Kaskus

Story

blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
Mantan Gak Ada Akhlak
Mantan Gak Ada Akhlak


Spoiler for Update Chapter:


Chapter 1


"Eh, eh, Bos baru kita datang! Siap-siap Pak Mahnin mau ke sini, touch up Sis!"

"Lipstik gue gimana? Bibir? Oke?"

"Cakep, cakep kayak makan cabe sekebon!"

Suara berisik dan grasak grusuk menyapa telingaku siang ini. Kulirik sekilas kerumunan para karyawati yang siap-siap ambil peranan sebagai penggoda ulung.

Aku menggelengkan kepala malas, kusesali pilihan hidupku siang ini untuk makan di kantin. Seharusnya aku nggak tergiur ajakan Ancha dan berdiam saja di mushola, daripada harus bertemu bos baru yang merupakan mantan kekasihku itu.

Lagi pula, aneh banget, seorang Mahnin Atlanta Fatah datang ke tempat seramai ini. Perasaan dulu enggak gitu, apa dia sudah berubah?

He ... sudahlah.

'Woy! Anya fokus! Dia bukan lagi urusanmu, fokus Anya!'

Kurapalkan doa agar terhindar dari gangguan mantan bernama Mahnin.

Namun, mungkin karena aku banyak dosa, akhirnya doaku itu tak terkabul.

Tak berapa lama dari terucapnya doa, Mahnin datang memasuki kantin. Langkahnya yang tegap membuat para mata menatap tak berkedip dan itu membuatku tak nyaman.

Tanpa menunggu lagi, aku langsung menyantap makan siangku agar setelah dia duduk, makananku habis dan kami tak usah bertemu.

"Lihat! Lihat! Lo bayangin deh, tubuh roti sobek di balik kemeja Pak Mahnin, kira-kira six pack atau eight pack?"

"Gila loh, delapan mana ada?"

"Ih, ada! Buktinya Pak Mahnin, gue yakin dia rajin fitnes. Kira-kira ukuran celananya nomor berapa, ya?"

"Celana dalam apa luar, nih?"

Haciw! Aku sontak bersin seraya menoleh ke belakang, tak kusangka obrolan para cewek semesum itu. Tetapi, siapalah aku bagi mereka, melihat pelototanku, empat staf HRD itu malah semakin sibuk bergosip.

"Cih! Geje banget! Dasar cewek!" komentarku diam-diam seraya memalingkan muka kembali menatap mie kocok.

Heran, jadi cewek kok, enggak ada akhlak! Membuat selera makanku menguap saja.

Apa semua cewek di zaman sekarang senekat itu?

"Apanya yang geje, Nya?" tanya Acha yang masih sibuk dengan pentol bakso di mangkoknya.

Aku menghela napas berat mendengar kasak-kusuk yang semakin menggila.

"Enggak ada Cha, cuman ... ah gak penting, ayo Cha, buruan makannya! Gue lagi males di kantin, nih," sahutku mengalihkan. Bete.

"Kenapa? Karena Pak Mahnin, ya? Lo, kenapa sih, doi kan ganteng, Nya?" tanya Ancha menautkan alisnya.

Aku menggigit bibir. Benar juga, Ancha kan enggak tahu, kalau aku pernah menjalin hubungan malah mau menikah dengan bosnya yang baru masuk hari ini itu.

"Berisik! Buruan makan ajalah, kalau enggak gue gak jadi traktir!" ancamku berpura-pura.

Ancha membalasku dengan memeletkan lidah tapi tak urung dia juga memberikan kode 'oke', tanpa banyak bertanya lagi dia langsung bergerak cepat menghabiskan pentol baksonya yang tinggal lima biji. Mungkin dia takut kalau aku benar-benar nggak jadi mentraktirnya.

Tuk. Tuk. Tuk.

"Boleh saya duduk, di sini?"

Ketukan di meja berhasil membuatku mendongak begitu pun Ancha. Mataku membulat, melihat Mahnin sudah berdiri seraya menunjuk bangku kosong yang tepat berada di depanku.

Hatiku bergetar.

Ngapain sih, dia ada di depanku?

"Di sini penuh Pak, tuh, di barisan cewek itu banyak," tolakku langsung. Kutunjuk barisan pemuja Mahnin dengan nada ketus, membuat beberapa orang memperhatikan tingkahku.

Baiklah, memang aku sedang sulit belajar profesional sekarang. Bagaimana pun bos baru di depanku ini, berhasil membuka luka lama yang sudah aku kubur selama lima tahun lamanya.

Melihatnya di depanku, seolah membangkitkan kenangan di mana Mahnin meninggalkanku di acara lamaran lima tahun lalu.

Pria yang berjanji datang ke rumah itu menghilang tanpa kepastian dan kata maaf. Semua mengambang, seperti sampah di kali Citarum, tak berharga. Tanpa sempat kukenalkan pada Ibu atau pun Bapak, dia sudah memutuskanku secara sepihak.

"Jadi, saya enggak boleh duduk di sini?" tanya Mahnin seduktif. Sepasang bola mata coklatnya memancarkan sorot mata berbeda ketika menatapku.

"Boleh, tapi masih banyak yang kosong. Di sini sempit," jawabku jutek.

Aku memalingkan muka, tak kupungkiri jantungku berdegup tak tenang dan jiwaku ikut meradang.

"Oke, baiklah. Saya di sana saja," jawabnya lirih seraya menuju ke barisan para karyawati yang mulai heboh.

"Sial!" dengusku kesal sembari menambahkan dua sendok cabe ke dalam mangkuk mie kocok milikku.

Biasanya kalau lagi situasi kayak gini, sambel emang paling tepat jadi pelarian. Lagi pula, kenapa harus dia sih bos baruku? Apa spesies pria di muka bumi ini sudah berkurang? Tragis.

(***)

"Vanya Kaliandra Putri, berumur 28 tahun. Lulusan terbaik dan pernah menjadi karyawan teladan. Bagus juga, nilai KPI (Key Performance Indicator) kamu. Oh iya, satu lagi status ... single? Benar single, kan?"

Aku terpaksa menganggukkan kepala ketika Mahnin membaca profilku secara lengkap.

Entah apa maksudnya, si bos baru itu tiba-tiba saja memanggil kami satu-persatu selepas istirahat siang itu.

Dia sengaja mengundang staf ke ruangannya dengan dalih ingin tahu lebih dalam mengenai para stafnya, katanya begitu.

Nahas, sekarang adalah giliranku. Mantan tunangan yang ia tinggalkan tanpa kata 'maaf'.

Dendam, hati ini jadinya. Akan tetapi, demi asas profesionalitas aku harus berusaha bertingkah tak mengenalnya. Sampai dia sendiri yang memugar kisah lama kami, karena aku lebih baik tak pernah memugarnya. Walau hati ini teramat benci.

"Jadi kamu belum menikah?" tanya Mahnin lagi. Dia menyimpan map biru berisi biodata di atas meja. Mendongakkan kepala, menatapku yang sedang duduk tegang di depannya.

"Iya, belum."

'Semua karena kamu, Mahnin! Kamu yang bikin aku nggak bisa hubungan!' sambungku dalam hati.

"Oke, jadi kamu masih free ya?"

"Maksud Pak Mahnin?" Aku menaikkan satu alis, mendadak dadaku panas dan tenggorokanku serasa kering.

"Ya, barangkali kalau kamu sudah menikah, saya bisa mempertimbangkan status cuti kehamilan, melahirkan dan kerja kamu, misalnya. Benar, kan?"

"Iya, benar."

Baiklah, aku mengalah. Aku masih butuh pekerjaan. Mengajak bertengkar seorang bos bukan saatnya.

"Lalu, kenapa kamu belum menikah? Apa ada alasan lain?"

Kurang ajar! Apa dia sengaja bertanya begitu? Mau meledek, hah?

Pelan kukepalkan tanganku, merasakan degupan jantung yang tak beraturan.

"Maaf, apa boleh saya tidak menjawab? Lagian, tidak ada urusannya kan, dengan pekerjaan?"

"Ada. Saya ingin tahu tentang kamu. Semua tentangmu, Nona Anya. Apa saya salah?"

Aku tersentak. Menatap matanya lurus, dapat kulihat kilatan aneh dalam mata Mahnin. Dia seolah ... rindu?

Tidak! Tidak! Itu khayalanku saja. Ini aneh, aku merasa janggal dengan semua tingkahnya, karena bagiku dia sudah mati.

"Saudari Anya, apa saya salah?" ulangnya.

"Iya salah. Bukankah, hal itu terlalu dalam untuk pertanyaan seorang bos pada stafnya? Bagaimana kalau stafnya salah paham?" serangku.

Dia tak langsung menjawab, matanya menatapku lama sampai aku merasa risi dan sontak berdehem.

Tampaknya Mahnin hapal sekali sikapku jika tidak suka, dia pun merubah posisi, menarik tubuhnya menjauh dan dengan santainya dia bersandar ke kursi.

"Oke, baiklah. Saya hanya ingin memastikan. Ya sudah, kamu silahkan keluar, saya sudah selesai bertanya-tanya tentang kamu," jawabnya seraya menunjukkan seringai.

See? What? Hanya itu! Apa dia masih pura-pura lupa bahwa dulu dia pernah menyakitiku.

Sadis!

"Baiklah, Pak, kalau begitu saya permisi dulu," pamitku.

Tanpa basa-basi aku pun langsung berdiri dan membalikkan badan melangkah ke arah pintu.

Mungkin memang benar dia ingin melupakan hubungan kami. Namanya juga mantan, biar kata Bos tetap saja mantan. Bos tapi mantan, ah, ruwet.

Jadi, untuk apa berharap dia masih mengungkit itu? Poor, Anya!

Namun, belum ada lima langkah aku berjalan. Suara menyebalkan milik Mahnin kembali terdengar.

"Anya!" panggilnya berat.

Reflek kakiku berhenti, lalu menolehkan kepala ke arahnya.

"Sore nanti, kalau kamu nggak bawa kendaraan dan ojol susah, kamu bisa nebeng sama saya karena kita searah," ucapnya seraya tersenyum.

Sejenak aku terkesiap mendengar ucapan Mahnin.

Apa nebeng? Apa dia gila? Aku mantan yang disakitinya? Halo!

Tadinya, mulut ini rasanya ingin langsung mengumpat karena tawaran bodoh Mahnin tapi sepertinya itu berlebihan.

"Ma-Maksudnya Pak Mahnin ngajak pulang bareng ini apa?" tanyaku terdengar ketus.

"Enggak ada maksud apa-apa. Saya hanya ingin bertindak baik sama tetangga. Fyi, mulai hari ini, saya sudah pindah ke depan rumahmu Anya, sekedar info takut kamu kaget," jelasnya santai tapi sukses membuat diriku syok.

Aku pun membelalakkan mata. "Aslian, Pak?"

"Asli dong, masa palsu?" sahutnya lagi.

Gawat! Jadi, selain Mahnin bosku dia juga tetanggaku?

Sudah kukira ini akan terjadi, ternyata dia tak pernah berubah. Dari dulu sampai sekarang, selalu datang dan pergi seenaknya seperti Jailangkung.

Dasar mantan enggak ada akhlak.
Diubah oleh blackgaming 26-02-2021 10:10
weihaofeiAvatar border
towi76Avatar border
rinandyaAvatar border
rinandya dan 30 lainnya memberi reputasi
29
10.2K
61
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
#13
Chapter 6


Aku benar-benar gelisah! Galau, dan kepo maksimal. Usai pembicaraan yang membuatku berkeringat dingin, sekarang otakku malah terpancing untuk terus mengamati sebuah ruangan yang berada di pojok sana.

Ruangan berukuran 5x6 meter yang cukup membius dan merangsang radarku untuk tak mengalihkan pandangan.

Bagaimana aku tidak tertarik untuk penasaran? Jika di dalam sana Mahnin-si mantan sedang berdua saja dengan Elvira-wanita yang katanya akan dijodohkan dengan Mahnin.

Lalu, sekarang, apa yang harus kulakukan sekarang? Apa aku harus pura-pura memberi kopi atau teh, agar bisa menguping? Atau aku berteriak saja, ada kebakaran?

Oh, tidak! Tentu saja tidak. Itu pasti akan tampak norak sekali karena Mahnin akan segera tahu kalau itu hanya modus.

"Bodoh! Bodoh!" Kuacak rambut dengan kesal. Sedangkan, otakku tak henti menyalahkan diri sendiri.

Jika saja tadi aku tidak menolak kala diminta Mahnin menemaninya di dalam sana dan pulang bareng setelah selesai, mungkin hati tak akan segusar ini.

Di tengah kegelisahan yang mencapai puncaknya. Tiba-tiba kulihat pintu yang sedang kupandang terbuka, sontak aku pura-pura sibuk mengetik.

Aku tahu itu Mahnin dan Elvira. Lewat ekor mata ini, aku bisa menangkap bayangan keduanya yang sedang bercakap-cakap.

Seerrr! Kurasakan darahku berdesir cepat, ada serbuan rasa yang tak dapat kuartikan karena melihat Mahnin tersenyum dengan yang lain.

Bukankah tadi dia bilang kalau dia calon imamku? Terus kenapa sekarang malah tertawa dengan yang lain? Apa dia hanya ingin menguji?

Kesal. Aku pun lebih memilih memainkan ponsel di bawah meja. Inilah cara terbaik untuk tak melihat keberadaan mereka.

Dasar! Dia memang tidak pernah berubah.

"Kenapa kamu belum pulang?"

Aku mendongakkan kepala. Pupil mataku membesar, karena Mahnin tiba-tiba saja sudah ada di depanku.

Heran. Kapan dia jalan ke sini?

"Kok, bengong? Kenapa kamu belum pulang, Nya?" tegurnya lagi.

Pria itu memasukkan tangannya ke saku celana, menatap khawatir.

"Eh, anu ... iya Pak, aku belum pulang karena mau lembur," kilahku menutupi alasan yang sejujurnya. Aku menggigit bibir dengan gugup, karena jantungku kembali berdegap kencang.

Mustahil kan, kalau aku bilang sedang menjadi mata-mata? Bisa terbang hidungnya nanti.

"Kamu kan, kemarin sudah lembur. Ngapain lembur lagi? Pulang aja, gimana?" bujuk Mahnin. "Kamu bisa pulang bareng saya dan Elvira. Kita kan, searah."

"Vira?" Aku mengernyitkan dahi karena tak melihat Elvira di sekitar Mahnin.

Ke mana dia? Kok, hilang?

Tanpa diminta kepalaku sudah celingukan, tapi tak butuh waktu lama pertanyaanku langsung dijawab.

"Aduh ... maaf ya Pak ganteng, maaf ya aku tadi kebelet pipis. Eh, ada Anya ternyata. Kok, belum pulang?"

Vira yang baru muncul dari arah toilet, langsung menyapaku dengan tatapan tak suka.

"Iya, lembur Vir," jawabku singkat.

"Oh, lembur. Tumben," sindirnya sinis.

"Iya, lagi butuh duit." Aku melengos tak perduli atas pandangan Elvira. Dengan ketus, aku ambil berkas yang ada di laci Ancha, biar kelihatan sibuk.

Tuhan! Keluarkan aku dari sini sekarang. Aku tidak tahan.

"Nya, ayo cepet beresin tasnya, kita pulang!" pinta Mahnin padaku menyela suasana canggung yang tercipta.

Aku menggelengkan kepala lemah. Bareng sama mereka, sama saja cari masalah. Bagaimana pun, sebagai perempuan, penciumanku cukup tajam untuk mengendus rasa iri yang berkobar di hati seorang Elvira.

"Enggak usah Pak, saya masih lama. Kalian duluan aja."

"Eh, kok kami duluan? Ayo, pulang, Anya. Ini udah malam, kalau begitu saya tunggu kamu. Vira, gimana kalau kamu pulang sama taksi? Biar saya tunggu An--"

"Jangan Pak! Kasian Elvira. Saya bisa pulang sendiri. Mungkin nanti, saya minta dijemput Rian saja," potongku cepat.

Sejenak kulihat raut wajah Mahnin terlihat berubah lebih dingin ketika aku keceplosan bilang Rian. Padahal, aku tahu Rian sekarang lagi di luar kota.

Aku sendiri terkejut, bagaimana mungkin bisa berbohong hanya demi seorang Elvira yang sedang menatapku tajam.

"Iya, Pak, Anya kan cukup dekat dengan Rian. Pasti Rian akan menjemputnya, kalau dia minta. Lebih baik kita pulang saja, gimana? Kita kan tadi sudah rapat panjang, pasti capek kalau harus nunggu," ucap Vira seraya memasang wajah memelas pada Mahnin.

Aku mengatupkan bibir rapat. Rasanya dadaku bergejolak ingin menjambak rambut si k*tukupret bernama Vira itu.

Seandainya dia tak menatapku kayak orang minta dikasih jatah, sudah ku-iyakan ajakan Mahnin. Soalnya, aku pun tak rela Mahnin digondol makhluk semacam Vira.

Mahnin menghela napas panjang. Lama tak terdengar jawaban darinya, lelaki yang memiliki julukan 'Mr. Dimple' itu hanya menatapku lekat seolah tak rela meninggalkan.

"Gimana, Pak? Kita berangkat sekarang?" tanya Vira dengan nada tak sabar. Sementara aku hanya bisa berdiri canggung di bawah tatapan tajam sekaligus ragu sang Mr. Dimple.

"Oke. Baiklah. Silahkan, hubungi Rian. Ayo, Vira!"

Setelah mengatakan itu, Mahnin langsung saja membalikkan badan menuju lift, meninggalkanku yang masih merasa tak enak. Apalagi saat kulihat mata Mahnin yang menyiratkan kecewa.

Huft!

Aku menjatuhkan kepalaku langsung ke atas meja usai mereka masuk lift.

Sungguh, kali ini aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang kurasa juga apa yang kuinginkan.

Separuh hatiku tentu saja ingin ikut dengan Mahnin, tapi separuhnya malah meragu tak tentu. Namun, terlepas dari itu kuakui aku telah kelewatan pada Mahnin. Seharusnya aku tak membahas Rian di depannya.

"Bagus, Anya! Lagi-lagi kamu berbuat bodoh!" gumamku pada diri sendiri.

(***)

Aku berjalan takut dan tergesa di tengah gelapnya lorong kecil yang menjadi jalan pintas menuju perumahan.

Pada awalnya semua terlihat aman, tapi ketika memasuki lorong ini, insting waspadaku merasa ada beberapa orang yang mengikuti langkahku.

Berulang kali, aku mengumpat pada diri sendiri karena mengambil jalan yang salah dan menolak ajakan Mahnin untuk pulang bareng. Namun, mau bagaimana lagi? Gengsiku mengalahkan logika.

Payahnya, Mang ojeg online yang kutumpangi takut sama ojeg pangkalan yang mengarah ke perumahanku jadi dia menurunkan penumpang di mulut gang ini, agar aku tak berjalan jauh.

Takut.

Itulah yang aku rasakan. Diam-diam aku berdoa dan berharap mereka bukan orang jahat sesuai prasangkaku.

Brrr!

Aku bergidik ngeri sambil memeluk tas yang kudekap dengan erat. Hawa malam yang dingin dan lintasan pemikiran buruk seolah menyerangku bertubi-tubi.

Dalam situasi begini, aku hanya bisa mempercepat langkah agar segera keluar dan menemukan jalan utama, tapi anehnya saat aku mempercepat gerak kaki, mereka yang di belakangku pun mempercepat langkahnya. Aku tidak tahu mereka ada berapa, karena aku terlalu takut berbalik.

"Eheum!" Karena takut, aku pun berdehem keras. Mencoba mengendalikan diri dan mengetes suasana.

Tibalah aku di pertigaan yang sedikit licin dan itu membuatku memelankan langkah takut terjatuh.

Walau masih tak tenang, hatiku merasa sedikit lega, karena tinggal beberapa meter lagi aku akan sampai di ujung jalan lalu bisa menyebrang ke area perumahan. Untunglah, jalan yang sekarang tidak terlalu gelap.

Namum, karena langkahku pelan saat itu, tanpa sengaja aku menoleh ke belakang.

Sreet!

Oh Tuhan! Hampir saja aku Cumiik melihat ternyata ada tiga orang lelaki yang sedang mengikutiku dengan senyuman mesum di bibir.

Sialnya, mataku bertemu pandang dengan salah satunya. Kira-kira lelaki itu berumur sama dengan Ayah.

"Hey, Nona, cantik? Sendirian aja?" tanya salah satu dari mereka.

Aku tak menjawab pertanyaan si ompong, bergegas tubuhku berbalik kembali berjalan dengan cepat. Untunglah, tepat di tengah ketakutanku ponsel di saku kiri bergetar.

Reflek aku mengangkatnya, lalu kulihat nomor tak dikenal tengah meneleponku.

Terdesak, aku pun langsung mengangkatnya. Tidak perduli siapa pun itu yang penting bisa menolong.

"Halo? Anya, ini saya kamu di mana?"

Ya Allah! Itu Mahnin. Itu Mahnin.

Tanpa membuang waktu aku langsung menjawab.

"Sayang? Sayang, cepat jemput aku! Aku di lorong gang depan perumahan, ada yang aneh di sini tolong cepat ke sini!" ujarku hampir gagap.

"Loh, kamu gak sama Rian? Terus kenapa tiba-tiba bilang 'Sayang'?" Suara Mahnin terdengar bingung. Tapi, aku tak perduli, ideku sekarang adalah membuat mereka percaya bahwa aku wanita bersuami.

"Iya, Sayang. Oke aku tunggu ya, ada tiga orang lelaki mengikutiku," jawabku langsung ke intinya.

Sepertinya, walau agak bingung Mahnin yang ada di ujung telepon langsung memahami keadaanku dia pun langsung menenangkan.

"Oke, aku paham. Anya, dengar! Tenang ya, saya ke sana sekarang, karena jaraknya kebetulan dekat. Sekarang Kamu harus cari tempat terang, oke? Jangan perdulikan mereka,"

"Iya, Sayang."

Aku bersyukur Mahnin-lah yang menelepon sehingga bisa kujelaskan posisiku.

Belum sempat aku menutup telepon, seseorang di antara mereka menepuk pundakku dari belakang.

"Hey, kok gak dijawab?" Tubuhku menegang saat yang lain mulai mau memegang lenganku.

"Tolong menjauh! Kalau gak saya teriak! Saya sudah bersuami!" ancamku sambil menepis tangan salah satu di antara mereka.

"Masa? Mana suamimu? Ini lorong sepi Sayang, bagaimana kalau kita menyepi sebentar?" rayu yang lainnya.

Aku menggeleng kuat seraya berdoa, hampir saja aku menangis karena mereka terus memaksaku tapi sebisa mungkin aku terus menghindar dan berjalan ke arah yang terang sesuai kata Mahnin. Namun, semakin aku melangkah menjauh semakin aku merasa terpojok.

"Ayo, kok lari? Sini dong?"

"Diam kalian! Jangan sentuh saya!"

Aku terus meracau dan berdoa dalam hati semoga Mahnin segera tiba. Sekarang, aku hanya perlu mengulur waktu dan bertahan.

"Sayang! Kamu di sana?" Tepat di saat aku merasa putus asa dan ingin menangis sekencang-kencangnya. Mahnin tiba-tiba muncul dari arah ujung gang.

Dia lalu menarikku dan menyembunyikanku ke belakang punggungnya. Aku yang gemetar, hanya bisa berdiam berharap tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

"Mau apa kalian? Ini istri saya. Pergi!" Suara Mahnin yang menggelegar membuat ketiga lelaki asing itu mulai terlihat panik.

Mereka pun mundur. "Oke, sorry, Bro! Santai! Kita hanya bercanda kok, oke peace, ya? Kita cuman kasian lihat wanita cantik sendirian."

"Terus! Kalau dia cantik kalian mau, apa? Dia istri saya! Paham!"

Aku mematung mendengar ucapan Mahnin kali ini. Ada gejolak yang begitu intens di dalam sini, saat kudengar Mahnin mengatakan aku istrinya. Padahal, aku pun paham dia mengatakannya untuk berpura-pura karena demi keamanan.

Untungnya, dengan sedikit gertakan ketiga lelaki asing itu pun akhirnya mundur, karena melihat Mahnin yang lebih sangar dan bergeming walau mereka saling beradu tatapan tajam.

Savage Mahnin!

Setelah kepergian orang-orang jahat itu, Mahnin pun mengajakku ke tempat terang. Seolah paham kalau aku masih syok, dia sama sekali tak mengajakku bicara sampai tiba di mini market.

"Kamu mau minum?" tanyanya dengan nada perhatian.

Aku mendongakkan kepala, menatap dengan mata basa.

"Eng-enggak Pak, aku ingin pulang aja," jawabku langsung dengan wajah sedih.

Aku masih tidak bisa membayangkan, jika Mahnin tidak datang apa yang akan terjadi padaku.

"Oke, baik kita pulang, kamu yakin gak apa-apa?"

"Enggak, aku hanya syok," sahutku kembali menunduk.

Mahnin terdiam sesaat, lalu tiba-tiba dia merendahkan tinggi badannya agar wajah kami bisa sejajar.

"Anya!" panggilnya lembut. Tatapan matanya mengandung arti yang dalam.

"Apa, Pak?" tanyaku lemah.

"Mulai besok, kamu gak boleh pulang sendiri, ya? Lalu, pinta saya kamu jangan mencoba berbohong karena kamu gak bisa begitu dan juga ...." Lelaki itu tiba-tiba menjeda kalimatnya seperti sedang mencari kata-kata yang pas.

"Juga apa, Pak?" kejarku bingung.

"Saya takut kamu hilang, nanti gak ada yang bilang 'Sayang'. Hehehe ...," candanya membuatku reflek mencubit pinggang lelaki itu.

"Pak Mahniiiiinnnn ... itu kan kepaksa demi menyelamatkan harga diri! Udah ah, jangan dibahas!" kilahku mencari alasan. Pura-pura malas membahas.

"Beneran kepaksa?" pancingnya.

"Iyalah, kalau gak kayak gitu mah ogah!" balasku lagi sambil berjalan pergi dengan tergesa.

Gengsi. Mana bilang 'Sayang' lagi.

Alamak! Modus. Tapi, nggak apa-apa-lah yang penting harga diriku masih aman dan aku masih perawan. Ya, kan?
bonita71
genji32
rinandya
rinandya dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.