Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amyjk02Avatar border
TS
amyjk02
Jemari Amy (Kumpulan Cerpen Berbagai Genre)


Wellcome to my imagine castle. Mau yang romantis? Ada. Mau yang horor? Ada juga. Mau yang sadis dan gore? Ada banget. Atau mau yang bikin ngakak? Ada juga, lho.

Selamat menikmati hasil kehaluan saya 🥰🥰



Jacka Taroob VS Vampire


Fantasi







***

Aku merapatkan jaket, gemetar kedinginan. Tak peduli gelap dan jalanan licin, terus kubawa langkah menyusuri hutan. Sepi dan semakin dingin.

Terkejut ketika mataku menangkap sebuah kelebat bayangan. Bau anyir menguar, memenuhi hidung. Aku segera menggenggam senjataku dengan erat. Bersiap siaga. Kusembunyikan tubuh di balik pokok pohon besar dengan mata yang terus mengawasi sekitar.

Benar saja! Tidak jauh dari tempatku berdiri, dua makhluk berjubah hitam terbang rendah mengejar sesuatu.

"Tolong!" teriak seorang wanita yang terdengar panik dan ketakutan. Sementara pengejarnya semakin mendekat.

Aku membekap mulut melihat pemandangan di depanku. Dua lelaki bertubuh lebih besar dariku menerkam wanita yang tadi meminta tolong. Tubuh kecilnya tak berkutik ketika seorang di antara mereka menduduki perutnya. Sedangkan seorang lagi, menelungkup di atas tubuhnya. Aku memejamkan mata. Cukup ingatanku saja yang mengatakan apa yang selanjutnya terjadi.

"Apa ini yang terakhir?" Suara berat salah satu dari mereka bertanya.

"Tidak! Masih banyak. Mereka bersembunyi," jawab si penggigit.

Aku meremas tangan. Suara mereka mengingatkanku akan sebuah peristiwa memilukan setahun yang lalu.

Srak!

Aku keluar dari tempat persembunyian. Kutodongkan senjata ke arah mereka.

"Akhirnya aku menemukan kalian," ucapku dengan dada bergemuruh, menahan emosi.

"Ow, si tukang jagal rupanya. Kau akan ...."

Dor!

Satu di antara mereka tumbang dengan kepala hancur. Tersisa lelaki berambut pirang yang kukenal sebagai Leonard.

"Hei! Kita bisa berunding, bukan?" tanyanya berusaha menahanku. Aku terus menodongkan moncong senjata ke arahnya yang perlahan mundur.

"Aku tidak suka basa-basi." Kutekankan senjata ke dadanya. Mendorong tubuhnya hingga membentur pohon.

"Katakan pada saudaramu, Jacka Taroob akan datang! Dan ini ... untuk keluargaku!" Kutarik pelatuk pistolku, membuat bola perak di dalamnya berpindah ke dalam dada si vampir. Bersarang di jantungnya dan ... boom ....

Tubuhnya meledak. Cairan hitam dan serpihan daging mengotori wajah dan badanku.

Ya, akulah Jacka Taroob. Jagal vampir terkenal dari negeri BloddyField. Aku terus berkelana menyusuri berbagai tempat menumpas mahkluk bertaring yang mematikan.
Semenjak kejadian dua tahun silam.
⚔️⚔️⚔️

"Mereka marah karena kamu telah membunuh anggota keluarganya, Jacka," ucap seorang tetangga yang kutemukan berdarah di tepi hutan. Tidak ada gigitan di tubuhnya, tetapi cairan merah pekat itu nyaris membuatnya tiak dikenali lagi.

"Mereka menyiramkan darah keluargaku. Setelah membantainya di depanku. Mereka butuh jawaban tentang keberadaanmu, Jacka. Huhuhu ...." Kupeluk tubuhnya yang anyir. Darahku seolah mendidih mendengarkan ceritanya.

"Maafkan aku ... tidak bisa menja-ga keluarga-mu. Akh ...."
Tubuhnya menggelepar. Darah segar menyembur dari mulut. Perlahan tubuh kurus itu menghitam dan ... berubah menjadi abu.

"Kurang ajar!" geramku emosi.

Aku lantas bergegas menuju rumah. Pikiran semakin kalut ketika dari jauh tampak kepulan asap dari bangunan kecil dan sederhana itu.

"Tidak!" teriakku semakin mempercepat lari. Darah berceceran di mana-mana. Memerahkan dinding papan dan lantainya. Kudobrak satu persatu pintu kamar. Nihil.
Kemana mereka?

"Nawang Wulan? Nawangsih?" Aku gemetar memanggil istri dan anakku. Terkesiap ketika melihat aliran darah dari dapur.

"Tidak!" Tulangku seakan remuk. Tersungkur di lantai tanah yang penuh darah. Mataku melotot tak percaya melihat dua orang yang kusayangi tergantung di dapur. Tanpa kepala. Sebuah kait besi menancap di perut mereka. Terhubung ke seutas tali yang terikat di palang dapur.
Darah segar masih menetes dari ujung kaki mereka.

"Ti-dak!"
....

⚔️⚔️⚔️

"Tolong Ayah! Sakit ...." Aku menggeliat mendengar rintihan Nawangsih. Mataku beredar mencari sumber suara.

"Tolong, Mas! Sakit ...." Aku tersentak. Di ujung sana, berdiri dua orang yang kusayangi. Bergaun putih dengan bercak darah yang jelas. Mereka melangkah tertatih-tatih mendekatiku.

"Wulan? Asih?"

Sret ....

"A-apa ini?" Akar pohon yang entah dari mana asalnha mengikat erat kakiku. Kutarik sekuat tenaga agar terlepas. Percuma. Ikatannya terlalu kuat.

"Tolong!" teriak mereka bersamaan. Menggapai-gapai memintaku mendekat.

"Wulan? Asih? Tung--"

"Hahaha .... Terlambat, Jacka!"

Dua orang berwajah pucat tiba-tiba berdiri di belakang Nawang Wulan dan Nawangsih. Tangan mereka mengunci leher anak dan istriku.

"Tidak! Jangan!" teriakku gelagapan.

"Kau terlalu lambat!" cibir lelaki berambut pirang.

Crash!

Aku terkesiap. Belati tajam memisahkan kepala dari tubuh anak dan istriku. Sangat cepat.

Bibirku kelu dengan tubuh bergetar. Belum cukup, dua vampir itu menusukkan belatinya ke perut Wulan dan Asih. Berkali-kali. Lantas membiarkan tubuh mereka terjatuh ke tanah.

"Tidak!" teriakku sekuat tenaga.

"Hahahaha ...," tawa mereka berderai lantas menghilang.

Aku jatuh terduduk. Menangis. Nyawaku seolah ditarik paksa. Membuat jantungku tak lagi normal memompa darah. Napas tersengal dan dada yang seolah terhimpit. Sakit!

"Tolong ...!" Suara serak dan kesakitan terdengar menyayat hati. Aku tergagap. Mengusap air mata dengan cepat. Berusaha menajamkan penglihatan.

Samar kulihat tubuh tanpa kepala anak istriku bergerak. Merangkak pelan menujuku.

"Tidak mungkin!" Aku menggeleng, tidak percaya.

Dalam sekejap mereka sudah mendekat. Dengan jelas aku melihat cerabut daging yang masih berdarah pada leher mereka. Gaun mereka pun tak lagi putih. Merah dan anyir.

"Tidak ...." Bibirku berucap pelan, takut. Tubuh tanpa kepala itu terus mendekat hingga membuatku terbaring di tanah. Tetesan darahnya membasahi wajahku.

"Tidak ...!" Aku terbangun dengan napas tersengal. Keringat mengucur deras dari sekujur tubuh. Mimpi itu lagi! Tepatnya kenangan kelam yang terus menjadi mimpi buruk.

"Maafkan aku!" Dadaku sakit menahan tangis. Kerinduan, penyesalan, kemarahan dan dendam terasa menyesakkan.

"Hei, jangan begitu! Nanti rambutku basah." Aku tersentak ketika mendengar suara seorang wanita. Mataku melihat sekeliling. Semak-semak tempatku bersembunyi memang sedikit gelap. Padahal hari sudah pagi dan terang.

Kusibak sedikit semak di depanku, mengintip. Mataku terpana menatap telaga yang tak jauh dari tempatku.

"Siapa mereka? Bidadari?" Mataku tak berkedip menatap tiga wanita cantik yang tengah asyik bermain air. Mereka ... telanjang?

Aku menatap tumpukkan kain berbeda warna tak jauh dariku.

"Itu pasti pakaian mereka," gumamku.

Terbersit niat jahat di otakku. Ya, siapa yang tidak tergoda melihat wanita secantik mereka di tengah hutan begini?

Dua tahun rasanya sudah cukup mengobati sakitnya ditinggalkan. Petarung sepertiku harus cepat move on, bukan?

Tanganku sigap menarik salah satu tumpukkan baju. Kupilih warna merah. Warna yang selalu seksi dan menggoda menurutku. Itu juga warna favorit Nawangwulan. Sedikit mengobati kerinduan, kan?

"Tempatnya indah, aku jadi tidak ingin pulang, hihihi ...." tawa salah seorang dari mereka. Terdengar merdu dan menenangkan.

Aku berdebar menanti di balik semak. Benar saja! Salah satu dari mereka kebingungan mencari pakaiannya. Dua saudarinya membantu mencari.

"Kita harus segera pergi. Kalau tidak, kita akan terjebak di dunia ini selamanya," ucap salah satu dari mereka. Wanita dengan pakaian kuning.

"Benar! Maaf, kami harus pergi," ujar si hijau yang lantas bergegas. Wajah mereka seperti ketakutan.

"Ah, ini saatnya," gumamku keluar dari semak-semak setelah kedua saudari si merah pergi. Tak lupa kusembunyikan kain berwarna merah itu di balik batu.

"Ada yang bisa kubantu?" tanyaku dengan memalingkan wajah. Karena aku yakin dia pasti malu jika ketahuan tanpa busana.

"Si-siapa kau? Jangan mendekat!" cegahnya dengan suara bergetar, menahan tangis.

"Tenang! Aku hanya ingin membantu," ucapku seraya mengulurkan sebuah kain dan jaket padanya. Perlahan uluranku diterima.

"Terima kasih," ucapnya senang. Kini dia sudah ada di depanku.

Ya Tuhan! Ini sungguh bidadari.
Aku tak berkedip menatap wajah cantiknya. Kulit seputih susu dan sehalus porselen. Hidung mancung, bibir sensual dan mata birunya seolah memabukkanku.

"Maukah kau membawaku pulang? Di sini dingin," pintanya lemah dan takut-takut.

"Eh, i-iya. Tentu. Mari!" Aku berjalan mendahuluinya.

Akan kubawa ke mana dia? batinku bingung. Mana ada seorang pengembara mempunyai rumah?

Dan lagi, apakah dia tidak takut jika melihat senjataku?

"Bisakah kau sedikit lambat? Kakiku sakit." Aku menoleh. Oh God! Kenapa aku melupakannya?

Gadis cantik itu menunduk, memegangi telapak kakinya yang ... berdarah?

"Apa yang terjadi?" tanyaku khawatir. Aku segera berlutut memegangi kakinya. Kuperiksa kulit halus itu dengan teliti. Sebuah ranting tajam menggores telapak kakinya. Darah segar merembes pelan.

"Tenanglah! Aku akan mengikatnya." Kurobek ujung kausku lantas mengikatkan ke telapak kakinya.

"Kita harus bergegas. Bau darahmu pasti mengundang para vampir. Aku memang sudah membentengi diriku tapi adanya kamu bersamaku, mereka akan lebih mudah mendeteksi," jelasku seraya sibuk mengikat kakinya.

Dengan posisi seperti ini tangan halusnya memegang pundakku. Sesekali mencengkaram leher, ketika aku terlalu kuat menyentuh lukanya. Sungguh rasa yang indah!

"Selesai. Mari ki ...." Aku terhenti ketika merasakan kuku runcing perlahan menusuk pundak. Dan perlahan semakin dalam.

Aku terkejut ketika mendongak. Wanita itu berubah. Wajahnya putih pucat dengan garis halus berwarna kemerahan. Mulutnya terbuka lebar, menampilkan barisan gigi dan taring yang tajam.

"Si-siapa kau?" Aku mundur, membuat cengkeramannya terlepas. Darah segar mengucur deras dari bekas kukunya.

"Hahaha. Benar saja! Si jagal memang kalah dengan wanita," ucapnya dengan seringai lebar. Aku meraba pinggang,
Mencari sesuatu.

"Kau mencari ini?" tanyanya menunjukkan senjataku yang sudah remuk. Bagaimana ini?

"Ini untuk Leonard!" teriaknya mencakar wajahku. Aku menjerit. Pedih dan panas seolah terbakar.

Aku berusaha mundur, tapi ... tubuhku terbentur batu.

"Tamat riwayatmu, tukang jagal!" Wanita menyeramkan itu berteriak lantang.

Aku hanya melihat bayangan kuning dan hijau yang secepat kilat menancapkan taringnya pada leherku. Kurasakan darahku tersedot habis.

Aku hanya bisa melotot melihat wanita yang tadi kutolong menancapkan kukunya ke dadaku. Merobek dan menarik isi di dalamnya.

Tubuhku bergetar. Hingga kemudian tak kurasakan apa-apa lagi.

Gelap.
....

***
"Selamat datang, Jack." Aku mengerjap ketika kudengar suara halus seorang wanita. Kulihat tiga wanita cantik dan puluhan lelaki berpakaian hitam berdiri di depanku.

Berkali-kali aku memejamkan mata. Ada yang aneh dengan penglihatanku. Lantas menutup mulut yang ... juga terasa aneh. Perlahan tanganku bergerak, bermaksud meraba.

Tunggu!

"A-apa ini?" Aku menatap jemariku yang meruncing dengan kuku hitam yang tajam.
Wanita bergaun merah menyerahkan sebuah cermin.

"Tidak!" bisikku pelan. Aku menggeleng.

Di pantulan cermin, aku melihat seseorang yang sangat mirip denganku. Bedanya dia berwajah pucat, bermata merah dan bertaring.
.
END

-AmyJK-
Baturaja, 10012020

Sc Pict: pinterest
Diubah oleh amyjk02 11-06-2020 11:55
jenggalasunyi
bukhorigan
inginmenghilang
inginmenghilang dan 23 lainnya memberi reputasi
24
4.5K
360
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Tampilkan semua post
amyjk02Avatar border
TS
amyjk02
#109
Kamar 204

Sc: Pinterest

Dosa yang kamu lakukan mungkin berdampak pada orang terdekatmu!



Aku merebahkan tubuh di ranjang empuk hotel. Nuansa kuning gading seakan melipur lelahku. Jam di meja sudah menujukkan pukul delapan malam. Itu artinya sebentar lagi apa yang kupesan akan datang.

Benar saja, pintu diketuk lantas seseorang dari luar melongokkan kepala ke dalam. Wajah cantik dengan rambut panjang menyuguhkan senyum manis ke arahku. Meski sedikit heran, aku membalas senyumnya dan memperbaiki posisi berbaring menjadi duduk bersandar pada tembok.

"Kok beda?" tanyaku sembari melihat ponsel.

"Sama aja kali, Om!"

Aku mengangguk. Wanita yang kini duduk di ranjang bersamaku memang berbeda dengan yang tadi kupesan. Dia lebih muda dan cantik, hanya saja aku seolah kehilangan selera. Padahal tubuhnya sangat menggoda. Apalagi dress setengah paha dan model kemben itu.

"Usia kamu berapa?" tanyaku iseng ketika melihatnya langsung membuka retsleting dress. Gerakan tangannya terhenti dan menatapku.

"Ehm, tujuhbelas, Om."

Aku mengerutkan kening. Sepuluh tahun lebih muda dari wanita yang tadi kupesan.

"Kok udah kerja ginian?"

Dia menghela napas panjang sembari menutupkan selimut ke tubuhnya. Dress merah maroon-nya sudah tergeletak di lantai, bersama sepatu berhak tinggi dan pakaian dalam.

"Om mau wawancara apa mau sewa saya?"

Aku terdiam. Dia menatapku lekat.

"Ehm, maksudku ... ini kan pekerjaan—"

"Kerjaan orang dewasa? Kata siapa? Bukannya banyak yang suka dengan yang seusia saya? Masih fresh katanya, hihi," jawabnya sembari menutup mulutnya dengan tangan. Dia lantas mengikat rambut panjangnya, membiarkan selimut putih itu melorot. Aku menelan ludah menatapnya. Tujuhbelas tahun dan sudah seperti ini? Luar biasa!

"Ayo, mau pakai pemanasan atau ...."

Aku dengan cepat menghalangi tangannya yang terulur hendak menarik handukku. Kudorong bahunya untuk duduk di depanku.

"Ehm ... bagaiamana kalau kita mengobrol saja?"

Bibirnya manyun dengan tatapan mata kecewa. "Saya dibayar bukan buat ngobrol, Om. Bahkan kebanyakan langsung ajak main aja."

"Tapi saya mau ngobrol!"

Dia terdiam dan menggigit bibir. Bibir merah merona dengan bentuk sangat menggoda itu mungkin akan langsung membuat lelaki lain bergejolak, tapi entah mengapa tidak denganku.

"Tapi saya minta—"

"Saya tambah duakali lipat?"

Wanita itu langsung tersenyum riang dan dengan cepat mendaratkan bibirnya ke pipi kiriku. Wanita yang kemudian kuketahui bernama Alice itu lantas duduk di depanku. Dia hanya manut saat aku menutupkan selimut ke tubuhnya.

"Aku masih sekolah, Om. Tadi gantiin tetanggaku."

"Sekolah?"

"Iya. Sudah mau tamat, sih."

"Kamu cari uang atau ...."

"Ya cari uang lah, Om. Masa cari gebetan."

Aku ikut terkekeh meski itu tidak lucu sama sekali.

"Oranga tua kamu tahu?"

"Ya nggak, dong. Gila aja tahu! Bisa dibunuh aku!"

"Terus?"

"Ya pamit kencan sama pacar aja."

"Pacar?"

"Iya. Dia nunggu di depan."

Aku menelan ludah dan menggeleng pelan.

"Nggak apa-apa kali, Om. Selagi dia bisa nerima, kenapa nggak? Lagian yang ngajarin dia, sih, hehe."

"Ngajarin apa?"

Alice mendekat dan menempelkan bibirnya ke telingaku, "dia yang pertama unboxing aku." Lantas tertawa kecil seolah merasa geli.

Aku terdiam. Berbagai perasaan mendadak menyesakkan dada disertai hujaman pertanyaan di kepala.

"Jaman sekarang mah wajar, Om. Hampir semua begitu. Apalagi anak-anak orang kaya yang jarang banget ketemu orang tuanya. Bukan karena kurang uang sih, cuma ya, buat biaya gaya hidup aja. Tahu sendiri kan jaman sekarang gimana? Nggak gaya, nggak ada teman."

Aku menunduk dalam dengan telinga yang terus mendengarkan setiap cerita Alice. Menurutnya apa yang dia lakukan adalah hal biasa. Meski pada awal setelah melakukannya bersama pacar, dia merasa shock dan stress. Namun sang pacar justru menyemangati dan memberinya jalan yang lebih baik. Jika sang pacar bisa memberi cinta hanya dengan modal berkeringat bersama di ranjang, mengapa dia tidak mencoba menjual keringat itu demi uang. Hasilnya? Alice menikmatinya sendiri. Barang mewah, touring ke luar negeri, pesta, dan berbagai kebutuhan lain dengan mudah dia dapatkan. Orang tuanya? Tidak pernah peduli.

"Apa anak sekarang semua juga melakukan itu dengan pacarnya?" tanyaku sedikit ragu dengan suara yang nyaris tak tersampaikan dari tenggorokan.

Alice menoleh. Dia mengembuskan asap rokok yang diambilnya dari meja, rokokku.

"Nggak gitu, nggak cinta namanya, Om. Nggak dewasa!"

Kerongkonganku terasa pahit dan mengganjal. Keringat dingin mulai merembes.

"Jaman sekarang kalau nggak sama pacar, ya sama ... Om-Om, hehe," ucap Alice sembari menguap pipiku pelan. Aku menepisnya.

"Oke, terima kasih!" Aku bangkit berdiri dan mengambil segepok uang yang sudah kupersiapkan. Kuletakkan ponsel keluaran terbaru di samping uang. Alice menatap benda-benda itu dengan takjub.

"Silahkan ambil dan pulang!"

"Loh, nggak jadi main, Om? Saya sudah siapin pengaman dan obat, lho!" Alice menunjukkan kantung kecil yang tak ingin kuselidiki isinya. Aku segera berpakaian dan langsung menyambar kunci mobil.

"Om, ini—"

"Anggap saja kita tidak pernah ketemu," ucapku dengan langkah cepat meninggalkan kamar 203. Meninggalkan Alice yang menatap kepergianku dengan rasa penasaran.

Kupercepat langkah menuju area parkir. Namun lantas terhenti tepat di depan mobilku ketika kulihat seseorang yang kukenal.

Dia mengenakan dress mekar bermotif bunga. Rambut dikucir rapi dan sepatu tinggi. Terlihat sangat dewasa, sungguh berbeda dengan usianya yang baru akan menginjak tujuh belas tahun tiga bulan lagi. Di sampingnya, seorang lelaki yang lebih tua dariku menggandengnya mesra menuju mobil mewah. Sesekali tangan lelaki itu menjawil dagu atau bahkan membelai pipi sang wanita. Dadaku bergemuruh.

"Tiara?"

Sang pemilik nama menoleh, diikuti lelaki di sampingnya. Wajah keduanya terkejut. Sangat terkejut.

"Papa?"

"Doni?

Keduanya memanggilku bersamaan dengan panggilan berbeda. Tanganku terkepal dengan emosi yang sudah di ujung.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku berusaha setenang mungkin. Tiara hanya diam dan menoleh ke arah lelaki di sampingnya.

"Haha, aku cuma pinjam putrimu sebentar. Eh, tapi ...." Lelaki tambun itu mendekat dan berbisik lirih. " Dia pinter juga mainnya."

Bug ....

Kepalan tanganku bersarang di rahang lelaki yang siang tadi baru saja meeting bersamaku membahas kerjasama perusahaan. Pekik kecil terdengar dari bibir Tiara. Aku segera menarik tangannya dan membawanya ke mobilku. Tiara berusaha berontak, tapi aku lebih kuat.

"Ngapain kamu di sini, hah?"

"Papa juga ngapain di sini?"

Aku terdiam dan panik. Anak sulungku itu menatap lekat padaku.

"Oh, cari hiburan?"

"Tiara, papa—"

"Lah, Om sewa Tiara juga? Pantesan nggak mau main sama aku!"

Aku menoleh. Alice datang dengan menggandeng lelaki muda yang kuperkirakan adalah pacarnya.

"Aku ... ehm ...." Aku tergagap dan menggaruk kepala yang tidak gatal. Alice menatap Tiara yang tidak menoleh padanya sama sekali. Sepertinya mereka saling kenal, tapi Tiara seolah tidak suka dengan kehadiran Alice.

"Sudah saya bilang, kan, jaman sekarang itu ya gini, semua—"

Perkataan Alice terhenti ketika Tiara langsung memasuki mobilku dengan menarik lenganku untuk segera masuk. Dari dalam mobil kulihat Alice berbisik dengan lelaki di sampingnya dan pergi dari area parkir.

Tinggalah aku dan Tiara di mobil. Perlahan isak tangis putri sulungku terdengar. Tuhan, harus bagaimana ini? Apa yang selama ini kutakutkan benar terjadi. Aku tak ingin membayangkan apa yang dilakukan Tiara bersama lelaki itu di hotel. Membayangkan apa yang kulakukan bersama banyak wanita di berbagai hotel, seolah mengoyak hidupku. Mungkin saja Tiara juga melakukan hal yang sama. Bermain bersama berbagai lelaki di berbagai hotel, di saat aku terlalu sibuk mengurus bisnis dan tentu saja ... wanita.

"Kita pulang, ya!" ucapku pelan dan melirik ke arahnya.

"Buat apa pulang? Aku tidak pantas di rumah. Aku kotor!"

Tiara sesenggukan. Kotor? Lantas bagaimana denganku?

Isak tangis Tiara semakin menjadi. Aku menepikan mobil dan membiarkannya berhenti. Kusandarkan kepala dan memejamkan mata. Air mata perlahan mengalir.

"Maafkan aku, Ma," gumamku pelan berusaha memunculkan wanita yang sudah tiada dua tahun lalu. Wanita yang sudah memberiku satu putri dan satu putra, Tiyo.

"Aku malu dengan mama, Pa. Aku merasa tidak pantas hidup lagi!"

Kurengkuh tubuh putriku dengan erat. Aku menangis. Cukup lama kami berpelukan dan saling menangis. Aku menangisi betapa bejatnya apa yang kulakukan sementara Tiara ... ah, entahlah. Aku terlalu takut membayangkannya.
****
End
ajang.dee
makola
lianasari993
lianasari993 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.