Jakarta -
Mantan Dubes RI untuk Myanmar, Ito Sumardi menjelaskan terkait akar persoalan yang berbuntut pada kudeta oleh pihak militer terhadap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi (ASSK) dan Presiden Win Myint. Ito Sumardi pun mengingatkan Pemerintah Indonesia terkait kemungkinan gerakan rakyat.

Awalnya Ito Sumardi menjelaskan terkait persoalan Myanmar ini berkaitan dengan Pemilu 2020 di negara tersebut. Saat itu ada dugaan kecurangan yang dilakukan partai pemenang NLD milik Aung San Su Kyi namun tidak ditelusuri oleh KPU Myanmar.

"Dugaan kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu 2020 yang dimenangkan kembali oleh partai NLD (Partainya Aung San Su Kyi) secara mutlak, namun tidak dilaksanakan dan ditolak oleh pihak KPU myanmar yang mengklaim pelaksanaan pemilu telah dilakukan secara transparan dan melibatkan pengawas independen dari komunitas internasional, sehingga akhirnya pihak militer yang sudah mengingatkan mengambil alih kepemimpinan nasional saat ini," kata Ito saat dihubungi detikcom, Senin (1/2/2021).

Ito mengatakan pengambilalihan kepemimpinan itu juga berujung pada penangkapan sejumlah tokoh hingga presiden Myanmar. Menurutnya, berdasarkan versi pihak militer Myanmar, langkah tersebut sebagai upaya menyelamatkan konstitusi.

"Melakukan penahanan terhadap ASSK (Aung San Suu Kyi) selaku penasihat negara, Presiden Myanmar, pejabat pemerintahan, anggota parlemen serta menetapkan secara sepihak status 'negara dalam keadaan darurat' selama 1 tahun ke depan sebagai legitimasi penguasaan pemerintahan oleh militer. Statement pihak militer bahwa mereka menyelamatkan konstitusi adalah terkait dengan dugaan kecurangan dalam pemilu (versi militer)," ucapnya. 

Keadaan yang kurang harmonis antara pemerintah dan pihak militer Myanmar, kata Ito, memperparah penanganan berbagai gangguan keamanan, termasuk konflik Rohingya di negara tersebut. Militer disebut bergerak sendiri tanpa arahan dari penasihat negara.
"Hubungan yang selama ini kurang harmonis antara pemerintah dan pihak militer sangat mempengaruhi upaya penanganan berbagai masalah gangguan keamanan di wilayah Myanmar, termasuk penanganan masalah Rohingya di Rakhine State. Militer bergerak sendiri untuk merespons berbagai gangguan keamanan tanpa kendali ASSK. Jadi, meskipun secara de jure kepemimpinan nasional adalah di bawah ASSK, namun secara de facto pengendalian militer sepenuhnya berada ditangan panglima militer Myanmar Senior General Myn Aung Hlaing," ujarnya.


Ketua Umum ISPPI (Ikatan Sarjana Profesi Perpolisian Indonesia) ini juga menjelaskan kondisi di Myanmar ini diperparah dengan kondisi kelompok militer yang masih sangat kuat. Selain itu, upaya mengandeng kelompok entis juga tidak berhasil dilakukan Myanmar.
"Selama ini transisi demokrasi di Myanmar dirasakan masih jauh dari harapan, karena pengaruh pok militer masih sangat kuat sementara kesan 'euforia demokrasi' dari masyarakat sipil masih terus berlangsung dan kesan merangkul pok etnis lainnya masih belum berhasil secara optimal," ungkap Ito. 


Kondisi naik turun di Myanmar ini juga dinilai berpengaruh terhadap keamanan di negara tersebut. Ito pun mewanti-wanti kepada Pemerintah Indonesia terkait kemungkinan gerakan rakyat yang bisa terjadi usai penahanan para pimpinan negara oleh militer.

"Dampaknya mungkin hanya keleluasaan bergerak dan apabila ada potensi gerakan rakyat (people power) yang bisa memicu tindak kekerasan karena pengikut partai NLD sangat dominan dan mayoritas. Situasi saat dulu ASSK ditahan berbeda dengan saat ini, karena media dan komunikasi sudah sangat terbuka," imbuhnya. 

https://news.detik.com/berita/d-5357...sus-rohingya/1