- Beranda
- Stories from the Heart
KALAGENDA | RITUAL
...
TS
re.dear
KALAGENDA | RITUAL
Mohon maaf bagi yang sudah menunggu terlalu lama🙏
Kami ucapkan terimakasih banyak atas kesabarannya yang luar biasa.
Kalagenda telah kembali, semoga masih cukup menarik untuk disimak.
Konten Sensitif
"Sejatinya tidak ada ilmu hitam dan ilmu putih, ilmu tetaplah ilmu. Yang ada hanyalah pelakunya menapaki jalan yang mana."
Spoiler for SEASON 1 SAJEN:
Chapter: Sajen
adalah chapter pembuka dari kisah ini. Seperti ritual, sesajen dibutuhkan sebagai syarat utama.Kisah yang menceritakan persinggungan dengan seorang dukun sakti yang dipanggil Ki Kala. Seorang pelaku ilmu hitam yang sanggup memenuhi setiap permintaan. Tentu dengan bayaran nyawa.
Akankah kami dapat bertahan?
Spoiler for TOKOH UTAMA:
Kang Adul Ojol
Seorang pengemudi ojek online berumur 40tahunan. Seorang bapak dengan 2 anak yang selalu mengutamakan keluarga. Kesialan yang dirinya atau rekan-rekannya alami membawa sisi yang jarang diekspos dari pekerjaan ojek online.
Mang Ian Warung
Perantau 27tahun dari kampung yang masih betah dalam status lajang ini mengelola sebuah warung yang berlokasi disebuah pertigaan angker.
Bang Herul Akik
Mantan satpam berumur 35 tahunan dari beberapa perusahaan. Seorang bapak dengan 1 anak yang selalu penasaran dengan hal mistis. Pun kejadian sial yang ia alami membuatnya terjun ke dunia batu akik untuk menyambung hidup.
Teh Yuyun
Wanita berumur 50 tahun lebih yang menolak tua. Mempunyai 2 anak tanpa cucu. Siapa sangka dibalik sikapnya yang serampangan, ia adalah sosok yang mempunyai ilmu kebatinan.
INDEX:
1.1.Kang Adul Ojol: Resto Fiktif
1.2.Mang Ian Warung: Singkong Bakar
1.3.Bang Herul Akik: Lembur
1.4.Teh Yuyun: Pesugihan Janin
===============================
Mitaku Malang, Mitaku Kenang
1.5.Mang Ian Warung: Kupu-Kupu Malam
1.6.Kang Adul Ojol: "Offline aja mbak."
1.7.Teh Yuyun: Susuk Nyai
===============================
1.8.Bang Herul Akik: Cici Cantik
1.9.Kang Adul Ojol: Ayu Ting Ting
1.10.Bang Herul Akik: Mess Sial
===============================
Kala Bermula
1.11.Kang Adul Ojol: Harum
1.12.Kang Adul Ojol: Cicak
1.13.Teh Yuyun: Akhir Awal
===============================
1.14.Mang Ian Warung; Bayawak
1.15.Bang Herul Akik: Pabrik Tekstil [I]
1.16. Bang Herul Akik: Pabrik Tekstil [II]
1.17. Bang Herul Akik: Pabrik Tekstil [III]
===============================
KONFRONTASI
1.18. Teh Yuyun: Tumbal
1.19. Teh Yuyun: Kunjungan
1.20. Teh Yuyun: Getih Laris
===============================
1.21. Kang Adul Ojol: Petaka Hamil Tua
1.22. Mang Ian Warung: Puputon [I]
1.23. Mang Ian Warung: Puputon [II]
1.24. Mang Ian Warung: Puputon [III]
===============================
BAHLA
1.25. Teh Yuyun: Rega [I]
1.26. Teh Yuyun: Rega [II]
1.27. Teh Yuyun: Rega [III]
===============================
1.28. Mang Ian Warung: Panon
1.29. Bang Herul Akik; No.19
TALAMBONG JARIAN
1.30. Citraghati [I]
1.31. Citraghati [II]
1.32. Citraghati [III]
1.33. Dalak Natih [I]
1.34. Dalak Natih [II]
1.35. Purwayiksa [I]
1.36. Purwayiksa [II]
1.37. Purwayiksa [III]
1.38.
=====SARANANDANG=====
1.39. Kara
1.40. Vijaya (I)
1.41. Vijaya (II)
1.42. Vijaya (III)
1.43. Kusuma Han (I)
1.44. Kusuma Han (II)
1.45. Sang Bakul (I)
1.46. Sang Bakul (II)
1.47. Pathilaga
1.48. Hieum
1.49. EPILOG SEASON 1
Chapter: MANTRA
Setelah kisah pembuka dari kengerian seorang dukun, seluk-beluk, latar belakang, & segala yang melengkapi kekejamannya usai lengkap. Penulis kembali meneruskan kisah horornya.
Sebab tatkala persiapan sesajen telah memenuhi syarat, kini saatnya mantra tergurat.
Cara apa lagi yang akan digunakan untuk melawan Ki Kala?
Siapa lagi korban yang berhasil selamat dari kekejaman ilmu hitamnya?
Bagaimana perlawanan sang tokoh utama dalam menghadapi Ki Kala?
Akankah kali ini kami berhasil?
Spoiler for TOKOH UTAMA:
DINDA
Penerus sekaligus anak perempuan dari Nyi Cadas Pura alias Teh Yuyun di chapter sebelumnya. Usianya belumlah genap 30 tahun, namun ilmu yang ia kuasai hampir setara dengan milik ibunya.
RATIH
Seorang (mantan) Pelayan rumah dari keluarga besar Han yang sudah binasa. Manis namun keji, adalah gambaran singkat mengenai gadis yang baru berusia 25 tahun ini.
IMAM
Seorang mahasiswa di salahsatu kampus yang tak jauh dari tempat Dinda tinggal. Seorang keturunan dari dukun santet sakti di masa lalu. Meski ia menolak, namun para 'penunggu' ilmu leluhurnya kerap kali menganggu.
~~oOo~~
Penerus sekaligus anak perempuan dari Nyi Cadas Pura alias Teh Yuyun di chapter sebelumnya. Usianya belumlah genap 30 tahun, namun ilmu yang ia kuasai hampir setara dengan milik ibunya.
RATIH
Seorang (mantan) Pelayan rumah dari keluarga besar Han yang sudah binasa. Manis namun keji, adalah gambaran singkat mengenai gadis yang baru berusia 25 tahun ini.
IMAM
Seorang mahasiswa di salahsatu kampus yang tak jauh dari tempat Dinda tinggal. Seorang keturunan dari dukun santet sakti di masa lalu. Meski ia menolak, namun para 'penunggu' ilmu leluhurnya kerap kali menganggu.
~~oOo~~
INDEX
2.1. Prolog Mantra
2.2. Asih
2.3. Delman
2.4. Kaki Kiri
Santet
2.5. Tideuha Murak Pawon [I]
2.6. Tideuha Murak Pawon [II]
2.7. Bebegig
2.8. Mancing
Babak Pertama Pangkur
2.9. Tepak Hiji
2.10. Tepak Dua
2.11. Tepak Tilu
2.12. The Artefact
2.13. Pangkur: Maludra
2.14. Pangkur: Maludra (2)
2.15. Pangkur: Durma
2.16. The Unexpected One
2.17. Sastra Jingga
2.18. Socakaca
2.19. Calung Durma
2.20. Hanaca Raka
2.21. Hanaca Rayi
2.22. Sarangka Leungit
2.23. Mega Ceurik
2.24. Lumayung Mendung
2.25. Pangkur: Juru Demung (I)
2.26. pangkur: Juru Demung (II)
2.27. Aksara Pura
2.28. Tarung Aksara
2.29. Adinda Adjining Sanggah
2.30. Teh Tawar
2.31. Fleuron: Back Stage
Antawirya
2.32. Para Jaga Loka
2.33. Adarakisa
2.34. Niskala Eka Chakra
2.35. Rengga Wirahma
2.36. Astacala
2.37. Cantaka
2.38. Léngkah Kadua
~oOo~
2.39. Pelatihan Neraka
2.40. Anyaranta
Quote:
WARNING!!
Cerita ini mempunyai komposisi sebagai berikut:
> 70% FIKSI
> 25% GOOGLING
> 4% NANYA ORANG
> 0,9% KEBOHONGAN MURNI
> 0,1% KENYATAAN YANG MASIH DIRAGUKAN KEBENARANNYA
Dengan demikian, penulis harap kebijaksanaannya. Apabila terjadi kesamaan dalam penokohan, alur, latar belakang, artinya hanya ada 3 kemungkinan:
1. Kejadian itu kebetulan benar terjadi.
2. Pengalaman agan mainstream.
3. Karya saya yang terlalu biasa.
Happy reading!
Jangan lupa cendol & rating bintang lima nya ya!


Jangan lupa cendol & rating bintang lima nya ya!


Spoiler for REFERENSI::
Diubah oleh re.dear 01-07-2021 00:18
arieaduh dan 74 lainnya memberi reputasi
65
95K
Kutip
2.3K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
re.dear
#631
2.23. Mega Ceurik

'Kinanti melantunkan pupuhnya merdu, alunan menyayat hati dengan lirik sendu, seolah mengajak malam itu untuk menari dalam deritanya bersama.'

'Kinanti melantunkan pupuhnya merdu, alunan menyayat hati dengan lirik sendu, seolah mengajak malam itu untuk menari dalam deritanya bersama.'
Sedikit enggan untukku bertanya lebih lanjut karena inti percakapan Ayi dengan Ira tempo hari. Ayi terdiam sebentar sebelum melanjutkan ceritanya.
"Kau takut?"
Ayi memancingku.
"Inginku berkata bahwa Tuhan lebih berkuasa darimu, dan neraka lebih menakutkan. Tapi sungguh, aku bukan insan dengan keimanan sebesar dunia itu sendiri."
Aku menjawabnya setenang mungkin.
"Hahaha.. maksudmu kau takut mati?"
Ayi tertawa setengah terpingkal.
Aku hanya manjawab dengan dengusan.
"Baiklah, ini hal yang benar-benar melukai Dinda."
Ayi memulai dengan suram.
Spoiler for Dan aku mendengarnya tanpa bernafas:
Dinda keluar dari kamar si kembar dengan emosi sendu yang meluap-luap. Dadanya sesak hingga membuatnya sulit bernafas, terlalu banyak beban dari keduanya dan ramalan mengerikan mengenai Ki Kala seolah hal itu adalah kepastian.
Dinda menuju balkon lantai atas, memegang besi pembatas dan mengatur nafasnya. Dapat kubayangkan saat itu Dinda berusaha menguasai dirinya agar tak lepas kendali. Segila apapun, mereka masih anak-anak, dan mereka bukanlah pihak yang harus disalahkan.
Amarah menguasai Dinda saat membayangkan Ki Kala dan usaha ibunya yang gagal menyingkirkan iblis itu. Dan sekali lagi, sebelum Dinda tenggelam dalam kegilaannya, ia menahannya dengan baik. Nafasnya kembali teratur sekali lagi.
Langit malam ia tatap dengan dalam, kerlip bintang terlihat cantik dan menenangkan. Seperti melayang, Dinda menutup matanya dan menikmati momen itu hingga lupa bagaimana ia harusnya berpijak pada kenyataannya sendiri.
"Si kembar bercerita tentang pengunjungnya yang ramah dan sedang bersedih."
Seorang wanita berujar membuyarkan lamunan Dinda seketika.
Dinda berbalik dan menatap tajam membaca pikiran wanita dihadapannya.
"Sepertinya tangan anda terluka."
Dinda berkata sambil menatap lengan wanita itu.
"Ah, kejadian yang diluar dugaan. Bukan hal besar. Sepertinya anda kesulitan mencari saya."
Wanita itu berjalan dan berdiri di samping Dinda.
Sekilas, seperti dua wanita dekat yang sedang berbincang akrab dengan pemandangan malam diatas balkon rumah sakit.
"Sebelum saya, silahkan, sepertinya anda mempunyai sesuatu yang harus diutarakan."
Dinda mempersilahkan lawannya untuk bicara.
"Sungguh sopan, dapat saya bayangkan kesulitan anda berada diantara dua orang bodoh didepan sana."
Wanita itu menyindir.
"Jangan terlalu dipikirkan, meskipun terkadang saya ingin melemparkan salahsatunya dari atas sini."
Dinda berkata sambil memandang ke bawah.
"Baiklah, saya harap anda tidak lepas kendali saat mendengar kabar ini."
Wanita itu memandangi titik yang sama dengan Dinda.
"Akan saya usahakan."
Dinda menjawab dingin.
"Nyi Cadas Ayu masih hidup."
Kata-kata wanita itu sontak membuat Dinda melotot tajam.
Dinda seperti menahan sesuatu dari dalam dirinya agar tidak meledak keluar.
"Kata..kan se..kali la..gi..."
Dengan susah payah Dinda berkata.
"Tidak sepenuhnya mati, maksud saya, kepingan memori dan pesannya tertinggal di alam seberang. Tepat di tempat dimana ia melakukan kontrak terakhir."
Wanita itu menjelaskan dengan singkat.
"Seb..ut..kan i...sinya..."
Dinda menahan dadanya dan tubuhnya agar tidak ambruk.
"Seperti saya akan dengan mudah mengatakannya."
Wanita itu menjawab dingin sambil menatap Dinda yang sedang kesakitan.
Dinda tak mampu membalas tatapannya dan sibuk menguasai dirinya sendiri.
Wanita itu merubah posisinya dan bersiap pergi.
"Sepertinya dengan keadaan anda saat ini, anda tidak ada pertanyaan untuk diajukan seperti diawal tadi. Kalau begitu. Saya pamit dan selamat malam."
Wanita itu menempatkan ujung jari telunjuknya tepat di dahi Dinda.
Dan dengan itu, Dinda sepenuhnya kehilangan kesadarannya.
~oOo~
Sementara itu, 'orang bodoh' yang Ira sebutkan sedang asik bicara dengan Ratih.
"Dinda lama ya?"
Ucapnya sambil duduk.
"Ayi juga menghilang."
Ratih setengah khawatir mengedarkan pandangannya.
"Halah, baper dia mah, jangan terlalu dipikirin. Ntar juga kalo laper balik lagi."
Dengan santai Denis menjawab.
"Ai siadikira piaraan kali si Ayi."
Dinda menjitak kepala Denis.
"Ya abis apa dong? Masa berantem lawan cewe doang gak sanggup."
Denis mengeluh.
"Hah? Berantem? Kapan?"
Ratih bertanya tajam.
"Lah tadi pas sia kesini, aing belum bilang emang?"
Denis bertanya.
"Sia sibuk sama ketan goreng nyet!"
Dinda menjitak kepalanya sekali lagi.
"Emang iya?"
Denis kebingungan.
"Euh... Ontohod! cerita coba yang bener!"
Ratih kesal.
Dan kejadian tadi mengalir dari mulutnya.
Ratih terkesima tak siap, wanita yang dicari tak disangka punya kemampuan. Ira, tambahan satu orang yang harus diperhitungkan.
"Dinda! Kita harus nyusul dia! Cepetan!"
Ratih berdiri dan setengah berlari.
"Bentar-bentar! Tunggu dulu!"
Denis menahan Ratih.
"Apalagi?"
Ratih kesal.
"Mau bawa bakwan gak buat dia nanti?"
Denis mengacungkan sebungkus gorengan.
"Aisia!"
Ratih meninggalkannya dengan kesal disusul Denis yang sibuk memegangi kantong plastik berisi bakwan.
Ratih dan Denis mencari ke seluruh ruangan dengan terburu mencari Dinda hingga menimbulkan keributan yang menganggu.
Lalu seorang perawat menegur mereka.
"Kalian ini sedang apa?"
Tanya perawat itu.
"Kita nyari temen kita mbak, tinggi putih pake jaket item rambut panjang sepinggang. Mbak liat?"
Ratih bertanya dengan cepat.
"Ciri-ciri begitu, banyak disini, tamu atau anggota keluarga pasien juga ada yang seperti itu."
Perawat itu menjawab.
"Namanya Dinda mbak, liat gak?"
Denis ikut bertanya.
"Yang bener aja, yakali dia tau!"
Ratih menyenggol tangan Denis dan berbisik kesal.
"Oh, kemungkinan yang kalian cari sedang ada di ruangan ICU, kita nemuin dia gak sadar di balkon atas."
Perawat itu menjawab Denis.
"Hah? Oke makasih mbak!"
Ratih berlari menuju ruangan yang dimaksud dengan Denis mengekor dibelakangnya.
"Kata aing juga apa, dia tau namanya Dinda."
Denis berkata sombong sambil berlari.
"Berisik sia!"
Ratih tak menggubrisnya dan terus berlari.
Sesampainya mereka disana, Dinda berbaring tak sadarkan diri.
Ratih diam membisu melihat kawannya di kondisi itu. Tangannya terkepal marah.
Denis ambruk di samping tubuh Dinda, gorengannya berceceran di lantai. Sekuat tenaga, ia menahan tangis.
Ratih dengan tenang, menghubungi Abah dan menjelaskannya tentang hari ini hingga kondisi Dinda. Abah menjawab khawatir dan mengabari akan segera sampai.
Denis berdiri, air matanya belum kering.
"Beresin urusannya. Aing pergi dulu."
Suara Denis dingin.
"Kemana sia? Jangan bodoh!"
Ratih menahan Denis.
Denis diam, kesalnya memuncak. Pertanyaan Ratih tak ia indahkan.
"Téang! Téangan awéwé bieu nu wani-wani nganggu Dinda. Téangan nepi kapanggih! Ulah balik iwal mawa lokasina. Mun wani kabur, ku aing duruk hiji-hiji! Ngarti?"
("Cari! Cari wanita tadi yang berani menganggu Dinda. Cari sampai ketemu! Jangan pulang kecuali membawa lokasinya. Jika berani kabur, kubakar kalian satu persatu, paham?"
Denis seperti berkata sendiri.
Ratih yang masih memegangi tangannya heran dengan perilaku Denis. Namun saat ia sadar dengan kumpulan bayangan yang memenuhi ruangan ini, Ratih melepaskan tangannya dan mundur perlahan dengan raut wajah ketakutan.
Satu, dua, puluhan, ratusan, makhluk-makhluk menyeramkan berkumpul dari dalam dan diluar rumah sakit. Makhluk-makhluk dengan ukuran berbeda, dan bentuk berbeda semuanya sedang berlutut dengan Denis sebagai pusatnya.
Makhluk yang kita kenal dengan nama 'siluman' semuanya serempak menjawab perintah Denis.
"... Nun Gusti ... "
Lalu menghilang pudar satu persatu seperti asap tertiup angin. Denis tak berbalik melihat Dinda dan pergi dari ruangan itu dengan dingin.
Ratih, entah bagaimana, setelah apa yang ia lakukan selama ini. Pengalaman-pengalamannya berurusan dengan makhluk-makhluk gaib, untuk saat ini dia merasakan ketakutan yang telah lama ia lupakan.
Bagaikan gunungan bangkai, dan samudra darah terhampar dihadapannya. Bukan kematian, tapi lebih seperti pemandangan neraka dan ia berada di pintu masuknya.
Abah tiba dengan panik tak lama kemudian, keringatnya mengucur deras. Ia tegang melihat kondisi putrinya, namun lebih bertanya-tanya dengan keadaan Ratih.
"Kamu kenapa?"
Abah membantu Ratih berdiri.
"Saya lihat... Malapetaka..."
Dan keheningan kental menyelimuti ruangan itu.
~oOo~
Kini hampir tengah malam di kota ini. Kehidupan siang berakhir, diganti kehidupan malam yang mulai bangkit dari persembunyiannya. Jejeran bangunan berhias lampu temaram menggoda dengan kerlip manja. Membangkitkan birahi ke puncak bagi yang sekedar lewat atau yang terjerat erat.
Di sebuah sudut jalan kecil, bangunan 2 lantai sempit berdiri enggan. Seperti kapan saja dapat ambruk hanya dengan sentuhan kecil di salahsatu pilarnya. Seorang wanita masuk dengan tergesa sambil memegangi lengannya.
Ponselnya berdering, sebuah pesan masuk.
Orang itu menanyakan keberadaannya, pesan itu hanya ia lihat tanpa balas dan menaruh kembali gawainya.
Ira menyuntikkan cairan putih kental dengan dalam hingga menyentuh retakan tulang lengannya. Melepaskannya perlahan lalu duduk diatas dipan.
Helaan nafas dan iringan mantra terucap dari bibirnya dengan fasih. Dia melakukan hal ini mungkin ratusan kali, dan patah tulang bukanlah masalah besar bagi seseorang sepertinya.
Setelah selesai, ia menggerakkan lengannya memutar. Memeriksa dengan seksama bahwa ia telah pulih sepenuhnya dan siap untuk berkerja kembali.
Ia mengangkat tangannya dan melepaskan pakaiannya. Puluhan bekas luka sayatan terlihat menghias punggung, perut dan leher belakangnya. Mengganti pakaiannya dengan yang lebih nyaman untuk beristirahat dan merebahkan tubuhnya untuk terlelap.
Ponselnya ia pandangi dalam, sebuah potret bentuk kedekatan terpampang disana.
Bima sedang memeluk Ira.
Sementara itu, di waktu yang sama, di tempat yang berbeda.
Sosok makhluk bertubuh seperti anak berumur 3 tahun dengan ukuran kepala 2 kali lebih besar dari tubuhnya, sedang menyeret susah payah lidahnya yang terjulur sepanjang 1 meter. Ia mencari seperti yang dititahkan, tatapan nanar dan instingnya memaksanya untuk terus mencari.
Diatasnya, sesosok wanita dengan tinggi 2 meter tanpa kaki sedang melayang. Pakaiannya merah, wajahnya datar namun kental dengan aura menakutkan, seolah jika bertatap mata, dia akan melahapmu hidup-hidup. Rambutnya terjuntai lebih panjang dari tubuhnya menyapu jalanan.
Atau sesosok nenek tua dengan kebaya abu sedang merangkak pelan, hal yang membuatku bergidik ngeri adalah tangannya yang berjumlah 4. Dua di tempat seharusnya, dan dua lagi terletak di punggungnya. Ia merangkak dan merayapi dinding, masuk-keluar dari setiap kamar dan terus mencari.
Setiap 3 sosok di satu titik lokasi.
Sedangkan Denis berjalan lurus ke arah selatan dari Rumah Sakit. Wajah polosnya berganti amarah, seperti mendung menutupi cakrawala. Pekat.
Lalu sesosok tinggi besar berbulu lebat muncul dihadapannya, ia bertekuk lutut dengan gemetaran menghadap Denis.
Suaranya berat menggema.
"Jalan DS nun."
Denis menatap makhluk itu tajam, amarah telah menguasainya. Dengan gemetaran, makhluk tadi masih berlutut menunggu titah selanjutnya.
"Antarkan aku."
Dua kata Denis seperti titah sakral baginya. Makhluk itu berjalan didepan sementara Denis mengikutinya dari belakang.
Jika dilihat dari mata telanjang, Denis seperti berjalan sendiri. Menyusuri trotoar dengan ribuan rencana di kepalanya.
Seorang pengendara sepeda motor berhenti di sampingnya.
"Ojek kang?"
Tawar laki-laki itu. Wajahnya keriput, tubuh tuanya dibalut jaket kulit kusam dengan robekan disana-sini.
Denis menatapnya dan mengangguk, pria itu segera memajukan motornya sedikit agar jok belakangnya dapat ditempati Denis.
Denis menatap Genderuwo itu dan mengeluarkan titah selanjutnya.
"Rasuki dia, antar aku, dan berikan dia sedikit kekayaanmu."
Denis lalu duduk seperti tak terjadi apa-apa.
Makhluk itu mengangguk, merubah wujudnya menjadi asap hitam tipis dan merasuki tubuh laki-laki tua itu.
Mereka melaju menembus malam menuju tempat tujuan dengan ribuan rencana dan jutaan kekesalan.
Sesampainya di tempat tujuan, Denis disambut oleh perempuan merah yang melayang, ia menundukkan kepalanya dan menunjuk sebuah rumah di ujung gang.
"Kembalikan orang ini, beri dia imbalan, dan kembali kemari."
Denis memerintahkan Genderuwo tadi.
Seperti mengerti dengan titah tuannya, ia pergi membawa tubuh tua dan satu kilo emas ia sisipkan di jaket lusuh pria itu.
Gang kecil dengan ukuran setapak kaki, bahkan motorpun akan kesulitan melewatinya. Deretan rumah kusam, dengan perempuan setengah telanjang berdiri tanpa bicara didepannya. Hanya ada beberapa botol minuman keras tersaji di meja, musik menggaung dari speaker loakan menggema menganggu telinga. Denis masih berjalan.
"Kau, masuk dan tahan dia."
Denis menunjuk sosok nenek dengan empat lengan yang sedari tadi merayapi dinding mengikutinya.
Nenek itu terkekeh dan masuk terlebih dahulu.
Disusul Denis, dan perempuan merah. Si bocah dengan kepala besar dan lidah panjang berjaga di pintu masuk.
Ira terbangun, instingnya mengatakan ada bahaya yang mendekat. Sebelum ia dapat kabur, empat lengan keriput mencengkram tangan dan kakinya. Sosok nenek itu muncul diatas langit-langit. Dengan senyuman yang menampilkan giginya yang sebagian menghitam dan sebagian tak bersisa.
"Teriak dan kupatahkan tanganmu."
Denis muncul lalu perempuan merah mengiringinya.
Ira terdiam membaca situasi.
'krak!'
Sendi lengan kirinya dipatahkan hingga lengannya terbalik.
"Hagh..!"
Sebelum Ira berteriak lebih keras, Denis membungkam mulutnya.
"Kubilang, jika kau berteriak, kupatahkan lenganmu."
Denis berkata dengan dingin dan melepaskan tangannya dari mulut Ira.
"Sialan! Aku berteriak karena kau patahkan lenganku!"
Ira protes.
"Oh? Baiklah, itu salahku."
Denis menjawab dengan dingin.
Dan,
'krak!'
Sendi lengan kanannya dipatahkan lagi hingga berbalik.
Ira menahan dengan mengigit bibirnya agar tak berteriak.
"Untuk apa itu?"
Dengan nafas tersengal dia bertanya.
"Untuk teriakanmu. Kau berteriak, kupatahkan lenganmu, ya meskipun untuk patahan pertama itu salahku. Tapi karena kesalahanku, kau berteriak, dan aku harus mematahkannya yang satunya. Sederhana bukan?"
Denis tersenyum kecut.
"Bajingan! Kau hanya mencari alasan untuk mematahkan lenganku!"
Ira mulai tersulut emosinya.
Lalu,
'krak, krak!'
Lututnya dipatahkan hingga dapat ditekuk 90° ke depan.
Ira menahannya dengan berlinang air mata, dan bibirnya robek karena ia gigit.
"Un..tuk a..pa ta..di?"
Kesadarannya mulai pudar.
"Tidak ada, aku hanya kesal."
Denis menjawabnya dengan dingin.
Ira tersenyum, karena ia tersadar akan sesuatu.
"Gantung dia."
Denis menoleh pada si wanita merah.
Ia mengangguk, lalu memanggil sesosok pocong yang sedari tadi memperhatikan mereka. Mengambil talinya dan mengantung Ira dengan itu.
Entah bagaimana, tali pocong itu dapat memanjang, dan entah bagaimana pula, tali itu juga masih ada terikat di kepalanya. Seperti sebuah benang yang tak habis jika ditarik.
Ira kini tergantung, dengan lengannya yang telah patah diatas sebagai tumpuan.
Kesadarannya pudar dan kembali, seperti seseorang yang ingin tertidur namun selalu dibangunkan dengan paksa.
"Jika dia tak sadar, kau kubakar. Paham?"
Denis berkata pada si wanita merah dan hanya anggukan sebagai jawaban.
"Nah, mari kita hitung."
Denis mengepalkan tangannya, lalu meninju Ira tepat di ulu hati.
'hagh!'
Ira mengerang.
"Itu untuk Dinda."
Ujarnya.
Ira tersenyum dan meludahi wajah Denis.
Denis mengelap kesal.
"Hm? Baiklah, kita ulang hitungannya."
Dan pukulan demi pukulan ditujukan pada perut, ulu hati, rahim, wajah, leher dan paha Ira semalaman.
Teriakan erangan tertahan menggema pelan, hingga sebuah kabar burung beredar ada 'pelanggan' kasar yang mampir ke gang tersebut.
Malam berganti pagi, Denis masih memukuli Ira tanpa henti dengan jeda 2 sampai 3 menit sekali. Lelah tak dapat ia rasakan, amarah terlampau menguasai kepalanya. Meski sinar mentari masuk ke ruangan itu, erangan tertahan Ira semakin pelan terdengar.
Dan Ratih masuk ke ruangan itu, menepuk pundak Denis dengan takut.
"Hentikan."
Ucapnya pelan.
Denis berhenti, menatap wajah Ratih yang ketakutan. Dan wanita merah yang melayang di luar, nenek tua yang bersembunyi dikolong ranjang, atau bocah dengan kepala besar dan lidah terjulur di luar.
"Aku mengantuk, kau urus dia. Kalian bisa pergi untuk saat ini."
Denis pergi meninggalkan Ratih dan seribu tanda tanya.
Saat ia pastikan Denis sudah hilang, Ratih menyandarkan tubuhnya dan terduduk melepas nafasnya lega.
"Makasih Jar, untung sempet."
Jaket biru muda yang Ratih kenakan, perlahan bergerak dan terlepas sendiri.
Jaket itu melayang di udara, seperti seseorang yang tak terlihat mengenakannya. Sementara dua buah bola putih disana yang berfungsi sebagai mata.
"Jangan dulu dibuka matanya, nanti aja. Aku butuh sedikit beristirahat untuk saat ini."
Ratih menahan Jar.
Jar mengangguk, lalu wujudnya melayang ke arah Ira. Ia seperti memperhatikan kondisi Ira saat ini. Lalu kembali melayang ke arah Ratih dan menunjuk-nunjuk Ira.
"Iya iya, dia gak mati kok, tenang aja. Bangunin sejam lagi ya."
Dengan acuh, Ratih menaiki ranjang disamping Ira yang sedang terikat menggantung. Lalu terlelap.
Jar yang melihatnya hanya menggelengkan kepala berulang kali, lalu melayang diam dihadapan Ira yang juga tak sadarkan diri.
Sementara Denis yang telah reda marahnya, mendapat kabar tentang kondisi Dinda yang membaik dan hanya membutuhkan istirahat. Wajahnya kembali cerah, tujuan hidupnya seperti kembali. Tanpa sadar, air matanya jatuh dan senyumnya tersungging lega.
japraha47 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
Kutip
Balas
Tutup