus ke daging tubuh dua insan ini. Wajah keduanya hampir tidak bisa dikenali. Wajah -wajah mereka berdua tampak koyak robek mengerikan. Kamar pengantin beraromakan amis dan anyir darah. Percikan darah terlihat mulai dari ranjang sampai ke lantai dan beberapa bagian dinding. Jelas sepasang pengantin itu menemui ajal karena dibunuh. Tapi dibunuh dengan apa dan siapa pelakunya?!
Pikiran ku tiba –tiba menggambarkan sesuatu yang sekejap tadi aku baca. Tentu kedua pengantin baru itu mati dengan cara yang mengenaskan. Darah muncrat dimana –mana. Ranjang pengantin yang seharusnya hangat bergelimangan cinta berubah menjadi anyir dan ternoda basah oleh darah segar. Aneh, bulu kuduk ku tiba-tiba merinding. Hei..aku tidak sepenakut ini. Mengapa hanya sekedar membaca cerita fiktif aku menjadi sangat ketakutan. Ekor mataku melirik ke atas jam dinding yang menempel di tembok. Pukul sebelas lewat. Masih belum terlalu larut malam.
Br3ngs3kkk!!Itu umpatan yang terloncat dari mulutku manakala handphone yang sedari tadi membisu tiba –tiba bergetar –getar. Mengejutkan ku dari ketegangan yang tiba –tiba saja menyergap sejak aku baca rentetan kalimat itu.
Telpon masuk dan tidak ada nama. Hanya sebuah nomor saja. Awalnya enggan untuk aku terima panggilan masuk itu. Namun, beberapa kali handphone itu masih saja bergetar –getar. Aku menyerah.
“ Halo “
Sapaku malas –malasan.
“ Bay…ini aku “, jawaban dari seberang telephone. Suara seorang perempuan. Persetan dengan perempuan. Hanya saja suara itu sangat tidak asing di selaput telingaku. Retno? Jelas bukan, perempuan itu tidak akan pernah mau untuk menelpon dahulu jika sedang bertengkar.
“ Siapa…..?”
“ Mira………”, suara itu seperti tercekat di tenggorokan. Kelu.
Aku bagai mendengar petir di siang bolong. Tenggorokanku kering mendadak. Lidahku seperti terlepas sehingga mulut ini tidak mampu merangkai kalimat. Jantungku berdenyut –denyut keras tidak seperti biasanya. Mira, nama yang simple namun pemilik nama itu mampu menjungkir balikkan hidupku beberapa tahun yang lalu. Janji indah yang pernah terucap untuk hidup semati kandas sudah. Bukan karena aku tidak mencintainya, hanya saja ia memilih seorang dokter daripada aku yang waktu itu hanya seorang guru. Guru honorer yang gajinya tentu yang hanya cukup untuk membeli tahu. Aku hargai keputusan itu, meski umpatan dan cacian seperti bersenandung di pikiran ku.
“ Perempuan matre….”
Nada itu selalu megalun dan terus mengalun. Layaknya lagu dengan shymfoni yang indah. Setelah mampu mengendalikan diri dan mengendapkan luka hati. Aku mulai melupakan dia, mencoba hinggap ke hati yang lain. Gampang? Tentu susah, hampir dua tahun aku bergelut dengan diriku sendiri. Akhirnya, aku kenal Retno. Seorang perempuan yang usianya sudah terlalu matang utnuk menikah. Selisih dua tahun dengan umurku. Retno lebih tua. Tidak perlu pacaran terlalu lama. Menikah. Dua tahun lahir anak pertamaku, laki –laki.
“ Bayu…..”
Suara itu kembali memanggilku. Seperti menarik pikiranku yang beberapa saat seperti hilang, merantau ke masa lalu.
“ Iya…ada apa? Bagaimana kabar mu? “
Hanya itu yang mampu aku katakan. Sekedar perkataan basa –basi sewajarnya.
“ Aku ada di Legend Caffe. Temapt kita dulu biasa menghabiskan waktu di malam hari. Temui aku sekarang juga. Aku mohon “
Telpon dari seberang putus. Aku menarik nafas panjang. Sesak seperti terhimpit bongkahan karang dada ini. Sekali lagi aku lirik jam di dinding. Tepat pukul dua belas malam. Entah, apa yang menggerakkan ku. Perlahan aku sambar jaket yang tergantung di lemari. Berganti celana panjang. Tergesa –gesa memakai sepatu converse warna hitam ku. Tanpa memakai kaos kaki. Setengah bergegas aku keluar kamar. Berlari –lari kecil ke garasi. Pintu mobil aku buka. Duduk di belakang kemudi, putar kunci kontak yang masih menggantung. Suara mobil menggeram memecah sunyi malam yang tadi bisu. Perlahan mobil keluar dari garasi membelah jalanan kampung yang sunyi senyap.
MOBIL DAIHATSU CHARADE ku melaju perlahan membelah jalanan Jogja yang mulai sepi dan lengang, lampu-lampu jalanan berpendar pucat cahayanya menjilat -jilat ruas- ruas jalanan yang temaram. Ya maklum sudah hampir jam setengah satu dini hari. Sepanjang perjalanan hati ku bertanya –tanya apa gerangan yang terjadi dengan Mira. Apakah pernikahannya tidak bahagia? Untuk apa tengah malam menelpon lelaki lain yang sudah beristri untuk menemaninya. Dimana suaminya?
Aku menghirup udara malam yang masuk melalui celah jendela mobil yang aku biarkan terbuka sebanyak-banyaknya untuk mengisi rongga dada yang kering. Traffic light menyala merah. Aku injak rem kuat –kuat. Mobil setengah berdecit. Suara beradu aspal dengan ban. Di emperan toko aku melihat seorang anak kecil meringkuk dalam pelukan perempuan. Aku yakin itu ibunya. Tidur beralaskan kardus bekas dan berselimutkan kain kumal. Aku teringat anak lelakiku.
“ Hmmmm…sedang apa si Eza. Aku takut kalau anak itu rewel dan mencari ku. Dan bertanya terus tentang bapaknya”
Bayangan Eza menangis jerit –jerit menjelma di kedua bola mataku. Eza tak betah di rumah neneknya. Atau segala, macamlah. Retno tahu aku sangat menyayangi Eza. Membawa Eza minggat, dapat merupakan pembalasan dendam. Sebaliknya, membawa Eza pulang kembali, dapat dijadikan alasan oleh Retno untuk tidak meminta maaf pada ku. Kasihan anak itu dia jadikan alat saja.
Tin….tin…tin…….
Suara klakson di belakang membuat lamunanku hancur berantakan. Aku injak gas. Mobil melaju. Mobil yang dibelakangku tadi mendahuluiku. Sembari mengaumkan suara gas yang sengaja diinjak dengan keras.
Brengsek…rutukku dalam hati.
Aku memacu mobilku semakin kencang kendaraannya membelah udara malam yang dingin berembun. Baru beberapa ratus meter, di depan banyak sekali kerumunan orang. Beberapa mobil polisi terparkir berjajar tiga. Nyala lampu sirene berputar –putar memantulkan gambaran yang ganjil. Suara gemeremengan orang banyak layaknya jutaan lebah yang tengah marah karena sarangnya di hancurkan manusia. Aku mengumpat dalam hati. Lagi –lagi aku harus memutar arah dan itu akan memakan waktu yang tidak sedikit.
Udara dingin menggigit, aku keluar dari mobil. Sekedar ingin tahu. Ada apa gerangan yang terjadi. Aku hampiri sebuah kios yang tidak jauh dari tempat kerumunan itu. Aku lihat pemiliknya sedang sibuk merumus kode buntut dari selembar stensilan.
“Ada apa pak? Orang timur bikin ulah lagi...?”
Aku bisa menduga seperti itu karena di Jogja kalau tengah malam ada keributan seperti itu biasanya orang timur sedang bentrok berdarah. Tidak main –main pisau belati dan panah yang akan berbicara.
“ Ada orang mati di ujung jalan itu “
Aku mendengar suara bersungut-sungut pemilik kios yang merasa terganggu keasyikannya itu karena menjawab pertanyaanku. Penuh antusias entah dari mana rasa penasaran ini. Aku biasanya masa bodoh dengan kerumunan. Lantas aku berlari berusaha menyibak kerumunan itu.
Sudah banyak artikel, cerpen dan bahkan novel yang aku tulis di forum ini. Berlembar –lembar puluhan halaman. Apa yang aku dapatkan?! Pegal jari serasa mau patah, mata kuyu karena semalaman ngetik naskah, kepala pusing karena tiba –tiba ide macet di tengah jalan atau hidup tidak tenang karena diuber –uber pembaca yang penasaran dengan cerita yang sedang aku tulis. Itu tidak sebanding jika dihadapkan pada forum yang isinya artikel. Tulis beberapa paragraph dengan isi artikel comot sana –sini dengan modal googling. Akan tetapi viewernya banyak dan tidak jarang sering jadi hot thread. Aku sadar terlalu idealis itu pasti akan kelaparan.
Tidak banyak koreksian dari tulisanku kali ini. Hanya satu dua huruf salah ketik dan sebuah kalimat yang perlu direvisi. Meski hasilnya manurutku itu masih norak. Tapi, sudahlah konsumen itu ibarat lebih suka makan junk food daripada makan seimbang bergizi. Aku beranjak dari kursi. Menggeliat sebentar. Setelah sebelumnya naskah tulisan ku itu aku upload.
Ku tengok ranjang tidurku. Sepi dan dingin. Tidak ada sepotong kecoakpun yang terlihat disana. Aku hampiri ranjang ku yang dingin. Lalu duduk di bibirnya.
Aku yang seharian sudah menekan perasaan karena Retno minggat lagi ke rumah orangtuanya dengan membawa si kecil Eza, kini meledak, aku tidak sudi lagi beramah tamah dan menyusulnya. Tapi aku merindukan jagoan kecilku.
Kata hatiku menjerit: “Lalu apa yang harus kuperbuat? Seperti kemarin –kemarin? Pergi menyusulnya, minta maaf padahal aku merasa tidak bersalah? Lalu bercinta dengan sekuat tenaga membabi buta. Lalu semuanya berakhir happy? Aku menyeringai kecut, kesepian mencekam dan mencabik –cabik perasaan. Bukan kesepian karena Retno. Jelas bukan. Aku merindukan celoteh anak lelaki ku yang masih belum genap tiga tahun itu.
Ku lirik handphone yang masih tergeletak di atas meja di depan komputer. Tidak ada barang sebiji pun pemberitahuan baru. Aku tinggalkan lagi bibir ranjangku. Suaranya berderit manakala aku mengangkat tubuhku. Kembali aku tekuni duduk di depan monitor. Aku tekan tombol enter di keyboard computer. Layar terpampang lagi dengan gambar wallpaper Maria Ozawa. Entah mengapa banyak artis JAV yang bermunculan di perindustrian film dewasa Jepang namun, masih belum mampu menggeser Maria Ozawa di otakku yang sudah cenderung keruh ini. Aku menghela nafas.
Aku buka lagi forum Kaskus. Berharap ada sesuatu yang enak untuk dibaca. Buka berita politik lebih cenderung baca perang komentar antara cebong dan kadrun yang masih juga berdebat tanpa ujung pangkal. Buka forum Lounge, isinya bocah –bocah millennial yang kadang cuma nge junk untuk kejar postingan. Aku buka forum story from the heart. Ada beberapa tulisan ku disini. Lumayan, viewernya lebih dari limapuluh ribu. Bahkan ada yang tembus hingga ratusan ribu viewer.
Pandangan mataku tertuju pada sebuah judul di halaman pertama “ ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS “. Judul yang bombastis. Sedikit segan aku buka tulisan itu. Ada sekitar dua puluh delapan part. Lumayan panjang. Part demi part aku baca, hingga akhirnya mataku tertumbuk pada sebuah tulisan….
Hari itu juga tersiar kabar mengerikan dan menyedihkan di seluruh desa Watu Wungkur. Sepasang pengantin baru, Galuh Rukmini dan Cakra Wulung, pagi tadi ditemukan telah jadi mayat. Galuh Rukmini terkapar menelentang di atas ranjang pengantin. Suaminya menggeletak di lantai dekat tempat tidur. Pakaian pengantin yang masih melekat di tubuh masing-masing penuh dengan robekan-robekan besar.
Robekan-robekan itu ternyata sangat dalam. Bukan hanya mengoyak pakaian mereka tapi sampai tembus ke daging tubuh dua insan ini. Wajah keduanya hampir tidak bisa dikenali. Wajah -wajah mereka berdua tampak koyak robek mengerikan. Kamar pengantin beraromakan amis dan anyir darah. Percikan darah terlihat mulai dari ranjang sampai ke lantai dan beberapa bagian dinding. Jelas sepasang pengantin itu menemui ajal karena dibunuh. Tapi dibunuh dengan apa dan siapa pelakunya?!
Pikiran ku tiba –tiba menggambarkan sesuatu yang sekejap tadi aku baca. Tentu kedua pengantin baru itu mati dengan cara yang mengenaskan. Darah muncrat dimana –mana. Ranjang pengantin yang seharusnya hangat bergelimangan cinta berubah menjadi anyir dan ternoda basah oleh darah segar. Aneh, bulu kuduk ku tiba-tiba merinding. Hei..aku tidak sepenakut ini. Mengapa hanya sekedar membaca cerita fiktif aku menjadi sangat ketakutan. Ekor mataku melirik ke atas jam dinding yang menempel di tembok. Pukul sebelas lewat. Masih belum terlalu larut malam.
Br3ngs3kkk!!Itu umpatan yang terloncat dari mulutku manakala handphone yang sedari tadi membisu tiba –tiba bergetar –getar. Mengejutkan ku dari ketegangan yang tiba –tiba saja menyergap sejak aku baca rentetan kalimat itu.
Telpon masuk dan tidak ada nama. Hanya sebuah nomor saja. Awalnya enggan untuk aku terima panggilan masuk itu. Namun, beberapa kali handphone itu masih saja bergetar –getar. Aku menyerah.
“ Halo “
Sapaku malas –malasan.
“ Bay…ini aku “, jawaban dari seberang telephone. Suara seorang perempuan. Persetan dengan perempuan. Hanya saja suara itu sangat tidak asing di selaput telingaku. Retno? Jelas bukan, perempuan itu tidak akan pernah mau untuk menelpon dahulu jika sedang bertengkar.
“ Siapa…..?”
“ Mira………”, suara itu seperti tercekat di tenggorokan. Kelu.
Aku bagai mendengar petir di siang bolong. Tenggorokanku kering mendadak. Lidahku seperti terlepas sehingga mulut ini tidak mampu merangkai kalimat. Jantungku berdenyut –denyut keras tidak seperti biasanya. Mira, nama yang simple namun pemilik nama itu mampu menjungkir balikkan hidupku beberapa tahun yang lalu. Janji indah yang pernah terucap untuk hidup semati kandas sudah. Bukan karena aku tidak mencintainya, hanya saja ia memilih seorang dokter daripada aku yang waktu itu hanya seorang guru. Guru honorer yang gajinya tentu yang hanya cukup untuk membeli tahu. Aku hargai keputusan itu, meski umpatan dan cacian seperti bersenandung di pikiran ku.
“ Perempuan matre….”
Nada itu selalu megalun dan terus mengalun. Layaknya lagu dengan shymfoni yang indah. Setelah mampu mengendalikan diri dan mengendapkan luka hati. Aku mulai melupakan dia, mencoba hinggap ke hati yang lain. Gampang? Tentu susah, hampir dua tahun aku bergelut dengan diriku sendiri. Akhirnya, aku kenal Retno. Seorang perempuan yang usianya sudah terlalu matang utnuk menikah. Selisih dua tahun dengan umurku. Retno lebih tua. Tidak perlu pacaran terlalu lama. Menikah. Dua tahun lahir anak pertamaku, laki –laki.
“ Bayu…..”
Suara itu kembali memanggilku. Seperti menarik pikiranku yang beberapa saat seperti hilang, merantau ke masa lalu.
“ Iya…ada apa? Bagaimana kabar mu? “
Hanya itu yang mampu aku katakan. Sekedar perkataan basa –basi sewajarnya.
“ Aku ada di Legend Caffe. Temapt kita dulu biasa menghabiskan waktu di malam hari. Temui aku sekarang juga. Aku mohon “
Telpon dari seberang putus. Aku menarik nafas panjang. Sesak seperti terhimpit bongkahan karang dada ini. Sekali lagi aku lirik jam di dinding. Tepat pukul dua belas malam. Entah, apa yang menggerakkan ku. Perlahan aku sambar jaket yang tergantung di lemari. Berganti celana panjang. Tergesa –gesa memakai sepatu converse warna hitam ku. Tanpa memakai kaos kaki. Setengah bergegas aku keluar kamar. Berlari –lari kecil ke garasi. Pintu mobil aku buka. Duduk di belakang kemudi, putar kunci kontak yang masih menggantung. Suara mobil menggeram memecah sunyi malam yang tadi bisu. Perlahan mobil keluar dari garasi membelah jalanan kampung yang sunyi senyap.
MOBIL DAIHATSU CHARADE ku melaju perlahan membelah jalanan Jogja yang mulai sepi dan lengang, lampu-lampu jalanan berpendar pucat cahayanya menjilat -jilat ruas- ruas jalanan yang temaram. Ya maklum sudah hampir jam setengah satu dini hari. Sepanjang perjalanan hati ku bertanya –tanya apa gerangan yang terjadi dengan Mira. Apakah pernikahannya tidak bahagia? Untuk apa tengah malam menelpon lelaki lain yang sudah beristri untuk menemaninya. Dimana suaminya?
Aku menghirup udara malam yang masuk melalui celah jendela mobil yang aku biarkan terbuka sebanyak-banyaknya untuk mengisi rongga dada yang kering. Traffic light menyala merah. Aku injak rem kuat –kuat. Mobil setengah berdecit. Suara beradu aspal dengan ban. Di emperan toko aku melihat seorang anak kecil meringkuk dalam pelukan perempuan. Aku yakin itu ibunya. Tidur beralaskan kardus bekas dan berselimutkan kain kumal. Aku teringat anak lelakiku.
“ Hmmmm…sedang apa si Eza. Aku takut kalau anak itu rewel dan mencari ku. Dan bertanya terus tentang bapaknya”
Bayangan Eza menangis jerit –jerit menjelma di kedua bola mataku. Eza tak betah di rumah neneknya. Atau segala, macamlah. Retno tahu aku sangat menyayangi Eza. Membawa Eza minggat, dapat merupakan pembalasan dendam. Sebaliknya, membawa Eza pulang kembali, dapat dijadikan alasan oleh Retno untuk tidak meminta maaf pada ku. Kasihan anak itu dia jadikan alat saja.
Tin….tin…tin…….
Suara klakson di belakang membuat lamunanku hancur berantakan. Aku injak gas. Mobil melaju. Mobil yang dibelakangku tadi mendahuluiku. Sembari mengaumkan suara gas yang sengaja diinjak dengan keras.
Brengsek…rutukku dalam hati.
Aku memacu mobilku semakin kencang kendaraannya membelah udara malam yang dingin berembun. Baru beberapa ratus meter, di depan banyak sekali kerumunan orang. Beberapa mobil polisi terparkir berjajar tiga. Nyala lampu sirene berputar –putar memantulkan gambaran yang ganjil. Suara gemeremengan orang banyak layaknya jutaan lebah yang tengah marah karena sarangnya di hancurkan manusia. Aku mengumpat dalam hati. Lagi –lagi aku harus memutar arah dan itu akan memakan waktu yang tidak sedikit.
Udara dingin menggigit, aku keluar dari mobil. Sekedar ingin tahu. Ada apa gerangan yang terjadi. Aku hampiri sebuah kios yang tidak jauh dari tempat kerumunan itu. Aku lihat pemiliknya sedang sibuk merumus kode buntut dari selembar stensilan.
“Ada apa pak? Orang timur bikin ulah lagi...?”
Aku bisa menduga seperti itu karena di Jogja kalau tengah malam ada keributan seperti itu biasanya orang timur sedang bentrok berdarah. Tidak main –main pisau belati dan panah yang akan berbicara.
“ Ada orang mati di ujung jalan itu “
Aku mendengar suara bersungut-sungut pemilik kios yang merasa terganggu keasyikannya itu karena menjawab pertanyaanku. Penuh antusias entah dari mana rasa penasaran ini. Aku biasanya masa bodoh dengan kerumunan. Lantas aku berlari berusaha menyibak kerumunan itu.
Diubah oleh breaking182 16-04-2022 18:46
bohemianflaneur dan 14 lainnya memberi reputasi
15
Tutup
