Ayi masih bercerita panjang lebar mengenai dampak yang Denis timbulkan. Meskipun kesimpulan yang kudapat dari itu hanyalah 99% keberuntungan dan 1% murni kebodohan.
Tapi saat kuutarakan kesimpulanku, Ayi terdiam dalam lalu berkata dengan pasti.
Udara dingin bercampur bau obat menyengat dari sebuah ruangan dengan nuansa putih membeku. Susunan kotak besi dengan pintu tertutup berdiri megah melambangkan kematian di sudut ruangan.
Dalam meja-meja besi, beberapa tubuh terbujur kaku tertutup kain putih. Tak ada nafas, tak ada suara. Seperti gambaran kematian terlukis jelas di ruangan itu.
Dan hal mustahil mulai terjadi.
Sebuah pintu besi terbuka dari dalam, disusul telapak tangan pucat pasi menjulur dari dalam sana, menarik tubuhnya dengan susah payah kemudian terjatuh ke lantai.
Sebuah tubuh tanpa kepala merangkak telanjang dan mulai berdiri.
Kepalanya jatuh menggelinding hingga membentur pintu masuk cukup keras.
Tubuh itu berdiri mematung seperti menunggu sesuatu selama beberapa saat. Setelah apa yang ia pikirkan tidak terjadi, tubuh itu mulai berjalan, meraih kepalanya dan memasangnya ke tempatnya semula.
Yudha!
Ya, itu Yudha, jelas sekali. Bola matanya pucat namun perlahan memerah. Ia berjalan ke sebuah lemari kaca di sudut lain, mencari-cari sesuatu. Setelah sebuah kotak putih ia dapatkan, ia berkaca pada sebuah cermin.
Dan mulai menjahit kepalanya sendiri.
Beberapa menit berlalu kemudian, ia memastikan jahitannya cukup kuat untuk menopang kepala pada lehernya sendiri.
"Entah bagaimana, antara aku harus mempertahankan tubuh ini atau mencari tubuh baru dengan mempertaruhkan jiwaku sendiri. Bagaimana menurutmu nyi?"
Ia bersuara serak dengan nada kesal setengah mengancam.
"Terlalu besar resikonya jika Aki memaksakan diri untuk memindahkan jiwa Aki pada tubuh baru. Bagaimanapun kita harus sedikit bersabar."
Wanita dengan jas putih khas dokter menjawabnya sambil berjalan masuk.
"Aku? Bersabar?! Jangan bodoh! Pangkur Kembar kehilangan kemampuannya dan aku sekarat hanya karena seorang bocah bodoh! Kita gagal dan ada terlalu banyak batu sandungan. Dan kau bilang aku harus bersabar?!"
Ki Kala kehilangan ketenangannya, mencengkram kerah wanita itu dan berteriak hingga suaranya menggema di ruangan itu.
"Tapi aku tidak berkata harus menyerah. Masih ada Pangkur Durma, dan progres untuk Pangkur Juru Demung sudah terlihat. Kita mungkin kehilangan satu, tapi kita bisa mendapatkan satu yang lain."
Wanita itu dengan tenang berujar.
"Juru Demung sulit diatasi, rapuh, dan wadahnya terlalu sulit dicari. Perannya lebih seperti pendukung. Aku tidak melihat ada hal lain yang berguna dari hal ini. Jelaskan rencanamu!"
Ki Kala melepaskan cengkeramannya seraya mendorong wanita itu dengan kasar.
"Sederhana."
Wanita itu tersenyum kemudian.
~oOo~
Langkah kaki terdengar saling bertaut, waktu belum larut sepenuhnya. Banyak wajah yang tertunduk lesu di sepanjang lorong. Tua dan muda, laki-laki dan perempuan, semuanya bercampur. Sibuk dalam benaknya masing-masing. Kebanyakan akan menjawab hal yang sama jika ditanya.
Salahsatu anggota keluarganya sedang dirawat.
Sebuah pemandangan pilu di rumah sakit, seperti biasa.
Dan langkah kasar berjalan keluar dari ruangan jenazah. Memakai celana pangsi dan kemeja abu polos. Yudha keluar dari sana seperti tak terjadi apapun.
Diluar sebuah mobil SUV hitam menunggunya.
"Kemana kita Ki?"
Sang supir bertanya dengan sopan.
"Hutan, kita akan memulai Juru Demung."
Jawabnya singkat.
"Baik, Ki."
Orang itu menjawab dengan sopan dan tegas. Lalu tanpa bertanya atau berkata apa-apa lagi, mereka meluncur.
Seorang bocah laki-laki lusuh tanpa alas kaki melihat mobil itu dengan seksama. Lalu berlari kecil menuju sebuah gang.
"Bagaimana?"
Denis disana menyapa bocah tadi.
"Dia pergi, kita bisa mulai menemui dokter yang membantunya."
Anak kecil tadi bersuara serak dan menyeramkan, namun familiar.
"Aku masuk, kalian jaga setiap pintu keluar."
Dinda memberi komando.
"Baiklah, jangan kacaukan ini. Cukup mencari tahu apa yang mereka rencanakan. Setelah itu, pergi. Mengerti?"
Ratih mewanti-wanti.
"Katakan itu pada dia."
Dinda melirik tajam pada Denis.
"Apa? Aku sudah minta maaf kan?"
Denis menjawab tatapannya.
"Oke aku mengerti, Denis, pasang mata dan jangan ceroboh."
Ratih berujar pada Denis.
"Aku tahu."
Jawabnya singkat.
"Aku bisa menjaganya. Tenang saja."
Ayi ikut mengomentari.
"Aku percayakan padamu."
Dinda berkata sambil melewati Ayi dan masuk ke dalam Rumah Sakit itu.
"Apa dia tidak mempercayaiku?"
Tanya Denis pada Ratih.
"Salahmu sendiri."
Ratih juga pergi menuju gerbang belakang.
"Oh ayolah, seburuk itukah aku?"
Denis mengeluh.
"Baik baik, jangan merengek, aku belikan kau kopi di warung sana. Ayo."
Ayi berkata dan merubah penampilannya menjadi seorang laki-laki berumur 40 tahun.
"Baiklah, beri aku juga sebungkus rokok."
Denis meminta sambil menyusul Ayi.
Di waktu yang sama, di tempat yang berbeda.
Dinda masuk dengan lembut dan pasti. Membaca setiap kepingan memori dari orang-orang yang ia curigai. Seperti deskripsi Ayi, seorang wanita berkacamata, dengan sanggul dan tatapan tajam. Ia memakai jas putih khas dokter. Wanita itu yang keluar dari ruangan jenazah dimana beberapa saat lalu Ki Kala terbujur disana.
Dinda terus menyusuri lorong demi lorong, memperhatikan setiap orang tanpa senyum di wajah mereka. Semuanya tertunduk dalam benak sembari memikirkan orang-orang yang dikasihi sedang berjuang melawan derita diatas ranjang.
Perawat silih berganti melangkah keluar-masuk dari setiap ruangan, membawa catatan dengan wajah terburu penuh khawatir.
Tidak ada,
Tidak ada orang yang Dinda cari disana. Teringat akan si kembar, Dinda mencoba bertanya pada resepsionis dan diarahkan pada sebuah kamar.
Dinda berjalan masuk, 2 orang anak kecil sedang terbujur tak berdaya. Selang infus menancap dengan perban di salahsatu mata mereka.
"Bagaimana kabar kalian?"
Dinda mencoba bersikap ramah.
"Teteh siapa?"
Tanya Ida.
"Hati-hati."
Adi menimpali.
"Saya Dinda."
Dinda menjawab ramah.
"Dia jahat."
Adi membalas perkataan Dinda.
"Aki pernah bicara tentang teteh."
Ida meringkuk menjauh.
"Tenang, saya gak akan menyakiti kalian."
Dinda kemudian duduk ditengah ranjang di samping mereka berdua.
"Karena kami tidak mampu lagi menyakiti teteh?"
Ida mencoba bertanya.
"Kau ingat?"
Tanya Dinda.
"Semuanya."
Jawab Ida.
"Apa yang ingin kau tahu?"
Tanya Adi pada Dinda.
"Apa yang kalian tahu?"
Dinda balik bertanya.
"Kita akan mati."
Kata Ida.
"Dan tak ada salahnya kita bercerita."
Adi menimpali.
"Karena ujungnya akan sama."
Mereka berdua serempak berkata demikian.
"Ceritakanlah."
Dinda tersenyum tenang.
Dan kata demi kata mengalir dari mereka.
Sementara itu, di tempat Denis berada. Ayi merubah dirinya seperti laki-laki berumur 40 tahun, dengan tampilan kolot dan sedikit beruban.
Mereka berdua duduk di sebuah warkop seberang gerbang depan. Asik menyantap gorengan hangat ditemani secangkir kopi. Kadang hembusan nikotin menyembul di sela-sela itu.
Lalu seorang wanita duduk di depan mereka. Terhalang etalase berbentuk L, mereka saling menatap singkat.
"Apa kabar bu dokter?"
Sapa Ayi padanya.
"Saya baik, bagaimana kalian?"
Jawabnya.
"Seperti yang terlihat."
Ayi menjawab santai.
"Kau kenal?"
Denis bertanya setengah berbisik.
"Itu dia."
Jawab Ayi singkat.
"Dia siapa?"
Denis tak mengerti.
"Shift saya berakhir, sekedar bersantai sebelum pulang, apa salahnya bukan?"
Wanita itu kembali berkata.
"Anda lebih cantik dengan sanggul dan kacamata itu bu."
Ayi memancing.
Sementara Denis masih tenggelam kebingungan.
"Ah, saya sedikit menyukai hal-hal kuno. Bagaimana dengan anda?"
Wanita itu bertanya dengan lembut.
"Saya cukup bosan, dan selebihnya tertarik pada kemajuan zaman."
Ayi menjawab.
"Dia sebetulnya lebih tua dari kelihatannya. Jangan tertipu penampilan bu dokter. Hahaha."
Denis ikut nimbrung.
"Anda lucu, tentu saya tahu. Untuk ukuran seseorang yang telah hidup sejak Calagra, dia adalah yang paling tua diantara kita bertiga."
Wanita itu membalas perkataan Denis.
Sontak hal itu membuat Denis kaget dan tersadarkan.
"Sst.. itu dia?"
Tanya Denis berbisik pada Ayi.
"Kan sudah kubilang."
Tanda Ayi kesal.
"Saya merasa terhormat Anda mengingat Calagra, nona....."
Ayi membalas perkataan wanita itu dan menggantungkan kata terakhirnya.
"Ah panggil saja saya Ira. Saya tertarik dengan sejarah Calagra. Terutama mengenai bidang yang saya dalami."
Wanita itu menjawab anggun.
"Seperti apa?"
Ayi bertanya memancingnya.
"Hmmm... Banyak, tapi yang jadi fokus utama mungkin 2 hal. Baja Purwa dan Pasukan Calung. Bagaimana denganmu Kiyar? Setidaknya ada yang kau rindukan dari Calagra bukan?"
Kata-kata wanita itu mengalir dengan nada tenang.
Dan Ayi terpaku diam membeku.
"Maaf nih maaf banget, tapi saya dari tadi gak ngerti kalian bahas apa."
Denis memecah canggung.
"Hanya sedikit nostalgia, betul begitu kan prawiga?"
Ira berdiri dan bersiap pergi.
Saat langkahnya mulai menjauh.
"Haruskah kita mengejarnya?"
Denis bertanya dengan sepotong gorengan di mulutnya.
"Entah bagaimana, tapi aku harus membunuhnya."
Ayi berkata dingin.
"Sekarang?"
Denis menelan makanannya dengan gugup sambil memperhatikan sekitar mereka.
"Tunggu disini."
Ayi berkata dingin, ada nada mengancam di kata-katanya.
"Hmm, biasa aja kali ngomongnya."
Denis acuh dan melanjutkan makannya sambil berbalik.
Ayi berjalan setengah berlari, merubah wujudnya menjadi remaja usia belasan tahun. Lalu menyusul dan menepuk Ira.
"Kita punya urusan."
Ayi memaksa Ira menghadapinya.
"Aku benci disentuh."
Ira membalas dengan kasar.
Melayangkan sebuah pukulan tajam ke arah wajah Ayi, Ayi mundur menghindarinya. Setelah yakin bahwa pukulan tadi meleset, nyatanya sebuah ledakan kecil melukai wajah Ayi.
"Kau ingat teknik itu?"
Ira meledek Ayi.
"Jalang!"
Ayi berteriak dan menghampirinya dengan cepat melayangkan tendangan cepat ke arah leher Ira.
Ira menahan dan melancarkan serangan balasan dengan menusuk betis Ayi dengan tangan terlipat hingga tembus, lalu dengan cepat menyerang sendi lutut Ayi, berusaha mematahkan kakinya.
Sebelum Ayi menerima kerusakan lebih lanjut, ia memutar tubuhnya, lalu menendang kepala Ira dengan telak. Ira yang tak sempat menghindar, terpaksa tersungkur karena itu.
"Aw~"
Ira mengusap manja dahi kirinya yang lebam.
"Hei.. hei! Sudah jangan berkelahi disini!"
Seorang satpam dari rumah sakit menghampiri mereka.
Saat tangan satpam itu menyentuh bahu Ira untuk membantunya berdiri. Ira mencengkeram dan melemparkannya dengan mudah.
"Maafkan jeda tadi."
Ira berdiri untuk bersiap.
Ayi diam, kaki kanannya terluka dan sedang memulihkan diri. Ia melihat sekitar dimana orang-orang mulai berkumpul dan memperhatikan mereka.
Saat pandangannya kembali pada Ira, sebuah cekikan dengan kuat mendarat di leher Ayi, Ira entah bagaimana mengangkat tubuh Ayi.
"Jangan menghiraukan yang tidak perlu. Atau kau akan terbunuh disini."
Ira semakin mencengkram leher Ayi.
"Aku benci jika nanti diceramahi, tapi aku lebih benci pada jalang sepertimu."
Ayi memegang tangan Ira, jilatan api keluar dari telapak tangannya dan membakar lengan Ira.
Sebelum api itu menjilati lengannya lebih dalam, Ira melemparkan tubuh Ayi ke sembarang arah.
Ayi mendarat dengan baik, lalu berlari kembali menghampiri Ira dengan kedua kepalan tangannya terbakar. Pukulan demi pukulan Ayi lepaskan pada dada, perut, wajah, leher Ira.
Begitupun dengan Ira yang berhasil menangkis atau menghindar serangan Ayi.
Saat Ayi masih dengan baik berdiri dengan kuda-kudanya yang kokoh, Ira menangkis sambil membuat pijakan pada lutut Ayi yang sedang tertekuk, melompat sambil melepaskan tendangan ke arah dagu Ayi sambil memutar tubuhnya di udara dengan posisi berbalik.
Ayi terpukul mundur, memegang dagunya.
"Ngangin adalah apa yang aku dalami pada sejarah Calagra. Dimar betul-betul menuliskannya dengan baik."
Ira berkata tersenyum picik.
Ayi terperangah, lalu menyentuh lehernya yang mulai terbuka dan berdarah. Alih-alih merah, cairan hitam kental mengucur dari luka itu.
"hagh..hagh!!"
Ayi mencoba bicara namun sepertinya, pita suaranya terluka.
"Sudah jangan memaksakan diri, kau masih akan tetap hidup walau dipenggal bukan?"
Ira bersiap dengan kuda-kuda, melesat cepat dan mengincar leher Ayi yang terluka.
Sebuah lengan memegang bahu Ayi, tubuh seseorang melompatinya lalu dengan cepat melepaskan tendangan tepat mengenai lengan Ira. Suara retakan ngilu terdengar dari gerakan itu.
Ira dipaksa mundur, sambil memegangi lengannya yang patah. Saat ia bersiap menerima serangan lanjutan. Nyatanya lawannya tidak melanjutkan serangan barusan.
Dan saat ia lihat siapa, Denis disana berjongkok didepan Ayi.
"Punya duit gak?
aingbelum bayar gorengan sama kopi tadi,
sia jangan asal pergi dong. Malu
anjir sama si ibu-ibu yang jaga warkop."
Denis membuka telapak tangannya didepan wajah Ayi.
"Se..rius sia minta duit sekarang pisan?"
Sembari Ayi memberinya satu lembar limapuluh ribuan.
"Ya gimana lagi
atuh? Da
aing ge mau pergi. Pengen boker
anjir."
Denis mengambil uang itu lalu berdiri menghadap Ira.
"kumasiawelah!"
("Terserahmu ajalah!")
Ayi kesal berujar, ya dengan lancarnya ia bicara, tampaknya luka di pita suaranya telah pulih.
"Sori
yeuh ganggu. Hehe.
sok sok, lanjutin lagi yang tadi.
punten nya."
Denis dengan acuh meninggalkan mereka diiringi tatapan penuh arti dari orang-orang yang memandanginya.
"Sepertinya kita harus akhiri ini lebih cepat."
Ira masuk ke dalam rumah sakit dan menghilang dari pandangan.
Seraya suara sirine polisi tiba, kerumunan orang-orang mulai membubarkan diri. Seolah menjauh dari masalah.
Ayi berdiri, menggerakkan kaki kanannya yang telah pulih. Lalu pergi ke sebuah gang. Merubah wujudnya dan keluar dari sisi gang satunya.
Ratih tiba menghampiri Denis yang baru membayar makanannya.
"Ada apa nih? Kayaknya
aing ketinggalan sesuatu."
Dengan rasa penasaran Ratih bertanya.
"Apa ya? Ketan goreng abis, sisanya cireng doang. Mau?"
Denis menjawab dengan mulut penuh ketan goreng.