- Beranda
- Stories from the Heart
JATMIKO THE SERIES
...
TS
breaking182
JATMIKO THE SERIES
JATMIKO THE SERIES
Quote:
EPISODE 1 : MISTERI MAYAT TERPOTONG
Quote:
EPISODE 2 : MAHKLUK SEBERANG ZAMAN
Quote:
EPISODE 3 : HANCURNYA ISTANA IBLIS
Diubah oleh breaking182 07-02-2021 01:28
itkgid dan 26 lainnya memberi reputasi
25
58K
Kutip
219
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#157
PART 26
Quote:
Mia tidak menaruh perhatian sedikitpun ketika ia dan Dito turun bukit ditemani Bu Endah. Hatinya benar –benar hancur tidak menentu. Pupus sudah harapannya untuk bisa lolos dari pemukiamn di kaki bukit misterius itu. Janji Jatmiko tidak terpenuhi. Bukan karena ia ingkar janji. Tetapi, nasib berkata lain.
Pemuda itu tewas dalam kecelakaan yang sangat hebat pada saat ia akan menjemput dirinya. Lari dari tempat terkutuk itu. Harapan satu –satunya adalah Parman. Hanya saja bagaimana cara ia untuk menghubungi saudara sepupunya itu.
Bu Endah tahu apa yang terjadi dengan gadis yang duduk di sampingnya itu. Lalu Bu Endah mengusap – usap pergelangan lengan anak semangnya itu. Berusaha memperlihatkan senyum dan tatap mata seorang ibu yang bijaksana. Baru setelah Mia tampak sedikit terang.
Bu Endah berujar:
“ Apakah kau ingin tinggal di rumah saja ?”
" Aku bermaksud belanja sebentar ke pasar. Kalau kau mau ikut..."
Bawalah aku kemana saja Bu. Kemana saja..." Mia mendesah lirih.
"Bagus! Aku sudah cemas. Marilah kita bersenang –senang barang sejenak. Melihat dunia luar tidak sebatas di kaki bukit ini “
Mobil sedan berwarna gelap itu merayap perlahan –lahan menyusuri jalanan beraspal yang mulai ramai lalu –lintasnya.
Bu Endah tersenyum manis. Lalu, "Hem… Kalau tak salah tempat praktek dokter Usman tidak jauh dari pasar. Selagi aku berbelanja. Apa salahnya kau konsultasi sebentar dengan dia"
“ Kau begitu pucat begitu kurus dan..."
Dokter Usman….Mia seperti diingatkan oleh sesuatu hal yang sempat hilang beberapa waktu ini. Pesan Jatmiko Prasetyo sebelum meninggalkan Mia beberapa waktu yang lalu mendadak terngiang - ngiang kembali.
“ Jangan temui dia lagi. Temuilah dokter yang lain. Seorang dokter yang telah berpengalaman yang akan merawatmu sebagaimana ia telah merawat pasien -pasien yang lain dengan wajar. Bukan menurut cara -cara kerja dokter Usman yang aneh itu.."
Jatmiko benar. Usman yang aneh. Obat –obatan yang yang aneh. Ramu - ramuan yang memualkan, yang entah mengapa menimbulkan selera Mia yang ganjil terhadap daging dan darah mentah! Mia membasahi bibirnya yang kering.
Ia tidak akan menemui dokter Usman. Tetapi bagaimana ia harus mengatakannya kepada Bu Endah.
" Dan… Mengapa Dito mengajak Bu Endah untuk menyertainya"
Menyertai Mia" Atau mengawasi?!"
Tahukah mereka apa yang telah aku dan Jatmiko rencanakan?!
Semakin dekat ke pasar. semakin gelisah Mia . Namun akhirnya pikiran cemerlang menjelma di otaknya yang suntuk. Ia menarik nafas panjang, berusaha agar tetap tampak wajar ketika ia mendengus acuh tak acuh:
"Aku pucat dan kurus?"
Ia memberanikan diri menatap mata Bu Endah yang terheran - heran oleh ucapannya.
“ Kukira ibu benar. Dan yah…. Beberapa hari ini rambutku rontok terus-terusan. Ibu tentunya berpura pura. Ibu ingin mengatakan. Aku tampak jelek dan menyedihkan..."
"Astaga….anakku! Apa yang kau bicarakan ini", Bu Endah terkejut.
Sebagai jawabannya, Mia yang kini tersenyum manis. Ia telan kedukaannya di dalam hati. Lalu berkata lebih manis lagi:
"Aku senang ibu mengingatkan keadaanku. Aku jadi malu sendiri. Pantas belakangan ini Dito kurang memperhatikan diriku. Tidak seperti biasanya ia begitu mesra”
Mia tersenyum datar dan hambar. Dito? Pemuda itu ternyata telah menjabakku di tempat terkutuk itu.
Mia lantas berkata dengan sungguh sungguh: "Jangan ke dokter Usman. Antarkan saja aku ke salon."
Mendengar itu mau tidak mau Bu Endah tertawa.
"Anakku cantik " katanya, bernafas lega.
"Syukurlah kau telah menemukan dirimu sendiri sekarang. Jadi ke Salon ?" Mau yang mana?"
“ Ibu sudah lama tak masuk salon. Maklum... ah Bapakmu itu suka cemberut. Katanya tanpa ke salon aku ini sudah sangat cantik .."
"Itu!”, potong Mia seraya menuding ke depan.
Dimana kebetulan tampak sebuah salon yang cukup mentereng. Ia belum pernah ke salon ini, dan sebelumnya cukup hati – hati memilih tempat perawatan kecantikan yang sesuai dengan seleranya. Tetapi sekarang rasanya tidak terlalu berpikir terlalu panjang untuk mencoba salon yang belum pernah ia masuki sekalipun.
Bu Endah menyuruh supir berhenti di depan salon yang dimaksud. Tetapi ia tidak langsung meninggalkan Mia begitu saja. Ia menunggu sampai giliran Mia tiba. Dan anak gadis semangnya itu siap untuk dirawat. Seorang kapster yang menerimanya mengatakan akan makan tempo sekitar tiga jam untuk perawatan permulaan.
"Cukup lama. Di pasar aku paling - paling setengah jam. Aku akan segera menemanimu lagi anakku. Bu Endah membelai pipi Mia dengan penuh kasih.
“ Kau akan memesan apa?”
Mia berpikir sebentar. Pura-pura saja dan menyebutkan satu dua keperluan dapur yang ia minta tolong dibelikan induk semangnya dan dibayar nanti setiba di rumah. Ia kemudian duduk di kursi yang tersedia. Bersandar santai dengan mata terpejam seakan ingin tidur. Bu Endah tersenyum puas. Masuk kembali ke taksi dan meluncur ke pasar. Ia tidak membutuhkan setengah jam seperti yang ia katakan.
Pemuda itu tewas dalam kecelakaan yang sangat hebat pada saat ia akan menjemput dirinya. Lari dari tempat terkutuk itu. Harapan satu –satunya adalah Parman. Hanya saja bagaimana cara ia untuk menghubungi saudara sepupunya itu.
Bu Endah tahu apa yang terjadi dengan gadis yang duduk di sampingnya itu. Lalu Bu Endah mengusap – usap pergelangan lengan anak semangnya itu. Berusaha memperlihatkan senyum dan tatap mata seorang ibu yang bijaksana. Baru setelah Mia tampak sedikit terang.
Bu Endah berujar:
“ Apakah kau ingin tinggal di rumah saja ?”
" Aku bermaksud belanja sebentar ke pasar. Kalau kau mau ikut..."
Bawalah aku kemana saja Bu. Kemana saja..." Mia mendesah lirih.
"Bagus! Aku sudah cemas. Marilah kita bersenang –senang barang sejenak. Melihat dunia luar tidak sebatas di kaki bukit ini “
Mobil sedan berwarna gelap itu merayap perlahan –lahan menyusuri jalanan beraspal yang mulai ramai lalu –lintasnya.
Bu Endah tersenyum manis. Lalu, "Hem… Kalau tak salah tempat praktek dokter Usman tidak jauh dari pasar. Selagi aku berbelanja. Apa salahnya kau konsultasi sebentar dengan dia"
“ Kau begitu pucat begitu kurus dan..."
Dokter Usman….Mia seperti diingatkan oleh sesuatu hal yang sempat hilang beberapa waktu ini. Pesan Jatmiko Prasetyo sebelum meninggalkan Mia beberapa waktu yang lalu mendadak terngiang - ngiang kembali.
“ Jangan temui dia lagi. Temuilah dokter yang lain. Seorang dokter yang telah berpengalaman yang akan merawatmu sebagaimana ia telah merawat pasien -pasien yang lain dengan wajar. Bukan menurut cara -cara kerja dokter Usman yang aneh itu.."
Jatmiko benar. Usman yang aneh. Obat –obatan yang yang aneh. Ramu - ramuan yang memualkan, yang entah mengapa menimbulkan selera Mia yang ganjil terhadap daging dan darah mentah! Mia membasahi bibirnya yang kering.
Ia tidak akan menemui dokter Usman. Tetapi bagaimana ia harus mengatakannya kepada Bu Endah.
" Dan… Mengapa Dito mengajak Bu Endah untuk menyertainya"
Menyertai Mia" Atau mengawasi?!"
Tahukah mereka apa yang telah aku dan Jatmiko rencanakan?!
Semakin dekat ke pasar. semakin gelisah Mia . Namun akhirnya pikiran cemerlang menjelma di otaknya yang suntuk. Ia menarik nafas panjang, berusaha agar tetap tampak wajar ketika ia mendengus acuh tak acuh:
"Aku pucat dan kurus?"
Ia memberanikan diri menatap mata Bu Endah yang terheran - heran oleh ucapannya.
“ Kukira ibu benar. Dan yah…. Beberapa hari ini rambutku rontok terus-terusan. Ibu tentunya berpura pura. Ibu ingin mengatakan. Aku tampak jelek dan menyedihkan..."
"Astaga….anakku! Apa yang kau bicarakan ini", Bu Endah terkejut.
Sebagai jawabannya, Mia yang kini tersenyum manis. Ia telan kedukaannya di dalam hati. Lalu berkata lebih manis lagi:
"Aku senang ibu mengingatkan keadaanku. Aku jadi malu sendiri. Pantas belakangan ini Dito kurang memperhatikan diriku. Tidak seperti biasanya ia begitu mesra”
Mia tersenyum datar dan hambar. Dito? Pemuda itu ternyata telah menjabakku di tempat terkutuk itu.
Mia lantas berkata dengan sungguh sungguh: "Jangan ke dokter Usman. Antarkan saja aku ke salon."
Mendengar itu mau tidak mau Bu Endah tertawa.
"Anakku cantik " katanya, bernafas lega.
"Syukurlah kau telah menemukan dirimu sendiri sekarang. Jadi ke Salon ?" Mau yang mana?"
“ Ibu sudah lama tak masuk salon. Maklum... ah Bapakmu itu suka cemberut. Katanya tanpa ke salon aku ini sudah sangat cantik .."
"Itu!”, potong Mia seraya menuding ke depan.
Dimana kebetulan tampak sebuah salon yang cukup mentereng. Ia belum pernah ke salon ini, dan sebelumnya cukup hati – hati memilih tempat perawatan kecantikan yang sesuai dengan seleranya. Tetapi sekarang rasanya tidak terlalu berpikir terlalu panjang untuk mencoba salon yang belum pernah ia masuki sekalipun.
Bu Endah menyuruh supir berhenti di depan salon yang dimaksud. Tetapi ia tidak langsung meninggalkan Mia begitu saja. Ia menunggu sampai giliran Mia tiba. Dan anak gadis semangnya itu siap untuk dirawat. Seorang kapster yang menerimanya mengatakan akan makan tempo sekitar tiga jam untuk perawatan permulaan.
"Cukup lama. Di pasar aku paling - paling setengah jam. Aku akan segera menemanimu lagi anakku. Bu Endah membelai pipi Mia dengan penuh kasih.
“ Kau akan memesan apa?”
Mia berpikir sebentar. Pura-pura saja dan menyebutkan satu dua keperluan dapur yang ia minta tolong dibelikan induk semangnya dan dibayar nanti setiba di rumah. Ia kemudian duduk di kursi yang tersedia. Bersandar santai dengan mata terpejam seakan ingin tidur. Bu Endah tersenyum puas. Masuk kembali ke taksi dan meluncur ke pasar. Ia tidak membutuhkan setengah jam seperti yang ia katakan.
Quote:
Sepuluh menit sebelum waktu yang ia janjikan, Bu Endah telah kembali ke salon. Ia tidak melihat Mia. Orang yang tadi merawat anak semangnya itu dengan sikap terang - terangan tersinggung menceritakan bahwa begitu Bu Endah meninggalkan salon. Mia langsung melepaskan diri dari kursi kelihatan gugup ketika mengatakan ada sesuatu yang penting ingin ia katakana pada bu Endah, kemudian tergopoh gopoh meninggalkan salon dan tak pernah kembali.
Bu Endah terhenyak dan pucat seketika. Menit berikutnya ia telah terbang dengan taksi yang sama langsung ke atas bukit. Tiba di depan rumah Parlin. Ia turun dari taksi dengan wajah kecut dan sikap takut takut. Lalu mengetuk pintu dengan tangan gemetar. Orangtua bertubuh tinggi besar, berkulit pucat itu yang membuka pintu. Wajahnya tampak datar dan dingin. Sebelum tamunya sempat mengatakan sesuatu.
Parlin telah berujar lebih dulu, "Jadi ia berhasil minggat, bukan?”
Bu Endah mengangguk.
"Aku telah mencoba mengikuti jalan pikiran anak itu. Tetapi aku tidak begitu berhasil " kata Parlin Kartadikrama kecewa namun tampak tetap tenang - tenang saja.
Ia melanjutkan dengan suara getir, “ Anak itu memiliki sesuatu yang seperti menyelubungi dan selalu melindungi pada saat jiwanya sedang terancam “
“ Kekuatan itu tidak dapat kutembus. Tetapi kau pulanglah. Kukira ia tidak akan pergi jauh..."
Lalu Parlin menutup pintu di depan batang hidung bu Endah yang masih tetap diliputi perasaan bersalah. Dari salon Mia langsung naik taksi ke sebuah klinik bersalin milik swasta yang punya nama besar. Perawat jaga yang ia temui memberitahu bahwa dokter kepala klinik yang ingin ia temui baru saja selesai menolong kelahiran seorang bayi kembar dan saat itu tengah bersiap siap untuk pulang. Mia disuruh menunggu sebentar dan kemudian dipersilahkan masuk ke sebuah ruangan sejuk dan menyenangkan susunan perabotannya.
Dokter Jamali masih muda belia. Ia menyambut Mia dengan ramah tamah dan gembira ketika Mia mengatakan alamat dokter itu ia peroleh dari Jatmiko Prasetyo. Seorang sahabat lama kata Jamali. Lalu dengan wajah berduka ia meneruskan:
"Sayang…..ia terlalu cepat pergi. Aku justru baru saja akan pergi melayat... ah… itu bisa ditunda."
Jamali menarik nafas panjang.
Lalu: “ Sepertinya Nona tampaknya gugup dan ketakutan. Mengenai sesuatu penyakit yang berbahaya tentunya?"
"Benar dokter."
"Ada keluhan?"
"Ya "
"Mari kita periksa. Sementara berbaring ceritakanlah apa saja yang nona anggap tidak pada tempatnya?"
Mia menceritakan semuanya dengan bernafsu. Terkadang setengah menangis. Terkadang menggigil ketakutan, dan paling akhir ia mencucurkan air mata ketika mengemukakan isi hatinya;
“ Semuanya terlalu ganjil dan mengerikan dokter. Obat - obat yang lain dari biasa. Efek - efek yang membingungkan. Saya kira dokter... saya tengah terperangkap suatu komplotan jahat atau saya mulai mengidap peyakit gila!"
“ Nona berlebihan", jawab dokter menghibur Mia.
Setelah selesai memeriksa keadaan kesehatan Mia. Jamali berpikir keras dan seperti teringat sesuatu, ia bertanya dengan sungguh – sungguh.
“ Kau katakan kau tinggal di atas bukit itu?"
"Ya. dokter "
“ Dan yang merawatmu, dokter Usman?"
"Benar."
"Hem", Jamali mengerutkan dahi.
Kemudian ia memperlihatkan senyuman ramah, mempersilahkan Mia duduk kembali di tempat semua.
"Tunggulah sebentar," ia berkata.
Lalu keluar dari ruang periksa. Tak sampai lima menit kemudian. Ia telah kembali. Wajahnya telah cerah pula seperti semula. dan senyuman lebarnya menyenangkan hati.
Bu Endah terhenyak dan pucat seketika. Menit berikutnya ia telah terbang dengan taksi yang sama langsung ke atas bukit. Tiba di depan rumah Parlin. Ia turun dari taksi dengan wajah kecut dan sikap takut takut. Lalu mengetuk pintu dengan tangan gemetar. Orangtua bertubuh tinggi besar, berkulit pucat itu yang membuka pintu. Wajahnya tampak datar dan dingin. Sebelum tamunya sempat mengatakan sesuatu.
Parlin telah berujar lebih dulu, "Jadi ia berhasil minggat, bukan?”
Bu Endah mengangguk.
"Aku telah mencoba mengikuti jalan pikiran anak itu. Tetapi aku tidak begitu berhasil " kata Parlin Kartadikrama kecewa namun tampak tetap tenang - tenang saja.
Ia melanjutkan dengan suara getir, “ Anak itu memiliki sesuatu yang seperti menyelubungi dan selalu melindungi pada saat jiwanya sedang terancam “
“ Kekuatan itu tidak dapat kutembus. Tetapi kau pulanglah. Kukira ia tidak akan pergi jauh..."
Lalu Parlin menutup pintu di depan batang hidung bu Endah yang masih tetap diliputi perasaan bersalah. Dari salon Mia langsung naik taksi ke sebuah klinik bersalin milik swasta yang punya nama besar. Perawat jaga yang ia temui memberitahu bahwa dokter kepala klinik yang ingin ia temui baru saja selesai menolong kelahiran seorang bayi kembar dan saat itu tengah bersiap siap untuk pulang. Mia disuruh menunggu sebentar dan kemudian dipersilahkan masuk ke sebuah ruangan sejuk dan menyenangkan susunan perabotannya.
Dokter Jamali masih muda belia. Ia menyambut Mia dengan ramah tamah dan gembira ketika Mia mengatakan alamat dokter itu ia peroleh dari Jatmiko Prasetyo. Seorang sahabat lama kata Jamali. Lalu dengan wajah berduka ia meneruskan:
"Sayang…..ia terlalu cepat pergi. Aku justru baru saja akan pergi melayat... ah… itu bisa ditunda."
Jamali menarik nafas panjang.
Lalu: “ Sepertinya Nona tampaknya gugup dan ketakutan. Mengenai sesuatu penyakit yang berbahaya tentunya?"
"Benar dokter."
"Ada keluhan?"
"Ya "
"Mari kita periksa. Sementara berbaring ceritakanlah apa saja yang nona anggap tidak pada tempatnya?"
Mia menceritakan semuanya dengan bernafsu. Terkadang setengah menangis. Terkadang menggigil ketakutan, dan paling akhir ia mencucurkan air mata ketika mengemukakan isi hatinya;
“ Semuanya terlalu ganjil dan mengerikan dokter. Obat - obat yang lain dari biasa. Efek - efek yang membingungkan. Saya kira dokter... saya tengah terperangkap suatu komplotan jahat atau saya mulai mengidap peyakit gila!"
“ Nona berlebihan", jawab dokter menghibur Mia.
Setelah selesai memeriksa keadaan kesehatan Mia. Jamali berpikir keras dan seperti teringat sesuatu, ia bertanya dengan sungguh – sungguh.
“ Kau katakan kau tinggal di atas bukit itu?"
"Ya. dokter "
“ Dan yang merawatmu, dokter Usman?"
"Benar."
"Hem", Jamali mengerutkan dahi.
Kemudian ia memperlihatkan senyuman ramah, mempersilahkan Mia duduk kembali di tempat semua.
"Tunggulah sebentar," ia berkata.
Lalu keluar dari ruang periksa. Tak sampai lima menit kemudian. Ia telah kembali. Wajahnya telah cerah pula seperti semula. dan senyuman lebarnya menyenangkan hati.
Quote:
"Nona sehat dan tidak ada satupun penyakit serius yang anda derita " ia berujar.
Setelah itu dokter Jamali bertanya banyak hal. Awal –awal memang menyangkut gangguan kesehatan yang sering dialaminya. Namun, lambat laun berkembang meniadi panjang dan memakan tempo yang lama. Didengarkan oleh dokter Jamali dengan tekun dan penuh perhatian. Kadang - kadang ia mencatat sesuatu di buku notesnya. Dan beberapa kali dengan halus ia mengalihkan persoalan tiap kali Mia mengingatkan.
"Aku ingin dirawat di sini tanpa seorangpun yang tahu!"
Lama kelamaan, Mia mulai curiga. Pembicaraan yang berlangsung tampaknya disengaja. Seperti mengulur – ulur waktu. Tetapi mengapa? Terhadap apa?
Jawabannya muncul hampir satu beberapa menit kemudian. Ketika pintu ruang praktek dibuka orang. Dan ke dalam ruangan itu berturut- turut muncul dokter Usman.
Dito dan bu Endah. Saking terkejut dan kecewa. Mia terhenyak lunglai. Bersimbah keringat dingin. Ia diam saja tidak bereaksi ketika Bu Endah memeluknya dan pura-pura menangis terharu ketika berkata penuh suka cita.
“ Kau membuat kami cemas. Syukurlah kau baik-baik saja ...."
Dito memegang tangannya dan berbisik lembut: “ Bangunlah. Kita pulang ke rumah”
Dan dokter Usman menjabat tangan dokter Jamali. Seraya berujar dengan ikhlas:
" Terimakasih, dokter menelepon kami. Pasienku tentu bercerita yang bukan - bukan. Tetapi biarlah. Itu hal biasa yang dilakukan oleh orang yang sedang shock. Maklum… Baru saja ditinggal mati salah seorang keluarga dekat. Hem... dengar-dengar Anda juga kenal seorang polisi yang bernama Jatmiko Prasetyo"
Seakan lumpuh. Mia menurut saja ketika dibimbing Dito dan bu Endah menuju pintu keluar. Tetapi di ambang pintu dengan susah payah lantas membalikkan tubuh, menghadap lurus ke dokter Jamali. Katanya, memohon panik.
"Demi Tuhan. Tolongah lepaskan aku dari manusia - manusia ini"
Lantas ia menangis melolong - lolong. meronta ronta liar ketika diseret Dito yang dibantu bu Endah dan dokter Usman masuk dengan paksa ke mobil yang menunggu di depan klinik. Dibawah pandangan mata beberapa orang suster, pasien dan pengunjung yang terheran-heran dan kebingungan karena didalam mobil ia masih terus juga berontak sambil menjerit -jerit setengah gila. Dokter Usman menyuntik lengan kirinya dengan hati - hati. Mia jatuh tertidur dalam perjalanan pulang ke atas bukit.
Di klinik yang mereka tinggalkan. Seorang suster masuk ke ruang kerja dokter Jamali. la meletakkan sejumlah berkas untuk ditandatangani.
Dan sebelun keluar bertanya sambil lalu, "Pasien tadi dokter. Apa yang terjadi?"
Dokter Jamali terjengah. Lalu sambil tersenyum kecut. Ia meletakkan jari telunjuk dalam posisi miring pada jidatnya. Suster melongo. Kemudian manggut-manggut mengerti. Ketika menandatangani berkas-berkas itu. Dokter Jamali merasa telinganya gatal gatal. Ia garuk-garuk bagian yang gatal itu. Belakang telinga hampir tertutup oleh rambutnya yang tebal dan tepat pada sebuah lingkaran sebesar uang logam samar-samar berwarna merah kehitam – hitaman. Tanda bagi para pengabdi setan.
Setelah itu dokter Jamali bertanya banyak hal. Awal –awal memang menyangkut gangguan kesehatan yang sering dialaminya. Namun, lambat laun berkembang meniadi panjang dan memakan tempo yang lama. Didengarkan oleh dokter Jamali dengan tekun dan penuh perhatian. Kadang - kadang ia mencatat sesuatu di buku notesnya. Dan beberapa kali dengan halus ia mengalihkan persoalan tiap kali Mia mengingatkan.
"Aku ingin dirawat di sini tanpa seorangpun yang tahu!"
Lama kelamaan, Mia mulai curiga. Pembicaraan yang berlangsung tampaknya disengaja. Seperti mengulur – ulur waktu. Tetapi mengapa? Terhadap apa?
Jawabannya muncul hampir satu beberapa menit kemudian. Ketika pintu ruang praktek dibuka orang. Dan ke dalam ruangan itu berturut- turut muncul dokter Usman.
Dito dan bu Endah. Saking terkejut dan kecewa. Mia terhenyak lunglai. Bersimbah keringat dingin. Ia diam saja tidak bereaksi ketika Bu Endah memeluknya dan pura-pura menangis terharu ketika berkata penuh suka cita.
“ Kau membuat kami cemas. Syukurlah kau baik-baik saja ...."
Dito memegang tangannya dan berbisik lembut: “ Bangunlah. Kita pulang ke rumah”
Dan dokter Usman menjabat tangan dokter Jamali. Seraya berujar dengan ikhlas:
" Terimakasih, dokter menelepon kami. Pasienku tentu bercerita yang bukan - bukan. Tetapi biarlah. Itu hal biasa yang dilakukan oleh orang yang sedang shock. Maklum… Baru saja ditinggal mati salah seorang keluarga dekat. Hem... dengar-dengar Anda juga kenal seorang polisi yang bernama Jatmiko Prasetyo"
Seakan lumpuh. Mia menurut saja ketika dibimbing Dito dan bu Endah menuju pintu keluar. Tetapi di ambang pintu dengan susah payah lantas membalikkan tubuh, menghadap lurus ke dokter Jamali. Katanya, memohon panik.
"Demi Tuhan. Tolongah lepaskan aku dari manusia - manusia ini"
Lantas ia menangis melolong - lolong. meronta ronta liar ketika diseret Dito yang dibantu bu Endah dan dokter Usman masuk dengan paksa ke mobil yang menunggu di depan klinik. Dibawah pandangan mata beberapa orang suster, pasien dan pengunjung yang terheran-heran dan kebingungan karena didalam mobil ia masih terus juga berontak sambil menjerit -jerit setengah gila. Dokter Usman menyuntik lengan kirinya dengan hati - hati. Mia jatuh tertidur dalam perjalanan pulang ke atas bukit.
Di klinik yang mereka tinggalkan. Seorang suster masuk ke ruang kerja dokter Jamali. la meletakkan sejumlah berkas untuk ditandatangani.
Dan sebelun keluar bertanya sambil lalu, "Pasien tadi dokter. Apa yang terjadi?"
Dokter Jamali terjengah. Lalu sambil tersenyum kecut. Ia meletakkan jari telunjuk dalam posisi miring pada jidatnya. Suster melongo. Kemudian manggut-manggut mengerti. Ketika menandatangani berkas-berkas itu. Dokter Jamali merasa telinganya gatal gatal. Ia garuk-garuk bagian yang gatal itu. Belakang telinga hampir tertutup oleh rambutnya yang tebal dan tepat pada sebuah lingkaran sebesar uang logam samar-samar berwarna merah kehitam – hitaman. Tanda bagi para pengabdi setan.
Diubah oleh breaking182 09-02-2021 12:22
1980decade dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas
Tutup