Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Kebebasan Berbicara Terganjal Pasal Karet UU ITE
Spoiler for UU ITE:


Spoiler for Video:


“There is freedom of speech, but I cannot guarantee freedom after speech” – Idi Amin (Mantan Presiden Uganda)

Begitulah ucapan dari Presiden Uganda ke-3 Idi Amin Dada Oumee atau yang populer dengan julukan The Butcher of Uganda. Kutipan dari Idi Amin secara frontal menunjukkan sikapnya terhadap kebebasan berbicara. Sebuah ancaman untuk para pengkritiknya. Rakyat bebas berbicara, tapi siap-siap ditindak jika tidak sesuai dengan keinginan pemerintah. Mungkin sikap anti kritik inilah yang menyebabkan banyaknya kematian selama masa kepresidenannya sekaligus membuat sejarah mencatatnya sebagai The Butcher of Uganda.

Beda Uganda beda pula China. Ketika Idi Amin dengan frontal mengekang kebebasan berbicara, maka pendiri Republik Rakyat China (RRC) Mao Zedong justru mendorong masyarakat memberikan kritikan keras terhadap kerja-kerja pemerintah lewat Gerakan Seratus Bunga (Bǎihuāqífàng) pada tahun 1956. Mao Zedong berucap, “Biarkan seratus bunga berkembang dan seratus pikiran yang berbeda-beda bersaing.”

Kampanye Seratus Bunga pada mulanya tidak dipercayai oleh rakyat China. Mereka tak yakin dalam mengkritik pemerintah mengingat Partai Komunis China terkenal dengan caranya menindak setiap warga negara yang kritis terhadap partai maupun pejabatnya. Itulah mengapa di awal kampanye seratus bunga hanya sedikit surat dari para intelektual terkemuka, itupun kritik yang sangat kecil dan hati-hati terhadap pemerintah.

Minimnya kritik menyebabkan Mao Zedong dan para pejabat komunis mengubah cara komunikasi. Kritik terhadap pemerintah tidak hanya diperbolehkan tetapi disukai. PKC mulai menekan langsung beberapa intelektual terkemuka untuk mengirimkan kritik membangun. Dorongan mengkritik ini berhasil. Para aktivis dan kaum intelektual beramai-ramai mengirimkan surat ke istana demi menyampaikan kritikan dan saran. Mahasiswa dan warga biasa turut mengadakan pertemuan kritik dan aksi unjuk rasa, memasang poster, dan menerbitkan artikel di majalah yang menyerukan reformasi.

Kritikan terus berjalan terhadap rezim komunis hingga 8 Juni 1957. Di tanggal itu, Mao menghentikan Kampanye Seratus Bunga dan menggantikannya dengan kebijakan memetik “gulma beracun” dari hamparan bunga. Ratusan intelektual dan mahasiswa ditangkap termasuk aktivis pro demokrasi Luo Longqi dan Zhang Bojun. Mereka dipaksa mengakui secara terbuka bahwa mereka telah mengorganisir sebuah konspirasi rahasia melawan sosialisme. Ratusan pemikir terkemuka dikirimkan ke kamp kerja paksa untuk “pendidikan ulang” atau dijebloskan ke penjara.

Sumber : Fajar[Jebakan Mao Zedong: Ngaku Ingin Dikritik, Lalu Tangkap dan Siksa Para Pengkritik]

Cara yang dilakukan Idi Amin dan Mao Zedong dalam rangka mempertahankan kekuasaan memang berbeda. Ketika Idi Amin dengan frontal mengekang kebebasan berbicara, maka Mao Zedong dengan culas menjebak para pengkritik lewat cara yang pada mulanya terkesan manis. Ketika Idi Amin berkarakter otoriter, maka Mao Zedong berkarakter totaliter dimana keduanya merupakan antitesis dari sistem demokrasi.

Ancaman terhadap demokrasi inilah yang dikhawatirkan terjadi pada Indonesia. Terutama setelah Presiden Jokowi meminta masyarakat lebih aktif dalam menyampaikan kritik serta masukan terhadap kerja-kerja pemerintah pada 8 Februari 2021 lalu.

Ucapan Presiden Jokowi agar masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik disambut sindiran dari berbagai kalangan. Seperti yang datang dari akun yang mengatasnamakan Mahasiswa UGM. Kampus yang pernah menjadi tempat Presiden Jokowi meraih gelar sarjana. 





Lewat akun Twitter @UGMBergerak, pihak yang menyatakan diri sebagai Aliansi Mahasiswa UGM memberi penghargaan satire kepada Presiden Jokowi sebagai “Juara Umum Lomba Ketidaksesuaian Omongan dengan Kenyataan” terkait ajakan sang presiden agar rakyat menyampaikan kritik.

Selanjutnya, akun itu turut mencontohkan beberapa kasus yang menjadi penyebab Presiden Jokowi layak mendapatkan penghargaan tersebut. Seperti mikrofon yang dimatikan saat forum, ancaman tidak lulus di kampus ketika menyampaikan kritik, penghadangan oleh aparat ketika demo di jalan, serta ancaman UU ITE ketika berkritik di media sosial.

Sindiran tersebut seharusnya menjadi alarm bagi kondisi demokrasi, terutama terkait ancaman UU ITE. Sampai-sampai mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla turut menyindir dengan mempertanyakan cara agar masyarakat dapat mengkritik pemerintah tanpa harus dipanggil penegak hukum.

Pertanyaan JK lantas dijawab Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman pada 13 Februari 2021 lalu. Menurutnya dalam penyampaian pendapat ada undang-undangnya, seperti Pasal 28J UUD 45 dan UU Nomor 19/2016 tentang ITE. Fadjroel menjelaskan tidak ada masalah masyarakat memberikan kritik kepada pemerintah asalkan sesuai UUD 1945 dan UU yang berlaku seperti UU ITE. Fadjroel mengklaim Jokowi tegak lurus terhadap konstitusi.

Sumber : Detik[Istana Jawab JK soal Bagaimana Cara Kritik Tanpa Dipolisikan]

Namun pada nyatanya, keengganan masyarakat mengkritik justru akibat dari UU ITE itu sendiri. Pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia), Hendri Satrio menilai ajakan Jokowi agar masyarakat aktif mengkritik seharusnya diikuti inisiatif merevisi UU ITE.

Sebab UU ITE kerap menjadi senjata untuk menjerat pihak-pihak yang mengkritik pemerintah. KontraS mencatat hingga Oktober 2020, ada sebanyak 10 peristiwa dengan 14 orang yang diproses hukum karena mengkritik Presiden Jokowi. Dari 14 peristiwa, 25 orang diproses dengan obyek kritik Polri, dan 4 peristiwa dengan 4 orang mengkritik Pemda. Salah satu pemrosesan berdasarkan UU ITE.

Serangan terhadap pengkritik pun bukan hanya dari segi hukum, tapi juga masuk ke ranah pribadi di media sosial dimana para buzzer maupun relawan pendukung pemerintah menjadi pelapor pengkritik, tentunya dengan UU ITE. Laporan terhadap pengkritik inilah yang menjadi tindakan yang tidak segaris dengan pernyataan pemerintah. 

Sumber : Tempo [Jokowi Minta Dikritik, Pengamat: Harus Diiringi Inisiatif Revisi UU ITE]

UU ITE menjadi payung hukum yang mengakibatkan aparat penegak hukum menindak setiap laporan yang dianggap melanggar undang-undang. Secara logika, tentu aparat tidak dapat menolak setiap laporan yang masuk atas alasan apapun.

Sehingga akar permasalahan dari inkonsistensi pemerintahan Jokowi dalam meminta kritik dari masyarakat adalah UU ITE. Namun sayang, pemerintah justru berdalih dengan menyatakan bahwa presiden tidak pernah menggunakan UU ITE untuk melakukan proses hukum terhadap seseorang. Hal itu disampaikan oleh Staf Ahli Kominfo Prof Henri Subiakto.

Namun Prof Henri yang turut berperan sebagai ketua Panitia Kerja (Panja) dalam proses revisi UU ITE pada 2016 silam mengaku undang-undang tersebut banyak dimanfaatkan untuk berbagai konflik yang terjadi.

Sumber : Pikiran Rakyat [Jadi Penghalang Kritik ke Pemerintah, Henri Subiakto: Presiden Tidak Pernah Pakai UU ITE]

Persoalan tidak hanya terjadi di UU ITE. Pemerintah pun harus memiliki pola pikir yang terbuka terhadap kritikan yang masuk. Sebab dari kritikan itulah dapat tercapai kemajuan dalam demokrasi. Tidak sepatutnya pemerintah menganggap suatu informasi, apalagi informasi yang berkaitan dengan sains dan berdinamika cepat sebagai hoaks. Hal ini mengingatkan penulis pada kebebalan yang dipertontonkan oleh Kominfo Johnny G Plate pada 14 Oktober 2020 silam.

Saat itu Menkominfo Plate menjadi sorotan karena pernyataannya di acara Mata Najwa. Ia menegaskan semua informasi dari pemerintah adalah kebenaran. Sementara informasi yang berlawanan dianggap hoaks.

“Kalau Pemerintah bilang itu hoaks versi pemerintah, ya, berarti hoaks. Kenapa membantah lagi?," ujar Johnny.

Pernyataan Menteri Plate tersebut lantas dikritik Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudi. Menurut Ade, pernyataan Johnny menunjukkan adanya kemunduran demokrasi karena tandanya kita telah memasuki era dimana kebenaran hanya milik pemerintah.

Sumber : Tempo [Kritik Menkominfo, LBH Pers: Kita Masuk ke Era Kebenaran Hanya Milik Pemerintah]

Oleh karena itu, jika Presiden Jokowi maupun jajarannya tidak ingin disetarakan dengan rezim Idi Amin maupun Mao Zedong, maka terbukalah pada kritik. Guna mewujudkannya, UU ITE harus dihapus atau setidaknya direvisi. Selama tidak ada perubahan, maka selama itu pula aparat penegak hukum dapat menindak setiap kritikan yang dianggap melanggar UU ITE.

Selain itu, Pemerintah Jokowi juga harus mencopot Menkominfo Johnny G Plate, karena ia telah menjadi racun dalam demokrasi dengan beranggapan semua informasi dari pemerintah sebagai kebenaran mutlak.
Diubah oleh NegaraTerbaru 16-02-2021 10:15
0
633
6
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.5KAnggota
Tampilkan semua post
HarlequinzAvatar border
Harlequinz
#1
kebebasan yg dibatasi emoticon-Ngakak

Kebebasan Berbicara Terganjal Pasal Karet UU ITE
NegaraTerbaru
NegaraTerbaru memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.