- Beranda
- Stories from the Heart
Love You, Tuan Muda
...
TS
akulin
Love You, Tuan Muda

Sumber gambar : Pixel, dan Canva
Quote:
Part 1
Dijual Paman?!
“Arum harus segera diantar ke sana.”
“Kenapa Arum harus secepatnya ke sana, Pa? Biarkan dia lulus dulu.”
“Kamu ‘kan tahu Hani, penghasilanku tidak lagi mencukupi. Kebutuhan kita makin banyak, tambah anak di perutmu itu. Kalau Arum di sini bukannya membantu malah nambahin beban saja.” Dadaku sakit mendengar ucapan Om Bari, satu-satunya saudara almarhum Papa.
“Di sana hidup Arum akan enak. Dia bisa makan tidur gratis di rumah mewah.”
“Biar nunggu dia lulus dulu baru kerja. Ini namanya kita pekerjakan anak di bawah umur, Pa.” Tante Hani masih mencoba mendebat keputusan suaminya. Nada suara mereka semakin menaik, aku yang duduk di sebelah Tante Hani hanya bisa tertunduk.
“Arum masih bisa sekolah dari sana. Majikannya itu tahu dia sebentar lagi selesai. Tidak jadi masalah. Pokoknya Arum aku antar ke sana sekarang.”
“Sekarang, Om?” Aku spontan menganga. Mata terasa panas. Bagaimana lagi nasibku setelah ini?
Om Bari sudah berdiri, meminta Tante menyiapkan keperluanku. Oh Tuhan … kepalaku terasa melayang.
Aku hanya bisa pasrah, diantar dengan mobil tua Om Bari ke sebuah tempat berpagar sangat tinggi, begitu gerbang itu terbuka jelas kulihat bangunan di sana sangat luas, lantai dua seperti sebuah istana.
Mama, Papa … tolong doakan Arum. Semoga kehidupan Arum dilindungi selama di rumah itu.
Sebagai yatim piatu aku hanya menumpang hidup di Jakarta, saat Om Bari dan istri menjemputku dua tahun lalu, sejak masih duduk di kelas sepuluh. Bukan hanya numpang makan dan tidur, aku bekerja di rumah mereka, membantu apa pun untuk meringankan beban Tante Hani. Sampai berjualan kue basah di sekolah.
Keluargaku bukanlah orang berpunya, jadi aku terbiasa melakukan apa pun seperti yang almarhumah Mama ajarkan.
Seorang wanita langsing berkulit seputih salju menghampiri kami, dan seorang lain mengikuti di belakangnya. Tadi kami menunggu beberapa saat di kursi teras.
“Nyonya, ini Arum yang saya ceritakan,” ujar Om Bari sambil berdiri dari kursi, bicara dengan sedikit membungkuk bahu.
Aku dan Tante Hani ikut berdiri, menatap orang yang sama. Orang itu usianya sekitar 40-an, tapi masih tampak sangat cantik. Ia menoleh padaku. Melihat dari ujung kaki hingga kepala, seperti mencari sesuatu. Napasku terasa sesak. Mulai berpikir buruk atas apa yang akan terjadi padaku nanti di rumah ini.
Seperti di sinetron tentang orang kaya yang menyiksa pembantunya sampai kurus kering. Tuhan … lindungi aku!
“Baik, dia diterima di sini,” katanya kemudian membuat Om Bari terlihat melepas napas lega.
Aku meremas jari yang terasa dingin.
“Terima kasih, Nyonya. Terima kasih banyak.” Wajah lelaki yang selama ini kuharap sebagai pengganti Papa semakin semringah melihat wanita itu tiba-tiba menyodorkan amplop coklat tebal ke tangannya.
Mataku membesar. Aku bukan anak kecil yang bisa dibohongi. Apa ini artinya … Om Bari menjualku?! Sekejap saja pipiku basah. Dada menyesak sulit menarik napas.
Aku masih mematung di tempat, saat Tante Hani tanpa sempat bicara apa-apa ditarik Om Bari segera pergi.
Tinggallah aku terdiam merasa bagai semut kecil, yang akan memasuki ke sebuah gua dan diinjak remuk makhluk di dalamnya.
“Ajak dia masuk,” perintah wanita itu pada seorang perempuan berkulit gelap yang setia berdiri di belakangnya sejak tadi.
“Iya, Nyonya.”
“Ayo, Mbak. Jangan nangis,” kata wanita itu segera mengajakku masuk lewat pintu samping.
Ruangan dapur saja sangat luas. Bidang lantainya lebar bening membuat kaki telanjangku merasa dingin menginjaknya.
“Pakai sandal rumah, ada di situ.” Tunjuknya pada rak kayu putih bertingkat. Berjejer sandal jepit warna putih dan pink. Aku mengambil yang berwarna putih, langsung memakainya.
Aku di bawa ke lorong sisi lain dapur. Ternyata itu deretan kamar. Paling ujung menjadi tempatku. Sebuah ruangan seluas ruang tamu di rumah Om Bari, lengkap dengan lemari plastik dorong lima tingkat, dan dipan untuk tidur sendiri.
Ada kipas angin menempel di dinding. Kelihatannya nyaman. Meja belajar dan lampu kap di sisi ranjang. Mungkin mereka sudah siapkan untukku yang masih berstatus pelajar. Ah, semoga saja aku masih berkesempatan selesaikan sekolah. Paling tidak punya ijazah SMA, bekalku nanti mencari pekerjaan yang lebih baik. Rasa sedih ditinggal Om Bari dan Tante Hani menguap, aku merasa punya harapan di sini.
“Namaku Midah, kalau tidak tahu apa-apa tanya saja.” Wanita itu nada bicaranya tegas tapi rautnya ramah, mungkin dia kepala pembantu di sini.
“Setelah simpan barangnya, ganti seragam itu,” katanya lagi menunjuk nakas di dekat pintu kamar mandi. Iya, kamar ini ada kamar mandi dalamnya seperti kos-kosan.
“Iya, Mbak Midah, terima kasih.”
“Waktumu 15 menit. Setelahnya temui aku di dapur.” Dia keluar kamar.
Aku segera membaringkan diri di kasur empuk, menatap langit-langit warna putih bersih. Hem, nyaman. Ini pasti kasur mahal, sepreinya juga lembut.
Meski tadi sempat kesal Om Bari mengirimku ke sini tetap ada lega di lubuk sana. Om dan Tante pasti sedang senang sekarang, dapat uang banyak bisa menambah modal Tante Hani berjualan. Mungkin itu salah satu jalanku membalas kebaikan mereka selama ini. Kasihan juga kondisi Tante lagi hamil muda, tapi hasil usaha Om Bari sedang sepi.
Kulirik jam, delapan menit lagi! Gegas aku ke kamar mandi. Ini terasa seperti di asrama, harus mengejar waktu.
Ah, ya tadi di rumah aku memang tak sempat mandi, karena bangun tidur langsung membantu Tante Hani di dapur. Meskipun hari Minggu, aku tak membawa jualan kue ke sekolah, tapi tetap membuatkan pesanan. Tadi pagi kami membuat kue sus dan roti goreng isi pisang sebanyak 200 buah, makanya begitu Om Bari datang tergesa-gesa entah dari mana mengabariku akan segera kerja di rumah ini.
Sebelumnya memang sudah pernah Om Bari beritahu, tapi kukira setelah lulus ‘kan waktunya tinggal lima bulanan lagi.
Pakaian berbentuk dress bahan katun tebal, dengan kerah rajut sudah melekat di badanku. Seperti seragam baby sitter. Apa aku akan ngasuh bayi?
Saat berkaca pada cermin kecil di dinding aku merasa punya aura berbeda. Cantik. Kulitku yang putih langsat_turunan Mama asli Kalimantan dan Papa berdarah Sunda_terlihat cerah dengan warna pink tua.
Rambutku yang panjang dan lurus kuikat satu ke atas, biar tidak mengganggu nanti saat bergerak. Sebelum keluar, aku maju lebih mendekat ke kaca, menowel ujung hidung betetku dengan jempol sembari tersenyum lebar. Ini cara khasku bersama Almarhum Papa saat berbagi bahagia dan susah.
“Kalau Arum merasa sedih dan susah lihat hidung ini.” Papa menunjuk hidungku dan hidungnya yang kembar. Berbentuk paruh burung Betet. “Papa pasti ada di sisi Arum dan kita akan sama-sama melewatinya,” pesan beliau.
Itu nasihat terakhir terucap sehari sebelum kecelakaan kerja yang membawanya kembali pada Tuhan.
Arum pasti ingat, Pa. Bersama Papa, Arum akan kuat!
Senyumku makin lebar, Ches! Layaknya akan difoto aku melebarkan jari telunjuk dan tengan membentuk V di sudut mata yang mengedip. Papa paling suka gayaku itu, katanya seperti gaya foto model di majalah remaja, hee.
Aku keluar kamar dengan penuh semangat, menyusuri lorong menuju dapur, tempatku masuk pertama tadi. Di sana sudah terlihat wanita itu sedang mencicipi makanan dari panci yang tengah dimasak seseorang wanita lain.
Setelah memberi dua jempol, baru hidangan itu disajikan di meja panjang ruang sebelah. Hebat. Sepertinya Mbak Midah itu memang pemimpin di sini.
“Sudah siap?” tegurnya saat melihat kehadiranku yang belum berani menyapanya tadi.
“I-iya siap,” sahutku sedikit tergagap.
Kalian pasti tahu rasanya saat awal bekerja ‘kan? Grogi campur bingung begitu. Apalagi ini pekerjaan dadakan dan tempat asing. Aku merasa masih setengah bermimpi ada di sini.
“Ikut aku.”
Dengan patuh aku mengikutinya yang melangkah cepat ke ruang dalam.
Wahh, ruangan ini membuatku merasa ada di lapangan. Luas dengan beberapa pilar besar kokoh sebagai penyangga. Atapnya tinggi, di bagian lain jendela kaca lebar sebagai penerang alami siang hari.
Aku merasa masuk di istana sebenarnya. Masih ternganga dengan pemandangan rumah ini, kakiku mengikuti langkah Mbak Midah menuju tangga beralas karpet merah hingga anak tangga atas.
Tak habis kata untuk menggambarkan rasa kagumku pada semua titik yang terlihat. Sempurna. Ini mungkin yang dinamakan surga dunia.
Aku tercekat sejenak saat Mbak Midah tiba-tiba terhenti dan aku sukses menabrak punggungnya, akibat terpana melihat ukiran emas di langit-langit lantai atas ini.
“Ma-maaf, Mbak. Maaf.” Jantungku berpacu cepat karena wajahnya melihatku datar.
“Bekerjalah pakai hati, jangan pernah silau dengan apa yang terlihat oleh mata bisa fatal akibatnya,” cetus wanita itu membuatku makin menegang.
Apa itu artinya aku bisa saja dipecat kalau berbuat salah? Oh, tidak! Om Bari akan marah kalau aku dipecat sebelum mulai bekerja sama sekali, dan … kalau uang yang diberi Nyonya itu diminta kembali bagaimana?
“Maaf ya, Mbak Midah. Maaf. Arum tidak sengaja.” Aku menangkup telapak di dada dengan raut dibuat semenyesal mungkin.
Lagi, tanpa menjawab wanita itu berbalik membuka pintu.
Langsung terlihat di sana sebuah tempat tidur antik, ada seorang berbaring dan … wanita anggun yang dipanggil Nyonya itu duduk di kursi sebelah ranjang.
“Ini Arum sudah siap, Nyonya,” lapor Mbak Midah.
“Tinggalkan kami, Midah,” perintahnya membuat Midah segera keluar dan menutup pintu. Kenapa aku merasa seperti di kerajaan, ya? Dan, wanita yang duduk tegap itu bagai ratunya. Gaya memerintahnya kaku, sampai semua orang harus terlihat tegang.
“Duduk.” Dengan kode mata dia menyuruhku duduk di kursi ukir persegi beralas busa. Aku segera mematuhi.
“Kamu masih sekolah?”
“Iya, Nyo-Nyonya. Kelas 12 ....” Rasanya kaku menyebut panggilan itu.
“Berapa usiamu?”
“Jalan 18 tahun, Nyonya.”
“Baiklah. Kamu sudah di sini berarti siap untuk bekerja.” Setelahnya aku mulai menyimak saksama tugas yang beliau berikan. Tepatnya seperti mendikte, mungkin agar aku jelas pada tugas-tugasku.
Nyonya memercayakan aku mengurus ibu beliau yang tengah terbaring selama bertahun-tahun di tempat tidur itu. Entah apa sakitnya tak dijelaskan. Ibunya bisa membuka mata, gerak kepala, tapi tak bisa bergerak anggota badan lain, karena organnya lumpuh total.
Jadwal tugasku diserahkan, tertulis dalam sebuah kertas, seperti peraturan disiplin di sekolah.
Kemudian, mataku melihat jam yang tertera di jadwal dengan dahi mengernyit.
“Iya, kamu tetap lanjutkan sekolah sampai lulus. Jadi jam siang sementara kosong, jam pagi kamu sesuaikan sebelum berangkat. Pulang sekolah kamu standby lagi di ruang ini.” Seperti bisa membaca pikiranku Nyonya tanggap menjelaskan panjang lebar.
Aku merasa girang setengah mati.
“Terima kasih, Nyonya. Terima kasih banyak.”
Ini keberuntungan bukan? Walaupun jadi pembantu aku masih bisa menuntut ilmu.
Ma, Pa. Doakan di rumah ini ada kesempatan Arum hidup lebih baik lagi.
Part 2
Diubah oleh akulin 16-02-2021 08:37
banditos69 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
1.1K
9
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
akulin
#4
Part 2

Sumber foto Pinterest
Hari pertama langsung kerja di tempat asing memang sempat membuatku sedikit linglung, untunglah Mbak Midah berhati baik. Semua tugas yang kurang kupahami harus bagaimana bisa kutanyakan padanya dan cepat dia instruksi dalam bahasa yang mudah kupahami.
Quote:
Syukurlah … nasib baik mengantarku tinggal dan bekerja di rumah di rumah ini. Tentu itu takkan kusia-siakan. Bekerja sebaik-baiknya. Kata Mbak Midah, Nyonya Ajeng itu aslinya baik, kalau sudah percaya dia akan memberi lebih, tapi kalau kecewa detik selanjutnya tamatlah riwayat. Selama Mbak Midah kerja di sini sudah tak terhitung pekerja yang dipecat.
Semoga saja aku tak membuat kesalahan fatal selama di sini.
Hari Senin, hari keduaku di sini sekaligus hari pertama menjalankan tugas. Sebelum Subuh aku sudah berada di kamar Yang Ti. Sesuai petunjuk dan jadwal aku harus membuat Yang Ti menyambut pagi dengan segar. Membersihkan badan, menggantikan pakaiannya dengan yang wangi.
Beliau ini ternyata bangun sangat awal. Tadi saat sembahyang Subuh_izin ibadah di ruang ini sudah disetujui Nyonya Ajeng_pas aku menoleh salam Yang Ti sudah membuka mata melihat padaku yang sekitar lima meter jarak darinya.
Melihat itu aku gegas mengusap muka lalu menemuinya, Yang Ti malah mengode mata, seperti menyuruhku, ‘Sudah sana, selesaikan dulu, jangan buru-buru.’ Agh! Kenapa aku merasa paham bahasa matanya, atau aku salah mengartikan?
Aku perlahan mundur lagi kembali duduk di sajadah, karena matanya mengatakan, ‘Ya, begitu. Lanjutkan berdoanya.’ He, rasanya aneh bisa mengerti bahasa mata.
Sekitar satu menit aku zikir dan berdoa singkat, lalu kembali mendekati Yang Ti. Beliau ini terlihat sering menatapku lama saat membalik badannya perlahan. Apa mungkin heran aku yang masih muda bisa mengurus orang sakit dengan tenang?
Quote:
Setelah membersihkan tubuh Yang Ti dan aku mendudukkan beliau dalam posisi setengah berbaring, menyuapi bubur saring halus yang tadi kuambil dari dapur. Menyuapi beliau sambil mengajaknya bicara. Walaupun tidak dijawab, tapi kurasa binar matanya menanggapi.
Bubur ini berwarna kehijauan, mungkin dicampur banyak sayur seperti bubur bayi, baunya lezat menggoda perut untuk mencoba. Aku jadi ingat Tante Hani yang suka belikan bubur ayam Mang Oye di ujung jalan untukku sarapan sebelum ke sekolah.
Aku kembali turun ke dapur mengantar mangkuk dan gelas kotor, di mana assisten dapur masih sibuk bertugas di sana sejak Subuh tadi, menyiapkan berbagai menu sarapan untuk semua penghuni rumah. Makanan itu tentu atas hasil lolos uji oleh Mbak Midah. Aku baru tahu kalau Mbak Midah itu lulusan sekolah Akademi Gizi, dan beliau bekerja secara professional di sini. Sebagai kepala dapur yang mengatur menu setiap hari, juga sekaligus memimpin para assisten melaksanakan tugas.
Quote:
“Arum, berangkat sekarang, supir menunggu di bawah.” Mbak Midah muncul di pintu.
Aku yang tengah asyik mengajak Yang Ti ngobrol sambil mengusap tangannya, segera berdiri. Kulirik jam menunjuk angka tujuh kurang dua puluh menit. Aku masuk pukul 07.00.
“Arum berangkat dulu, Yang Ti,” pamitku padanya nyonya tua, mengecup punggung tangan lemah itu beberapa detik, seolah tengah meminta doanya. Ini dulu jadi kebiasaan yang kulakukan pada Mama saat beliau sakit begini, setiap berangkat dan pulang sekolah aku tetap pamit mencium tangannya. Suka menemaninya di kamar, ceritakan hari-hariku yang tak bisa Mama lihat lagi, meskipun beliau tetap tidak menjawab celotehku.
Aku ingin melakukan itu juga pada Yang Ti. Beliau pasti butuh teman ngobrol, aku bisa lihat dari binar matanya mengatakan ‘senang’ saat aku mulai cerita apa saja yang seru versiku. Untunglah, Mbak Midah tidak menegurku melakukannya, mungkin selama dalam batas sopan pada majikan itu belum melanggar.
Menurutku salah satu tanda kita menghormati orang lebih tua adalah dengan mengakui dan menghargai keberadaan mereka.
Kuucapkan salam pada Mbak Midah yang akan sesekali melihat Yang Ti selama aku di sekolah. Lalu cepat menuruni tangga, tas sekolah selempang sudah terkait di bahu.
Di luar mobil hitam mengkilap tampak siap di dekat teras.
Apa maksud Mbak Midah aku akan diantar mobil ini? Tidak. Bukan. Aku akan naik sepeda saja yang kemarin aku lihat ada di gudang belakang.
Quote:
Langkah kaku aku bergerak mendekati sedan berkilau itu. Menarik pintu samping supir susah payah, karena tulangku terasa lemah akibat bingung dan gugup.
“Arum biar naik sepeda saja, Pak. Sudah biasa, kok,” kataku melongokkan kepala bicara pada supir yang bantu membukakan pintu.
“Hei, ayo cepat masuk. Aku ada persiapan sebelum meeting.”
Pandanganku beralih ke kursi belakang. Melihat jelas wajah lelaki muda yang bicara tadi. Pria bercambang halus memenuhi dagu, hidung tinggi seperti seluncuran tajam.
Ini pasti salah satu putranya Nyonya Ajeng.

Sumber ; Pinterest
Terasa terhipnotis aku langsung masuk. Baru punggung menempel di jok, lelaki itu kembali membuka suara.
“Duduk di sini,” tegurnya sambil mendorong pintu penumpang di sebelahnya.
Apa maksudnya minta aku duduk di belakang? Aku kan cuma ....
Besar rasa mulai hinggapi otakku. Segera kutepuk dahi menyadarkan siapa diri.
“Ayo cepat!” Aku terloncat kaget. Segera keluar dan berpindah ke sampingnya.
Badan terasa kaku duduk di sebelah lelaki yang dari tubuhnya terhidu aroma maskulin khas laki-laki. Aku tak berani melihat ke kanan, cukup ke arah luar kaca sebelah.
“Kamu sekolah di mana?”
Apa ia bertanya padaku? Ah, mana mungkin aku pasti hanya salah dengar.
“Hei, kau punya masalah pendengaran, hem?” Towelan di lengan membuatku refleks menoleh padanya. Dalam jarak dekat bisa kulihat wajah itu sangat lelaki, eh, maksudku macho, iris matanya coklat muda sempurna dengan bulu mata tebal dan panjang, tatapannya terasa menembus dada.
“Ya sudah jangan dijawab,” timpalnya lagi. Mungkin melihatku yang malah melongo, bukannya menjawab.
Ah, biarlah. Dia pasti maklum, aku ‘kan anak kampung yang masih syok melihat makhluk begitu sempurna Tuhan ciptakan.
Quote:
“Sekolahnya SMA mana, Mbak?”
Tergeragap kembali aku ke posisi semula, duduk tegak, sambil menyebut nama sekolahku. Terasa panas muka melihat lelaki yang dipanggil Pak Dul menahan senyum.
Apa bapak ini perhatikanku melongo lihat punggung tuan muda tadi?
Quote:
banditos69 dan sjaifulloh memberi reputasi
2
