- Beranda
- Stories from the Heart
Si Cantik Penjaga Toko
...
TS
blackgaming
Si Cantik Penjaga Toko
Si Cantik Penjaga Toko
Mulustrasi hanyalah penggambaran saja untuk agan semua cuci mata


Jangan lupa comment biar ane tambah semangat updatenya
Spoiler for Update Chapter:
Chapter 1
"Salsabila Eka Putri?"
"Ya, saya, Pak!" jawabku.
ini kali pertama aku melamar pekerjaan dan langsung diterima oleh Bos dari toko serba ada di daerah dekat kosku. aku terpaksa harus bekerja karena aku tahu diri tak mungkin mengandalkan orang tua terus-terusan. Di kampung, adik-adikku masih banyak. mereka butuh sekolah dan segala kebutuhannya harus terpenuhi. Ayahku seorang karyawan pabrik dan ibuku adalah seorang ibu rumah tangga biasa.
aku terpaksa kos karena jarak rumah ke sekolahku cukup jauh. Aku terpaksa berhemat. Kasihan ayah jika terus-terusan memintanya mengirimi uang.
mungkin karena usiaku masih sangat labil, aku gampang terpengaruh pergaulan. aku ikut-ikutan teman mencari pacar kaya agar bisa sedikit membantu keuanganku.
Eits! jangan salah. walaupun aku hampir terperosok sama seperti teman-temanku. aku masih menjaga mahkotaku. Aku satu-satunya yang masih perawan dalam gangsku.
Kata mereka wajahku memang judes. Kuakui, aku memang judes dan sedikit galak. Apalagi sebagai pelayan toko kata orang wajib ramah. Aku malas sekali jika harus berbasa-basi dengan orang asing.
Untungnya, Bos ditempat kerjaku sangat baik. Selain baik beliau juga sangat ganteng. Aku yang masih sangat muda ini dibuat baper karena kelakuan manis bosku.
Lain Pak Bos lain pula Bu Bos. Bos wanitaku ini sangat garang. Mirip macan! Sedikit-sedikit bentak, sedikit-sedikit marah. Untungnya tiap habis marah beliau selalu memberikanku traktiran. No problem! Asal perutku kenyang aku tak apa dimarah-marahi. hahahaa.
Selain sering ditraktir makan. Bosku juga memberikan kami pulsa gratis. Iya kami! karena semua dapat. Pulsa ini kami dapat cuma-cuma dengan syarat kami harus rajin promo barang yang ada di toko ke akun media sosial kami.
Tentu saja aku jarang promo. Malu, dong! Kalau ketahuan teman-temanku bisa dibully aku nanti. Sabil yang terkenal cerdas masak iya harus menjadi pelayan toko? Apa kata dunia!
"Mbak, mau ukuran empat puluh dua, dong!" ujar bapak-bapak bertubuh tambun itu.
Dengan malas kuletakkan HPku di atas meja dan mulai mencari sendal pesanan customer tadi.
"Gak ada, Pak! Maksimal ukuran empat puluh!" ujarku sambil duduk kembali.
"Yang model lain, deh, Mbak! Asal ukurannya empat puluh dua!" kata bapak itu memelas.
"Ih, si Bapak! Dibilangin gak ada juga!" jawabku kesal.
Bapak itu langsung keluar dari tokoku menuju toko samping dengan wajah kesalnya.
"Dasar! Gak niat beli malah berantakain! bikin capek saja!" Gerutuku.
Aku bekerja di toko lumayan besar. Toko alat sekolah lengkap, juga baju, dan alas kaki. Serba ada, lah! Pemilik toko ini bernama Pak Gianto, orangnya ramah dan suka bercanda. Masih muda, mungkin usianya baru sekitar tiga puluh lima tahun. Kalau istrinya, jangan tanya! Macan saja kalah garangnya!
Aku bekerja baru dua bulan. Kalau ada Bu Astri. Jangankan main HP duduk saja aku diomelin. Untungnya Bu Astri jarang kemari. Hanya Pak Gianto saja yang sering kemari.
Toko ini memiliki karyawan sebanyak empat orang. Dua dilantai atas dan dua lagi dilantai bawah. Aku dan Mbak Enggar berada di lantai bawah. Mbak enggar bertugas menjadi kasir tapi jika sepi beliau membantuku.
Pak Gianto sangat royal terhadap karyawannya. Kami sering ditraktir makan. Aku juga sering dibelikan pulsa.
Usiaku saat ini baru delapan belas tahun. Baru lulus sekolah SMK ketika iseng-iseng melamar pekerjaan aku diterima. Mungkin karena aku cantik. Tentu saja aku senang sering dibelikan pulsa. Menghemat pengeluaranku, kan! Maklum sudah tak tinggal bersama kedua orang tua dan kos di sini.
***
"Sabiiiil! Jangan main HP terus! Tuh, lihat! Rak sepatu berantakan bukannya diberesin malah sibuk main HP!" teriak Bu Astri tiba-tiba. Entah kapan beliau masuk aku tak sadar.
Mbak Enggar hanya cekikikan melihatku dimarahi. Dasar Mbak Enggar! Dengan malas aku berjongkok di depan rak sepatu dan mulai menata satu demi satu sepatu yang berserakan.
Bu Astri ikut membantuku. Dengan cekatan beliau membereskan sisa kardus-kardus sepatu. Tanpa sungkan pula beliau turut membantu Mbak Enggar yang sedang menghitung stok barang. Bu Astri memang cekatan. Kuakui itu. Beliau sangat tegas dan disiplin.
***
Seorang bapak-bapak tua dengan baju kumal masuk memilih-milih mukena.
"Mbak, yang ini berapa?" tanyanya.
Aku yang sedang membereskan sepatu menoleh sekilas. Lalu melihat label harga.
"Seratus tujuh puluh!" jawabku singkat.
"Kalau yang ini?"
"Mahal itu, Pak! Enam ratus ribu!" jawabku sambil bersendekap. Beliau nampak berpikir sambil sesekali memegang mukena berwarna putih itu.
"Gimana, Pak? Lama amat!" bentakku.
"Ekhem!" Bu Astri menghampiri kami. Mati aku! Aku lupa jika Bu Astri sedang berada di sini.
"Mohon maaf, Bapak! Mau yang mana?"
"Yang seharga lima ratus ribuan, ada, Bu? Buat hadiah istri saya!" tanyanya lagi.
"Bapak mau yang ini? Ini bagus lho, Pak!" tanya Bu Astri.
"Bagus, ya, Bu! Tapi uang saya kurang." jawabnya sambil tersenyum kecut.
"Bapak bawa saja, seratus ribunya saya diskon!" ujar Bu Astri sambil tersenyum.
"Eh, Bu! Modus itu! Hati-hati jaman sekarang banyak orang bohong! Bikin rugi nanti!" selaku.
"Diam kamu!" Bentak Bu Astri.
Aku menunduk dan mundur meninggalkan mereka. Awas saja kalau sampai benar tertipu. Tahu rasa Bu Astri!
"Jaman sekarang jangan mudah percaya sama orang." ujarku pada Mbak Enggar.
Aku disikut Mbak enggar, "kamu, sih! Marah, kan Bu Astri!"
"Aku ngasih tahu, Mbak!"
"Gak usah sok tahu kamu! Mending diam." kata Mbak Enggar lagi.
Terpaksa aku menggerutu sendirian. Bu Astri melirikku sekilas lalu melayani bapak itu sampai pembayaran selesai.
Alamat diamuk sebentar lagi!
Diubah oleh blackgaming 06-03-2021 10:50
itkgid dan 33 lainnya memberi reputasi
32
29.7K
185
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
blackgaming
#46
Chapter 24
Mobil melaju pelan melewati perumahan elit. Aku memang belum pernah ke rumah Bu Nur. Kalau ke rumah Bu Astri sudah pernah. Tapi, tak menyangka juga kalau rumah beliau sekitaran sini.
Kami berbelok ke salah satu blok. Gila, rumahnya gak ada yang kecil. Besar-besar semua dengan pagar menjulang tinggi. Mungkin harga pagar mereka saja tak sebanding dengan harga rumah orang tuaku di kampung.
Mobil berbelok ke dalam rumah berpagar putih. Kemudian ada seorang bapak-bapak membukakan pintu pagar.
Keringat dingin bercucuran. Rumah megah dengan nuansa putih dan coklat di depanku tampak berdiri megah membuatku sangat merasa kecil.
"Ayo, sudah sampai."
Aku menggeleng, "aku takut."
"Ayo! Kalau gak mau turun gue gendong, nih!"
"Ogah!" jawabku sambil tetap diam di dalam mobil.
"Ayo!" David turun dari mobil dan membuka pintu, dia menarik-narik tanganku meminta aku keluar.
"Eh, anak orang kamu apain?" ujar Bu Nur.
Bu Nur menghampiri kami, aku hanya nyengir sedangkan David garuk-garuk kepala.
"Ayo masuk, Sabil."
"I-iya Bu." jawabku terbata.
Jantungku berdegup cepat. Aku sangat gugup karena seumur hidupku baru kali ini aku main ke rumah laki-laki.
Aku takjub dengan isi rumah ini. Ruang tamunya saja lumayan luas dengan sofa cantik berwarna coklat di sisi kirinya terdapat tanaman hias dengan pot berwarna putih. Di samping kiri ada ruangan keluarga dengan TV besar dan pernak-pernik cantik. Lampu hias cantik di langit-langit membuat rumah bernuansa putih ini semakin tampak mewah.
"Pak, Bapaak. Ada tamu ini." Bu Nur berteriak memanggil Suaminya.
Pak James keluar dari arah samping rumah, dengan ramahnya beliau mempersilahkan aku duduk dan memperkenalkan diri.
Kami duduk di ruang keluarga. Aku menaruh oleh-oleh yang sebelumnya aku beli di jalan.
"Makasih, ya, Bil. Lain kali kalau main ke sini gak usah repot-repot," ujar Bu Nur.
"Enggak repot kok, Bu." Jawabku kikuk.
Kami ngobrol ngalor-ngidul dengan akrab. Ya, Bu Nur seasik itu. Apa lagi Pak James orangnya benar-benar ramah. Ketakutanku tak terbukti. Malah kata Bu Nur aku disuruh sering-sering main kesana.
Aneka cemilan dan segelas minuman disuguhkan. Kami ngobrol banyak. Menjelang makan David meminta dimasakkan. Padahal Bu Nur sudah menyiapkan makan malam. Akhirnya Bu Nur mengajakku memasak di dapur. Untung saja aku sudah fasih masalah dalam dunia perdapuran.
Kami memasak sayur asem, ayam goreng, sambel goreng udang, ikan asin dan sambal. Kata Bu Nur ini semua makanan kesukaan David.
"Kata David, dia punya adik, ya, Bu?" tanyaku.
"Iya, belum pulang dia. Lagi main ke rumah temannya. Tadi berangkatnya juga bareng sama masmu." jawab Bu Nur sambil mengaduk sayur asem.
Ya, Bu Nur membiasakan aku memanggil David dengan sebutan 'Mas' aku mengangguk saja.
"Widih, akrab nih, sama calon mantu." David tiba-tiba datang mengagetkanku.
"Lah kamu maunya ibumu ini galak gitu sama calon mantu?" ujar Bu Nur.
"Ibu mah kalah galak sama Sabil." jawab David sambil mengunyah kerupuk.
Aku merengut sebal. Dasar David bikin malu saja. Padahal di depan Bu Nur aku sangat berusaha bersikap manis.
Satu jam kemudian masakan kami matang. Aku menatanya di meja makan. Kebetulan hari ini ART Bu Nur sedang libur.
"Asalamualaikum"
"Waalaikumsalam." Jawab kami serempak.
"Eh, ada tamu." Ujar gadis itu ramah.
"Sini, Lis! Kenalin ini calon mbak iparmu." Teriak David.
"Halo, Mbak. Saya Elisa." Dia mengulurkan tangan ramah. Aku menyambutnya dengan senyum seramah mungkin.
***
Kami makan malam bersama, Pak James berkali-kali memuji masakanku yang diamini juga oleh semua orang.
Aku sama sekali tak direndahkan di keluarga ini. Saat menceritakan tentang keluargaku pun mereka juga sama sekali tak menanggapinya dengan berlebihan. Biasa saja gitu.
Elisa bahkan mengajakku ke kamarnya. Menunjukkan deretan koleksi novel dan barang lainnya.
Tak terasa sudah jam sembilan lebih. Aku berpamitan kepada keluarga ini. Bu Nur membawakan aku banyak oleh-oleh. Elisa juga memberiku satu buah novel.
"Jangan ngebut, ya, Nak. Kamu bawa anak orang ini, loh!"
"Iya, Bu." Jawabnya.
"Sabil, kapan-kapan main-main kemari lagi, ya! Ibu seneng sama kamu." Ujarnya sambil mencium pipi kanan dan kiriku.
Wajahku terasa panas. Betapa bahagianya aku. Ternyata semua orang menyukaiku.
Sepanjang perjalanan pulang aku senyum-senyum sendiri. Bahagia banget rasanya. Ya, walaupun belum tentu jadi mertua setidaknya kan sudah ada lampu hijau. Hehe.
David memegang tanganku. Sesekali menciumnya. "Gue seneng banget hari ini. Makasih, ya!"
"Sama-sama, Mas." jawabku.
"Awww, pelan-pelan dong. Kepentok, nih!" Omelku.
"Lu tadi manggil gue mas? Serius?"
Aku menutup mulutku dengan tangan. Aku juga gak nyadar, sih. Kujawab dengan gelengan. David malah memegang kepalaku dan menciumi kepalaku berkali-kali.
"Ih, Stupiiiid! Apaan, sih! Sana-sana. Jangan macem-macem!" Bentakku.
"Mangkanya ayo nikah biar bisa macem-macem."
"Mau gak, yaaaa?" jawabku.
"Kalau gak mau, gue cipok, nih!"
"Iyaaa, mau!" jawabku.
"Ayo!" Jawabnya antusias.
"Ngapain?"
"Katanya mau dicipok!"
Kujitak kepalanya, dia tertawa sambil mengelus kepalanya.
"Oke, secepatnya aku datang ke rumah orang tuamu untuk melamar secara resmi."
"Oke. Buktikan." jawabku.
David mengangguk mantap, "baiklah calon istri. Kamu diam saja, biar Mas yang akan memperjuangkanmu!"
Aku tergelak melihat tingkah David. Dengan lantangnya dia berbicara seperti itu sambil memukul dadanya.
itkgid dan 11 lainnya memberi reputasi
12